Beberapa bulan yang lalu
muncul wacana tentang amandemen Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 sebagai sebuah upaya perlindungan terhadap hak perempuan dan anak.
Munculnya wacana ini dipicu oleh adanya realitas bahwa UU tersebut belum
bisa mengakomodir pelbagai kepentingan dan hak perempuan dan anak yang
selama ini lingkupnya masih terbatas.[1]
Selain memunculkan eksploitasi terhadap perempuan, UU yang tidak
responsif terhadap kepentingan perempuan dan anak ini juga memunculkan
fenomena kekerasan terhadap anak, baik di lingkungan keluarga maupun di
lingkungan sosial yang lebih luas, seperti banyaknya anak-anak di bawah
umur yang dieksploitasi di lingkungan kerja.
Bagaimana mendidik anak dan menciptakan
lingkungan yang kondusif dalam upaya pengembangan pribadi dan karakter
anak, sebenarnya sudah dijelaskan secara komprehensif dalam Islam. Dalam
Islam, hak-hak anak dan upaya perlindungan terhadap anak benar-benar
dijaga dan dihormati. Semuanya berpangkal pada satu orientasi untuk
menyiapkan generasi berkualitas dari segi moral, intelektual, dan
spiritual. Buku Menjadi Orangtua Bijak, Solusi Kreatif Menangani Pelbagai Masalah Pada Anak karya
Abdul Mustaqim mencoba menawarkan konsep pendidikan anak dalam
perspektif Islam. Penulis buku ini mengharapkan akan muncul orangtua
kreatif dan bijak dalam keluarga, sehingga pendidikan dan hak anak akan
terjaga dan terealisasi dengan baik. Karena dari keluargalah pembentukan
peradaban sebenarnya dimulai.[2]
Pendidikan Anak: Perspektif al-Qur’an dan al-Sunnah
Secara tegas al-Qur’an menyatakan, bahwa keturunan merupakan bagian dari kelanjutan misi kekhalifahan di muka bumi.[3]
Artinya, kelangsungan peradaban bumi ini akan tergantung pada keturunan
yang menjadi pewaris generasi sebelumnya. Jika mereka memiliki kualitas
yang baik, tentu kehidupan di muka bumi ini akan berlanjut secara
simultan. Sebaliknya jika diserahkan kepada generasi yang tidak
bertanggungjawab, maka muka bumi ini akan diwarnai keangkaramurkaan dan
kehancuran. Di sainilah urgensi pendidikan anak (tarbiyyah al-aulâd) dalam
Islam. Dengan pendidikan yang baik dan bekesinambungan, anak-anak
sebagai generasi penerus dan pewaris kehidupan di muka bumi ini akan
menjadi manusia yang baik dan berorientasi kepada kemaslahatan.[4]
Berkaitan dengan pendidikan anak (tarbiyyah al-aulâd),
anak memiliki dua sisi yang saling berlawanan. Satu sisi anak adalah
amanah Allah yang dititipkan kepada orangtua. Di sisi lain anak
merupakan fitnah bagi kehidupan orangtua secara khusus dan masyarakat
serta lingkungan secara umum.[5]
Karena anak merupakan amanah Allah yang akan ditanyakan
pertanggungjawabannya, maka menjadi kewajiban orangtua untuk mendidiknya
dengan baik agar menjadi generasi yang berkualitas. Jika amanah ini
disia-siakan, tentulah kehancuran peradaban akan segera terjadi.[6] Kalau sudah seperti ini, fungsi anak sebagai amanah yang akan melanjutkan kelangsungan peradaban berubah menjadi fitnah.
Lantas bagaimana bentuk pendidikan yang
baik untuk anak agar ia menjadi generasi penerus yang siap memakmurkan
bumi dan melanjutkan peradaban? Dalam hal ini, al-Qur’an dan al-Hadits
banyak menawarkan konsep. Pertama, Islam, melalui al-Qur’an dan
al-Hadts menawarkan metode pendidikan anak yang demokratis, penuh
dengan sikap lembut dan kasih sayang, tanpa melupakan ketegasan dan
kewibawaan.[7] Hal ini seperti dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as. ketika beliau diperintahkan menyembelih putranya, Ismail as.[8]
Dalam peristiwa ini, Nabi Ibrahim dengan sikap demokratisnya
bermusyawarah dengan Ismail untuk meminta pendapatnya. Akhirnya, dengan
jiwa besar, Ismail rela berkorban demi mematuhi perintah Allah swt.
Tetapi, ketabahan dan kepatuhan dua hamba Allah ini diganti dengan
balasan pahala yang sangat besar.
Kedua, memulai dari memilih pasangan yang baik.[9]
Generasi berkualitas hanya berasal dari benih yang bagus dan terjaga.
Sehingga memilih pasangan yang memiliki kualitas keimanan dan ketakwaan
kepada Allah menjadi sangat penting.[10] Karena warna pendidikan anak akan sangat bergantung pada komitmen agama kedua orangtuanya.
Ketiga, memperhatikan
tahap-tahap pendidikan anak. Islam sangat jeli dalam mengkonsep
pendidikan anak. Di antara tahap-tahap pendidikan anak itu antara lain:
tahap pranatal (sebelum bayi lahir), tahap kelahiran bayi, tahap
anak-anak, dan tahap remaja.[11]
Keempat, memperhatikan sifat
pendidik, dalam hal ini orangtua. Karena proses pendidikan anak
melibatkan tiga faktor utama: anak sebagai peserta didik, orangtua atau
guru sebagai pendidik, dan lingkungan sebagai tempat pendidikan. Di
antara sifat yang harus dimiliki orangtua dalam mendidik anak-anaknya
adalah sabar, lemah lembut, penyayang, luwes, moderat, dan mengendalikan
emosi.[12]
Empat konsep dasar inilah yang menjadi
pilar utama pendidikan anak dalam Islam. Dengan memperhatikan keempat
poin utama di atas, orangtua akan melahirkan generasi berkualitas dan
bertanggungjawab yang akan meneruskan kelangsungan peradaban ini.
Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak
Baik-buruknya peribadi dan perilaku anak
sangat bergantung kepada orangtua. Hal ini seperti ditegaskan Rasulullah
saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
Setiap anak lahir dalam keadaan suci, orang tuanya-lah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, maupun Majusi.
Maka peranan orangtua dalam pendidikan
anak menjadi sangat urgen. Karena hal ini bersangkutan dengan masa depan
anak dan masa depan peradaban.
Dalam mendidik anak ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan orangtua. Pertama, sikap kasih sayang.[13]
Sikap ini penting untuk diterapkan orangtua dalam mendidik anak, karena
dengan sikap ini akan melahirkan suasana damai dalam upaya pembangunan
mental anak. Tetapi orangtua harus membedakan sikap kasih sayang dengan
sikap memanjakan. Terkadang orangtua menganggap bahwa menyayangi anak
adalah dengan memanjakannya. Justru dengan memanjakan anak, akan
melahirkan mental lembek dan sikap tidak mandiri pada anak.
Kedua, sikap bijak.[14]
Selain ditentukan oleh faktor kasih sayang dalam keluarga, keberhasilan
proses pendidikan anak juga sangat ditentukan oleh sikap bijak orangtua
dalam mendidik anak. Hal ini pernah dicontohkan Rasulullah saw. ketika
beliau mendidik generasi sahabat dengan sikap bijaksana yang tertuang
dalam nilai-nilai keteladanan, keadilan, kejujuran, dan tanggungjawab.
Sehingga melahirkan sahabat-sahabat yang mewarnai peradaban dengan
kejayaan dan kegemilangan.
Ketiga, komunikasi efektif di tengah lingkungan keluarga.[15]
Komunikasi dalam keluarga, yang dibangun di atas landasan kasih sayang,
menjadi penting dalam mendidik anak, karena ia merupakan sarana
pewarisan nilai-nilai moral dari orangtua kepada anak. Terkadang
orangtua tidak memiliki waktu dan sarana untuk melakukan komunikasi
dengan anak karena kesibukan kerja. Padahal di sinilah pintu kegagalan
dalam mendidik anak.
Keempat, menciptakan keluarga yang harmonis.[16]
Poin ini menjadi sangat urgen, karena dari lingkungan keluarga
harmonislah anak yang bermental positif akan lahir. Sedangkan anak yang
dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis akan menderita gangguan
perkembangan kepribadian.
Keempat faktor utama ini merupakan
tanggungjawab orangtua dalam upaya pengimplementasiannya. Sehingga peran
utama orangtua dalam mewujudkan keempat faktor di atas dalam kehidupan
rumah tangga merupakan pintu gerbang untuk mewujudkan pendidikan anak
yang baik, sebagai titik awal menciptakan generasi berkualitas.
Kiat Praktis Mendidik Anak
Setelah menjelaskan beberapa poin utama
sebagai landasan moral dalam mendidik anak, penulis buku ini mencoba
menawarkan beberapa langkah praktis dalam mendidik anak. Upaya yang
dilakukan penulis buku ini bertumpu pada al-Qur’an dan al-Hadits sebagai
landasan utama.
Pertama, mengembangkan perilaku moralitas pada anak.[17] Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan akhlak”.[18]
Urgensi peran orangtua dalam mengembangkan moralitas pada anak terletak
pada upaya menjaga kesucian fitrah anak. Karena anak dilahirkan dalam
kondisi fitrah. Artinya nilai-nilai moral sudah ada pada anak sejak
lahir. Orangtuanya-lah yang berperan menjaga dan mengembangkannya. Dalam
upaya pengejawantahan perannya ini, orangtua dituntunt untuk mampu
menciptakan suasana kasih sayang dalam keluarga, menjadi teladan yang
baik (Uswah Hasanah), dan menerapkan sikap disiplin serta empati.
Kedua, memahami bakat dan mengembangkan kreativitas anak.[19]
Hal ini dicontohkan Rasulullah saw. dengan memerintahkan kepada
orangtua agar sejak kecil, anak dilatih dan diajarkan memanah, menjahit,
berenang, dan sebagainya. Selain itu, orangtua juga diperintahkan untuk
mengembangkan kreativitas anak. Karena dengan sikap kreatif ini,
kecenderungan transfer pengetahuan (transfer of knowledge) akan bisa dikikis. Sehingga akan muncul inovasi-inovasi dari anak sebagai generasi penerus.
Ketiga, mengajarkan sikap kemandirian.[20]
Hal ini menjadi penting dalam upaya pendidikan anak yang baik, karena
menurut ahli hikmah jika anak dididik dalam kemanjaan ia akan menjadi
manusia yang mementingkan diri sendiri (egois). Sikap mandiri bisa
dipupuk dengan cara tidak selalu memberikan apa yang diinginkan anak.
Karena Islam melarang orangtua untuk memberikan kasih sayang yang
berlebihan kepada anak.
Keempat, mengajarkan kedisiplinan.[21]
Sikap ini menjadi sangat penting, karena akan membentuk kematangan
mental dan keteguhan jiwa. Dengan kedua sikap ini, anak akan dengan
tekun dan sabar dalam mencapai cita-cita masa depannya.
Selain beberapa langkah praktis dalam
mendidik anak seperti disebutkan di atas, Abdul Mustaqim juga menawarkan
solusi kreatif bagi orangtua dalam menangani anak bermasalah.[22]
Di antara beberapa permasalahan pada anak yang harus menjadi perhatian
orangtua adalah: kecenderungan anak untuk bersikap nakal, malas, suka
berbohong, rasa takut, malas belajar, suka jajan dan boros, serta anak
yang sulit bergaul. Semua masalah tersebut bisa diatasi orangtua dengan
bertumpu pada konsep dasar dalam pendidikan anak, yaitu kasih sayang,
bijaksana, komunikatif, dan upaya pembentukan keluarga harmonis.
Upaya-upaya pendidikan anak seperti
dipaparkan di atas merupakan upaya lahiriah dalam menghasilkan generasi
berkualitas. Abdul Mustaqim juga menawarkan upaya batiniah dalam
pendidikan anak. Menurutnya, pendidikan anak tidak cukup ditempuh dengan
upaya lahiriah saja. Tetapi juga harus dibarengi dengan upaya batiniah
berupa berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan dan kesabaran dalam
mendidik anak.[23]
Di sinilah letak keistimewaan buku ini. Sehingga buku ini layak, bahkan
wajib diapresiasi oleh orangtua yang mendambakan anak yang berkualitas,
juga perlu dijadikan pegangan oleh para pendidik secara khusus dan
masyarakat secara umum, dalam rangka mengawal moralitas demi
berlangsungnya peradaban di muka bumi ini.
Selamat membaca! Wallahu A’lam bi al-Shawwab. [*]
Judul : Menjadi Orangtua Bijak:
Solusi Kreatif Menangani Pelbagai Masalah pada Anak
Penulis : Abdul Mustaqim
Penerbit : Al-Bayan Mizan
Tahun : Juni 2005
Tebal : 212 hlm.
[1]Tentang Amandemen UU Perkawinan dan keterkaitannya dengan upaya perlindungan hak perempuan dan anak, lihat Seminar Nasional & Lokakarya,
“Amandemen Undang-undang Perkawinan Sebagai Upaya Perlindungan Hak
Perempuan dan Anak”, PSW UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kerja sama dengan
DANIDA, Hotel Inna Garuda Yogyakarta, 13-16 Juli 2006.
[2]Abdul Mustaqim, Menjadi Orangtua Bijak, Solusi Kreatif Menangani Pelbagai Masalah Pada Anak (Bandung: Al-Bayan Mizan, 2005), 17.
[3]Ibid., 19.
[4]Ibid., 20.
[5]Ibid., 21-22. Lihat juga Q.S. al-Taghabun (64): 15.
[6]Lihat
peringatan Allah dalam Q.S. al-Nisâ’ (4): 9 dan peringatan Rasulullah
saw. dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.
[7]Abdul Mustaqim, Menjadi, 23-26.
[8]Q.S. al-Shâffât (37): 102-107.
[9]Abdul Mustaqim, Menjadi, 26-28.
[10]Untuk lebih jelasnya lihat Q.S. al-Nûr (24): 3 dan Q.S. al-Baqarah (2): 221.
[11]Abdul Mustaqim, Menjadi…, 28-38. Sebagai perbandingan, lihat Jamal Abdurrahman, Pendidikan ala Kangjeng Nabi, terj. Jujuk Najibah Ardianingsih (Mitra Pustaka, 2003), Ahmad Tafsir (Ed.), Pendidikan Agama dalam Keluarga (Bandung: Rosdakarya, 1996), M. Sahlan Safei, Bagaimana Anda Mendidik Anak?: Tuntunan Praktis untuk Orang Tua dalam Mendidik Anak (t.tp.: Galia, 2002) dan Umar Hasyim, Cara Mendidik Anak dalam Islam (Suarabaya: Bina Ilmu, t.th.).
[12]Ibid., 38-45.
[13]Ibid., 49-56.
[14]Ibid., 56-60.
[15]Ibid., 66-71.
[16]Ibid., 84-89.
[17]Ibid., 103-109.
[18]H.R. Ahmad.
[19]Abdul Mustaqim, Menjadi, 115-121.
[20]Ibid., 128-133.
[21]Ibid., 133-136.
[22]Ibid., 145-200.
[23]Ibid., 201-206.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar