A. Definisi Munasakhat
Al-munasakhat dalam bahasa Arab berarti 'memindahkan' dan 'menghilangkan', misalnya dalam kalimat nasakhtu al-kitaba yang bermakna 'saya menukil (memindahkan) kepada lembaran lain'; nasakhat asy-syamsu ash-zhilla yang berarti 'sinar matahari menghilangkan bayang-bayang'.
Makna yang pertama --yakni memindahkan/menukil-- sesuai dengan firman Allah SWT berikut:
"... Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan." (al-Jatsiyah: 29)
Sedangkan makna yang kedua sesuai dengan firman berikut:
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" (al-Baqarah: 106)
Adapun pengertian al-munasakhat menurut istilah ulama faraid ialah meninggalnya sebagian ahli waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya yang lain. Bila salah seorang ahli waris meninggal, sedangkan ia belum menerima hak warisnya (karena memang belum dibagikan), maka hak warisnya berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya di sini akan timbul suatu masalah yang oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan al-jami'ah.
Al-munasakhat mempunyai tiga macam keadaan:
Keadaan pertama: sosok ahli waris yang kedua adalah mereka yang juga merupakan sosok ahli waris yang pertama. Dalam kasus seperti ini masalahnya tidak berubah, dan cara pembagian warisnya pun tidak berbeda. Misalnya, ada seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak. Kemudian salah seorang dari kelima anak itu ada yang meninggal, tetapi yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris kecuali saudaranya yang empat orang, maka seluruh harta waris yang ada hanya dibagikan kepada keempat anak yang tersisa, seolah-olah ahli waris yang meninggal itu tidak ada dari awalnya.
Keadaan kedua: para ahli waris dari pewaris yang kedua adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama, namun ada perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab mereka terhadap pewaris. Misalnya, seseorang mempunyai dua orang istri. Dari istri yang pertama mempunyai keturunan seorang anak laki-laki. Sedangkan dari istri kedua mempunyai keturunan tiga anak perempuan. Ketika sang suami meninggal, berarti ia meningalkan dua orang istri dan empat anak (satu laki-laki dan tiga perempuan). Kemudian, salah seorang anak perempuan itu meninggal sebelum harta waris peninggalan ayahnya dibagikan. Maka ahli waris anak perempuan ini adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama (ayah). Namun, dalam kedua keadaan itu terdapat perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab kepada pewaris. Pada keadaan yang pertama (meninggalnya ayah), anak laki-laki menduduki posisi sebagai anak. Tetapi dalam keadaan yang kedua (meninggalnya anak perempuan), anak laki-laki terhadap yang meninggal berarti merupakan saudara laki-laki seayah, dan yang perempuan sebagai saudara kandung perempuan. Jadi, dalam hal ini pembagiannya akan berbeda, dan mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu cara yang disebut oleh kalangan ulama faraid sebagai masalah al-jami'ah.
Keadaan ketiga: para ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewaris pertama. Atau sebagian ahli warisnya termasuk sosok yang berhak untuk menerima waris dari dua arah, yakni dari pewaris pertama dan dari pewaris kedua. Dalam hal seperti ini kita juga harus melakukan teori al-jama'iyah, sebab pembagian bagi tiap-tiap ahli waris yang ada berbeda dan berlainan.
Sebelum kita melakukan rincian tentang amaliah al-munasakhat, kita terlebih dahulu harus melakokan langkah-langkah berikut:
- Mentashihkan masalah pewaris yang pertama dengan memberikan hak waris kepada setiap ahlinya, termasuk hak ahli waris yang meninggal.
- Merinci masalah baru, khususnya yang berkenaan dengan kematian pewaris kedua, tanpa mempedulikan masalah pertama.
- Membandingkan antara bagian pewaris kedua dalam masalah pertama, dengan pentashihan masalah dan para ahli warisnya dalam masalah kedua.
- Perbandingan antara keduanya itu dalam kecenderungannya terhadap ketiga nisbat, yaitu al-mumatsalah, al-muwafaqah, dan al-mubayanah. Bila antara keduanya --yakni antara bagian pewaris yang kedua dan masalah ahli warisnya yang lain-- ada mumatsalah (kesamaan), maka dibenarkan kedua masalah hanya dengan tashih yang pertama (lihat tabel).
Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan tiga anak perempuan, dua saudara kandung perempuan, dan seorang saudara kandung laki-laki. Kemudian salah seorang saudara kandung perempuan itu meninggal. Berarti ia meninggalkan seorang saudara kandung perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari tiga (3). Ketiga anak perempuan mendapat 2/3 (2 bagian). Dan sisanya (satu bagian) merupakan hak para 'ashabah (yakni dua saudara kandung perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki).
Kemudian kita lihat jumlah per kepalanya ada tabayun (perbedaan), maka 3 x 4 = 12. Kemudian angka ini kita kaLikan dengan pokok masalahnya, berarti 3 x 12 = 36. Bilangan inilah yang kemudian menjadi pokok masalah hasil pentashihan. Jadi, pembagiannya seperti berikut: ketiga anak perempuan mendapat 2/3 (24 bagian), dan sisanya (12 bagian) dibagikan untuk dua orang saudara kandung perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian anak perempuan, jadi setiap saudara kandung perempuan mendapat tiga (3) bagian, dan saudara laki-laki kandung enam (6) bagian.
Kemudian, kita lihat antara bagian pewaris kedua (yaitu 3) dengan pokok masalahnya (juga dari 3) ada kesamaan (tamatsul). Karena itu, al-jami'ah di sini sama dengan hasil pentashihan pada masalah yang pertama (yakni dari 36).
Kemudian, hak waris/bagian saudara kandung perempuan yang meninggal (3 bagian) hanya dibagikan kepada ahli waris, yaitu seorang saudara kandung perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki. Kemudian, hasil pembagian itu ditambahkan pada hasil bagian mereka yang pertama. Maka, bagian saudara kandung perempuan menjadi empat (4): tiga (3) bagian --yang diperolehnya dari masalah pertama-- ditambah dengan bagian yang berasal dari saudara kandung perempuan yang meninggal, yaitu satu (1) bagian (3 + 1 = 4).
Sedangkan saudara kandung laki-laki mendapatkan dua (2) bagian, yang kemudian ditambahkan dengan perolehannya dari peninggalan pada masalah pertama, yaitu enam (6) bagian. Maka saudara laki-laki kandung memperoleh delapan (8) bagian.
Adapun tiga anak perempuan pewaris pertama, dalam masalah kedua ini tidak mendapatkan hak waris, disebabkan kedudukannya hanyalah sebagai keponakan pewaris kedua, yakni anak perempuan dari saudara laki-laki pewaris kedua. Karena itu, mereka mahjub. Berikut ini saya sertakan tabelnya:
Jumlah kepala | Tashih masalah ke I | |
| | | | | |
| | | | | |
| | | | | |
| | | | | |
| | | | | |
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, ibu, cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Kemudian cucu tersebut meninggal dengan meninggalkan suami, ibu, tiga anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari dua puluh empat (24). Istri mendapatkan 1/4 (3 bagian), ibu 1/6 (4 bagian), cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/2 (12 bagian), sedangkan sisanya (lima bagian) merupakan bagian ayah sebagai jumlah 'ashabah. Jumlah semuanya adalah dua puluh empat (24) bagian.
Kemudian, kita lihat al-jami'ah dalam masalah ini sama dengan pokok masalah pertama, yaitu dua puluh empat (24). Hal ini karena kita dapati bagian pewaris kedua (cucu perempuan keturunan anak laki-laki) dalam masalah pertama ada tamatsul (kesamaan) dengan pokok masalah yang kedua. Dalam keadaan demikian, kaidah yang berlaku di kalangan ulama faraid adalah kita menjadikan pokok masalah pertama sebagai al-jami'ah, yang berarti bagian pewaris kedua hanya dibagikan kepada ahli warisnya. Oleh sebab itu, kita tidak lagi membuat al-jami'ah yang baru, tetapi cukup menjadikan al-jami'ah yang pertama itu berlaku pada masalah kedua. Berikut ini tabelnya:
| | | ||
| | | ||
Istri 1/8 | | | ||
Ibu 1/6 | | | | |
Ayah ('ashabah) | | | | |
Cucu pr. keturunan anak lk. 1/2 | | | | |
Suami 1/4 | | |
Contoh yang memiliki kasus al-mubayanah: seseorang wafat dan meninggalkan suami, ayah, ibu, dan dua anak perempuan. Kemudian suami wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, ibu, istri, dan saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari dua belas (12) kemudian di-'aul-kan menjadi lima belas (15). Sedangkan pokok masalah yang kedua dari dua belas (12) yang di-'aul-kan menjadi tiga belas (13).
Suami mendapatkan seperempat (1/4) berarti tiga bagian. Ayah mendapatkan seperenam (1/6) berarti dua bagian, begitu juga dengan bagian ibu yakni seperenam (1/6), berarti dua bagian.
Kemudian dua anak perempuan mendapatkan dua per tiga (2/3) berarti delapan (8) bagian. Jumlahnya lima belas (15) bagian.
Kemudian, antara masalah yang pertama dengan masalah yang kedua ada mubayanah (perbedaan), karenanya kita kalikan pokok masalah pertama (yakni 15) dengan pokok masalah yang kedua (yakni 13). Maka hasil dari perkalian itu (yakni 15 x 13 = 195) merupakan al-jami'ah (penyatuan) antara dua masalah.
Lalu kita tempatkan bagian pewaris yang kedua (suami, yang mendapat tiga bagian) di atas pokok masalah kedua, dan ini merupakan juz'us sahm (bagian dari bagian hak waris). Juz'us sahm ini kemudian kita kalikan dengan bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka akan merupakan hasil bagian ahli waris dari al-jami'ah (penyatuan dari dua masalah). Untuk lebih meyakinkan kebenaran masalah kedua ini, kita lihat hasil perkaliannya: perkalian antara juz'us sahm yaitu tiga (3) dengan pokok masalahnya setelah di-'aul-kan, berarti 3 x 13 = 39. Maka angka 39 ini merupakan jumlah bagian seluruh ahli waris dalam masalah kedua. Lihat tabel berikut:
| | |||
| | | | |
Suami 1/4 | | | | |
Ayah 1/6 | | | | |
Ibu 1/6 | | | | |
2 anakperempuan (2/3) | | | | |
Sdr. Kandung perempuan (2/3) | | | ||
Ibu 1/6 | | | ||
Istri 1/4 | | | ||
Sdr. laki-laki seibu 1/6 | | |
Catatan
Kemungkinan besar dapat pula terjadi adanya al-jami'ah lebih dari satu. Misalnya, dalam suatu keadaan pembagian waris salah seorang ahli warisnya wafat sebelum pembagian, kemudian ada lagi yang meninggal, dan seterusnya. Maka jika terjadi hal seperti ini, kita tetap harus menempuh cara seperti yang telah kita tempuh dalam al-munasakhat, takni kita tempatkan tashih kedua pada posisi pertama, dan tashih ketiga pada posisi kedua, dan seterusnya. Dan hasilnya dinamakan al-jami'ah kedua, al-jami'ah ketiga, dan seterusnya.
Untuk menjelaskan hal ini perlu kiranya saya kemukakan contoh tentang bentuk al-jami'ah yang lebih dari satu ini. Misalnya, seseorang wafat meninggalkan suami, saudara perempuan seibu, dan paman kandung (saudara ayah). Kemudian suami wafat dan meninggalkan anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ayah, dan ibu. Kemudian anak perempuan juga meninggal, dan meninggalkan nenek, dua saudara kandung perempuan, dan dua saudara laki-laki seibu. Perhatikan tabel berikut:
| | | | | |||
| | | | | | ||
Suami 1/2 | | | | ||||
Sdr.pr. seibu 1/6 | | | | ||||
Paman ('ashabah) | | | | ||||
Anak perempuan 1/2 | | | meninggal | ||||
Cucu pr. 1/6 | | | | | |||
Ayah 1/6 | | | | | |||
Ibu 1/6 | | | | | |||
Nenek 1/6 | | | |||||
2 sdr. kandung pr. 2/3 | | | |||||
2 sdr. lk. saudara seibu 1/3 | | |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar