Adalah sudah menjadi sunatullah, bahwa manusia diciptakan dalam keragaman.[1]
Bukan hanya beragam dalam bahasa, warna kulit, dan suku saja, bahkan
dalam aspek agama pun, manusia memiliki begitu banyak ragam kepercayaan.
Kondisi ini tentu bukan untuk dijadikan perpecahan, apalagi sampai
mengarah kepada benturan secara fisik. Justeru kondisi ini diciptakan
agar manusia bisa mengenal satu dengan yang lainnya, serta bisa saling
menghormati dan menghargai. Bahkan kondisi ini harus menjadi spirit
untuk berlomba-lomba berkarya dalam kebajikan.[2]
Tetapi, keragaman kepercayaan manusia
atau agama manusia bukannya menjadi motivator bagi terselenggaranya
perlombaan dalam kebajikan. Malahan keragaman agama justeru menjadi
justifikasi untuk saling membunuh dan memerangi. Padahal, salah satu
fungsi agama secara sosial adalah merekat persaudaraan di antara para
penganut agama yang berbeda-beda.[3]
Akhirnya, agama yang suci karena ia berasal dari Tuhan serta mengajak
kepada sesuatu yang murni dan luhur, malah menjadi tragedi umat manusia.[4]
Sebab dari itu
semua adalah tidak adanya dialog dan saling pengertian serta saling
menghormati di antara para penganut agama. Para pemeluk agama cenderung
fanatik dengan agamanya masing-masing dan ekslusif terhadap pemeluk
agama lain. Sehingga masing-masing pemeluk agama cenderung menganggap
agama merekalah yang paling benar (truth claim).
Di sinilah pentingnya dialog antar umat
beragama yang dilandasi semangat pluralitas disertai sikap saling
menghormati dan saling menghargai. Jika semangat tersebut sudah merasuki
hati para pemeluk agama, niscaya tragedi kemanusiaan yang selama ini
menghiasi wajah keberagamaan umat manusia dapat segera dibersihkan dan
diganti dengan rona persaudaraan dalam keragaman agama.
Dalam tulisan sederhana ini, penulis akan
mengulas pluralisme agama dan bagaimana sebaiknya merajut dialog yang
segar antara muslim dan non-muslim. Diharapkan tulisan ini akan sedikit
menyumbangkan pemikiran segar bagi terciptanya dialog muslim dan
non-muslim yang lebih bersahabat.
Tentang Pluralisme Agama
Fenomena semakin mengecilnya dunia sudah
menggejala sejak mulai bergulirnya modernisasi. Hal ini ditandai dengan
semakin cepatnya hubungan dan semakin mudahnya komunikasi antara
penduduk di satu belahan bumi dengan penduduk di belahan bumi lainnya.
Sebuah kejadian di Amerika, misalnya, sudah bisa kita saksikan secara
langsung di Indonesia. Seolah-olah dunia ibarat sebuah kampung besar
yang tidak tersekat apapun.
Fenomena ini ternyata sangat berpengaruh
pada kehidupan beragama umat manusia. Dahulu, kehidupan umat beragama
relatif lebih tenteram karena umat beragama bagaikan kamp-kamp yang
terisolasi dari tantangan dunia luar.[5]
Sekarang, seiring dengan kemajuan komunikasi dan informasi, kehidupan
bersama di antara beragam umat beragama tidak dapat terelakkan. Tak
jarang interaksi di antara berbagai pemeluk agama tersebut dihiasi
konflik dan perselisihan. Atas dasar itulah, dibutuhkan adanya pemahaman
akan pluralisme agama dan dialog konstruktif antar pemeluk agama untuk
membangun kehidupan beragama yang lebih bersahabat.
Pertanyaannya kemudian adalah pemahaman
pluralisme agama yang seperti apakah yang dikehendaki untuk mewujudkan
dialog antar umat beragama tersebut? Pluralisme dalam arti kesatuan
agamakah? Ataukah pluralisme dalam arti relativitas kebenaran agama?
Pertanyaan inilah kiranya yang perlu dipahami secara jeli oleh para
aktivis dialog agama atau para aktivis pluralisme agama. Karena jika
tidak dicermati secara sungguh-sungguh, bisa-bisa tujuan mulia
memperbaiki hubungan di antara para pemeluk agama yang berbeda justeru
menjadi pengkaburan wajah agama, untuk tidak mengatakan sinkretisme
agama dan relativisme kebenaran agama.[6]
Sebelum lebih jauh membahas faktor-faktor
pendukung dan penghambat pluralisme agama, perlu kiranya diberi batasan
mengenai makna pluralisme agama itu sendiri. Daniel Breslaw mengartikan
pluralisme sebagai sebuah situasi dimana beragam agama berinteraksi
dalam suasana saling menghargai dan dilandasi kesatuan rohani meski
mereka berbeda. Berbeda dengan Breslaw, Jacob Agus mengartikannya
sebagai pemahaman akan kesatuan dan perbedaan, yaitu kesadaran akan
suatu ikatan kesatuan dalam arti tertentu disertai kesadaran akan
keterpisahan dan perpecahan kategori.[7]
Sementara itu, Nurcholish Madjid memberi
definisi pluralisme sebagai pertemuan sejati dari keserbaragaman dalam
ikatan-ikatan kesopanan (bond of civility). Pluralisme, menurutnya, bukan sekedar toleransi semata.[8] Kemudian, kalau dilihat dari aspek bahasa, pluralisme berasal dari kata plures yang berarti beberapa (several) yang implikasinya mengandung makna keberagaman dengan perbedaannya. Hal ini berbeda maknanya dengan beberapa (many) yang implikasinya mengandung makna homogen.[9]
Lebih lanjut, Cak Nur mengatakan, bahwa pluralisme merupakan ide dasar dalam Islam. Cak Nur menyebutkan Q. S. al-Maidah [5]: 48[10] tentang dijadikannya umat manusia berbeda-beda dan perintah untuk berlomba dalam kebajikan, dan Q. S. al-Baqarah [2]: 128[11]
tentang manusia sebagai umat yang satu, kemudian diutuslah para Nabi
dan Rasul, keduanya sebagai dasar dan prinsip dari ide-ide pluralisme
dalam al-Qur’an.[12]
Berdasarkan ayat di atas, Cak Nur menegaskan, bahwa al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan keagamaan (religious plurality).
Konsep ini bukan dalam pengertian pengakuan akan kebenaran semua agama.
Tetapi dalam arti bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup.[13]
Tegasnya, pluralisme menurut Nurcholish Madjid adalah keterlibatan
aktif untuk menjaga perbedaan, sebagai bagian yang harus bernilai
manfaat dan positif, serta menghasilkan kesejahteraan dan kebajikan.[14]
Dari beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan, bahwa pluralisme agama adalah pertemuan di antara beberapa
pemeluk agama yang berbeda yang ditandai dengan adanya interaksi
positif dalam suasana saling menghormati dan menghargai dengan landasan
prinsip kesatuan dalam keragaman.
Kemudian, secara lebih rinci, Alwi Shihab menyebutkan beberapa konsep pluralisme, yaitu:[15]
Pertama, pluralisme tidak semata
merujuk kepada adanya kemajemukan, tetapi menghendaki adanya
keterlibatan aktif, dalam arti keterlibatan dalam usaha memahami
perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinnekaan. Kedua,
pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme
merujuk kepada suatu realita dimana beragam suku, ras, dan agama hidup
berdampingan di suatu lokasi, tetapi interaksi positif antar penduduk,
terutama di bidang agama, tidak pernah ada.
Ketiga, konsep pluralisme tidak
sama dengan konsep relativisme yang menghendaki perumusan suatu
kebenaran berdasar perspektif seorang individu atau suatu kelompok.
Konsekuensi dari relativisme adalah semua doktrin agama apapun dianggap
benar.[16]
Selanjutnya untuk menerapkan konsep pluralisme agama, Alwi Shihab
mensyaratkan perlunya satu syarat utama, yaitu komitmen kokoh terhadap
agama masing-masing. Hal ini penting, agar dalam membina hubungan dan
dialog dengan penganut agama lain, tidak terjebak ke dalam rerelativisme
agama yang menyesatkan.[17]
Keempat, pluralisme bukanlah
sinkretisme dalam arti menciptakan suatu agama baru dengan memadukan
unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk
dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.[18]
Sementara itu, Nurcholish Madjid menyebutkan tiga prinsip pluralisme. Pertama, pluralisme harus menghapus segala bentuk absolutisme, truth claim, dan pembenaran terhadap diri sendiri dengan menafikan orang lain. Kedua,
pluralisme menghendaki adanya relativisme dalam pemahaman, penafsiran,
artikulasi, dan segala bentuk derivasi sebuah nalar kelompok. Ketiga, pluralisme menghendaki adanya toleransi dalam bersikap terhadap kelompok lain.[19]
Intinya, untuk membangun pluralisme di
kalangan masyarakat diperlukan adanya sikap terbuka dan menghindarkan
jauh-jauh absolutisme yang berujung pada truth claim. Di
samping itu, pluralisme juga menuntut adanya keterlibatan positif para
pemeluk agama dalam hal praksis. Jangan sampai pluralisme hanya sebagai
jargon tanpa aksi.[20] Dan yang terpenting, pluralisme jangan sampai terjebak ke dalam perangkap relativisme[21]
dan sinkretisme. Itulah beberapa konsep yang harus diperhatikan dalam
usaha menerapkan pluralisme agama di tengah-tengah kehidupan bersama
masyarakat kita.
Tetapi, menerapkan gagasan pluralisme
agama di tengah masyarakat memang bukan pekerjaan mudah. Salah satu
penghambat dalam mewujudkan gagasan pluralisme agama di masyarakat
adalah adanya sikap radikalisme di kalangan penganut agama. Di samping
itu, adanya misi dakwah dalam masing-masing agama pun terkadang menjadi
halangan dalam membangun kebersamaan. Padahal perintah dakwah selalu ada
dalam ajaran setiap agama dan menjadi perintah bagi setiap pemeluk
agama untuk mencari pengikut sebanyak mungkin.. Dua hal inilah yang
selama ini menjadi duri dalam daging bagi perwujudan pluralisme agama di
tengah-tengah masyarakat.
Menggagas Dialog antara Muslim dan Non-Muslim
Salah satu syarat dalam mewujudkan
kerukunan di antara para penganut agama yang berbeda adalah adanya
dialog. Makna dialog di sini adalah percakapan antara dua orang atau
lebih dimana di dalamnya terjadi pertukaran nilai-nilai yang dimiliki
masing-masing pihak.[22] Atau, dialog juga bisa bermakna sebagai sikap saling membagi atau sharing.
Tegasnya, dialog berarti ‘kami berbicara kepada anda,’ atau ‘kami
berbicara dengan anda,’ yang kemudian berlanjut menjadi ‘kita semua’
berbicara sesama kita membicarakan masalah kita bersama.[23]
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
oleh para penganut agama dalam mewujudkan dialog. Para penganut agama
dituntut mempunyai pribadi diagonal, pribadi utuh, dan pribadi otentik.
Pribadi diagonal dalam arti seseorang yang terbuka, sanggup membuka diri
kepada orang lain dan sanggup mendengarkan dan menerima ungkapan diri
orang lain, serta sanggup mematuhi aturan-aturan dilogis. Pribadi utuh
dalam arti memberikan tanggapan dengan sepenuh hati, bukan
setengah-setengah. Pribadi otentik dalam arti menghargai orang lain
sebagai pribadi dan mau mempercayainya serta tidak memperalatnya untuk
kepentingan pribadi.[24]
Selanjutnya, dialog bisa dilakukan dalam beberapa bentuk. Pertama,
dialog kehidupan. Ini merupakan dialog yang paling sederhana. Setiap
pemeluk agama berbaur dalam kehidupan sehari-hari melakukan aktifitas
sosial tanpa memandang identitas agama masing-masing. Kedua,
dialog kerja sosial. Dialog ini merupakan kelanjutan dari dialog
kehidupan dan telah mengarah pada kerjasama yang dimotivasi oleh
kesadaran keberagamaan. Titik pijaknya berawal dari bagaimana
menempatkan agama kita di tengah-tengah agama orang lain.
Ketiga, dialog teologis. Dialog
ini sebagai landasan kerukunan umat beragama. Berawal dari pijakan
bagaimana menempatkan iman kita di tengah-tengah iman orang lain. Yang
terpenting dalam dialog ini adalah berbagi pengalaman keagamaan,
bukannya berdebat dan berbantah-bantahan. Keempat, dialog
spiritual. Dialog ini bergerak dalam wilayah esoteris, yaitu sisi dalam
agama-agama. Bentuknya adalah dialog tentang pengalaman iman atau
pengalaman akan Tuhan.[25]
Tetapi, untuk mewujudkan dialog antar para penganut agama dihadapkan pada beberapa rintangan yang harus diatasi. Pertama, rintangan bahasa. Kedua, gambaran tentang orang lain yang keliru. Ketiga, nafsu membela diri.[26]
Dan perlu diingat, bahwa dialog antar
para penganut agama bukanlah merupakan peleburan agama-agama menjadi
satu agama. Juga bukan membuat suatu sinkretisme, semacam agama baru
yang memuat unsur-unsur ajaran agama. Dialog juga bukan untuk
mendapatkan pengakuan akan supremasi agamanya sebagai agama yang paling
benar. Dialog di sini adalah untuk mencapai saling pengertian dan saling
menghargai di antara para penganut agama.[27]
Di era globalisasi sekarang ini, hubungan
antar berbagai komunitas yang berbeda tidak dapat dielakkan lagi.
Termasuk hubungan antar berbagai agama yang berbeda-beda. Hal ini
mensyaratkan adanya sikap pluralis dalam beragama, dalam arti pengakuan
akan keberagaman dalam kehidupan beragama. Dan untuk mewujudkan
pluralisme agama ini perlu adanya suatu dialog yang dilandasi sikap
terbuka dan saling menghargai adanya perbedaan. Jika hal ini bisa
dilakukan oleh para penganut agama, niscaya tragedi yang selama ini
menghiasi wajah keberagamaan umat manusia selama ini, dapat diganti
dengan kerukunan hidup bersama dalam suasana persahabatan yang sejati. [
]
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, al-’Aliyy: al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV. Diponegoro, 2000.
Djam’annuri, “Dialog Antar Agama: Kontribusinya bagi Pembangunan Moral dan Etika Bangsa,” dalam Esensia, Vol. 2, No. 1, Januari 2001.
Elmirzana, Syafa’atun, “Pluralisme, Konflik, dan Dialog: Analisa dan Refleksi,” dalam Jurnal Esensia, Vol. 2, No. 1, Januari 2001.
Hendropuspito, D, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius kerja sama dengan BPK Gunung Mulia, 1983.
Lapsus, “Agama dan Nasionalisme Tidak Ada Kontradiksi,” dalam Majalah Mahasiswa Pendapa Tamansiswa, Edisi 148, Tahun XVII 2004.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 2000.
_________, “Pluralisme Agama di Indonesia,” dalam Jurnal ‘Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. VI, Tahun 1995.
Ridwan, Nur Khalik, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur, Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan kerja sama dengan Anteve, 2001.
Sirry, Mu’im A., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Paramadina kerja sama dengan The Asia Foundation, 2004.
[1]Q. S. al- Hujurat [49]: 13, lihat juga Q. S. al-Baqarah [2]: 148.
[2]Q. S. al-Maidah [5]: 48.
[3]D. Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius kerja sama dengan BPK Gunung Mulia, 1983), hlm. 50-51.
[4]A. N. Wilson dalam Againt Religion: Why We Should Try to Live Without it, seperti dikutip oleh Syafa’atun Elmirzana, “Pluralisme, Konflik, dan Dialog: Analisa dan Refleksi,” dalam Jurnal Esensia, Vol. 2, No. 1, Januari 2001, hlm. 41.
[5]Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan kerja sama dengan Anteve, 2001), hlm. 39.
[6]Alwi
Shihab sempat mewanti-wanti, agar pemahaman akan pluralisme agama tidak
terjebak ke dalam dua ‘ranjau’ yang membahayakan, relativisme dan
sinkretisme. Lihat Alwi Shihab, Islam, hlm. 42.
[7]Lapsus, “Agama dan Nasionalisme Tidak Ada Kontradiksi,” dalam Majalah Mahasiswa Pendapa Tamansiswa, Edisi 148, Tahun XVII 2004, hlm. 28.
[8]Nurcholish Madjid, “Pluralisme Agama di Indonesia,” dalam Jurnal ‘Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. VI, Tahun 1995, hlm. 63.
[9] Ibid., hlm. 68.
[10]Artinya: “Dan
Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-kitab yang lain itu. Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” Lihat Departemen Agama RI, al-’Aliyy: al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), hlm. 92.
[11]Artinya: “Manusia
itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan) maka Allah
mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan,
dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi
keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah
didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata karena dengki di antara mereka sendiri.
Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran
tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah
selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang
lurus.” Lihat Departemen Agama RI, al-’Aliyy, hlm. 26.
[12]Nurcholish Madjid, “Pluralisme”, hlm. 63.
[13]Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 184.
[14]Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur (Yogyakarta: Galang Press, 2002), hlm. 91.
[15]Alwi Shihab, Islam, hlm. 41-43.
[16]Hal
ini berbeda dengan konsep pluralisme Nurcholish Madjid, seperti yang
dirumuskan Nur Khalik Ridwan, yang mengharuskan adanya relativisme dalam
konsep pluralitas. Sehingga kebenaran tidaklah bersifat absolut.
Kebenaran bisa diubah sesuai dengan ‘konteks’. Lihat Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis, hlm. 82-84.
[17]Ibid.
[18]Lihat misalnya fenomena New Age Religion (Agama
Masa Kini) yang merupakan perpaduan dari praktik Yoga Hindu, meditasi
Buddha, tasawuf Islam, dan mistik Kristen. Atau Bahaisme yang didirikan
pada pertengahan abad ke-19 oleh Mirza Husein Ali Nuri di Iran, yang
merupakan persatuan dari beberapa elemen agama Yahudi, Kristen, dan
Islam. Alwi Shihab, Islam, hlm. 43.
[19]Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis, hlm. 77-91.
[20]Dalam
bahasa Nur Khalik Ridwan, disebut pluralisme pembebasan, yaitu
pluralisme yang menjadi sesuatu yang praksis bukan sekedar retorika yang
diarahkan kepada pembebasan mereka-mereka yang tertindas. Hal ini
dibedakan dari pluralisme borjuis, yang hanya sekedar retorika kosong
tanpa makna praksis. Lihat Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis, hlm. 373-375.
[21]Dalam
hal ini, penulis sependapat dengan Alwi Shihab, yang mensyaratkan tidak
adanya relativisme dalam pluralisme. Walaupun menghendaki pengakuan dan
penghormatan terhadap kepercayaan lain, tetapi, kita harus tetap
komitmen terhadap kepercayaan yang kita anut. Tetapi, penulis belum
mendapat konsep yang jelas, bagaomana mendudukkan komitmen yang kuat
terhadap kepercayaan yang kita anut, di tengah-tengah sikap plural
terhadap penganut agama atau kepercayaan lain.
[22]D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, hlm. 172.
[23]Djam’annuri, “Dialog Antar Agama: Kontribusinya bagi Pembangunan Moral dan Etika Bangsa,” dalam Esensia, Vol. 2, No. 1, Januari 2001, hlm. 35.
[24]D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, hlm. 173-174.
[25]Mu’im A. Sirry, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Paramadina kerja sama dengan The Asia Foundation, 2004), hlm. 208-240.
[26]D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, hlm. 174-175.
[27]Ibid., hlm. 177.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar