Dr. Aam Amiruddin
(97) Katakanlah, Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.
(98) Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.
(99) Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik.
***
“Katakanlah, ‘Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.’” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 97)
Segala upaya dilakukan Bani Israil untuk mengelabui kebenaran. Hal tersebut karena hati mereka yang telah buta sehingga membuat gerak langkah hawa nafsu menguasai jiwa mereka. Tetapi, apa pun namanya, jerih payah mereka hanyalah langkah keliru berbalut keringat sesat yang akhirnya berbuah kemurkaan. Topeng kepalsuan mereka akhirnya terkuak dan dibuka lebar-lebar oleh Allah untuk menampakkan kebusukan yang tersembunyi di dalamnya. Ayat di atas menjadi petunjuk bahwa keberadaan malaikat Jibril menyangkut wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. merupakan kebenaran dan kehendak Allah semata.
(97) Katakanlah, Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.
(98) Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.
(99) Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik.
***
“Katakanlah, ‘Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.’” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 97)
Segala upaya dilakukan Bani Israil untuk mengelabui kebenaran. Hal tersebut karena hati mereka yang telah buta sehingga membuat gerak langkah hawa nafsu menguasai jiwa mereka. Tetapi, apa pun namanya, jerih payah mereka hanyalah langkah keliru berbalut keringat sesat yang akhirnya berbuah kemurkaan. Topeng kepalsuan mereka akhirnya terkuak dan dibuka lebar-lebar oleh Allah untuk menampakkan kebusukan yang tersembunyi di dalamnya. Ayat di atas menjadi petunjuk bahwa keberadaan malaikat Jibril menyangkut wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. merupakan kebenaran dan kehendak Allah semata.
Menurut sejumlah riwayat, ayat itu turun berkenaan dengan salah seorang pemuka Yahudi bernama Abdullah bin Shuriya yang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. “Malaikat mana yang menurunkan Al-Quran kepada Muhammad?” tanyanya. Saat itu Rasulullah menjawab bahwa yang membawa ialah malaikat Jibril. Mendengar jawaban tersebut, kontan saja Abdullah bin Shuriya mengatakan bahwa ia tidak mau percaya pada Al-Quran karena ternyata Jibril yang membawanya kepada Muhammad Saw. Andai saja Mikail yang membawa wahyu Al-Quran tersebut, mungkin saja ia beriman. Kelakarnya, “Ketahuilah bahwa kami, orang Bani Israil, merupakan musuh Jibril.”
Dalam riwayat yang cukup panjang sebagaimana dimuat dalam tafsir Ibnu Katsir dan beberapa kitab lainnya, disebutkan sebagai berikut.
Sa’id bin Jubair meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas, ia mengisahkan bahwa sejumlah orang Yahudi datang kepada Rasulullah Saw. lalu berkata, “Wahai Abul Qasim (Rasulullah Saw.), kami bertanya kepadamu tentang lima perkara yang jika engkau mengabarkan kepada kami tentang lima hal tersebut maka kami percaya bahwa engkau adalah seorang nabi dan kami akan mengikutimu.”
Maka, Rasulullah Saw. pun mengikat perjanjian dengan mereka sebagaimana Israil (Nabi Ya’qub) telah mengikat perjanjian dengan anak keturunannya di saat mereka mengatakan, “Allah adalah saksi terhadap apa yang kami ucapkan.” Kata Rasulullah, “Bertanyalah!” Mereka pun bertanya, “Kabarkanlah kepada kami tanda seorang nabi.” Beliau menjawab, “Kedua matanya tertidur, tetapi hatinya tidaklah tidur.” Lalu mereka bertanya lagi, “Kabarkan kepada kami bagaimana seorang wanita bisa melahirkan (anak) perempuan dan laki-laki?” Beliau menjawab, “Apabila bertemu dua mani. Ketika mani laki-laki keluar mendahului mani wanita maka yang jadi (adalah anak) laki-laki dan apabila mani wanita keluar mendahului mani laki-laki maka yang jadi adalah wanita.”
Mereka bertanya, “(Makanan) apa yang diharamkan oleh Israil (Nabi Ya’qub a.s.) terhadap dirinya?” Beliau menjawab, “Beliau mengeluh dari makan (daging) maka beliau tidak mendapatkan (daging) yang sesuai kecuali susu yang demikian (yaitu unta), maka dia pun mengharamkan dagingnya.” Mereka bertanya lagi, “Kabarkan kepada kami tentang kilat.”
Beliau menjawab, “Malaikat dari malaikat-malaikat Allah Swt. yang ditugaskan mengarahkan awan, di tangannya ada cambuk dari api yang menghardik awan tersebut dan mengarahkannya berdasarkan perintah Allah.” Mereka berkata, “Lalu suara apa yang didengar itu?” Beliau menjawab, “Suaranya.”
Mereka berkata, “Engkau berkata benar. Namun masih sisa satu pertanyaan yang dengannya kami membaiatmu jika engkau mengabarkannya kepada kami. Sesungguhnya tidak (ada) seorang nabi melainkan dia mempunyai malaikat yang mendatanginya sambil membawa kabar (wahyu), maka kabarkanlah kepada kami siapa sahabatmu?” Beliau menjawab, “Jibril.” Mereka berkata, “Jibril yang turun dengan peperangan dan siksaan, (dia adalah) musuh kami. Sekiranya engkau mengatakan Mikail yang menurunkan rahmat, tumbuhan, dan hujan (niscaya kami akan beriman).” Maka Allah pun menurunkan ayat ke-97 surat Al-Baqarah tersebut. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Thabarani, dan yang lainnya.
Dalam riwayat Imam Ahmad yang lain, ketika menjelaskan tentang makanan yang diharamkan Israil bagi dirinya, Rasulullah Saw. menjawab bahwa Israil ketika sakit parah (dan itu berlangsung lama) bernadzar kepada Allah bahwa jika Allah menyembuhkannya maka dia akan mengharamkan (atas dirinya) makanan dan minuman yang paling disukainya yang tidak lain adalah daging dan susu unta.
Thabari berkata, “Telah sepakat para ulama ahli tafsir bahwa ayat ini turun sebagai jawaban bagi Yahudi dari Bani Israil ketika mereka menyatakan bahwa Jibril adalah musuh mereka sedangkan Mikail adalah penolong mereka.” (Tafsir Ath-Thabari)
Ketika ditanyakan apa sebabnya sehingga mereka memusuhi Jibril, Bani Israil menjawab, “Karena Jibril itulah yang dahulu pernah menyampaikan bahwa Baitul Maqdis satu waktu kelak akan hancur. Dan ternyata itu terbukti di kemudian hari.” Tercatat dalam sejarah bahwa hancurnya Baitul Maqdis terjadi setelah serangan Bukhtunashr (Nabukadnezhar) Raja Babil dan ribuan orang Yahudi waktu itu ditawan dan dibawa ke negeri Babil.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa pada suatu hari Umar bin Khathab masuk ke dalam salah satu komunitas Yahudi. Ketika bercakap-cakap, terselip oleh Umar nama Jibril. Saat itu, orang Yahudi yang hadir menyela sambil berkata bahwa Jibril itu musuh mereka. Sebabnya tidak lain adalah karena Jibril banyak sekali membuka rahasia-rahasia mereka kepada Rasulullah Saw. Bagi Bani Israil, Jibril adalah malaikat yang banyak sekali merusak dan membawa azab. Lain halnya dengan Mikail yang dianggap sebagai malaikat yang membawa kesuburan dan kedamaian.
Sedikit banyaknya, riwayat di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa orang Yahudi hanya mencari-cari kambing hitam untuk menutupi kemunafikan mereka dengan menyatakan tidak senang kepada Jibril yang merupakan malaikat mulia dengan tugas mulia pula, yaitu sebagai pembawa wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. Mereka berpikiran picik dan dengan nada sinis mengejek, “Mengapa membawa wahyu yang baru lagi padahal Taurat sudah cukup. Mengapa datang kepada Nabi yang bukan Bani Israil sehingga martabat Bani Israil direndahkan.”
Sebenarnya, titik pangkal Bani Israil tidak menyukai malaikat Jibril lebih dikarenakan Nabi terakhir yang diutus bukan dari kalangan mereka. Padahal, Jibril hanyalah utusan Allah Swt. dan dia tidak bertugas atas kehendaknya sendiri. Jibril hanya menyampaikan wahyu dari Allah kepada Muhammad Saw. yang tidak lain adalah ayat-ayat Al-Quran.
Kita sama-sama mengetahui bahwa pokok isi Al-Quran itu sama saja dengan kitab-kitab sebelumnya. Tidak ada perselisihan di dalamnya. Pokok kandungan itu tiada lain menegakkan tauhid kepada Allah Swt. Bagi orang yang beriman, Al-Quran merupakan petunjuk dan pembawa kabar gembira.
Permusuhan yang dikobarkan Yahudi terhadap Jibril dibalas oleh Allah dengan menurunkan ayat selanjutnya.
“Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 98)
Meski Bani Israil hanya memusuhi Jibril, namun tidak berarti Allah akan membiarkan mereka begitu saja. Allah menyatakan bahwa memusuhi Jibril, Mikail, dan malaikat lainnya sama artinya dengan memusuhi Allah. Barang siapa memusuhi Rasul Allah, siapa pun itu, berarti mereka memusuhi Allah.
Pada dasarnya, baik rasul ataupun malaikat, tidak ada yang memegang kuasa penuh untuk menjalankan sendiri yang diinginkannya. Rasul dan malaikat hanya utusan Allah sehingga tanggung jawab sepenuhnya ada pada Allah. Kepada mereka yang merekayasa ketentuan ini, dengan tegas Allah nyatakan permusuhan dengan mereka. Demikian halnya dengan mereka yang menolak sebagian dari syariat yang sebenarnya sama saja dengan menolak keseluruhan syariat Allah secara keseluruhan. Mereka yang mengimani sebagian Rasul sama halnya dengan kafir pada semua Rasul sebagaimana diungkap dalam ayat berikut ini.
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada yang sebagian dan Kami kafir terhadap sebagian (yang lain)’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir).” (Q.S. An-Nisaa [4]: 150)
Begitulah Bani Israil. Segala keserakaan dan topeng kepalsuan yang menutupi wajah kepura-puraan dengan rentetan dalil dan argumen yang dipakai membuat mereka tega menyatakan permusuhan dengan malaikat. Hal ini tidak lain karena jiwa mereka yang hampa tergerus arus deras kefasikan. Selanjutnya Allah Swt. berfirman,
“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 99)
Dijelaskan dalam sejumlah ayat sebelumnya bahwa Bani Israil telah sekian kali membuat perjanjian dengan Allah melalui perantaraan Nabi Musa a.s., pemimpin mereka sendiri. Isi perjanjian itu pun telah tertulis rapi di dalam kitab yang mereka pegang erat. Namun, berkali-kali pula mereka mungkiri perjanjian itu meskipun mereka mengatakan bersedia memegang hukum Taurat.
Sekarang, datang utusan Allah Swt. yang baru yang isi seruannya semata untuk memperkuat dan memperjelas ajaran yang sudah mereka anut. Namun, karena kefasikan yang sudah kadung menjalar, apa pun isi kitab Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. tidak akan menjadikan mereka semakin mendapat petunjuk menuju jalan kebenaran. Na‘udzubillahi min dzalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar