BAB I
PENDAHULUAN
Kesemarakan  dan kegairahan kepada tema postmodernisme ini bukanlah tanpa alasan.  Sebagai sebuah pemikiran, postmodernisme pada awalnya lahir sebagai  reaksi kritis dan reflektif terhadap paradigma modernisme yang dipandang  gagal menuntaskan proyek Pencerahan dan menyebabkan munculnya berbagai  patologi modernitas. Pauline M. Rosenau, dalam kajiannya mengenai  postmodernisme dan ilmu-ilmu sosial, mencatat setidaknya lima alasan  penting gugatan postmodernisme terhadap modernisme.
Pertama,  modernisme dipandang gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa  depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan oleh para  pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu  melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas  keilmuan demi kepentingan kekuasaan. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat,  ada semacam keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan  segala persoalan yang dihadapi manusia. Namun ternyata keyakinan ini  keliru dengan munculnya berbagai patologi sosial. Kelima,  ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan  metafisis manusia karena terlalu menekankan atribut fisik individu.
Dengan  latar belakang demikian, modernisme mulai kehilangan landasan  praksisnya untuk memenuhi janji-janji emansipatoris yang dahulu lantang  disuarakannya. Modernisme yang dulu diagung-agungkan sebagai pembebas  manusia dari belenggu mitos dan berhala kebudayaan abad pertengahan yang  menindas, kini terbukti justru membelenggu manusia dengan mitos-mitos dan berhala-berhala baru yang bahkan lebih menindas dan memperbudak.1
            Dalam makalah ini akan membahas mengenai Postmodernisme. Memperjelas mengenai apa-apa yang mengenai Postmoderisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Postmoderenisme
Ada  banyak ragam terminologi dan makna istilah postmodern, tergantung pada  wilayah pendekatan yang berbeda. Di satu sisi, istilah “Postmodern”tidak  diciptakan sebagai sesuatu yang baru dalam rangka filsafat. Sebelumnya  istilah ini sudah cukup lama dipakai dalam bidang kesenian khususnya  arsitektur dan kesusastraan, terutama Amerika Serikat. Bahkan seorang  filosof Jerman, Rudofl Panwitz(1917), telah menggunakan istilah  postmodern yang secara kritis digunakan untuk menangkap adanya gejala  nihilisme kebudayaan Baran modern.[1] 
Istilah  Postmiodernisme” bisa menunjuk pada berbagai arti yang berbeda, bisa  berarti: Aliran pemikiran filsafati, pembabakan sejarah(erat terkait  pada pergeseran paradigma), ataupun sikap dasar/ etos tertentu.  Masing-masing membawa konskuensi logis yang berbeda, meskipun bisa  saling berkaitan juga. Apabila yang dimaksudkan adalah aliran filsafat,  maka ia menunjuk terutama  pada  gagasan-gagasan J.F.Lyotard, yang paling eksplisit menggunakan istilah  itu. Dan apabila yang dimaksud adalah babakan sejarah baru yang  meninggalkan kerangka berpikir modern(“post”modern), maka mereka yang  paling sibuk memetakannya adalah Charles Jeneks, Andreas Huysen, David  Harvey,dll[2].
B.     Kelahiran Postmodernisme 
Istilah Postmedernisme  muncul untuk pertama kalinya di wiliyah seni. Menurut Hassan dan Jenck  istilah ini pertama-tama dipakai oleh Federico de Onis pada tahun  1930-an dalam karyanya, Antologi de la poesia Espanola a Hispanoamerican,  untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernism. Kemudian  dibidang historiografi oleh Toyn bee dalam a Study of History(1947).  Disini istilah itu merupakan kategori yang menjelaskan siklus sejarah  baru yang dimulai sejak tahun 1875 dengan berakhirnya dominasi barat,  surutnya individualisme, kapitalisme dan kristianitas, serta kebangkitan  kekuatan budaya non barat.[3] 
ahir  di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore. Ketika pertama  kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis di anggap sebagai  lambang arsitektur modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai  gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan  masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia. Tetapi para penghuninya  menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak  dana untuk merenovasi bangunan tersebut. Akhirnya, setelah menghabiskan  jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari di bulan Juli 1972,  bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks, yang  dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling berpengaruh, peristiwa  peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran postmodernisme.  Disinggung pula di sana tentang pluralism dan kebudayaan dunia, hal-hal  yang masih essensial dalam pengertian tentang postmodernisme kini.2  Kemudian pada tahun 1970-an, Hassan memproklamirkan diri sebagai  pembicara postmodernisme dan ia menerapkan label ini pada eksperimentasi  seni dan kecenderungan pada ultra-teknologi dalam arsitektur.
Istilah  itu kemudian menjadi lebih popular manakala digunakan oleh para  seniman, penulis dan kritikus seperti Sontag dan Borroughs untuk  menunjukkan sebuah gerakan yang menolak modernisme yang berhenti pada  birokrasi museum dan akademi.
C.     Perkembangan Postmodernisme
Jean  Francois Lyotard adalah filsuf kelahiran Versailles Perancis yang mulai  meletakkan dasar argumentasi filosofis dalam diskursus postmodernisme.  Lyotard mencatat beberapa ciri utama kebudayaan postmodern. Menurutnya,  kebudayaan postmodern ditandai oleh beberapa prinsip yakni: lahirnya  masyarakat komputerisasi, runtuhnya narasi-narasi besar modernisme,  lahirnya prinsip delegitimasi, disensus, serta paralogi. Masyarakat  komputerisasi adalah sebutan yang diberikan Lyotard untuk menunjuk  gejala post-industrial masyarakat Barat menuju the information  technology era. Realitas sosial budaya masyarakat dewasa ini  seperti yang ditelitinya secara seksama di Quebec Kanada  adalah  masyarakat yang hidup dengan ditopang oleh sarana teknologi informasi,  terutama komputer. Dengan komputerisasi, prinsip-prinsip produksi,  konsumsi dan transformasi mengalami revolusi radikal. Penggunaan tenaga  manusia yang semakin terbatas dalam sektor ekonomi, pelipatan ruang  dalam dunia telekomunikasi, percepatan pengolahan data dan informasi  yang mampu mengubah bahkan memanipulasi realitas, penyebaran pengetahuan  dan kekuasaan secara massif, adalah beberapa konsekuensi perkembangan  teknologi (Sarup, 1989: 118). Dalam masyarakat komputerisasi seperti  ini, nilai-nilai serta asumsi dasar modernisme: rasio, hukum sejarah  linear, subjek, ego, narasi besar, otonomi, identitas  tidak  lagi mampu menggambarkan realitas. Bahkan, realitas telah berubah  sesuai dengan perubahan karakter masyarakat postmodernisme. Realitas  masyarakat seperti inilah yang menjadi wadah, arena perjuangan,  nilai-nilai baru postmodernisme. Lebih jauh Lyotard menyatakan  prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut,  totalitas, teleologi, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear  yang disebutnya Grand Narrative  telah  kehilangan legitimasi . Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak  ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis,  eksploitatif, dominatif dan semu. 3 
Menurut Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam , terdapat delapan ciri karakter sosiologis postmodernisme. Pertama,  timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas,  memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden dan semakin  diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran. Kedua,  meledaknya industri media massa, sehingga ia seolah merupakan  perpanjangan dari system indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi ini  pada gilirannya menjadikan dunia dan ruang realitas kehidupan terasa  menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi  Agama dan Tuhan baru yang menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku  manusia. Ketiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan.  Fenomena ini muncul sebagai reaksi manakala orang semakin meragukan  kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat modern yang dinilai gagal  memenuhi janji emansipatoris untuk membebaskan manusia dan menciptakan  kehidupan yang lebih baik. Keempat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisme dengan masa lampau. Kelima,  semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban area) sebagai pusat  kebudayaan dan sebaliknya, wilayah pedesaan (rural area) sebagai daerah  pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju  (Negara Dunia Pertama) atas negara berkembang (Negara Dunia Ketiga). Keenam,  semakin terbukanya peluang bagi pelbagai kelas sosial atau kelompok  minoritas untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas dan terbuka.  Dengan kata lain, era postmodernisme telah turut mendorong proses  demokratisasi. Ketujuh, munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya  ekletisisme dan pencampuradukan berbagai diskursus, nilai, keyakinan dan  potret serpihan realitas, sehingga sekarang sulit untuk menempatkan  suatu objek budaya secara ketat pada kelompok budaya tertentu secara  eksklusif. Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam diskursus  postmodernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki kejelasan  makna dan konsistensi, sehingga bersifat paradoks.4
Dari arah berbeda, Baudrillard menyatakan  kebudayaan postmodern  memiliki  beberapa ciri menonjol. Pertama, kebudayaan postmodern adalah  kebudayaan uang, excremental culture. Uang mendapatkan peran yang sangat  penting dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa-masa  sebelumnya, fungsi dan makna uang dalam budaya postmodern tidaklah  sekedar sebagai alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol,  tanda dan motif utama berlangsungnya kebudayaan. Kedua, kebudayaan  postmodern lebih mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda  (signified), media (medium) ketimbang pesan (message), fiksi (fiction)  ketimbang fakta (fact), sistem tanda (system of signs) ketimbang sistem  objek (system of objects), serta estetika (aesthetic) ketimbang etika  (ethic). Ketiga, kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi,  yakni dunia yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta  melalui produksi maupun reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin  kelindan. Keempat, sebagai konsekuensi logis karakter simulasi, budaya  postmodern ditandai dengan sifat hiperrealitas, dimana citra dan fakta  bertubrukan dalam satu ruang kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi  realitas semu (citra) mengalahkan realitas yang sesungguhnya (fakta).  Kelima, kebudayaan postmodern ditandai dengan meledaknya budaya massa,  budaya populer serta budaya media massa. Kapitalisme lanjut yang  bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan teknologi, telah  memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai institusi  kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan parlemen.5
Pauline  M. Rosenau, dalam bukunya Postmodernism and Social Sciences, membedakan  postmodernisme menjadi dua bentuk. Pertama, postmodernisme sebagai  paradigma pemikiran. Sebagai paradigma pemikiran, postmodernisme  meliputi tiga aspek ontologi, epistemologi serta aksiologi. Ketiga aspek  dasar ini menjadi kerangka berpikir dan bertindak penganut  postmodernisme bentuk pertama  Kedua,  postmodernisme sebagai metode analisis kebudayaan. Dalam konteks ini,  prinsip dan pemikiran postmodernisme digunakan sebagai lensa membaca  realitas social budaya masyarakat kontemporer  6
Dari  arah yang agak berbeda, Frederic Jameson menyatakan bahwa  postmodernisme tak lain adalah konsekuensi logis perkembangan  kapitalisme lanjut. Melalui tulisannya Postmodernism or The Cultural  Logic of Late Capitalism, Jameson meyakinkan resiko tak terelakkan dari  dominasi kapitalisme lanjut yang telah menyempurnakan dirinya, yakni  kapitalisme yang telah berubah watak karena telah banyak belajar dari  berbagai rongrongan dan kritik. Kapitalisme yang titik beratnya bergeser  dari industri manufaktur ke industri jasa dan informasi. Kapitalisme  yang, demi kepentingan jangka panjang, secara cerdas mengakomodasikan  tuntutan serikat pekerja, kelangsungan hidup lingkungan, dan daya  kreatif/kritis konsumen. Kapitalisme yang mengintegrasikan banyak unsur  sosialisme ke dalam dirinya. Kapitalisme yang bekerja dengan prinsip  desentralisasi dan deregulasi karena sistem terpusat tak sigap  menghadapi perubahan cepat. Kapitalisme yang tidak menawarkan  keseragaman gaya/citra kultural karena pasar dan tenaga kerja telah  mengalami diversifikasi begitu jauh.7
D.    Postmodernisme Merayakan Keanekaragaman
Ciri  utama budaya postmodern adalah pluralisme. Untuk merayakan pluralisme  ini, para seniman postmodern mencampurkan berbagai komponen yang saling  bertentangan menjadi sebuah karya seni. Teknik seni yang demikian bukan  hanya merayakan pluralisme, tetapi merupakan reaksi penolakan terhadap  dominasi rasio melalui cara yang ironis. Buah karya postmodernisme  selalu ambigu (mengandung dua makna). Kalaupun para seniman ini  menggunakan sedikit gaya modern, tujuannya adalah menolak atau mencemooh  sisi-sisi tertentu dari modernisme. 
Post-modernisme  adalah campuran antara macam-macam tradisi dan masa lalu.  Post-Modernisme adalah kelanjutan dari modernisme, sekaligus melampaui  modernisme. Ciri khas karya-karyanya adalah makna ganda, ironi,  banyaknya pilihan, konflik, dan terpecahnya berbagai tradisi, karena  heterogenitas sangat memadai bagi pluralisme.
            Seniman-seniman  postmodern sangat berpengaruh bagi budaya Barat masa kini. Pencampuran  gaya, dengan penekanan kepada keanekaragaman, dan penolakan kepada  rasionalitas menjadi ciri khas masyarakat kita. Ini semakin terbukti  dalam banyak ekspresi kebudayaan lainnya. 8
E.     Perbedaan modern dengan postmodern
Pergeseran  dari modern ke posmodernisme memang bukan lah revolusi yang tiba-tiba,  tetapi lebih merupakan sebuah proses yang berlangsung dalam rentang  waktu tertentu. Ketidak puasan terhadap hasil era modern tidak terlalu  menonjol sampai munculnya ancaman bagi umat manusia yang jelas diketahui  bersama, misalnya perang nuklir. Sejak itulah modernitas lebih dianggap  menghsdilksn kecemasan daripada kesejahteraan. Dengan demikian,  modernism jelas bukanlah sebuah idealisme yang dapat diterima secara  utuh. Pemikiranpun bergeser kea rah yang di anggap lebih baik, dan  disinilah postmodernisme mengambil peran utama. 
Postmodernisme  secara umum dapat berarti sensibilitas budaya tanpa nilai absolut. Hal  ini kemudian membuat jalan bagi pluralism dan keragaman pemikiran. Pada  intinya, postmodern, sebagaimana berulangkali dikemukakan oleh Grenz,  merupakan reaksi menentang totalisasi pencerahan. Pada saat moderenisme  berada pada titik “krisis identitas” ketika peradapan dengan banyak  masalah, postmodern seakan memberikan  sebuah  studi pandang yang lebih realistis. Masyarakat yang sudah lelah dan  putus asa pun segera berpaling untuk mendapatkan “rekreasi” dari tekanan  dan kefrustasian yang ditimbulkan oleh modernitas. Dari sini, kita  dapat segera menyimpulkan bahwa memang modernism dan postmodernisme  menawarkan perbedaan yang berarti. 
F. Implikasi Pergeseran Modernisme ke Postmodernisme Pada Kekristenan
Tanpa  nilai absolut yang menjadi satu standar acuan tertentu dalam segala  hal, postmodernisme memberikan kebebasan yang tidak pernah ada  sebelumnya dalam sejarah dunia. Kebebasan yang seperti ini mau tidak mau  jelas telah membuka jalan bagi relativisme dan pluralisme. Pluralisme  dalam aspek keagamaan telah menciptakan sebuah “warna” baru lagi bagi  posisi kekristenan dalam dunia. Jika di era modern kekristenan mendapat  tekanan yang hebat dari kaum rasionalis Pencerahan, sebaliknya dalam era  postmodern, kita mendapatkan “pengakuan.” Namun pengakuan yang  diberikan ini pun memiliki nada tuntutan agar kekristenan pun dapat  mengakui “kebenaran” yang lain. Demikianlah kekristenan mendapat tekanan  untuk dapat pula menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Dalam  hal ini, dari kelompok Kristen sendiri muncul tiga pendekatan yang  berbeda. Ada yang berusaha mengakomodasi filsafat postmodern ke dalam  iman Kristen, yang jelas mengarah pada penerimaan pluralisme agama  (contoh, David Tracy); ada yang mencari jalan tengah dengan metode  sintesis (contoh, George Lindbeck dan Stanley Grenz); dan ada pula yang  secara ekstrem menolak postmodernisme (contoh, Carl Henry).[17]
Bagian  Teologi Kristen yang paling segera harus mengalami penyesuaian adalah  apologetika—usaha untuk mempertahankan dan memberitakan klaim kebenaran  bagi dunia.[18] Secara apologetik, kekristenan harus dapat memberikan  jawaban atas pertanyaan mengapa kebenaran kekristenan harus ditanggapi  dengan serius di tengah adanya begitu banyak alternatif. Di dunia  postmodern, tidak seorang pun dapat mengklaim memiliki kebenaran yang  paling benar. Semua kebenaran masing-masing pribadi adalah kebenaran  yang sah. Tidak seorang pun memiliki hak untuk memaksakan kebenarannya  pada orang lain. Tidak ada standar lagi untuk menentukan benar atau  salah; satu-satunya standar adalah diri sendiri. Di sinilah tantangan  terberat bagi kekristenan untuk tetap berdiri teguh dan mengerjakan  pemberitaan Injil sebagaimana yang Tuhan Yesus perintahkan. 
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Postmodernisme  merupakan sebuah ikhtiar yang tidak pernah berhenti untuk mencari  kebenaran, eksperimentasi dan revolusi kehidupan secara terus-menerus.  Postmodernisme adalah sebuah gerakan global renaissance atas  renaissance, pencerahan atas pencerahan. Dalam perspektif yang demikian,  Postmodernisme diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap segala  bentuk narasi besar, penolakan filsafat metasentris, filsafat sejarah  dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi, seperti Hegelianisme,  Liberalisme, Marxisme atau apa pun.
            Postmodernisme  pertama kali muncul dalam wilayah seni, kemudian berkembang dalam  segala bidang seperti halnya di bidang historiografi, bidang arsitektur,  di bidang sosial ekonomi dan masih banyak lagi bidang-bidang yang lain.  Sampai istilah postmodernisme dilembagakan dalam konstelasi pemikiran  kefilsafatan oleh Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report On Knowledge.  
            Ketidakpuasan  terhadap hasil era modern tiidak terlalu menonjol sampai munculnya  ancaman bagi umat manusia yang jelas diketuhui bersama. Sejak itulah  modernitas  dianggap lebih  menghasilkan kecemasan dari pada kesejahteraan. Dengan demikian,  modernisme jelas bukanlah sebuah idealism yang dapat diterima secara  utuh. Pemikiran pun bergesr ke arah yang dianggap lebih baik, dan di  sinilah postmodernisme mengambil peran utamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed,Akbar, Postmodernism and islam, (New York: Routledge,1992)
Sugiarto,Bambang,Foucault dan Postmodernisme, Makalah tidak diterbitkan, 2011
Baudrillard, Symbolic Exchange and Death, makalah tidak diterbitkan, 1993
Frederic Jameson, Postmodenism or The Cultural Logic of Late Capitalism, 1989
Harianto,GP, Postmodernisme dan Konsep Kekristenan, Jurnal Pelita Zaman.vol.1 nomor 15,2001
Jean Baudrillird, Kelahiran Postmodern, makalah tidak diterbitkan, 2011
Muzairi, Filsafat Umum,(Yogyakarta: Teras, 2009) 
Paulina M.Rosenau, Postmodernism and social Science,makalah tidak diterbitkan, 1992
Santoso,Listiyanto dkk,Epistimologi kiri(Jogjakarta; Teras, 2009)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar