STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 12 Maret 2012

PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN MENURUT SOCRA­TES (470-399 SM)

Pada titik waktu ini dalam sejarah filsafat muncullah salah seorang pemikir besar kuno (470-399 SM) yang mana gagasan-gagasan filosofisnya dan metode pengajarannya ditunjukan untuk mempengaruhi secara mendalam dan abadi terhadap teori dan praktik pendidikan diselu­ruh dunia Barat. Socrates yang dilahirkan di Athena, is adalah putra seorang pemahat dan seorang bidan yang hanya sedikit dikenal kecuali nama mereka, yaitu Sophonicus dan Phaenarete (Smith, 1986: 19).
Adapun prinsip-prinsip dasar pendidikan menurut Socrates adalah, metode dialektis, yang digunakan oleh Socrates yang mana telah menjadi dasar teknis pendidikan yang direncanakan untuk mendorong seorang belajar untuk berpikir secara cermat, untuk menguji coba diri sendiri dan untuk memperbaiki pengetahuannya. Seseorang guru tidak memaksa wibawanya atau memaksa gagasan-gagasan atau pengetahuan kepada seorang siswa, yang mana seorang siswa dituntut untuk mengembangkan pemikirannya sendiri dengan berpikir secara kritis, ini adalah suatu metode untuk meneruskan inteleknya dan mengembangkan kebiasaan­kebiasaannya dan kekuatan mental.
Tujuan pendidikan yang benar menurut Socrates adalah untuk merangsang penalaran yang cermat dan disiplin mental yang akan menghasilkan perkembangan intelektual yang terus menerus dan standar moral yang tinggi (Smith, 1986: 25).

Dengan menggunakan metode mengajar yang dialektis ini Socra­tes menunjukkan bahwa jawaban-jawaban terbaik atas pertanyaan moral menurut pendapatnya adalah cita-cita yang diajarkan oleh para pendiri­pendiri agama, cita-cita yang melekat pada ketuhanan, cinta pada umat manusia, keadilan, keberanian, pengetahuan tentang kebaikan dan keja­hatan, hormat terhadap kebenaran, sikap yang tak berlebih-lebihan, kebaikan hati, kerendahan hati, toleransi, kejujuran, segala kebajikan­kebajikan lama. Salah satu pendirian Socrates yang terkenal bahwa kekuatan utar—i adalah pengetahuan. Jadi bagi Socrates yang terkenal, adanva pendidikan sudah membuktikan bahwa keutamaan tidak dapat diajarkan dan pendidikan tidak mungkin dijalankan.
Seruan alternatif Socrates ditujukan pada kemampuan manusia untuk berpikir menertibkan, meningkatkan dan mengubah dirinya. Pengetahuan, la menyatakan adalah kebajikan; orang yang sekedar tidak berpura-pura saja terhadap cita-cita teoritis, tetapi sungguh-sungguh mengetahui dan mengerti apa yang benar, karena ia telah mengalami dan menyadari konsekuensi-konsekuensi akan berbuat apa yang benar.
Cara mengajar Socrates pada dasarnya disebut dialekta, yang disc­babkan dalam pengajaran itu dialog memegang peranan penting (Hadiwijono, 1980: 36).
Socrates tidak seperti Plato, ia tidak membangun suatu sistem filsafat yang luas, tidak pernah menggali secara mendalam bidang psi­kologi, emosi, motivasi, kebiasaan dan aspek-aspek dari proses pengetahuan tersebut. Namun demikian la telah membuat suatu permu­laan yang besar dalam membangun konsepsi-konsepsi dan metode-metode yang lebih luas, lebih sungguh-sungguh dan lebih efek­tif. Dalam pendidikan Socrates mengemukakan sistem atau cara berpikir yang bersifat induksi, yaitu menyimpan pengetahuan yang bersifat umum dengan berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal khusus.
PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN MENURUT PLATO (427-347 SM)
Plato adalah murid Socrates yang paling terkemuka yang sepenuh­nya menyerap ajaran-ajaran pendidikan besar itu, kemudian mengembangkan sistem filsafatnya sendiri secara lengkap. la mendiri­kan sebuah akademi, suatu pusat untuk studi.
Plato, dilahirkan dalam keluarga Aristokrasi yang kaya (mungkin di Athena disekitar tahun 427 SM).
Plato kehilangan ayahnya Ariston, mengaku keturunan dari Codus yang pernah berkuasa abad ke-7 SM sebagai raja terakhir dari Athena. Ibu Plato Perictions adalah keturunan keluarga Solon, seorang pembuat undang-undang, penyair, memimpin militer dari kaum ningrat dan pendiri dari demokrasi Athena terkemuka (Smith, 1986: 29).
Bagi Plato, Pendidikan itu adalah suatu bangsa dengan tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan negara dan perorangan, pendi­dikan itu memberikan kesempatan kepadanya untuk penampilan kesanggupan diri pribadinya. Bagi negara, dia bertanggung jawab untuk memberikan perkembangan kepada warga negaranya, dapat berlatih, terdidik dan merasakan bahagia dalam menjalankan peranannya buat melaksanakan kehidupan kemasyarakatan (Ali, 1993: 60).
Menurut Plato di dalam negara idealnya pendidikan memperoleh tempat yang paling utama dan mendapat perhatian yang paling khusus bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah tugas dan panggilan yang sangat mulia yang harus diselenggarakan oleh negara. Pendidikan itu sebenarnya merupakan suatu tindakan pembebasan dari belengggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang-orang akan mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang akan mengenal apa yang balk dan apa yang jahat, dan juga akan menyadari apa patut dan apa yang tidak patut, dan yang paling dominan dari semua itu adalah bahwa pendidikan mereka akan lahir kembali (they shall be born again) (Raper, 1988: 110).
Dengan demikian jelaslah pula bahwa peranan pendidikan yang paling utama bagi manusia adalah membebaskan dan memperbaharui. Pembebasan dan pembaharuan itu akan membentuk manusia utuh, yakni manusia yang berhasil menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa mengantarnya ke idea yang tinggi yaitu kebajikan, kebaikan dan kea­dilan. Cita-cita Plato yang paling agung terus digenggamnya sampai akhir hayatnya.
Tujuan pendidikan menurut Plato adalah untuk menemukan ke­mampuan-kemampuan ilmiah setiap individu dan melatihnya sehingga ia akan menjadi seorang warga negara yang balk, dalam suatu masyarakat yang harmonis, melaksanakan tugas-tugasnya secara efisien sebagai seorang anggota kelasnya. Plato juga menekankan perlunya pendidikan direncanakan dan diprogramkan sebaik-haiknya agar mampu mencapai sasaran yang diidamkan. Dengan kata lain pendidikan yang baik haruslah direncanakan dan diprogramkan dengan baik agar dapat berhasil dengan baik untuk menunjang rencana propaganda dan sensor.
Propaganda perlu untuk menanamkan program pendidikan itu, pemerin­tah harus mengadakan motivasi, semangat loyalitas, kebersamaan dan kesatuan cinta akan kebaikan dan keadilan.
Adapun hal yang terlewatkan oleh Plato dalam bidang pendidikan adalah mengenai pendidikan dasar dan pendidi­kan untuk kelas penghasil yang satu-satunya kelas dalam golongan karya yang sebenarnya merupakan golongan terbesar dalam negara. Menurut Plato pendidikan direncanakan dan diprogram menjadi tiga tahap dengan tingkat usia, tahap pertama adalah pendidikan yang diberikan kepada taruna hingga sampai dua puluh tahun; dan tahap kedua, dari usia dua puluh tahun sampai tiga puluh tahun; sedangkan tahap ketiga, dari tiga puluh tahun sampai usia empat puluh tahun.
PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN MENURUT ARIS­TOTELES (367-345 SM)
Aristoteles adalah murid Plato. Dia adalah seorang cendekiawan dan intelek terkemuka, mungkin sepanjang masa. Umat manusia telah berhutang budi padanya karena banyaknya kemajuan dalam filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan, khususnya Logika, Metafisika, Politik, Ethika, Biologi dan Psikologi. Aristoteles dilahirkan dalam tahun 394 SM di Stagira sebuah kota kecil di semenanjung Chalcidice yang menonjol disebelah barat Laut Egea. Ayahnya, Nichomachus yang sebagai dokter merawat Amyntas II, raja Macedonia, mengatur agar Aristoteles menerima pendidikan yang lengkap pada awal mass kanak-kanak dan mungkin kemudian mengajar dalam pengamatan gejala-gejala penyakit dan teknik-teknik pembedahan. Balk ayah maupun ibunya, Phaesta, mempunyai nenek moyang terkemuka.
Menurut Aristoteles, agar orang dapat hidup baik, maka ia harus mendapatkan pendidikan. Pendidikan bukanlah soal akal semata-mata, akan tetapi soal memberi bimbingan kepada perasaan-perasaan yang lebih tinggi, supaya mengarah dirt kepada akal, sehingga dapat dipakai akal guna mengatur nafsu-nafsu. Akal sendiri tidak berdaya, ia memer­lukan dukungan-dukungan perasaan yang lebih tinggi yang diberikan arch yang benar. Aristoteles mengemukakan bahwa pendidikan yang baik adalah yang mempunyai tujuan untuk kebahagiaan. Kebahagiaan tertinggi adalah hidup spekulatif (Barnadib, 1994: 72).
Aristoteles juga menganggap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan rendah, sebagaimans pada tingkat pendidikan usia muda itu perlu ditanamkan kesadaran aturan-aturan moral. Menurut Aristoteles untuk memperoleh pengetahuan manusia harus lebih dari binatang-binatang lain berdasarkan kekuatannya untuk berpikir, harus mengamati dan secara hati-hati menganalisa struktur-struktur, fungsi-­fungsi organisms itu, dan segala yang ada dalam alam. Oleh karena itu prinsip pokok pendidikan menurut Aristoteles adalah pengumpulan serta penelitian fakta-fakta suatu belajar induktif, 'suatu pencarian yang obyektif akan kebenaran sebagai dasar dari semua ilmu pengetahuan. Ariestoteles berkata bahwa sebaiknya memberikan pendidikan yang baik bagi semua anak-anak. Sparta mempunyai suatu sistem sekolah negeri yang wajib bagi putera-puterinya, bagi semua warga negara, tetapi sistem tersebut terdiri dari pendidikan fisik dan latihan militer.
Dalam rangka yang lebih tinggi, ia nampak setuju dengan Plato tentang nilai-nilai Matematika, Fisika, Astronomi, dan Filsafat. la me­nyatakan bahwa putra-putri semua warga negara sebaiknya diajar sesuai dengan kemampuan mereka, sesuatu pandangan mereka yang sama de­ngan doktrin Plato tentang keberadaan individual. Disiplin merupakan pal yang essensial untuk mengajarkan para pemuda dan kaum laki-laki muda untuk mematuhi perintah-perintah dan mengendalikan gerakan hati mereka.
REFERENSI
Barnadib. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: IKIP, 1994
Smith, S. Gagasan Tokoh-tokoh Bidang Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara, 1986.
Rapar, J.H. Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta: Rajawali, 1988
Jalaludin & Abdullah. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gama Pratama, 1997.
Ali Saifullah. Antara Filsafat dan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar