A. Pendahuluan
Di dunia Islam, kitab yang paling banyak
memproduksi makna adalah kitab Al-Qur’an. Dari kitab induk Al-Qur’an ini
telah lahir beribu kitab tafsir yang memenuhi khazanah intelektual
Dunia Islam. Peristiwa ini merupakan hal yang sangat wajar. Mengingat,
bahwa Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang bisu. Adalah tugas kita
sebagai muslim untuk menyuarakannya. Hal ini jauh-jauh hari telah
diisyaratkan oleh Imam Ali bin Abi Talib. Beliau mengatakan bahwa
Al-Qur’an di antara dua sampulnya tak bisa bersuara. Sang juru bicara
itulah yang menyuarakannya.[1]
Dari sinilah tradisi penafsiran terhadap
Al-Qur’an mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bukan hanya di dunia
Islam dan dilakukan oleh muslim saja, bahkan di kalangan orientalis pun
muncul beberapa ilmuwan yang mencoba mengelaborasi kandungan makna
Al-Qur’an.[2]
Pada praktik selanjutnya, penafsiran
terhadap Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari heterogenitas. Hal ini
bukan hanya disebabkan oleh faktor-faktor internal (al-’awaamil ad-daakhiliyyah) saja,
seperti kondisi objektif teks Al-Qur’an itu sendiri yang memungkinkan
untuk dibaca secara beragam, tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor
eksternal (al-’awaamil al-khaarijiyyah), seperti kondisi
subjektif mufasir sendiri, dan yang terpenting, adalah faktor politik
dan ideologis yang melingkupi kemunculan sebuah tafsir.[3]
Bahkan, Michael Foucault menegaskan bahwa sebuah perkembangan ilmu
pengetahuan, mazhab, atau pemikiran, apapun namanya (termasuk tafsir di
dalamnya), tidak bisa dilepaskan dari relasi kekuasaan.[4]
Salah satu
corak tafsir yang mewarnai pergulatan sejarah penafsiran Al-Qur’an
adalah tafsir dengan tendensi ilmiah. J.J.G. Jansen menyebut kategori
ini dengan nama tafsiir ‘ilmii.[5]
Asumsi dasar tafsir ilmiah ini adalah keyakinan di kalangan cendekiawan
muslim bahwa Al-Qur’an telah mengantisipasi ilmu-ilmu pengetahuan
modern. Tafsir dengan corak yang satu ini mencoba memindahkan semua
bidang pengetahuan kemanusiaan yang memungkinkan ke dalam penafsiran
Al-Qur’an.[6] Adapun sarjana pertama yang menggambarkan perhatian pada keberadaan tafsir ilmiah adalah Amin al-Khuli.[7]
Salah satu kitab tafsir yang dipengaruhi corak penafsiran ilmiah adalah tafsir Mahaasin at-Ta’wiil karya
Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi. Dalam kitab tafsirnya ini, beliau
mengetengahkan sub pokok bahasan yang berusaha menjelaskan secara
mendetail masalah-masalah ilmu astronomi yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Tulisan ini akan membahas tafsir Mahaasin at-Ta’wiil karya
Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi. Pembahasan akan disusun secara
deskriptif, mencakup riwayat hidup al-Qasimi serta gambaran tentang
kitab tafsir yang ditulisnya, dari segi sejarah penulisan, metode
penafsiran, sistematika, sumber, karakteristik, dan beberapa contoh
penafsiran.
Walaupun kajian dalam tulisan ini tidak
lengkap dan kurang mendalam, tetapi paling tidak, tulisan ini bisa
menjadi pemantik untuk melakukan kajian yang lebih mendalam dan lebih
serius terhadap kitab tafsir buah karya al-Qasimi ini. Sehingga kajian
selanjutnya terhadap kitab tafsir ini bisa menghasilkan sesuatu yang
baru bagi khazanah intelektual.
B. Setting Historis-Biografis al-Qasimi
1. Latar Belakang Sosial dan Aktivitas Intelektual
Nama lengkap beliau adalah Jamal ad-Din
bin asy-Syaikh Muhammad Sa’id ad-Dimasyqi bin asy-Syaikh Muhammad Qasim
al-Hallaq asy-Syafi’i al-Atsari.[8] Ada juga yang menyebutnya dengan Jamal ad-Din bin Muhammad Sa’id bin Qasim al-Hallaq al-Qasimi.[9] Beliau hidup dalam kurun waktu antara tahun 1283-1332 H atau 1866-1914 M, yaitu selama 49 tahun.[10] Al-Qasimi dilahirkan dan wafat di Damaskus.[11]
Beliau tumbuh di tengah keluarga yang
dikenal takwa dan berilmu. Ayah al-Qasimi adalah seorang ahli fikih dan
juga seorang sastrawan bernama Abu ‘Abdillah Muhammad Sa’id Abi
al-Khair.[12]
Ayahnya mewarisi perpustakaan yang berisi banyak literatur keilmuan
dari kakeknya. Dan, ayahnyalah yang mewariskan dan mengalirkan berbagai
ilmu kepada al-Qasimi, langsung dari sumbernya, yaitu buku-buku. Perlu
diketahui, perpustakaan pribadi ayah al-Qasimi memuat berbagai buku
mengenai tafsir, hadis, fikih, bahasa, tasawuf, sastra, sejarah, usul
fikih, sosial-kemasyarakatan, olah raga, hukum perbandingan, filsafat,
dan sejarah perbandingan agama.[13]
Karena failitas tersebut, al-Qasimi
menjadi seseorang yang banyak mengkaji karya-karya para ahli hadis, usul
fikih, fikih, tasawuf, ilmu kalam, sastra, baik yang klasik maupun yang
kontemporer.[14] Tidak mengherankan jika beliau menjadi seorang ilmuwan yang mumpuni dalam segala cabang ilmu pengetahuan.
Walaupun beliau lebih banyak belajar
secara autodidak lewat buku-buku yang ada di perpustakaan ayahnya,
beliau juga tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh ilmuwan lain yang
dianggap sebagai guru. Muhammad Abduh merupakan salah satu ulama yang
banyak mempengaruhi perkembangan intelektual beliau. Sejak perkenalan
beliau dengan Muhammad Abduh pada tahun 1904, beliau mengganti gaya
bahasa sajak yang sejak lama digelutinya dengan gaya bahasa prosa dalam
banyak karya tulisnya.[15] Selain Muhammad Abduh, beliau juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Katsir dan Ibnu Taimiyah.[16]
Kemudian, al-Qasimi menjadi seorang pakar
dari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan seni di Syam. Beliau selalu
disibukkan dan sangat peduli terhadap pendidikan.[17]
Beliau juga termasuk orang yang anti taklid dan menyerukan dibukanya
pintu ijtihad. Pemerintah pernah mendelegasikannya selama empat tahun,
yaitu tahun 1308-1312 H, untuk mengadakan perjalanan intelektual ke
negara Syuriah.[18] Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke Mesir dan mengunjungi Madinah.[19]
Setelah kembali dari perjalanannya,
beliau dituduh oleh orang-orang yang iri kepadanya dengan tuduhan
mendirikan mazhab agama yang baru, yang diberi nama Madzhab al-Jamalii. Maka, pada tahun 1313 H, beliau ditangkap oleh pemerintah dan diinterogasi.[20] Akan tetapi, akhirnya beliau dibebaskan kembali.[21]
Setelah peristiwa penangkapan tersebut,
al-Qasimi menetap di Damaskus. Beliau berdiam diri di rumahnya dan
mengonsentrasikan diri untuk mengarang beberapa kitab dan mencurahkan
perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan sampai akhir hayatnya.[22]
2. Karya-karya Intelektual
Al-Qasimi adalah seorang yang ahli dalam
bidang tafsir, ilmu-ilmu keislaman, dan seni. Selain itu, beliau juga
menghasilkan beberapa karya di bidang lain, seperti tauhid, hadis,
akhlak, tarikh, dan ilmu kalam. Selain menulis beberapa buah kitab,
al-Qasimi juga mempublikasikan buah pikirannya di majalah-majalah dan
suhuf-suhuf. Total karya al-Qasimi berjumlah 72 kitab.[23]
Di antara karya-karya al-Qasimi yaitu:
1. Dalaail at-Tauhiid.
2. Diiwaan Khithab.
3. Al-Fatawaa fii al-Islaam.
4. Irsyaad al-Khalqi ilaa al-’Amalii bi al-Barqi.
5. Syarh Luqathah al-’Ajlaan.
6. Naqd an-Nashaaih al-Kaafiyah.
7. Madzaahib al-A’rab wa Falaasifah al-Islaam fi al-Jin.
8. Mau’izhah al-Mu’miniin.
9. Syaraaf al-Asbath.
10. Tanbiih ath-Thaalib ilaa Ma’rifati al-Fardli wa al-Waajib.
11. Jawaami’ al-Adab fii Akhlaaq al-Anjab.
12. Ishlaah al-Masaajid min al-Bidaa’ii wa al-’Awaaidi.
13. Ta’thiir al-Masyaam fii Maatsari Dimasyqi al-Syaam.
14. Qawaa’id at-Tahdiits min Funuuni Mushthalaah al-Hadiits.
15. Mahaasin at-Ta’wiil fii Tafsiir Al-Qur’aan Al-Kariim.
16. Tarjamah al-Imaam al-Bukhaarii.
17. Bait al-Qaashid fii Diiwaan al-Imaam al-Waliid as-Sa’iid.
18. Ikhtisaar al-Ihyaa’.[24]
19. Dan lain-lain.
C. Kitab Tafsir Mahaasin at-Ta’wiil
1. Sejarah Penulisan
Tafsir adalah anak zaman. Karena itu,
tafsir akan selalu mendemonstrasikan karakter ruang serta waktu di mana
dan kapan ia lahir.[25]
Maka, kajian terhadap latar belakang sosio-kultural di mana sebuah
kitab tafsir muncul adalah sesuatu yang urgen. Hal ini penting untuk
mengetahui situasi apa dan pengaruh apa yang melatari kemunculan kitab
tafsir tersebut. Begitu pula dengan kitab tafsir karya al-Qasimi ini.
Kitab tafsir Mahaasin at-Ta’wiil
muncul di tengah zaman, di mana terjadi benturan di antara dua
peradaban yang berbeda. Benturan yang terus-menerus antara Islam dengan
gerakan internasional orientalisme dan misionarisme pada pertengahan
kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20, di mana serangan kolonialis kafir
terhadap dunia Islam mencapai puncaknya.[26]
Benturan antara dua peradaban ini
diiringi muatan kepentingan, yang bukan saja berkaitan dengan aspek
teologis, juga berkaitan dengan aspek ekonomi dan aspek kekuasaan.
Benturan dan perang wacana ini pun terjadi di tempat tinggal al-Qasimi,
yaitu negeri Syam. Tak pelak lagi, negeri Syam menjadi tempat
persemaian yang subur bagi gerakan kaum misionaris dan para pengikutnya.
Di tengah-tengah suasana inilah al-Qasimi menulis karya tafsirnya.
Selanjutnya, tafsir karya al-Qasimi ini dipublikasikan pertama kali oleh penerbit Daar Ihyaa’
al-Kutub al-’Arabiyah Kairo sebanyak tujuh belas juz. Usaha penerbitan
kitab ini melibatkan Muhammad Bahjat al-Baithar, salah seorang anggota
Majma’ al-’Ilmii al-’Arabii, untuk menelitinya.[27] Atas usaha inilah kitab tafsir Mahaasin at-Ta’wiil ini bisa sampai ke hadapan kita.
2. Sumber Penafsiran
Sebagaimana pernyataan Roland Barthes
yang menyatakan bahwa pada dasarnya tulisan itu tidak ada yang orisinal.
Teks adalah suatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber
budaya.[28] Begitu pula dengan tafsir karya al-Qasimi, Mahaasin at-Ta’wiil. Kitab ini banyak dipengaruhi oleh beberapa pemikiran dan beberapa literatur.
Sebagai rujukan utama, beliau mengambil dari empat sumber.[29] Pertama, hadis-hadis
Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini, al-Qasimi banyak mengambil hadis dari
kitab-kitab hadis tulisan al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, Ahmad bin
Hanbal, Malik bin Anas, Ibnu Hibban, dan lain-lain.[30] Kedua, perkataan dan pendapat para sahabat.[31] Ketiga,
dari para penutur bahasa Arab asli. Sebab, menurut beliau, Al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa Arab. Jadi, untuk mengetahui maknanya, kita
harus menguasai bahasa Arab. Keempat, kekuatan ra’yu dalam menangkap makna Al-Qur’an.
Di samping keempat sumber di atas,
al-Qasimi juga sering mengutip beberapa pendapat para ulama. Di antara
para ulama yang sering dijadikan rujukan oleh al-Qasimi adalah Muhammad
Abduh, asy-Syathibi, Ibnu Taimiyah, Izzudin bin Abd as-Salam, asy-Syaikh
Waliyullah ad-Dahlawi, Abu Amru ad-Dani, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam,
asy-Syafi’i, Ibnu Sa’ad, al-Farra’, al-Qadi Abd al-Jabbar,
asy-Syahrastani, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Qayim, as-Suyuti, dan Ibnu
Hazm.
Selanjutnya, dalam menjelaskan makna kata
atau idiomatikal Al-Qur’an, al-Qasimi selalu merujuk kepada beberapa
kamus. Di antaranya Shihah al-Jauharii dan kamus al-Muhiith.[32]
Satu hal yang tidak bisa dihindarkan oleh al-Qasimi adalah, dalam
beberapa tempat, beliau sering mencantumkan kisah-kisah Isra’iliyat. Hal
ini dipengaruhi oleh beberapa mufasir salaf yang kitab-kitab tafsirnya
sering dirujuk oleh al-Qasimi.[33]
Selain merujuk pada beberapa literatur
dalam khazanah Islam, al-Qasimi juga terkadang mengutip dari beberapa
bagian kitab Injil. Namun, pengutipan ini hanya untuk menunjukkan
kekacauan dan kerancuan dalam kitab Injil, dan juga kitab Taurat serta
kitab Talmud, yang keduanya sering disebut dalam Injil.[34]
Di samping itu, untuk memperkuat argumentasi pandangan-pandangan ilmiah
dalam kitab tafsirnya, al-Qasimi sering mengutip pandangan dan pendapat
para ilmuwan modern yang sezaman dengannya.[35]
Beberapa sumber inilah yang menjadikan
kitab tafsir karya al-Qasimi menjadi sebuah kitab tafsir yang sangat
kaya dengan khazanah keilmuan. Walaupun memang harus diperhatikan bahwa
tidak semua sumber yang dijadikan rujukan oleh beliau bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah-akademik.
3. Corak dan Karakteristik Penafsiran
Corak penafsiran adalah warna ilmiah yang
dibawa mufasir ke dalam kitab tafsirnya. Al-Farmawi membagi corak
tafsir ke dalam tujuh macam, yaitu corak tafsir al-ma’tsuur, al-ra’yu, shuufii, fiqhii, falsafii, ‘ilmii, dan adabii ijtimaa’ii.[36]
Jika melihat pembagian corak penafsiran di atas, tafsir Mahaasin at-Ta’wiil ini bisa dimasukkan dalam kategori tafsir ‘ilmii.
Sebab, al-Qasimi banyak terpengaruh oleh tendensi ilmiah. Sehingga
dalam kitab tafsirnya ini, beliau sengaja menjelaskan secara detail
masalah-masalah ilmu astronomi yang terdapat dalam Al-Qur’an. Beliau
juga menjelaskan bahwa beliau banyak mengutip pendapat-pendapat pakar
astronomi untuk memperkuat penjelasannya.[37]
4. Sistematika Penafsiran
Dalam menulis kitab tafsirnya, al-Qasimi memakai sistematika mushhafii,
yaitu berdasarkan urutan mushaf Al-Qur’an. Beliau menafsirkan Al-Qur’an
dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
Sistematika inilah yang banyak dipakai oleh para mufasir dalam menulis
kitab tafsirnya.
Seluruh penafsirannya tertuang dalam kitab tafsir sebanyak tujuh belas jilid ,yang masing-masing jilid mengandung dua juz.[38]
Pada juz pertama, al-Qasimi mengkhususkan sebagai juz pembukaan. Pada
juz ini, al-Qasimi memfokuskan bahasannya untuk menjelaskan beberapa
visi dan sistematika tafsirnya.[39]
5. Metode Penafsiran
Dr. Abd al-Majid Abd as-Salam al-Muhtasib memasukkan tafsir karya al-Qasimi ini ke dalam kategori tafsir klasik, bersama at-Tafsiir al-Hadiits karya Muhammad Izzat Darwazat dan at-Tafsiir Al-Qur’aan li Al-Qur’aan karya Abd al-Karim al-Khatib.[40]
Argumen yang bisa diberikan kenapa Dr.
Abdul Majid memasukkan tafsir ini ke dalam tafsir klasik adalah karena
tafsir ini selalu merujuk pada sumber-sumber klasik sebagai sumber
penafsiran, baik berupa hadis-hadis Nabi maupun pendapat-pendapat para salaf ash-shaalih. Walaupun demikian, al-Qasimi tidak pernah mengabaikan aspek personality
dan pendirian-pendiriannya. Bahkan, secara berani, beliau juga sering
melontarkan kritik terhadap beberapa pendapat para mufasir yang
dijadikan rujukannya.[41]
Tentang kata-kata dalam Al-Qur’an,
al-Qasimi selalu mengkajinya dengan teliti. Al-Qasimi selalu
memperhatikan bentuk bacaan (qira’at). Beliau selalu memperhatikan
bentuk-bentuk qira’at yang mutawatir.[42]
Masih tentang kata-kata dalam Al-Qur’an, secara jeli, al-Qasimi tidak
segan-segan melakukan kajian yang mendalam untuk menafsirkan kata-kata
tersebut dan mencari idiomnya.[43] Di samping itu, beliau juga sering menyertakan aspek i’rab kalimat-kalimat Al-Qur’an.[44]
Bila dalam penafsirannya menemukan
hal-hal yang di dalamnya terdapat ambiguitas dan ketercampuran
pemahaman, beliau selalu memberikan keterangan (tanbiih).[45] Hal ini bermaksud untuk mencari kejelasan masalah dan menghindari kesalahpahaman.
Kemudian perlu diperhatikan bahwa
al-Qasimi juga bisa terjebak ke dalam fanatisme mazhab. Dalam tafsirnya,
al-Qasimi selalu membela Mazhab Ahlu as-Sunnah. Maka, kita akan
menemukan pendapat-pendapat beliau yang membantah dan meng-counter pendapat Mu’tazilah.[46]
Adalah merupakan sebuah kemajuan, jika
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Qasimi tidak pernah melupakan
kondisi masyarakat pada zamannya. Untuk itu, beliau selalu menyerang
orang-orang yang melakukan bid’ah dan berbuat taklid, seraya
memproklamirkan dibukanya pintu ijtihad. Upaya kerasnya dalam menentang
bid’ah ini dipengaruhi oleh sikap Ibnu Taimiyah.[47]
Kesimpulannya, dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Qasimi menggunakan langkah-langkah sebagai berikut.
- Memberikan kupasan dari segi bahasa.
- Mengungkapkan argumentasi untuk mendukung penafsiran yang bersumber dari hadis Nabi, pendapat sahabat, dan pendapat beberapa ulama.
- Terkadang, untuk mendukung penafsirannya, beliau mengutip kisah-kisah Isra’iliyat yang diambil dari kitab-kitab tafsir para ulama salaf.
- Memberikan elaborasi ilmiah terhadap ayat-ayat kauniyah.
- Al-Qasimi juga sering terjebak pada fanatisme mazhab, dengan selalu membela Mazhab Ahlu al-Sunnah.
- Selalu mengungkapkan situasi sosio-kultural masyarakat sekelilingnya, sehingga penafsirannya lebih membumi.
6. Contoh Penafsiran
Lihat misalnya ketika beliau menafsirkan Surah an-Nisa’ [4]: 3 yang berbunyi:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي
الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Dan, jika kamu takut tidak akan berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Qasimi
membukanya dengan menyebutkan pendapat ar-Razi, yang mengungkapkan
pandangan kaum Sudda (suku Kuhti yang berada di dekat Zabid, Yaman)
tentang diperbolehkannya nikah dengan berapa pun jumlahnya. Kaum Sudda
ini menggunakan argumen Al-Qur’an dan hadis untuk mendukung
pandangannya.
Dari Al-Qur’an, mereka mengambil ayat di
atas sebagai dasar argumentasinya. Sementara dari hadis, mereka
mencontoh apa yang dilakukan Rasulullah, yang nikah dengan sembilan
istri. Mereka juga menambahkan perlunya mengikuti perilaku Rasulullah.
Setelah mengemukakan aspek historis
tersebut, al-Qasimi kemudian mengemukakan beberapa pendapat ulama
tentang penafsiran ayat ini. Di antara para ulama yang diambil
pendapatnya oleh al-Qasimi adalah ar-Razi, asy-Syaukani, Ibnu Abd
al-Barr, asy-Syafi’i, Ibnu Abi Syaibah, Imam Ahmad, at-Tirmizi, Ibnu
Majah, dan lain-lain. Selain itu, al-Qasimi juga melakukan kajian
terhadap hadis yang dijadikan hujah oleh kaum Sudda.
Dari pemaparan contoh penafsiran
al-Qasimi di atas, tampak bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an,
al-Qasimi melibatkan banyak aspek, mulai dari kajian historis, melakukan
penyisiran terhadap beberapa pendapat ulama, sampai melakukan kajian
terhadap hadis.
D. Penutup
Demikianlah gambaran tafsir Mahaasin at-Ta’wiil karya al-Qasimi. Di akhir pembahasan, penulis perlu menggarisbawahi beberapa hal penting. Pertama, al-Qasimi merupakan sosok ilmuwan serba bisa yang mencoba mencurahkan hidupnya untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Kedua, penulisan tafsir Mahaasin at-Ta’wiil diwarnai oleh gejolak pertentangan antara dunia Islam dengan orientalisme dan kolonialisme. Ketiga, tafsir al-Qasimi ini bisa dikategorikan ke dalam corak tafsiir ‘ilmii dengan melandaskan pada kategori tafsiir bi al-ma’tsuur, yang selalu merujuk pada sumber-sumber otoritatif dalam khazanah intelektual Islam.
Sangat disayangkan jika kajian terhadap
tafsir buah karya al-Qasimi ini hanya terbatas pada kajian deskriptif.
Kajian yang lebih mendalam, dengan menekankan metode analitis-filosofis,
sangat urgen untuk dilakukan. Sebab, hanya dengan metode inilah,
perkembangan keilmuan di dunia Islam akan kembali mencapai puncak
kejayaan. [*]
DAFTAR PUSTAKA
Abrar, Indal. “Al-Jaamii’ li Ahkaam Al-Qur’aan wa al-Mubayyin limaa Tadlammanah min as-Sunnah wa Aayi Al-Furqaan Karya al-Qurtubi”, dalam Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras kerja sama dengan TH-Press, 2004.
Dahlan, Muhidin M., Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta, Yogyakarta: Jendela, 2003.
Izutsu, Toshihiko, Konsep-konsep Etika Religius dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
Jansen, J.J.G., Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim, dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
al-Kittani, ‘Abd al-Hayyi bin ‘Abd al-Kabir, Fahras al-Fahaaris wa al-Itsbaat, Juz I, t.tp.: Daar al-Garb al-Islamii, 1982.
Kuhal, ‘Umar Ridla, Mu’jam al-Mu’allifiin, Juz III, Beirut: Daar Ihyaa’ at-Turaats al-’Arabii, t.th.
Mansur, Muhammad, “Ma’aanii Al-Qur’aan Karya al-Farra’”, dalam Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras kerja sama dengan TH-Press, 2004.
al-Muhtasib, ‘Abd al-Majid ‘Abd as-Salam, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj. Moh. Maghfur Wachid, Bangil: Al-Izzah, 1997.
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003.
Nawayhadl, ‘Aadil, Mu’jam al-Mufassiriin, Jilid I, t.tp.: Muassasah Nawayhadl ats-Tsaqaafiyyah, 1986.
al-Qasimi, Muhammad Jamal ad-Din, Mahaasin at-Ta’wiil, Juz I dan Juz II, Beirut: Daar al-Fikr, 1978.
Sjadzili, Ahmad Fawaid, “Al-Qur’an dan ‘Juru Bicara’ Tuhan”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 18, Tahun 2004.
Suryadilaga, M. Alfatih, “Pendekatan
Historis John Wansbrough dalam Studi Al-Qur’an”, dalam Abdul Mustaqim
dan Sahiron Syamsudin (ed.), Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
al-Zarkili, Khair ad-Din, al-A’laam, Juz II, t.tp.: t.p., t.th.
[1]Al-Qur’aan bayna daftayi al-mushhaf laa yantiqu, wa inamaa yatakallamu bihii ar-rijaal. Ahmad Fawaid Sjadzili, “Al-Qur’an dan ‘Juru Bicara’ Tuhan”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 18, Tahun 2004, hlm. 3.
[2]Ada dua corak orientalis yang mengkaji Al-Qur’an. Pertama,
orientalis yang mengkaji aspek metodologis penafsiran Al-Qur’an. John
Wansbrough adalah contoh orientalis yang mumpuni di bidang ini. Lihat M.
Alfatih Suryadilaga, “Pendekatan Historis John Wansbrough dalam Studi
Al-Qur’an”, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed.), Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 211-229. Kedua,
orientalis yang langsung mengkaji dan melakukan pemaknaan terhadap
Al-Qur’an. Toshihiko Izutsu adalah orientalis yang banyak mengelaborasi
makna Al-Qur’an. Lihat salah satu karya Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius dalam Al-Qur’an (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003).
[3]Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 10-17.
[4]Ibid., hlm. 16.
[5]J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim, dkk. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 55.
[6]Ibid.
[7]Ibid., hlm. 62.
[8]‘Abd al-Hayyi bin ‘Abd al-Kabir al-Kittani, Fahras al-Fahaaris wa al-Itsbat, Juz I (t.tp.: Daar al-Garb al-Islaamii, 1982), hlm. 477.
[9]‘Umar Ridla Kuhal, Mu’jam al-Mu’allifiin, Juz III (Beirut: Daar Ihyaa’ at-Turaats al-’Arabii, t.th.), hlm. 157. Lihat juga dalam ‘Aadil Nawayhadl, Mu’jam al-Mufassiriin, Jilid I (t.tp.: Muassasah Nawayhadl ats-Tsaqaafiyyah, 1986), hlm. 127. Lihat juga dalam Khair ad-Din az-Zarkili, al-A’laam, Juz II (t.tp.: t.p., t.th.), hlm. 131.
[10]Ibid., hlm. 131.
[11]‘Aadil Nawayhadl, Mu’jam al-Mufassiriin, hlm. 127.
[13]‘Abd al-Majid ‘Abd as-Salam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj. Moh. Maghfur Wachid (Bangil: Al-Izzah, 1997), hlm. 35-36.
[14]Ibid., hlm. 35.
[15]Ibid., hlm. 36.
[16]Ibid., hlm. 46.
[17]‘Abd al-Hayyi bin ‘Abd al-Kabir al-Kittani, Fahras, hlm. 477. Lihat juga dalam ‘Umar Ridla Kuhal, Mu’jam al-Mu’allifiin, hlm. 158.
[18]Khair ad-Din az-Zarkili, al-A’laam, hlm. 131. Lihat juga dalam ‘Umar Ridla Kuhal, Mu’jam al-Mu’allifiin, hlm. 158.
[19]Aadil Nawayhadl, Mu’jam al-Mufassiriin, hlm. 127. Khair ad-Din az-Zarkili, al-A’laam, hlm. 131. Lihat juga dalam ‘Umar Ridla Kuhal, Mu’jam al-Mu’allifiin, hlm. 158.
[20]Khair ad-Din az-Zarkili, al-A’laam, hlm. 131.
[21]Aadil Nawayhad}, Mu’jam al-Mufassiriin, hlm. 127.
[22]Khair ad-Din az-Zarkili, al-A’laam, hlm. 131.
[23]Ibid.
[25]Muhammad Mansur, “Ma’aanii Al-Qur’aan Karya al-Farra’”, dalam Muhammad Yusuf, dkk. , Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu (Yogyakarta: Teras kerja sama dengan TH-Press, 2004), hlm. 11.
[26] ‘Abd al-Majid ‘Abd as-Salam al-Muhtasib, Visi dan, hlm. 50.
[27]Ibid., hlm. 36.
[28]Muhidin M. Dahlan, Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 97.
[29]Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi, Mahaasin at-Ta’wiil, Juz I (Beirut: Daar al-Fikr, 1978), hlm. 7-8.
[30]‘Abd al-Majid ‘Abd as-Salam al-Muhtasib, Visi dan, hlm. 37-38.
[31]Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi, Mahaasin, Juz I, hlm. 102-105.
[32]Ibid., hlm. 38.
[33]Ibid., hlm. 43.
[34]Ibid., hlm. 49.
[35]Ibid., hlm. 50.
[36]Indal Abrar, “Al-Jaamii’ li Ahkaam Al-Qur’aan wa al-Mubayyin limaa Tadlammanah min as-Sunnah wa Aayi Al-Furqaan Karya al-Qurtubi”, dalam Muhammad Yusuf, dkk. , Studi, hlm. 70.
[37]‘Abd al-Majid ‘Abd as-Salam al-Muhtasib, Visi dan, hlm. 37.
[38]Untuk keperluan kajian ini, penulis memakai kitab tafsir Mahaasin at-Ta’wiil terbitan Daar al-Fikr Beirut, tahun 1978.
[39]Lihat Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi, Mahaasin, Juz I, hlm. 4-352.
[40]‘Abd al-Majid ‘Abd as-Salam al-Muhtasib, Visi dan, hlm. 35.
[41]Ibid., hlm. 44-45.
[42]Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi, Mahaasin , Juz I, hlm. 9.
[43]Ibid., hlm. 5.
[44]‘Abd al-Majid ‘Abd as-Salam al-Muhtasib, Visi dan, hlm. 47.
[45]Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi, Mahaasin, Juz II, hlm. 115.
[46]‘Abd al-Majid ‘Abd as-Salam al-Muhtasib, Visi dan, hlm. 41.
[47]Ibid. , hlm. 48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar