STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Kamis, 19 Januari 2012

PEMBAGIAN ISI AL-QURAN

Susunan ayat dan surat dalam Al-Quran memiliki keunikan yang luar biasa. Susunannya tidak secara urutan saat wahyu diturunkan dan subjek bahasan. Nama-nama surat, batasan-batasan, dan susunan ayat-ayatnya ditentukan langsung oleh Rasulullah saw. atas petunjuk Allah Swt.
Rasulullah Muhammad saw. menerima ayat-ayat Al-Quran dari Malaikat Jibril tidak dalam bentuk tertulis. Meskipun demikian, Al-Quran secara konsisten disebut sebagai kitab tertulis. Hal ini memberikan petunjuk bahwa wahyu tersebut tercatat dalam bentuk tulisan. Fakta sejarah pun memperlihatkan bahwa sejak masa awal perkembangan Islam, Al-Quran telah ditulis dan dikumpulkan dalam bentuk mushaf-mushaf yang disampaikan dari generasi ke generasi sejak masa Rasulullah saw. hingga sampai ke tangan kita sekarang. (i)
Surat dalam Al-Quran
Al-Quran mempunyai 114 surat yang tidak sama panjang dan pendeknya. Surah terpendek adalah QS Al-Kautsar [108] yang terdiri dari tiga (3) ayat. Adapun surat terpanjang adalah QS Al-Baqarah [2] yang terdiri dari 286 ayat. Semua surat, kecuali surat yang ke-9 (QS At-Taubah), dimulai dengan kalimat basmallâh. Setiap surat memiliki satu nama dan ada pula yang memiliki lebih dari satu nama. (ii)
Para ulama dan ahli tata bahasa Arab mengakui bahwa susunan ayat dan surat dalam Al-Quran memiliki keunikan yang luar biasa. Susunannya tidak secara urutan saat wahyu diturunkan dan subjek bahasan. Jika seseorang bertindak sebagai editor untuk menyusun kembali kata-kata dalam buku seorang penulis misalnya, mengubah urutan kalimat akan mudah memengaruhi seluruh isinya. Hasil akhirnya pun tidak dapat dinisbatkan seluruhnya kepada pengarang karena telah terjadi perubahan kata-kata dan materi di dalamnya. Demikian demikian, karena Allah Swt. sebagai pencipta tunggal Al-Quran, Dia sendiri yang memiliki wewenang mutlak menyusun seluruh materi.(iii)

Oleh karena itu, nama-nama surat, batasan-batasan, dan susunan ayat-ayatnya ditentukan langsung oleh Rasulullah saw. atas petunjuk Allah Swt. Sejumlah riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah saw. memberi instruksi kepada sahabat yang menuliskan Al-Quran tentang letak ayat pada setiap surat. Utsman bin Affan menjelaskan baik wahyu itu mencakup ayat panjang maupun satu ayat terpisah, Rasulullah selalu memanggil penulisnya dan berkata, ”Letakkan ayat-ayat tersebut ke dalam surah (seperti yang beliau sebut).” Zaid bin Tsabit menegaskan, ”Kami akan kumpulkan Al-Quran di depan Rasulullah.” Menurut Utsman bin Abi Al-’As, Malaikat Jibril senantiasa menemui Rasulullah untuk memberi perintah akan penempatan ayat tertentu. (iv)
Dilihat dari segi panjang dan pendeknya, surat-surat dalam Al-Quran terbagi ke dalam empat katagori, yaitu:
  1. As-Sab’ul At-Thiwâl atau Tujuh Surat yang Panjang, yaitu QS Al-Baqarah [2], QS Ali Imran [3], QS An-Nisâ’ [4], QS Al-Mâ’idah [5], QS Al-An’âm [6], QS Al-A’râf [7], QS Taubah [9].
  2. Al-Mi’ûn atau surat-surat yang memiliki lebih dari seratus ayat, seperti QS Hûd [11], QS Yusuf [12], QS An-Nahl [16], QS Al-Kahfi [18], dan sebagainya.
  3. Al-Matsâni, yaitu surat-surat yang jumlah ayatnya kurang dari seratus, seperti QS Al-Anfâl [8], QS Al-Hijr [15], dan surat-surat lainnya.
  4. Al-Mufashshal, yaitu surat-surat pendek, misalnya surat-surat yang terdapat dalam Juz 28, 28, dan 30. (v)
Nama-Nama Surat
Susunan surat-surat dan namanya dalam Al-Quran bersifat tauqifiy (berdasarkan petunjuk langsung dari Rasulullah saw.) sebagaimana tertib ayat-ayat dan tanda wakafnya. Terkadang, surat itu memiliki satu nama, terkadang pula memiliki lebih dari satu nama, bisa dua, tiga, atau lebih dari itu, sebagai contoh:
  1. Surat Al-Fatihah, dinamakan pula dengan: Ummul Kitâb, As-Sab’ul Matsani, Al-Hamdu, Al-Waqiyah, Asy-Syafi’iyyah.
  2. Surat An-Naml, dinamakan juga dengan Surat Sulaiman.
  3. Surat As-Sajdah, dinamakan juga dengan Al-Madhaji’.
  4. Surat Al-Fathir, dinamakan juga dengan Al-Malâ’ikah.
  5. Surat Az-Zumar, dinamakan juga dengan Al-Ghuraf.
  6. Surat Al-Ghafir, dinamakan juga dengan Al-Mu’mîn.
  7. Surat Al-Jatsiyah, dinamakan juga dengan Ad-Dahr.
  8. Surat Muhammad, dinamakan juga dengan Al-Qital.
  9. Surat Ash-Shaff, dinamakan juga dengan Al-Hawariyyun.
  10. Surat At-Tabarak, dinamakan juga dengan Al-Mulk.
  11. Surat An-Naba’, dinamakan juga dengan Surat ’Amma, At-Tasa’ul, dan Al-Mu’shirât.
  12. Surat Al-Bayyinah, dinamakan juga dengan Surat Ahlu Kitâb, Lam Yakun, dan Al-Qiyyamah. (vi)
Jumlah Ayat Al-Quran
Yang dimaksud dengan ayat adalah sekumpulan kalimat Al-Quran yang terpisah dari kalimat yang sebelum dan sesudahnya. Sebagaimana halnya susunan surat-surat dalam Al-Quran, ketentuan tentang ayat pun termasuk masalah tauqifiyyah, berdasarkan ketentuan dari Rasulullah saw. atas petunjuk dari Allah Swt. (vii)
Terkait jumlah ayat Al-Quran, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama salaf. Menurut Perhitungan ulama Kufah, seperti Abu Abdurrahman As-Salmi, Al-Quran terdiri dari 6.236 ayat. Sedangkan menurut Muhammad As-Suyuti, Al-Quran terdiri dari 6.000 ayat lebih. Al-Alusi menyebutkan bahwa jumlah ayat Al-Quran adalah 6.616 ayat. (viii)
Perbedaan ini bersumber dari perbedaan yang terjadi antara para sahabat yang mendengar dari Rasulullah saw. tentang penempatan waqf (berhenti atau titik) dan washal (koma). Sebagaimana diketahui, Rasulullah saw. biasa berhenti membaca ayat Al-Quran pada akhir ayat untuk menetapkan waqf. Apabila telah diketahui waqf-nya, beliau akan menyempurnakan bacaannya. Pada saat beliau meneruskan bacaan, sebagain sahabat menyangka bahwa di situ tidak ada waqf. Dari sinilah lahir perbedaan pendapat tersebut. (ix) Hal lain yang menyebabkan lahirnya perbedaan adalah pandangan tentang kalimat basmallâh pada awal surah dan fawatih as-suwar atau kata-kata pembuka surat, seperti Yâsîn, Alif Lâm Mîm, dan Hâ Mîm. Ada yang menggolongkan kata-kata pembuka tersebut sebagai sebuah ayat dan ada pula yang tidak. Dengan demikian, perbedaan dalam menentukan jumlah ayat Al-Quran di sini bukan karena perbedaan isi Al-Quran melainkan karena adanya perbedaan cara dalam menghitung. (x)
Pembagian Mushaf Al-Quran
Sejak zaman para sahabat, telah ada pembagian Al-Quran menjadi setengah, sepertiga, seperlima, sepertujuh, sepersembilan, dan seterusnya. Pembagian ini dilakukan untuk memudahkan proses penghapalan dan amalan sehari-hari dan tidak ditulis dalam mushaf atau di pinggir-pinggirnya. Barulah pada masa Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi diadakan penulisan di dalam atau di pinggir mushaf Al-Quran dengan ada tambahan istilah-istilah baru. Tujuannya adalah untuk memudahkan pembacaan dan penghapalan, khususnya bagi umat Islam masa-masa kemudian. (xi)
Para ulama membagi Al-Quran ke dalam 30 juz (bagian) yang sama panjang dan dalam 60 hizb (nama hizb ditulis di sebelah pinggirnya). Setiap hizb dibagi lagi menjadi empat dengan tanda-tanda ar-rub’ (seperempat), an-nisf (seperdua), dan as-salasah (tiga perempat). Pembagian dengan cara inilah yang dipakai oleh para ahli qira’at Mesir sejak 1337 Hijriyah di bawah pengawasan para ulama Al-Azhar. (xii)
Selanjutnya, Al-Quran dibagi pula ke dalam 554 ruku’, yaitu bagian yang terdiri dari beberapa ayat. Setiap satu ruku’ ditandai dengan huruf ’ain di sebelah pinggirnya. Surat yang panjang berisi beberapa ruku’, sedangkan surah yang pendek hanya berisi satu ruku’ saja. Al-Quran yang beredar di Indonesia dibagi menurut sistem pembagian seperti itu. Adapun tanda pertengahan Al-Quran (nisf Al-Qurân) terdapat dalam QS Al-Kahfi [18] ayat 19 pada lafadz walya talaththaf (hendaklah ia berlaku lemah lembut). (xiii)
Catatan Kaki:
(i)            Emsoe Abdurrahman & Apriyanto Rd., The Amazing Stories of Al-Quran: Sejarah yang Harus Dibaca (Bandung: Salamadani, 2009), hlm.17
(ii)          Ibid., hlm. 17
(iii)        Op.cit., hlm. 18
(iv)        Op.cit., hlm. 18
(v)          Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya (Bandung: Gema Risalah Press, 1992), hlm. 19.
(vi)        Ibrahim Al-Ibyarî, Pengenanalan Sejarah Al-Quran (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hlm. 54-55.
(vii)      Ibid., hlm. 45.
(viii)    Emsoe Abdurrahman & Apriyanto Rd., op.cit. hlm. 19.
(ix)        Ibrahim Al-Ibyarî, op.cit. hlm. 45.
(x)          Emsoe Abdurrahman & Apriyanto Rd., op.cit. hlm. 19.
(xi)        Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit. hlm. 20.
(xii)      Ibid. hlm. 20.
(xiii)    Ibid. hlm. 20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar