STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Sabtu, 12 Mei 2012

Membangun Kerangka Metodologi Tafsir Al-Qur’an

Bagi komunitas umat Islam, al-Qur’an berfungsi sebagai hudan, petunjuk dan pedoman hidup.[1] Hal ini kemudian diperjelas oleh pernyataan Muhammad Abduh, yang ingin menegaskan fungsi al-Qur’an sebagai pembimbing hidup dan pengatur umat Islam.[2] Tetapi, merujuk pada ungkapan Ali bin Abi Thalib, bahwa al-Qur’an adalah sebuah teks yang bisu, ia hanya bisa memberikan pedoman moralnya jika disapa (baca: ditafsirkan) oleh umat Islam. Maka diperlukan sebuah proses untuk menjelaskan kandungan makna al-Qur’an.
Untuk menafsirkan al-Qur’an ini, diperlukan seperangkat metodologi, yang dalam khazanah ilmu al-Qur’an biasa disebut dengan Ilmu Tafsir. Tetapi, seiring perkembangan zaman dan gerak keilmuan manusia, metodologi tafsir juga praktis terus berkembang (baca: mesti dikembangkan). Buku Metodologi Ilmu Tafsir, yang ditulis oleh M. Alfatih Suryadilaga dkk. ini[3] mencoba menawarkan dan membentuk sebuah kerangka teoritik metodologi tafsir al-Qur’an.
Buku ini disusun oleh para penulisnya untuk memenuhi kebutuhan umat Islam dewasa ini, yang sangat memerlukan perangkat metodologi penafsiran al-Qur’an. Perangkat metodologi ini berfungsi untuk mengarahkan (bukan menentukan) warna dan corak penafsiran.[4] Sehingga penafsiran yang dimunculkan seorang mufassir tidak terjebak ke dalam penafsiran yang diwarnai aura kepicikan, oportunis, ideologis, dan hal negatif lainnya (penafsiran yang fokus pada al-ittijah al-idiulijiyyah). Tetapi penafsiran yang objektif-ilmiah, dalam rangka memberi solusi (hudan) bagi kehidupan umat Islam dewasa ini, yang hidup dalam gelombang modernisasi (penafsiran yang fokus pada al-ittijah al-’ilmiyyah).
Sebelum berbicara banyak tentang beberapa perangkat metodologis tafsir al-Qur’an, lewat tulisan Abd. Lathif, buku ini menjelaskan pengertian tafsir dan urgensinya.[5] Secara umum, tafsir bermakna kegiatan ilmiah yang berfungsi memahami dan menjelaskan kandungan makna al-Qur’an. Kegiatan penafsiran ini dilakukan dengan asumsi, bahwa tidak semua umat Islam bisa memahami kandungan makna al-Qur’an. Sehingga tafsir memiliki urgensi yang cukup besar dalam rangka menjelaskan kandungan makna al-Qur’an kepada umat Islam.

Kegiatan penafsiran al-Qur’an yang dilakukan umat Islam, walaupun nantinya melahirkan warna dan corak yang beragam sehingga melahirkan aliran-aliran tafsir atau madzaahib al-tafsiir, terfokus pada objek yang sama, yaitu ayat-ayat al-Qur’an. Menurut M. Mawardi Djalaluddin, ayat-ayat yang menjadi objek penelitian tafsir ini dikelompokkan ke dalam objek-objek sebagai berikut: kosakata Qur’ani, frase Qur’ani, klausa Qur’ani, ayat-ayat Qur’ani, dan munaasabah ayat dengan ayat sebelumnya.[6] Semua objek penafsiran ini, menurut Firdaus, diarahkan pada kegiatan mengungkap ma’aanii al-Qur’aan, yang fokusnya ditujukan kepada pengungkapan makna muhkam dan mutasyaabih. Sehingga keragaman makna al-Qur’an yang didapatkan oleh seorang mufassir akan menunjukkan keistimewaan al-Qur’an sebagai kalam Allah.[7]
Selanjutnya, dalam menafsirkan al-Qur’an seorang mufassir menggunakan sumber-sumber tafsir yang menjadi acuannya selama menafsirkan al-Qur’an. Ada beberapa sumber tafsir yang biasa digunakan oleh mufassir ketika menafsirkan al-Qur’an: yaitu wahyu, al-ra’yu atau logika, dan sumber-sumber israilliyat. Ketiga sumber ini, menurut Yudhi Munadi, digunakan oleh mufassir sebagai pegangan, penjelas, perbendaharaan, dan perbandingan dalam menafsirkan al-Qur’an. Sehingga, walaupun sulit dicapai, penafsiran yang dilakukan dapat mendekati maksud asli ayat yang bersangkutan.[8]
Selain memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan objek material tafsir al-Qur’an, buku ini juga membahas beberapa objek formal tafsir al-Qur’an, berupa perangkat metodologi ilmu tafsir. Secara umum, metodologi tafsir al-Qur’an terdiri atas tiga perangkat: metode tafsir, pendekatan tafsir, dan teknik interpretasi.[9]
Seperti dipaparkan Samsul Bahri, ada empat konsep dasar metodologi tafsir, yaitu metode tahliilii, metode ijmaalii, metode muqarran, dan metode maudlu’ii.[10] Seorang mufassir yang menggunakan metode tahliilii, akan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara runtut dari awal hingga akhir. Tafsir dengan metode tahliilii ini memiliki beberapa kecenderungan, di antaranya tafsir bi al-ma’tsuur, tafsir bi al-ra’yi, tafsir sufi, tafsir fiqhi, tafsir falsafi, tafsir ‘ilmi, dan tafsir al-adabii al-ijtimaa’ii. Metode ijmali juga membahas secara runtut berdasarkan urutan mushaf. Tetapi uraiannya dikemukakan secara global dan singkat. Adapun metode muqarran menekankan pembahasannya pada aspek perbandingan (komparasi) tafsir al-Qur’an di antara beberapa mufassir. Sedangkan metode maudlu’ii adalah metode tafsir yang pembahasannya berdasarkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam al-Qur’an.
Selanjutnya, perangkat metodologi yang berupa pendekatan tafsir, menurut Fajrul Munawir, merupakan pola pikir (al-ittijah al-fikri) yang digunakan untuk membahas suatu masalah.[11] Ada beberapa macam pendekatan yang biasa dipakai oleh ilmu tafsir, yaitu pendekatan objektif-subjektif, pendekatan langsung-tidak langsung, pendekatan komprehensif-sektoral, dan pendekatan disipliner-multidisipliner-interdisipliner. Mengenai pendekatan multidisipliner dan interdisipliner, hal ini sangat tepat untuk digunakan oleh para pengkaji tafsir al-Qur’an di tengah gencarnya gelombang wacana integrasi ilmu. Nantinya, kajian tafsir al-Qur’an tidak hanya bergerak di tengah saja. Tetapi, terus menyebar seperti gelombang air membentuk jaring-jaring ilmu, dengan memanfaatkan disiplin ilmu-ilmu lain.[12]
Adapun teknik interpretasi adalah prosedur tertentu dalam proses penafsiran al-Qur’an. Nanang Gozali membaginya ke dalam tujuh macam teknik interpretasi.[13] Di antara teknik interpretasi yang biasa dipakai dalam penafsiran al-Qur’an adalah interpretasi tekstual, interpretasi linguistik, interpretasi sistematis, interpretsi sosio-historis, interpretasi teologis, interpretasi kultural, dan interpretasi logis. Semua teknik interpretasi ini, berbeda dengan perangkat metodologi tafsir berupa metode dan pendekatan, lebih menekankan pada proses penyimpulan tafsir melalui analisis dan interpretasi terhadap data-data yang menjadi sumber tafsir.
Berkaitan dengan analisis tafsir, Moh. Sahlan mengemukakan, ada beberapa macam teknik analisis yang biasa digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an. Di antaranya adalah analisis isi (content analysis), analisis filologis, dan analisis semantik.[14] Ketiga teknik analisis ini digunakan untuk menelaah dan menguraikan ayat-ayat al-Qur’an hingga dapat diperoleh suatu pemahaman dan kesimpulan.
Selain beberapa perangkat metodologis di atas, tafsir al-Qur’an juga biasa menggunakan beberapa kaidah penafsiran. M. Alfatih Suryadilaga mengemukakan, bahwa ada lima macam kaidah tafsir; yaitu kaidah Qur’aniyah, kaidah sunnah, kaidah bahasa, kaidah usul fiqih, dan kaidah ilmu pengetahuan.[15] Beberapa macam kaidah ini merupakan pedoman dan aturan yang biasa digunakan untuk menghindari kesalahan fatal dalam menafsirkan al-Qur’an.
Satu keistimewaan yang dimiliki buku ini, selain mencoba merumuskan kerangka metodologi tafsir al-Qur’an, juga merumuskan beberapa petunjuk teoritis untuk melakukan penelitian tafsir dan dalam menulis laporan penelitian. Kedua pembahasan ini menjadi penting dalam mengarahkan pengkaji dan peneliti tafsir agar bisa melahirkan kajian tafsir yang mendalam.
Sebenarnya, perangkat metodologi ilmu tafsir yang digambarkan buku ini masih sangat mendasar. Apalagi jika mengikuti gerak laju kajian ilmu yang dewasa ini makin berkembang pesat. Satu contoh adalah metodologi tafsir yang mencoba menggunakan analisis wacana kritis.[16] Sebenarnya, analisis ini biasa digunakan dalam lapangan ilmu komunikasi untuk meneliti isi media massa agar makna yang tersembunyi dalam suatu teks bisa terlihat.[17]
Di samping itu, dewasa ini muncul kajian tafsir yang mencoba menggunakan perangkat analisis ideologis dan politis.[18] Dengan perangkat metodologi ini, kajian tafsir akan lebih mendalam. Karena selain mengkaji aspek luar sebuah produk tafsir, juga mencoba menelisik aspek dalam berupa kepentingan politis dan muatan ideologis sebuah produk tafsir.
Dan wacana penelitian tafsir yang sedang hangat dibicarakan di kalangan pengkaji tafsir saat ini adalah kajian tafsir yang difokuskan pada Living Qur’an, yang mencoba mengkaji al-Qur’an dengan menggunakan metode antropologi. Kajian tafsir al-Qur’an dalam wilayah ini, menurut Islah Gusmian, mencoba menggali perlakuan, sikap, dan kreasi umat Islam terhadap al-Qur’an.[19] Beberapa corak baru metodologi di atas turut mewarnai perkembangan metodologi tafsir al-Qur’an dewasa ini.
Walaupun ada beberapa kekurangan yang cukup mengganggu; seperti terdapat beberapa kesalahan cetak, belum jelasnya biografi dan posisi para penulis dalam buku ini, serta dalam rangka dan untuk tujuan apa buku ini ditulis, buku ini perlu diapresiasi lebih lanjut sebagai petunjuk metodologis dalam melakukan kajian terhadap ilmu tafsir. Sehingga, seperti dikemukakan di awal tulisan, penafsiran al-Qur’an yang dilakukan tidak terjebak ke dalam kepicikan dan kepentingan ideologis. Tetapi benar-benar dilakukan sebagai kegiatan ilmiah untuk menangkap pesan moral al-Qur’an.
Selamat membaca! Wallahu A’lam bi al-Shawwab. [*]
Judul Buku      : Metodologi Ilmu Tafsir
Penulis              : M. Alfatih Suryadilaga, dkk.
Penerbit           : Teras, Yogyakarta
Tahun                : Februari 2005, Cetakan I
Volume             : 199 hlm.

[1]Al-Baqarah (2): 183.

[2]JJG. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), 28.
[3]M. Alfatih Suryadilaga dkk., Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005).
[4]Ibid., 6.
[5]Ibid., 25-35.
[6]Ibid., 109.
[7]Ibid., 135.
[8]Ibid., 94.
[9]Ibid., 91.
[10]Ibid., 41-51.
[11]Ibid., 138.
[12]Tentang integrasi ilmu, lihat teori Jaring Laba-laba yang dikembangkan M. Amin Abdullah, dalam Kerangka Dasar Keilmuan & Pengembangan Kurikulum UIN Sunan Kalijaga, (Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2004), 32-40.
[13]M. Alfatih Suryadilaga dkk., Metodologi, 84-91.
[14]Ibid., 76-82.
[15]Ibid., 56-70.
[16]Lihat misalnya kajian yang dilakukan Islah Gusmian dalam buku Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003). Lihat juga kajian kritis yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zayd dalam menelaah pemikiran Imam Syafi’i, dalam buku Imam Syafi’i: Moderatisme, Eklektisisme, dan Arabisme, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 1997).
[17]Lihat Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2005), xv.
[18]Islah Gusmian, Khazanah, 293-344.
[19]Islah Gusmian, “Al-Qur’an dalam Pergumulan Muslim Indonesia”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar Edisi No. 18 Tahun 2004, 8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar