MENGETAHUI pokok masalah merupakan suatu keharusan bagi kita yang mengkaji ilmu faraid. Hal ini agar kita dapat mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hak masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan, penj.).
Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per kepala --jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.
Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya sebelas, dan demikian seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang sama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan juga setengah (1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama --misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok masalahnya dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya dari empat atau delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian --yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan sebagainya-- kita harus mengalikan dan mencampur antara beberapa kedudukan, yakni antara angka-angka yang mutamatsilah (sama) atau yang mutadaakbilah (saling berpadu), atau yang mutabaayinah (saling berbeda).
Untuk memperjelas masalah ini, baiklah kita simak kaidah yang telah diterapkan oleh para ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh yang mempunyai bagian berbeda-beda.
Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi dua bagian:
Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).
Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok masalahnya dari empat (4).
Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat dengan seperdelapan-- maka pokok masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.
Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardh kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di bawah ini:
- Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah (1/2) --yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau semuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).
- Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua belas (12).
- Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).
Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, perlu saya utarakan beberapa contoh. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: suami mendapat setengah (1/2), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6), ibu sepertiga (1/3), sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan mendapat sisa yang ada setelah ashhabul furudh menerima bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak berhak menerima harta waris.
Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2) dengan sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua. Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh tersebut dari enam. Lihat diagram:
Pokok masalah dari enam (6)
Suami setengah (1/2) | |
Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6) | |
Ibu sepertiga (1/3) | |
Paman kandung, sebagai 'ashabah |
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara laki-laki kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.
Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) --yang termasuk kelompok pertama-- dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut merupakan hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian istri) dengan tiga (sebagai bagian kedua saudara laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:
Pokok masalah dari dua belas (12)
Istri seperempat (1/4)) | |
Ibu seperenam (1/6) | |
Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) | |
Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya) |
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), dan bagian ibu seperenam (1/6). Sedangkan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa harta waris bila ternyata masih tersisa.
Pada contoh ini tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai kelompok pertama dengan seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah empat (24). Berikut ini tabelnya:
Pokok masalah dari 24
Bagian istri seperdelapan (1/8) | ||
Bagian anak perempuan setengah (1/2) | ||
Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6) | ||
Bagian ibu seperenam (1/6) | ||
Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa) |
Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24). Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya.
A. Tentang Tashih
Agar kita dapat memahami dan menelusuri rincian pentashihan pokok masalah, maka kita harus mengetahui nisbah-nya (koneksi) dengan keempat istilah perhitungan. Yaitu, at-tamaatsul (kemiripan/kesamaan), at-tadaakhul (saling terkait/saling bercampur), at-tawaafuq (saling bertautan), dan at-tabaayun (berbeda/saling berjauhan).
Apabila pokok masalah --harta waris-- dalam suatu pembagian waris cocok (sesuai) dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak perlu menggunakan cara-cara yang berbelit dan memusingkan. Namun, bila harta waris tersebut kurang dari jumlah bagian yang mesti diterima setiap ahli waris, atau jumlah bagian ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalah, maka dalam hal ini memerlukan pentashihan pokok masalahnya.
Definisi Tashih
Tashih dalam bahasa Arab berarti 'menghilangkan penyakit'. Sedangkan menurut ulama ilmu faraid berarti mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian setiap ahli waris tanpa pecahan dalam pembagiannya.
Definisi at-Tamaatsul
At-Tamaatsul dalam bahasa Arab berarti at-tasyabuh, yakni 'sama bentuknya'. Sedangkan menurut ulama faraid berarti sama dalam jumlah atau nilai, yang satu tidak lebih banyak atau lebih sedikit dari yang lain. Misalnya, angka tiga berarti sama dengan tiga, dan lima sama dengan lima, dan seterusnya.
Definisi at-Tadaakhul
At-Tadaakhul dalam bahasa Arab berasal dari kata dakhala, yakni 'masuk', lawan kata dari "keluar". Sedangkan menurut ulama faraid adalah pembagian angka yang besar oleh angka yang lebih kecil, sehingga dari pembagian itu tidak ada lagi angka atau jumlah yang tersisa. Misalnya, angka delapan (8) dengan angka empat (4), angka delapan belas (18) dengan angka enam (6), angka dua puluh tujuh (27) dengan angka sembilan (9).
Definisi at-Tawaafuq
At-Tawaafuq dalam bahasa Arab berarti 'bersatu'. Sedangkan menurut istilah ilmu faraid ialah setiap dua angka yang dapat dibagi angka ketiga, sehingga menurut mereka di antara kedua bilangan itu ada tadaakhul. Misalnya, angka 8 dengan 6 keduanya dapat dibagi oleh angka 2. Angka 12 dengan angka 30 sama-sama dapat dibagi oleh angka 6. Angka 8 dengan 20 sama-sama dapat dibagi oleh angka 4, demikian seterusnya.
Definisi at-Tabaayun
At-Tabaayun dalam bahasa Arab berarti tabaa'ud, yakni saling berjauhan atau saling berbeda. Sedangkan menurut kalangan ulama ilmu faraid ialah setiap bilangan yang satu dengan lainnya tidak dapat membagi, dan tidak pula dapat dibagi oleh bilangan lain (ketiga). Misalnya angka 7 dengan angka 4, angka 8 dengan 11, angka 5 dengan 9.
Untuk mengetahui secara tepat pengertian tabaayun, kita bandingkan pengertiannya dengan istilah lainnya. Apabila angka yang besar dibagi angka yang lebih kecil, maka kedua bilangan itu tadaakhul. Apabila angka yang besar tidak dapat dibagi angka yang kecil --tetapi dibagi angka yang lain-- maka kedua bilangan itu ada tawaafuq. Sedangkan apabila suatu angka tidak dapat dibagi oleh bilangan lain, maka disebut tabaayun. Tetapi apabila kedua bilangan itu sama, maka di antara kedua bilangan tersebut adalah mutamaatsilan.
B. Cara Mentashih Pokok MasalahSetelah kita ketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul, attadaakhul, at-tawaafuq, dan at-tabaayun, maka kita perlu mengetahui kapan kita dapat atau memungkinkan untuk mentashih pokok masalah? Dan apa tujuannya,Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima permasalahan pembagian waris kecuali dengan angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa pecahan, penj.). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan keadilan yang optimal dalam pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan keadilan mereka berusaha mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak mengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat baik dari para ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-Din al-Islam. Cara pentashihan yang biasa dilakukan para ulama faraid seperti berikut: langkah pertama, melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya. Bila jumlah per kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya, maka inilah yang sempurna dan sangat diharapkan. Namun, bila jumlah per kepalanya jauh lebih sedikit dari jumlah bagian ahli waris yang ada --jumlah pokok masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris yang belum mendapat bagian-- maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di antara kedua hal itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap ahli waris dengan jumlah per kepalanya, maka setiap anak berhak mendapat bagian sesuai dengan jumlah per kepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya. (Misalnya, empat anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4, maka ada kesamaan. Sebab setiap anak mendapat bagian satu). Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per kepalanya dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka hasil dari perkalian itu yang menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang disebut "pentashihan pokok masalah" oleh kalangan ulama faraid. Sedangkan mengenai bagian untuk mengalikan pokok masalah atau meng-'aul-kan dengan tujuan mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid disebut dengan juz'us sahm. Maksudnya, sebagai bagian khusus yang berkaitan dengan setiap bagian pada pokok masalah. Untuk lebih memperjelas masalah ini, perlu saya kemukakan contoh kasus sehingga pembaca dapat lebih memahaminya. Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalahSeseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian keempat anak perempuan ialah dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam berarti satu bagian, dan sang ibu juga seperenam berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tidak mendapat bagian (mahjub karena anak pewaris lebih dari dua orang, penj.).Dalam contoh tersebut kita lihat jumlah anak perempuan ada empat (4), dan bagian yang mereka peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan pentashihan pokok masalah, sebab bagian yang mesti dibagikan kepada mereka (keempat anak perempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan-pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap anak menerima satu bagian. Contoh lain yang at-tamaatsul. Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara perempuan seibu, dan empat saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi tujuh (7). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, kemudian bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian, sedangkan bagian keempat saudara kandung perempuan adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian. Bila kita perhatikan baik-baik contoh ini, kita lihat bahwa pokok masalahnya tidak memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya sesuai dengan jumlah yang dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu dua bagian, maka tiap orang mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara kandung perempuan empat bagian, maka setiap orang mendapat satu bagian. Berarti kesesuaian pembagian tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok masalah. Dengan demikian, tahulah kita bahwa contoh masalah tersebut cenderung (bernisbat) pada at-tamaatsul. Contoh masalah yang at-tawaafuq. Seseorang wafat dan meninggalkan delapan (8) anak perempuan, ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahuya dari enam (6). Bagian kedelapan anak perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, dan sisanya (satu bagian) adalah bagian paman kandung sebagai 'ashabah. Kita lihat dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala anak perempuan dengan jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2). Angka dua itulah yang menurut istilah ulama faraid sebagai bagian dari bagian juz'us sahm kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok masalah, yakni angka enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok masalah. Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, sedangkan bagian keenam saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3), berarti empat bagian, dan bagian kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), berarti dua bagian. Dalam contoh di atas kita lihat ada tawaafuq antara jumlah bagian yang diterima para saudara kandung perempuan dengan jumlah per kepala mereka, yaitu dua (2). Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala mereka, berarti tiga (3), dan kita kalikan dengan pokok masalah setelah di-'aul-kan yakni angka sembilan (9), berarti 3 x 9 = 27. Hasil dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokok masalah. Setelah pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan bagian (9), keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas bagian, dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 + 12 + 6 = 27). Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12. Bagian suami 1/4 berarti tiga (3) bagian, bagian anak perempuan 1/2 berarti enam (6) bagian, dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna 2/3 berarti 2 bagian, dan bagian saudara kandung laki-laki satu bagian (sisanya) sebagai 'ashabah bin nafsihi. Inilah tabelnya:
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian masing-masing seperti berikut: pokok masalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi 27. Bagian istri 1/8 = 3, kelima anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang berarti 16, ayah memperoleh 1/6 berarti 4, dan ibu mendapat 1/6 yang berarti 4, sedangkan bagian saudara kandung laki-laki mahjub (terhalang). Inilah tabelnya:
Misal lain, seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan, dua orang nenek, empat saudara kandung laki-laki, dan saudara laki-laki seibu. Pembagiannya seperti berikut: Pokok masalahnya dari 24. Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak perempuan mendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat saudara kandung laki-laki (sisanya) yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan saudara seibu mahjub. Perhatikan tabel berikut:
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar