Para psikolog memandang
kepribadian sebagai struktur dan proses psikologis yang tetap, yang
menyusun pengalaman-pengalaman individu serta membentuk berbagai
tindakan dan respons individu terhadap lingkungan tempat hidup.[5]
Dalam masa pertumbuhannya, kepribadian bersifat dinamis, berubah-ubah
dikarenakan pengaruh lingkungan, pengalaman hidup, ataupun pendidikan.
Kepribadian tidak terjadi secara serta merta, tetapi terbentuk melalui
proses kehidupan yang panjang. Dengan demikian, apakah kepribadian
seseorang itu baik atau buruk, kuat atau lemah, beradab atau biadab
sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
perjalanan kehidupan seseorang tersebut.[6]
Pergulatan Psikologis
Dalam kepribadian manusia terkandung
sifat-sifat hewan dan sifat-sifat malaikat yang terkadang timbul
pergulatan antara dua aspek kepribadian manusia tersebut. Adakalanya,
manusia tertarik oleh kebutuhan dan syahwat tubuhnya, dan adakalanya ia
tertarik oleh kebutuhan spiritualnya.
Al-Qur’an mengisyaratkan pergulatan
psikologis yang dialami oleh manusia, yakni antara kecenderungan pada
kesenangan-kesenangan jasmani dan kecenderungan pada godaan-godaan
kehidupan duniawi. Jadi, sangat alamiah bahwa pembawaan manusia tersebut
terkandung adanya pergulatan antara kebaikan dan keburukan, antara
keutamaan dan kehinaan, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi pergulatan
antara aspek material dan aspek spiritual pada manusia tersebut
dibutuhkan solusi yang baik, yakni dengan menciptakan keselarasan di
antara keduanya.
Disamping itu, Al-Qur’an juga
mengisyaratkan bahwa manusia berpotensi positif dan negatif. Pada
hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat daripada potensi
negatifnya. Hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dibanding daya
tarik kebaikan.[7]
Potensi
positif dan negatif manusia ini banyak diungkap oleh Al-Qur’an. Di
antaranya ada dua ayat yang menyebutkan potensi positif manusia, yaitu
Surah at-Tin [95] ayat 5 (manusia diciptakan dalam bentuk dan keadaan
yang sebaik-baiknya) dan Surah al-Isra’ [7] ayat 70 (manusia dimuliakan
oleh Allah dibandingkan dengan kebanyakan makhlik-makhluk yang lain). Di
samping itu, banyak juga ayat Al-Qur’an yang mencela manusia dan
memberikan cap negatif terhadap manusia. Di antaranya adalah manusia
amat aniaya serta mengingkari nikmat (Q.S. Ibrahim [14]: 34), manusia
sangat banyak membantah (Q.S. al-Kahfi [18]: 54), dan manusia bersifat
keluh kesah lagi kikir (Q.S. al-Ma’arij [70]: 19).[8]
Sebenarnya, dua potensi manusia yang
saling bertolak belakang ini diakibatkan oleh perseteruan di antara tiga
macam nafsu, yaitu nafsu ammarah bi as-suu’ (jiwa yang selalu menyuruh kepada keburukan), lihat Surah Yusuf [12] ayat 53; nafsu lawwamah (jiwa yang amat mencela), lihat Surah al-Qiyamah [75] ayat 1-2; dan nafsu muthma’innah (jiwa yang tenteram), lihat Surah al-Fajr [89] ayat 27-30.[9]
Konsepsi dari ketiga nafsu tersebut merupakan beberapa kondisi yang
berbeda yang menjadi sifat suatu jiwa di tengah-tengah pergulatan
psikologis antara aspek material dan aspek spiritual.[10]
Pola-pola Kepribadian Menurut Al-Qur’an
Kepribadian merupakan “keniscayaan”,
suatu bagian dalam (interior) dari diri kita yang masih perlu digali dan
ditemukan agar sampai kepada keyakinan siapakah diri kita yang
sesungguhnya. Dalam Al-Qur’an Allah telah menerangkan model kepribadian
manusia yang memiliki keistimewaan dibanding model kepribadian lainnya.
Di antaranya adalah Surah al-Baqarah [2] ayat 1-20. Rangkaian ayat ini
menggambarkan tiga model kepribadian manusia, yakni kepribadian orang
beriman, kepribadian orang kafir, dan kepribadian orang munafik.[11]
Berikut ini adalah sifat-sifat atau
ciri-ciri dari masing-masing tipe kepribadian berdasarkan apa yang
dijelaskan dalam rangkaian ayat tersebut.
a. Kepribadian Orang Beriman (Mu’minun)
Dikatakan beriman bila ia percaya pada
rukun iman yang terdiri atas iman kepada Allah swt., iman kepada para
malaikat-Nya, iman kepada Kitab-kitab-Nya, iman kepada para rasul-Nya,
percaya pada Hari Akhir, dan percaya pada ketentuan Allah
(qadar/takdir). Rasa percaya yang kuat terhadap rukun iman tersebut akan
membentuk nilai-nilai yang melandasi seluruh aktivitasnya. Dengan
nilai-nilai itu, setiap individu seyogianya memiliki kepribadian yang
lurus atau kepribadian yang sehat. Orang yang memiliki kepribadian lurus
dan sehat ini memiliki ciri-ciri antara lain:
- Akan bersikap moderat dalam segala aspek kehidupan,
- Rendah hati di hadapan Allah dan juga terhadap sesama manusia,
- Senang menuntut ilmu,
- Sabar,
- Jujur, dan lain-lain.[12]
Gambaran manusia mukmin dengan segenap ciri yang terdapat dalam Al-Qur’an ini merupakan gambaran manusia paripurna (insan kamil)
dalam kehidupan ini, dalam batas yang mungkin dicapai oleh manusia.
Allah menghendaki kita untuk dapat berusaha mewujudkannya dalam diri
kita. Rasulullah saw. telah membina generasi pertama kaum mukminin atas
dasar ciri-ciri tersebut. Beliau berhasil mengubah kepribadian mereka
secara total serta membentuk mereka sebagai mukmin sejati yang mampu
mengubah wajah sejarah dengan kekuatan pribadi dan kemuliaan akhlak
mereka.[13] Singkatnya, kepribadian orang beriman dapat menjadi teladan bagi orang lain.
b. Kepribadian Orang Kafir (Kafirun)
Ciri-ciri orang kafir yang diungkapkan dalam Al-Qur’an antara lain:
- Suka putus asa,
- Tidak menikmati kedamaian dan ketenteraman dalam kehidupannya,
- Tidak percaya pada rukun iman yang selama ini menjadi pedoman keyakinan umat Islam,
- Mereka tidak mau mendengar dan berpikir tentang kebenaran yang diyakini kaum Muslim,
- Mereka sering tidak setia pada janji, bersikap sombong, suka dengki, cenderung memusuhi orang-orang beriman,
- Mereka suka kehidupan hedonis, kehidupan yang serba berlandaskan hal-hal yang bersifat material. Tujuan hidup mereka hanya kesuksesan duniawi, sehingga sering kali berakibat ketidakseimbangan pada kepribadian,
- Mereka pun tertutup pada pengetahuan ketauhidan, dan lain-lain.
Ciri-ciri orang kafir sebagaimana yang tergambar dalam Al-Qur’an tersebut menyebabkan
mereka kehilangan keseimbangan kepribadian, yang akibatnya mereka
mengalami penyimpangan ke arah pemuasan syahwat serta kesenangan
lahiriah dan duniawi. Hal ini membuat mereka kehilangan satu tujuan
tertentu dalam kehidupan, yaitu beribadah kepada Allah dan mengharap
rida-Nya untuk mengharap magfirah serta pahala-Nya di dunia dan akhirat.[14]
c. Kepribadian Orang Munafik (Munafiqun)
Munafik adalah segolongan orang yang
berkepribadian sangat lemah dan bimbang. Di antara sifat atau watak
orang munafik yang tergambar dalam Al-Qur’an antara lain:
- Mereka “lupa” dan menuhankan sesuatu atau seseorang selain Allah swt.,
- Dalam berbicara mereka suka berdusta,
- Mereka menutup pendengaran, penglihatan, dan perasaannya dari kebenaran,
- Orang-orang munafik ialah kelompok manusia dengan kepribadian yang lemah, peragu, dan tidak mempunyai sikap yang tegas dalam masalah keimanan.
- Mereka bersifat hipokrit, yakni sombong, angkuh, dan cepat berputus asa.
Ciri kepribadian orang munafik yang
paling mendasar adalah kebimbangannya antara keimanan dan kekafiran
serta ketidakmampuannya membuat sikap yang tegas dan jelas berkaitan
dengan keyakinan bertauhid.
Dengan demikian, umat Islam sangat
beruntung mendapatkan rujukan yang paling benar tentang kepribadian
dibanding teori-teori lainnya, terutama diyakini rujukan tersebut adalah
wahyu dari Allah swt. yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.,
manusia teladan kekasih Allah. Oleh karena itu pula, Nabi Muhammad saw.
diutus oleh Allah swt. ke muka bumi untuk memainkan peran sebagai model insan kamil
bagi umat manusia. Kepribadian dalam kehidupan sehari-hari mengandung
sifat-sifat manusiawi kita, alam pikiran, emosi, bagian interior kita
yang berkembang melalui interaksi indra-indra fisik dengan lingkungan.
Namun lebih dalam lagi, kepribadian sesungguhnya merupakan produk
kondisi jiwa (nafs) kita yang saling berhubungan. Atau, dapat dikatakan pula bahwa kepribadian seseorang berbanding lurus dengan kondisi jiwanya (nafs).[15]
Berangkat dari teori kepribadian di atas, maka kita dapat membagi kepribadian manusia menjadi dua macam, yaitu:
1. Kepribadian kemanusiaan (basyariyyah)
Kepribadian kemanusiaan di sini mencakup kepribadian individu dan kepribadian ummah.
Kepribadian individu di antaranya melliputi ciri khas seseorang dalam
bentuk sikap, tingkah laku, dan intelektual yang dimiliki masing-masing
secara khas sehingga ia berbeda dengan orang lain. Dalam pandangan
Islam, manusia memang mempunyai potensi yang berbeda (al-farq al-fardiyyah) yang meliputi aspek fisik dan psikis. Selanjutnya, kepribadian ummah meliputi ciri khas kepribadian muslim sebagai suatu ummah (bangsa/negara) muslim yang meliputi sikap dan tingkah laku ummah muslim yang berbeda dengan ummah
lainnya, mempunyai ciri khas kelompok dan memiliki kemampuan untuk
mempertahankan identitas tersebut dari pengaruh luar, baik ideologi
maupun lainnya yang dapat memberikan dampak negatif.[16]
2. Kepribadian samawi (kewahyuan)
Yaitu, corak kepribadian yang dibentuk
melalui petunjuk wahyu dalam kitab suci Al-Qur’an, sebagaimana termaktub
dalam firman Allah sebagai berikut.
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي
مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ .
Dan, bahwa (yang kami perintahkan ini)
adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan
Allah agar kamu bertakwa. (Q.S. al-An’am [6]: 153)
Itulah beberapa gambaran mengenai
psikologi dan kepribadian manusia dalam Al-Qur’an. Tentu gambaran di
atas belum sepenuhnya berhasil meng-cover keseluruhan maksud
Al-Qur’an mengenai manusia dengan segala kepribadiannya yang sangat
kompleks. Sebab, begitu luasnya aspek kepribadian manusia sehingga usaha
untuk mengungkap hakikat manusia merupakan pekerjaan yang sukar.
Walaupun demikian, paling tidak
penjelasan di atas dapat memberikan gambaran bahwa manusia memiliki dua
potensi yang saling berlawanan, yaitu potensi baik dan potensi buruk.
Dua potensi ini lantas memilah manusia ke dalam tiga kategori, yaitu
mukmin, kafir, dan munafik. Pembinaan kepribadian manusia lewat
pendidikan yang baik akan menuntun manusia agar bisa memperkokoh potensi
baiknya sehingga ia bisa memaksimalkan tugas utamanya untuk beribadah
kepada Allah dan menjadi khalifah Allah di muka bumi. Sebaliknya,
pembinaan kepribadian manusia yang kurang maksimal akan memerosokkan
manusia ke dalam derajat yang sangat rendah, bahkan lebih rendah dari
binatang. []
[1]Ibid., hlm. 362.
[2]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 364.
[3]Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan, hlm. 63-65.
[4]Penjelasan mengenai fase kehidupan manusia ini didasarkan pada Q.S. al-Mu’minun [23]: 13-14. Lihat Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an (Jakarta: Penamadani, 2005), hlm. 105-106.
[5]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 359.
[6]Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 186.
[7]M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 378.
[8]Ibid., hlm. 372.
[9]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 373-374
[10]Ibid., 377.
[11]Ibid., hlm. 381-382.
[12]Rani Anggraeni Dewi, “Kepribadian (Psikologi Al-Qur’an)”, dalam www.pusakahati. com, 28 Desember 2009.
[13]Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 384.
[14]Ibid., hlm. 387-389.
[15]Rani Anggraeni Dewi, “Kepribadian (Psikologi Al-Qur’an)”.
[16]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 263.
[17]M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 365.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar