A. Pendahuluan
Secara etimologis, kata ‘hermeneutik’ atau ‘hermeneutika’ berasal dari bahasa Inggris hermeneutics. Kata hermeneutics sendiri berasal dari bahasa Yunani hermeneuo yang berarti ‘mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata’ atau hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’ dan hermeneia yang berarti ‘penafsiran’. Kata hermeneuo
juga bermakna ‘menerjemahkan’ atau ‘bertindak sebagai penafsir’. Dari
beberapa makna ini dapat disimpulkan bahwa hermeneutik adalah ‘usaha
untuk beralih dari sesuatu yang relatif gelap kepada sesuatu yang lebih
terang’ atau ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi
mengerti’.[1]
Istilah hermeneutik sering diasosiasikan
kepada tokoh mitologis Yunani yang bernama Hermes. Hermes adalah seorang
utusan yang bertugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Sosok
Hermes digambarkan sebagi seseorang yang mempunyai kaki bersayap. Dalam
bahasa Latin, sosok ini lebih dikenal dengan nama Mercurius. Tugas
Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke
dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu, Hermes
harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam
bahasa yang digunakan oleh pendengarnya.[2]
Dalam proses menerjemahkan pesan dewa
yang dilakukan oleh Hermes tersebut terdapat faktor memahami dan
menerangkan sebuah pesan ke dalam medium bahasa. Inilah sesungguhnya
rahim historis yang kemudian melahirkan hermeneutik. Akan tetapi, proses
hermeneutik tidak sekadar memahami, menerjemahkan, dan menjelaskan
sebuah pesan. Di balik proses hermeneutik berjubel elemen-elemen lain
yang saling berkait dan berkelindan, seperti praanggapan, tradisi,
dialektika, bahasa, dan realitas.
Selain itu,
proses hermeneutik pun dari waktu ke waktu semakin berkembang mengikuti
alur dialektika manusia yang semakin kompleks. Menurut telaah Fakhruddin
Faiz, dalam perkembangannya, hermeneutik memiliki tiga model, yaitu
hermeneutik sebagai cara untuk memahami atau hermeneutika teoritis,
hermeneutik sebagai cara untuk memahami pemahaman atau hermeneutika
filosofis, hermeneutik sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman atau
hermeneutika kritis.[3]
Dalam makalah ini, penulis tidak akan
mengupas secara tuntas ketiga model hermeneutik tersebut. Penulis hanya
akan menelaah epistemologi hermeneutik Hans-Georg Gadamer yang masuk
dalam kategori hermeneutika filosofis. Selain karena tuntutan tugas mata
kuliah, kajian sederhana ini juga diinspirasi oleh kehebohan karya
Gadamer yang berjudul Wahrheit und Methode. Grundziige einer philosophischen Hermeneutik [Kebenaran dan Metode: Sebuah Hermeneutika Filosofis Menurut Garis Besarnya] (1960).[4] Selain berhasil melambungkan nama Gadamer sejajar dengan nama para filsuf sebelumnya, magnum opus ini juga berhasil mendobrak kebuntuan dunia pemahaman yang sempat mandek.
B. Kehidupan Hans-Georg Gadamer
Hans-Georg Gadamer dilahirkan di kota Breslau[5]
pada 11 Februari 1900. Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat
ditentang oleh ayahnya yang berprofesi sebagai seorang profesor kimia di
sebuah universitas. Menurut ayah Gadamer, filsafat, kesusastraan, dan
ilmu-ilmu humaniora pada umumnya bukan merupakan ilmu pengetahuan yang
serius. Akan tetapi, Gadamer tidak mendengar perkataan ayahnya. Ia
berpegang teguh pada pilihannya untuk memperdalam filsafat. Tetapi
sayang, sang ayah yang tidak merestui pilihan sang anak tidak sempat
menyaksikan keberhasilan Gadamer sebagai seorang filsuf, karena sudah
meninggal pada tahun 1928.[6]
Petualangan intelektual Gadamer di bidang
filsafat dimulai di Universitas Breslau. Kemudian, Gadamer pindah ke
Marburg mengikuti kepindahan ayahnya ke kota tersebut. Di kota ini,
Gadamer belajar filsafat kepada sejumlah filsuf, di antaranya Paul
Natorp, Nicolai Hartmann, dan Rudolf Bultmann.
Pada tahun 1922, Gadamer berhasil meraih gelar doktor filsafat dengan
sebuah disertasi tentang Plato. Sesudah itu, Gadamer mengikuti kuliah
Martin Heidegger di Freiburg. Pada tahun 1927, Heidegger mengusulkan
kepada Gadamer untuk membuat Habilitation. Dalam sistem akademis di Jerman, orang yang sudah memiliki gelar doktor filsafat harus membuat tulisan Habilitation sebelum bisa diangkat sebagai dosen di universitas. Di bawah bimbingan Heidegger, akhirnya Gadamer berhasil membuat Habilitation tentang etika dialektis Plato. Akhirnya, Gadamer pun diangkat menjadi dosen pada Universitas Marburg.[7]
Selain dipengaruhi oleh beberapa filsuf tersebut, Gadamer juga banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, G.W.F.
Hegel, Søren Kierkegaard, F.D.E. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Edmund
Husserl, dan Karl Jaspers.[8]
Pada periode nasional-sosialisme Hitler,
Gadamer tidak melibatkan diri dalam kancah politik. Walaupun demikian,
ketika pada tahun 1933 muncul anjuran kepada para profesor dan tenaga
pengajar di Jerman supaya menandatangani pernyataan dukungan terhadap
Hitler, Gadamer tidak menolaknya. Akhirnya, pada tahun 1936, Gadamer
diangkat menjadi profesor di bidang filsafat. Selanjutnya, pada tahun
1939, Gadamer dipanggil ke Universitas Leipzig di Jerman Timur untuk
diangkat sebagai guru besar penuh. Setelah selesai Perang Dunia II
(1945), kota Leipzig termasuk wilayah yang ada di bawah pengawasan Uni
Soviet dan dimasukkan ke dalam wilayah Jerman Timur yang komunis. Berkat
keuletannya bekerja sebagai guru besar, akhirnya Gadamer diangkat
sebagai dekan fakultas filsafat, untuk selanjutnya diangkat sebagai
rektor universitas.[9]
Akan tetapi, Gadamer tidak dapat bertahan
lama memegang jabatan tersebut. Karena tekanan rezim komunis sehingga
membuat penelitian dipersulit, Gadamer hijrah ke Jerman Barat. Pada
tahun 1948, Gadamer bekerja di Frankfurt am Main. Selanjutnya, pada
tahun 1949, Gadamer menggantikan posisi Karl Jaspers di Universitas
Heidelberg. Akhirnya, Heidelberg menjadi tempat yang kondusif bagi
karier Gadamer sampai memasuki masa pensiun pada tahun 1968. Setelah
pensiun, Gadamer sering mengisi ceramah di Amerika Serikat, Jerman, dan
beberapa tempat lain. Walaupun telah memasuki usia lanjut, Gadamer tetap
sering mengikuti diskusi-diskusi filosofis dan termasuk salah seorang
filsuf yang paling populer di Jerman. Setelah melewati petualangan
filosofis yang demikian panjang dan melelahkan, Gadamer akhirnya
meninggal di kota Heidelberg pada 13 Maret 2002 di usia 102 tahun.[10]
Wahrheit und Methode. Grundziige einer philosophischen Hermeneutik [Kebenaran dan Metode: Sebuah Hermeneutika Filosofis Menurut Garis Besarnya] (1960) adalah karya utama dan magnum opus Gadamer. Selain itu, masih banyak karya yang dihasilkan dari tangan Gadamer. Di antaranya adalah Platons dialektische Ethik und andere Studien zur platonischen Philosophie [Etika Dialektis dari Plato dan Studi-studi Lain tentang Filsafat Plato] (1968), Hegels Dialektik. Fünf hermeneutische Studien [Dialektika Hegel: Lima Studi Hermeneutis] (1971), Kleine Schriften I, II, III, IV [Karangan-karangan Kecil I, II, III, IV] (1967, 1967, 1972, 1977), Philosophische Lehrjahre. Eine Rückschau [Tahun-tahun Saya Belajar Filsafat: Sebuah Retrospeksi] (1977), dan Hans-Georg Gadamer. Gesammelte Werke (1986-1995) yang merupakan kumpulan karya-karya penting Gadamer yang terdiri atas 10 jilid.[11]
C. Kritik Hans-Georg Gadamer terhadap Sistem Pengetahuan
Secara umum, dunia hermeneutik adalah dunia pemahaman atau penafsiran (verstehen).
Dalam perkembangannya, metode pemahaman ini dari generasi ke generasi
terus berkembang. Pada tingkat awal, dunia hermeneutik dibuka dengan
gagasan Schleiermacher dan Dilthey yang biasa dikenal dengan
hermeneutika romantis.[12]
Dalam pandangan Schleiermacher dan Dilthey, mengerti atau memahami
suatu teks adalah menemukan arti asli teks tersebut atau menampilkan apa
yang dimaksud oleh pengarang teks, yakni pikiran, pendapat, visi,
perasaan, dan maksud pengarang teks. Oleh karena itu, seorang penafsir
harus memiliki pengetahuan yang luas tentang sejarah dan psikologi. Bagi
kedua pemikir perintis hermeneutik ini, interpretasi suatu teks
merupakan pekerjaan reproduktif. Mencapai arti yang benar dan genuine
dari suatu teks adalah kembali kepada apa yang dihayati dan mau
dikatakan oleh sang pengarang. Singkatnya, kerja interpretasi adalah
kerja rekonstruksi sebuah teks demi mendulang sebuah makna asli.[13]
Selain itu, dalam pemikiran
Schleiermacher dan Dilthey, seorang interpretator harus sanggup
melepaskan diri dari situasi historisnya. Ia seolah-olah dapat “pindah”
ke zaman lain. Artinya, seorang interpretator tidak boleh terikat dengan
suatu horison historis yang melingkupinya.[14] Tegasnya, ia keluar dari situasi dan kondisi zamannya untuk kemudian melancong ke situasi dan kondisi penulis teks.
Walaupun Gadamer termasuk pengagum
Schleiermacher dan Dilthey, dan pemikirannya banyak dipengaruhi oleh
Schleiermacher dan Dilthey, tetapi Gadamer juga banyak memberikan kritik
terhadap pemikiran dua tokoh romantik ini. Pertama, Gadamer
keberatan dengan pendapat Schleiermacher dan Dilthey yang menerangkan
bahwa hermeneutik bertugas menemukan makna asli sebuah teks. Menurut
Gadamer, interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks lalu
mencari makna yang dikehendaki oleh pengarang teks tersebut. Bagi
Gadamer, arti suatu teks tetap terbuka dan tidak terbatas pada maksud
pengarang teks tersebut.[15] Karena itu, interpretasi tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi juga produktif.[16]
Kedua, Gadamer juga mengkritik
pendapat hermeneutika romantis tentang waktu, yakni bahwa seorang
interpretator harus dapat melepaskan diri dari dimensi waktu yang
melingkupinya dan berziarah ke dimensi waktu pengarang teks. Menurut
Gadamer, kita sebagai interpretator tidak dapat melepaskan diri dari
situasi historis di mana kita berada. Arti suatu teks tidak terbatas
pada masa lampau waktu teks tersebut ditulis, tetapi juga mempunyai
keterbukaan makna untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh
karena itu, memahami dan menginterpretasikan suatu teks merupakan tugas
yang tidak akan pernah selesai. Setiap zaman memiliki beban tugas untuk
menginterpretasikan suatu teks.[17]
Dalam istilah F. Budi Hardiman, makna teks bukanlah makna bagi
pengarangnya, melainkan makna bagi kita yang hidup di zaman ini. Maka,
menafsirkan adalah proses kreatif.[18]
Ketiga, Gadamer juga mengkritik
secara tajam konsep “tradisi’ dan “prasangka” yang digagas para
pengusung hermeneutika romantis. Menurut tradisi hermeneutika romantis,
dalam menafsirkan suatu teks, prasangka harus dihindarkan jauh-jauh.
Menurut para pemikir hermeneutika romantis, prasangka (prejudice)
hanya memiliki arti kurang baik dan bertentangan dengan kebenaran.
Gadamer menolak pandangan ini. Menurut Gadamer, dalam memahami suatu
teks, kita tidak dapat melepaskan diri dari prasangka. Akan tetapi,
bukan berarti interpretasi menjadi suatu usaha yang subjektif dan tidak
kritis. Oleh karena itu, kita harus membedakan antara prasangka yang
legitim dan prasangka yang tidak legitim, serta antara prasangka yang
sah dan prasangka yang tidak sah. Demikian pula, sementara hermeneutika
romantis menafikan otoritas suatu tradisi, Gadamer justru mengakuinya.
Menurut Gadamer, walaupun kita mengakui otoritas suatu tradisi dan
bahkan menjadi bagian dari tradisi, tetapi hal itu tidak akan menghambat
pengenalan kita terhadap suatu teks. Sebaliknya, tradisi justru akan
membantu kita dalam proses pemahaman.[19]
Selain mengkritisi beberapa konsep
hermeneutika romantis yang digagas oleh Schleiermacher dan Dilthey,
Gadamer juga mengkritik epistemologi hermeneutika romantis yang
cenderung metodologis. Yakni, bahwa ilmu pengetahuan apa pun baru diakui
sebagai ilmiah jika memiliki basis empirisme. Dengan pola pikir ini,
hermeneutika menjadi bagian dari alam positivisme yang mensyaratkan
objektivisme. Oleh karena itu, model hermeneutik yang diusung oleh
Schleiermacher dan Dilthey, juga Betti, ini sering juga disebut
hermeneutika objektivis.[20]
Pandangan ini dibantah oleh Gadamer.
Gadamer berpendapat bahwa upaya objektivistik hanya akan menjadi
kesia-siaan belaka bagi siapa pun yang akan menafsirkan sebuah teks.
Sebab, jurang tradisi antara pengarang dan penafsir tidak mungkin
disatukan lagi. Selain itu, penafsir juga tidak dapat dikosongkan dari
pengaruh kulturalnya. Oleh karena itu, menurut Gadamer, upaya
objektivisme murni dalam hermeneutik hanya akan menjadi kesia-siaan. Hal
yang mungkin dilakukan adalah memproduksi makna yang dikandung oleh
teks sehingga teks tersebut akan menjadi lebih kaya makna. Gadamer
menegaskan bahwa jurang waktu dan jurang tradisi antara pengarang dan
penafsir tidak mungkin disatukan. Menurutnya, yang terpenting adalah
dialektika atau dialog yang produktif antara masa lalu dan masa kini.[21]
D. Sistem dan Metode Ilmu yang Ditawarkan oleh Hans-Georg Gadamer
Dalam pandangan Gadamer, pemahaman manusia senantiasa merupakan peristiwa historis, dialektik, dan linguistik.[22]
Dengan demikian, dalam sistem dan metode pengetahuan yang digagas oleh
Gadamer, kebenaran diperoleh melalui proses dialektika. Tujuan dari
proses dialektika adalah menggelitik realitas yang dijumpai, dalam hal ini teks, supaya mengungkapkan dirinya. Oleh
karena itu, dalam pandangan Gadamer, tugas hermeneutik adalah
mengeluarkan teks dari alienasinya, dan mengembalikannya ke dalam dialog
yang riil dengan kehidupan manusia di masa kini.[23]
Menurut Gadamer, tujuan hermeneutik
bukanlah menerapkan berbagai macam aturan baku dan kaku untuk meraih
pemahaman yang “benar objektif”, tetapi untuk mendapatkan pemahaman
seluas mungkin. Dengan demikian, kunci untuk memahami bukan dengan cara
memanipulasi atau menguasai, tetapi dengan partisipasi dan keterbukaan;
bukan dengan pengetahuan, tetapi dengan pengalaman; dan bukan dengan
metodologi, tetapi dengan dialektika.[24]
Dalam proses dialektika, teks dan penafsir menjalani suatu keterbukaan
satu sama lain sehingga keduanya saling memberi dan menerima yang
kemudian memungkinkan bagi lahirnya pemahaman yang baru.[25]
Dalam membangun sistem pengetahuannya
ini, Gadamer banyak dipengaruhi oleh pemikiran Hegel. Oleh karena itu,
dialektika dan spekulativitas dalam sistem pengetahuan yang dibangun
oleh Gadamer merujuk pada pemikiran Hegel.[26]
Dalam proses pemahaman dan interpretasi
dengan sistem dialektika ini, Gadamer meniscayakan empat faktor yang
tidak boleh diabaikan.[27] Pertama, bildung atau
pembentukan jalan pikiran. Dalam kaitannya dengan proses pemahaman atau
penafsiran, jika seseorang membaca sebuah teks, maka seluruh pengalaman
yang dimiliki oleh orang tersebut akan ikut berperan. Dengan demikian,
penafsiran dua orang yang memiliki latar belakang, kebudayaan, usia, dan
tingkat pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam proses
penafsiran, bildung sangat penting. Sebab, tanpa bildung,
orang tidak akan dapat memahami ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu
kemanusiaan. Singkatnya, orang tidak dapat menginterpretasi ilmu-ilmu
tersebut dengan caranya sendiri.
Kedua, sensus communis
atau pertimbangan praktis yang baik atau pandangan yang mendasari
komunitas. Istilah ini merujuk pada aspek-aspek sosial atau pergaulan
sosial. Para filsuf zaman dulu menyebutnya dengan “kebijaksanaan”.
Istilah mudahnya adalah “suara hati”. Misalnya, sejarawan sangat
memerlukan sensus communis untuk memahami latar belakang yang mendasari pola sikap manusia. Ketiga,
pertimbangan, yaitu menggolongkan hal-hal yang khusus atas dasar
pandangan tentang yang universal. Pertimbangan merupakan sesuatu yang
berhubungan dengan apa yang harus dilakukan. Faktor ini memang sulit
untuk dipelajari dan diajarkan. Faktor ini hanya dapat dilakukan sesuai
dengan kasus-kasus yang ada. Faktor ini menjadi pembeda antara orang
pintar dan orang bodoh. Orang bodoh yang miskin pertimbangan tidak dapat
menghimpun kembali apa yang telah dipelajari dan diketahuinya sehingga
ia tidak dapat mempergunakan hal-hal tersebut dengan benar. Keempat, taste atau
selera, yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan macam-macam rasa
atau keseimbangan antara insting pancaindra dan kebebasan intelektual.
Gadamer menyamakan selera dengan rasa. Dalam operasionalnya, selera
tidak memakai pengetahuan akali. Jika selera menunjukkan reaksi negatif
atas sesuatu, kita tidak tahu penyebabnya.
E. Konstruksi Epistemologis Pemikiran Hans-Georg Gadamer
1. Sumber dan Hakikat Pengetahuan
Menurut Gadamer, sejarah atau sosialitas
masyarakat merupakan medium berlangsungnya semua sistem pengetahuan.
Sejarah sendiri merupakan sebuah perjalanan tradisi yang ingin membangun
visi dan horison kehidupan di masa depan.[28]
Di dalam sejarah, setiap orang mengembangkan cara-cara memahami satu
sama lain. Mereka mengkombinasikan berbagai makna menjadi satu sistem
makna yang general. Dengan demikian, bahasa suatu masyarakat (native language) tidak hanya sebagai simbol yang merepresentasi diri (self), tetapi juga karakter (nature) dan pemikiran atau pandangan masyarakat (worldview, thought, weltanschaung).
Bahasa memiliki kekuatan untuk mengungkap dan juga menyembunyikan suatu
makna yang dimiliki atau dipahami secara eksklusif oleh komunitas
setempat. Oleh karena itu, orang lain yang hendak memahami bahasa atau
pemikiran suatu masyarakat harus masuk ke dalam sejarah dan cara
membahasa mereka (baca: tradisi mereka).[29]
Singkatnya, kerangka pemikiran (worldview) dan pengetahuan (self-knowledge)
manusia dibentuk dan mewujud dalam seluruh proses sejarah. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa tugas utama hermeneutik adalah memahami teks
(baca: sejarah dan tradisi)[30] dan hakikat pengetahuan dalam tradisi hermeneutik filosofis Gadamer adalah pemahaman atau penafsiran (verstehen) terhadap teks tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi sang penafsir.[31]
2. Alat Pengetahuan
Karena bahasa merupakan the concrete expression of ‘form of life’ or ‘tradition’ (ekspresi kongkret dari kehidupan atau tradisi), maka bahasa menjadi titik sentral dalam proses pemahaman (understanding/verstehen).[32]
Menurut Gadamer, “mengerti” tidak mungkin dapat terlaksana tanpa
bahasa. Karena “mengerti” bukan saja dilakukan dalam memahami teks-teks
masa lampau, tetapi merupakan sikap paling fundamental dalam eksistensi
manusia, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa mempunyai relevansi
ontologis. “Mengerti” sama dengan mengadakan percakapan atau dialog
dengan yang ada, suatu percakapan di mana sungguh-sungguh terjadi
sesuatu.[33]
Gadamer menegaskan bahwa masalah hermeneutik bukan penguasaan yang
benar terhadap bahasa, tetapi pemahaman yang tepat terhadap sesuatu yang
terjadi melalui media bahasa.[34] Kaitannya dengan proses pemahaman, Gadamer menegaskan hanya melalui bahasalah wujud (baca: makna) bisa disingkapkan.[35]
Berbicara tentang bahasa, Gadamer sering
menekankan bahwa bahasa tidak terutama mengekspresikan pemikiran, tetapi
mengekspresikan objek itu sendiri. Menurutnya, tidak ada perkataan yang
dapat mengungkapkan suatu objek secara tuntas. Hal ini terjadi bukan
karena keterbatasan bahasa, tetapi karena keberhinggaan (baca: keluasan)
subjek manusia.[36]
Selanjutnya, Gadamer juga menjelaskan bahwa bahasa lebih dari sekadar
suatu sistem tanda. Sebab, objek dan kata tidak dapat dipisahkan. Di
antara keduanya terdapat kesatuan yang begitu erat, sehingga mencari
suatu kata sebetulnya tidak lain daripada mencari kata yang seakan-akan
melekat pada benda. Demikian pula, bahasa dan pemikiran pun membentuk
suatu kesatuan yang tak terpisahkan.[37]
3. Teori dan Metode Memperoleh Pengetahuan
Berikut ini adalah teori dan metode
Gadamer dalam memperoleh pengetahuan, dalam hal ini meraih pemahaman
atas suatu teks atau tradisi.[38]
a. Teori “Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah” (Historically Effected Consciousness)
Menurut teori ini, pemahaman seorang
penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang
melingkupinya, baik itu berupa tradisi, kultur, ataupun pengalaman
hidup. Oleh karena itu, pada saat menafsirkan sebuah teks, seorang
penafsir harus sadar bahwa dia berada pada posisi tertentu yang bisa
mempengaruhi pemahamannya terhadap sebuah teks yang sedang
ditafsirkannya. Lebih lanjut Gadamer mengatakan, seseorang harus belajar
memahami dan mengenali bahwa dalam setiap pemahaman, baik dia sadar
atau tidak, pengaruh dari affective history (“sejarah yang
mempengaruhi seseorang”) sangat mengambil peran. Sebagaimana diakui oleh
Gadamer, mengatasi problem keterpengaruhan ini memang tidaklah mudah.
Pesan dari teori ini adalah bahwa seorang penafsir harus mampu mengatasi
subjektivitasnya ketika dia menafsirkan sebuah teks.[39]
b. Teori “Prapemahaman” (Pre-Understanding)
Keterpengaruhan oleh situasi hermeneutik atau affective history tertentu membentuk pada diri seorang penafsir apa yang disebut Gadamer dengan istilah pre-understanding
atau “prapemahaman” (baca: praanggapan) terhadap teks yang ditafsirkan.
Prapemahaman yang merupakan posisi awal penafsir memang pasti dan harus
ada ketika ia membaca teks. Gadamer menyatakan bahwa dalam proses
pemahaman, prapemahaman selalu memainkan peran. Dalam praktiknya,
prapemahaman ini diwarnai oleh tradisi yang berpengaruh, di mana seorang
penafsir berada, dan juga diwarnai oleh perkiraan awal (prejudice) yang terbentuk dalam tradisi tersebut.[40]
Keharusan adanya prapemahaman tersebut,
menurut teori ini, dimaksudkan agar seorang penafsir mampu
mendialogkannya dengan isi teks yang ditafsirkan. Tanpa prapemahaman,
seseorang tidak akan berhasil memahami teks dengan baik. Bahkan, Oliver
R. Scholz menyatakan bahwa prapemahaman yang disebutnya dengan istilah
“asumsi atau dugaan awal” merupakan “sarana yang tak terelakkan bagi
pemahaman yang benar”. Meskipun demikian, menurut Gadamer, prapemahaman
harus terbuka untuk dikritisi, direhabilitasi, dan dikoreksi oleh
penafsir itu sendiri ketika dia sadar atau mengetahui bahwa
prapemahamannya itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh teks yang
ditafsirkan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman
terhadap pesan teks. Hasil dari rehabilitasi atau koreksi terhadap
prapemahaman ini disebutnya dengan istilah “kesempurnaan prapemahaman”.[41]
c. Teori “Penggabungan/Asimilasi Horison” (Fusion of Horizons) dan Teori “Lingkaran Hermeneutik” (Hermeneutical Circle)
Dalam menafsirkan teks, seseorang harus
selalu berusaha memperbarui prapemahamannya. Hal ini berkaitan erat
dengan teori “penggabungan atau asimilasi horison” (fusion of horizons).
Menurut teori ini, proses penafsiran seseorang dipengaruhi oleh dua
horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau horison yang ada di dalam
teks dan cakrawala (pemahaman) atau horison pembaca. Kedua horison ini
selalu hadir dalam setiap proses pemahaman dan penafsiran. Seorang
pembaca teks akan memulai pemahaman dengan cakrawala hermeneutiknya.
Namun, dia juga memperhatikan bahwa teks yang dia baca mempunyai
horisonnya sendiri yang mungkin berbeda dengan horison yang dimiliki
pembaca. Dua bentuk horison ini, menurut Gadamer, harus dikomunikasikan,
sehingga ketegangan di antara keduanya dapat diatasi. Oleh karena itu,
ketika seseorang membaca teks yang muncul pada masa lalu, maka dia harus
memperhatikan horison historis di mana teks tersebut muncul (baca:
diungkapkan atau ditulis).[42]
Seorang pembaca teks harus memiliki
keterbukaan untuk mengakui adanya horison lain, yakni horison teks yang
mungkin berbeda atau bahkan bertentangan dengan horison pembaca. Dalam
hal ini, Gadamer menegaskan, “Saya harus membiarkan teks masa lalu
berlaku (memberikan informasi tentang sesuatu). Hal ini tidak
semata-mata berarti sebuah pengakuan terhadap ‘keberbedaan’ masa lalu,
tetapi juga bahwa teks masa lalu mempunyai sesuatu yang harus dikatakan
kepadaku.” Intinya, memahami sebuah teks berarti membiarkan teks yang
dimaksud berbicara.[43]
Interaksi di antara dua horison tersebut dinamakan “lingkaran hermeneutik” (hermeneutical circle).
Menurut Gadamer, horison pembaca hanya berperan sebagai titik berpijak
seseorang dalam memahami teks. Titik pijak pembaca ini hanya merupakan
sebuah “pendapat” atau “kemungkinan” bahwa teks berbicara tentang
sesuatu. Titik pijak ini tidak boleh dibiarkan memaksa pembaca agar teks
harus berbicara sesuai dengan titik pijaknya. Sebaliknya, titik pijak
ini justru harus bisa membantu memahami apa yang sebenarnya dimaksud
oleh teks. Dalam proses ini terjadi pertemuan antara subjektivitas
pembaca dan objektivitas teks, di mana makna objektif teks harus lebih
diutamakan oleh pembaca atau penafsir teks.[44]
d. Teori “Penerapan/Aplikasi” (Application)
Makna objektif teks harus mendapat
perhatian dalam proses pemahaman dan penafsiran. Ketika makna objektif
telah dipahami, kemudian apa yang harus dilakukan oleh pembaca atau
penafsir teks yang di dalamnya terkandung pesan-pesan yang harus
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari? Di sisi lain, situasi ketika
munculnya teks tersebut dan masa ketika seorang penafsir hidup telah
jauh berbeda. Menurut Gadamer, ketika seseorang membaca kitab suci, maka
selain proses memahami dan menafsirkan, ada satu hal lagi yang
dituntut, yakni “penerapan” (application) pesan-pesan atau ajaran-ajaran pada masa ketika teks kitab suci itu ditafsirkan.[45]
Pertanyaannya adalah: apakah makna objektif teks tersebut harus terus
dipertahankan dan diaplikasikan pada masa ketika seorang penafsir hidup?
Menanggapi pertanyaan ini, Gadamer berpendapat bahwa pesan yang harus
diaplikasikan pada masa penafsiran bukan makna literal teks, tetapi
“makna yang berarti” (meaningfull sense) atau pesan yang lebih berarti daripada sekadar makna literal.[46]
Intinya, dalam membaca dan mamahami teks-teks historis berlaku proses hermeneutis yang dalam istilah Gadamer disebut effective history.[47] Konsep ini dimaksudkan untuk melihat tiga kerangka waktu yang mengitari wilayah teks-teks historis. Pertama,
masa lampau, di mana sebuah teks dilahirkan atau dipublikasikan. Di
sini, makna teks bukan hanya milik pengarang, tetapi juga milik setiap
orang yang berusaha membaca dan memahaminya. Kedua, masa kini,
di mana penafsir datang dengan membawa sejumlah prasangka atau
praanggapan. Dengan prasangka ini, penafsir akan berdialog dengan masa
lalu sehingga melahirkan makna baru yang sesuai dengan kondisi penafsir.
Ketiga, masa depan, di mana di dalamnya terdapat nuansa baru yang produktif.[48]
4. Teori Kebenaran Pengetahuan
Dalam Truth and Method, Gadamer
berusaha melanjutkan dan menyempurnakan gagasan gurunya, Martin
Heidegger, tentang keterkaitan antara keberadaan manusia dan kemungkinan
pemahaman yang bisa dilakukan. Dalam pandangan Heidegger, yang kemudian
diikuti dan disempurnakan oleh Gadamer, hermeneutik adalah penafsiran
terhadap esensi (being) yang dalam kenyataannya selalu tampil
dalam eksistensi. Dengan demikian, suatu kebenaran tidak lagi ditandai
oleh adanya kesesuaian (koherensi) antara konsep teoritis dan realitas
objektif (sebagaimana dilakukan oleh kalangan positivisme dengan dalih
mencari objektivitas), tetapi oleh tersingkapnya esensi atau hakikat
sesuatu. Dan, satu-satunya wahana bagi penampakan being tersebut adalah eksistensi manusia.[49]
5. Pengujian Kebenaran Pengetahuan
Di atas telah dinyatakan bahwa dalam
tradisi hermeneutika filosofis yang digagas oleh Heidegger dan Gadamer,
suatu kebenaran tidak lagi ditandai oleh adanya kesesuaian (koherensi)
antara konsep teoritis dan realitas objektif, tetapi oleh tersingkapnya
esensi atau hakikat sesuatu. Dengan demikian, dalam tradisi hermeneutika
filosofis tidak ada konsep pengujian kebenaran lewat media verifikasi
dan falsifikasi sebagaimana lazim dilakukan dalam tradisi filsafat
positivisme abad pencerahan. Sebab, studi filosofis dalam hermeneutika
ala Gadamer lebih menekankan pada masalah interpretasi atau pemahaman (verstehen) daripada masalah kepastian (evidence) dan masalah objektivitas kebenaran.[50]
F. Relevansi dan Implikasi Pemikiran Hans-Georg Gadamer dalam Pendidikan
Paling tidak ada tiga sumbangan penting pemikiran Gadamer bagi dunia pendidikan. Pertama,
keterbukaan terhadap yang lain. Hal ini bisa ditengarai dari konsep
pemahaman Gadamer yang meniscayakan meleburnya latar belakang penafsir
dalam dunia makna sehingga melahirkan pluralitas penafsiran. Di sinilah
pentingnya keterbukaan terhadap yang lain dalam bingkai saling
menghormati dan saling menghargai.
Kedua, tidak fanatik terhadap
paham atau mazhab yang dianut. Hal ini bisa dilihat dari sikap Gadamer
yang tidak pernah melegitimasi sebuah penafsiran sebagai sesuatu yang
benar. Sebab, menurut Gadamer, setiap pemahaman dipengaruhi oleh situasi
dan kondisi sang penafsir sehingga penafsiran dan pemahaman akan sebuah
teks menjadi sangat beragam.
Ketiga, semangat pendidikan
untuk perubahan. Hal ini terinspirasi oleh proses pemahaman dan
pembacaan terhadap teks yang menurut Gadamer tidak akan pernah berhenti.
Proses ini meniscayakan sebuah pembaruan yang terus-menerus terhadap
pengetahuan. Dengan semangat ini, seharusnya pendidikan bukan untuk
mempertahankan status quo, tetapi untuk mencapai kemajuan di segala bidang.
G. Penutup
Gagasan Gadamer tentang hermeneutika filosofis merupakan sebuah gebrakan dalam lapangan hermeneutik. Lewat karya monumentalnya Truth and Method yang
lahir pada tahun 1960, Gadamer berhasil mentahbiskan diri sebagai
seorang pemikir terkemuka dalam filsafat kontemporer. Dengan
progresivitas pemikiran hermeneutik ala Gadamer, impian umat Islam untuk
menggapai kejayaan peradaban akan segera terwujud. Sebab, imbas
pemikiran Gadamer akan memberikan efek besar terhadap perubahan tradisi
Islam yang selama ini terasa sangat kaku dan beku. Tentu saja untuk
mewujudkan hal ini perlu upaya “membumikan” pemikiran Gadamer di
kalangan umat Islam yang tengah tertidur lelap. []
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 2002.
Chariri, Anis. “Philosophy of Social Science: Interpretative Sociology”, dalam www.anischariri.multiply.com, 12 November 2009.
Faiz, Fakhruddin. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005.
Gadamer, Hans-Georg. Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
“Hans-Georg Gadamer”, dalam www.id.wikipedia.org, 12 November 2009.
Hardiman, F. Budi. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, 1996.
Maspaitella, Elifas Tomix. “Hermeneutika Gadamer dalam Konteks Membahasa Masyarakat”, dalam www.kutikata.blogspot.com, 12 November 2009.
Mulyono, Edi. “Hermeneutika Linguistik-Dialektis Hans-Georg Gadamer”, dalam Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin (ed.), Hermeneutika Transendental: dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, 2005.
Palmer, Richard E. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Ponsa. “Relevansi Konsep Gadamer tentang The Experience of History untuk Memaknai Teks Kitab Suci yang Opresif”, dalam www.ponsa.wordpress.com, 12 November 2009.
Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Syamsuddin, Syahiron. “Integrasi
Hermeneutika Hans-Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir: Sebuah Proyek
Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’an pada Masa Kontemporer”, Makalah
pada Annual Conference Islamic Studies (ACIS) yang dilaksanakan oleh
Ditpertais Departeman Agama RI, Bandung, 26-30 November 2006.
[1]F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 37. Bandingkan dengan E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 23-24.
[2]Ibid.
[3]Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 8-11.
[4]Edisi bahasa Inggris-nya berjudul Truth and Method (New York: The Seabury Press, 1965). Adapun edisi bahasa Indonesia-nya berjudul Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
[5]Menurut sumber lain, Gadamer dilahirkan di kota Marburg. Lihat “Hans-Georg Gadamer”, dalam www.id.wikipedia.org, 12 November 2009.
[6]K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 254.
[7]Ibid., hlm. 254-255.
[8]“Hans-Georg Gadamer”, dalam www.id.wikipedia.org, 12 November 2009.
[9]K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 255-256. Bandingkan dengan “Hans-Georg Gadamer”, dalam www.id.wikipedia.org, 12 November 2009.
[10]Ibid. Bandingkan dengan K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 255-256.
[11]K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 256-257.
[12]Istilah ini mengacu pada zaman romantik atau zaman pencerahan.
[13]K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 261.
[14]Ibid., hlm. 262.
[15]Paul
Ricoeur menyebutnya dengan istilah otonomi teks. Dalam hal ini, Ricoeur
terkenal dengan jargon “Matinya sang penulis”. Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 109.
[16]K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 263.
[17]Ibid. Tentang hal ini, Gadamer memiliki konsep penerapan (application).
Istilah mudahnya adalah kontekstualisasi. Artinya, setiap generasi
punya tugas untuk mengkontekstualisasikan (memahami dan menerapkan)
makna sebuah teks bagi masa dan zamannya masing-masing. Bandingkan
dengan F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, hlm. 48-49.
[18]Ibid., hlm. 44.
[19]K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 264-265.
[20]Edi Mulyono, “Hermeneutika Linguistik-Dialektis Hans-Georg Gadamer”, dalam Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin (ed.), Hermeneutika Transendental: dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 134-135.
[21]Ibid., hlm. 135-136.
[22]Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 255.
[23]Ponsa, “Relevansi Konsep Gadamer tentang The Experience of History untuk Memaknai Teks Kitab Suci yang Opresif”, dalam www.ponsa.wordpress.com, 12 November 2009.
[24]Richard E. Palmer, Hermeneutika, hlm. 255.
[25]Edi Mulyono, “Hermeneutika Linguistik-Dialektis”, hlm. 142.
[26]Richard E. Palmer, Hermeneutika, hlm. 257.
[27]E. Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 71-77 dan 84. Bandingkan dengan Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta:
Belukar, 2005), hlm. 142-143. Penjelasan gamblang Gadamer terhadap
keempat faktor ini dapat dilihat dalam Hans-Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 10-48.
[28]Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 21-22.
[29]Elifas Tomix Maspaitella, “Hermeneutika Gadamer dalam Konteks Membahasa Masyarakat”, dalam www.kutikata.blogspot.com, 12 November 2009.
[30]E. Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 80.
[31]Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 141.
[32]Anis Chariri, “Philosophy of Social Science: Interpretative Sociology”, dalam www.anischariri.multiply.com, 12 November 2009, hlm. 25.
[33]K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 265.
[34]Hans-Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode, hlm. 467.
[35]Edi Mulyono, “Hermeneutika Linguistik-Dialektis”, hlm. 140.
[36]K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 265-266.
[37]Ibid., hlm. 266.
[38]Syahiron
Syamsuddin, “Integrasi Hermeneutika Hans-Georg Gadamer ke dalam Ilmu
Tafsir: Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’an pada Masa
Kontemporer”, Makalah pada Annual Conference Islamic Studies
(ACIS) yang dilaksanakan oleh Ditpertais Departeman Agama RI, Bandung,
26-30 November 2006, hlm. 5-9.
[39]Ibid., hlm. 6-7.
[40]Ibid., hlm. 7.
[41]Ibid.
[42]Ibid., hlm. 8.
[43]Ibid.
[44]Ibid., hlm. 8-9.
[45]Istilah mudahnya adalah kontekstualisasi.
[46]Ibid., hlm. 9.
[47]Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hlm. 22. Bandingkan dengan Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 143.
[48]Ibid.
[49]Ibid., hlm. 140-141. Bandingkan dengan Edi Mulyono, “Hermeneutika Linguistik-Dialektis”, hlm. 137.
[50]Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 141.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar