STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 13 Agustus 2012

Konsep Fitrah Dalam Al-Quran

A. Pendahuluan

Substansi ajaran Islam pada intinya adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Pada tataran aktualisasinya, martabat dan kemuliaan manusia akan terwujud manakala manusia tersebut mampu mendekatkan diri kepada Tuhan, karena memang dia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Islam merupakan agama fitrah yang mengusung kemaslahatan bagi umat manusia.

Al-Quran yang merupakan sumber utama dalam Islam tak jarang berbicara mengenai fitrah, yang secara normative sarat dengan nilai-nilai transendental-ilahiyah dan insaniyah. Artinya, di satu sisi memusatkan perhatian pada fitrah manusia dengan sumber daya manusianya, baik jasmaniah maupun ruhaniah sebagai potensi yang siap dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya melalui proses humanisering sehingga keberadaan manusia semakin bermakna. Di sisi lain, pengembangan kualitas sumber daya manusia tersebbut dilaksanakan selaras dengan prinsip-prinsip ketauhidan, baik tauhid rububiyah maupun tauhid uluhiyah.[1]

Pandangan Islam secara global menyatakan bahwa fitrah merupakan kecenderungan alamiah bawaan sejak lahir. Penciptaan terhadap sesuatu ada untuk pertama kalinya dan struktur alamiah manusia sejak awal kelahirannya telah memiliki agama bawaan secara alamiah yakni agama tauhid. Islam sebagai agama fitrah tidak hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia tetapi juga dengan, bahkan menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya. Hal ini menjadikan eksistensinya utuh dengan kepribadiannya yang sempurna.

makalah mini ini akan membahas sekelumit diskursus tentang fitrah dalam al Qur’an, baik menyangkut hubungannya dengan pendidikan Islam maupun signifikasinya. Semoga pembahasan singkat ini menjadikan kita lebih arif dalam menapaki perjalanan hidup ini.

B. Pengertian Fitrah

Secara lughatan (etimologi) berasal dari kosa kata bahasa Arab yakni fa-tha-ra yang berarti “kejadian”, oleh karena kata fitrah itu berasal dari kata kerja yang berarti menjadikan.[2] Pada pengertian lain interpretasi fitrah secara etimologis berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan anyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansy’a digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta, menjadikan sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan. Dalam Kamus al Munjid diterangkan bahwa makna harfiah dari fitrah adalah al Ibtida’u wa al ikhtira’u, yakni al shifat allati yattashifu biha kullu maujudin fi awwali zamani khalqihi. Makna lain adalah shifatu al insani al thabi’iyah. Lain daripada itu ada yang bermakna al dinu wa al sunnah.[3]

Abu a’la al-Maududi mengatakan bahwa manusia dilahirkan di bumi ini oleh ibunya sebagai muslim (berserah diri) yang berbeda-beda ketaatannya kepada Tuhan, tetapi di lain pihak manusia bebas untuk menjadi muslim atau non muslim.[4] Sehingga ada hubungannya dalam aspek terminologi fitrah selain memiliki potensi manusia beragama tauhid, manusia secara fitrah juga bebas untuk mengikuti atau tidaknya ia pada aturan-aturan lingkungan dalam mengaktualisasikan potensi tauhid (ketaatan pada Tuhan) itu, tergantung seberapa tinggi tingkat pengaruh lingkungan positif serta negatif yang mempengaruh diri manusia secara fitrah-nya.

Sehingga uraian Al-Maududi mengenai peletakan pengertian konsep fitrah secara sederhana yakni menunjukkan kepada kalangan pembaca bahwa meskipun manusia telah diberi kemampuan potensial untuk berpikir, berkehendak bebas dan memilih, namun pada hakikatnya ia dilahirkan sebagai muslim, dalam arti bahwa segala gerak dan lakunya cenderung berserah diri kepada Khaliknya.[5]

Mengenai fitrah kalangan fuqoha telah menetapkan hak fitrah manusia, sebagaimana dirumuskan oleh mereka, yakni meliputi lima ha: 1). Din (agama), 2) jiwa, 3). Akal, 4). Harga diri, dan 5). Cinta

Menurut Armai, bila interpretasi lebih luas konsep fitrah dimaksud bisa berarti bermacam-macam, sebagaimana yang telah diterjemahkan dan didefenisikan oleh banyak pakar d iatas, di antara arti-artinya yang dimaksud adalah : 1) Fitrah berarti “ thuhr’ (suci), 2) fitrah berarti “Islam”, 3) fitrah berarti “Tauhid” (mengakui keesaan Allah), 4) fitrah berarti “Ikhlash” (murni), 5) fitrah berarti kecenderungan manusia untuk menerima dan berbuat kebenaran, 6) fitrah berarti “al-Gharizah” (insting), 7) fitrah berarti potensi dasar untuk mengabdi kepada Allah, 8) fitrah berarti ketetapan atas manusia, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan.[6]

Kata ini juga dipakaikan kepada anak yang baru dilahirkan karena belum terkontaminasi dengan sesuatu sehingga anak tersebut sering disebut dalam keadaan fitrah (suci). Pengaruh dari pengertian inilah maka semua kata fitrah sering diidentikkan dengan kesucian sehingga 'id al-fitri sering pula diartikan dengan kembali kepada kesucian demikian juga zakat al-fitrah. Pengertian ini tidak selamanya benar kata fitrah itu sendiri digunakan juga terhadap penciptaan langit dan bumi dengan pengertian keseimbangan sebagaimana yang tertera dalam al-Qur'an

Kata-kata yang biasanya digunakan dalam al-Quran untuk menunjukkan bahwa Allah menyempurnakan pola dasar ciptaan-Nya untuk melengkapi penciptaan itu adalah kata ja’ala yang artinya “menjadikan”, yang diletakan dalam satu ayat setelah kata khalaqah dan ansy’a. Perwujudan dan penyempurnaan selanjutnya diserahkan pada manusia.[7] 

ياايها الناس انا خلقناكم من ذكر وانثي وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم ان الله عليم خبير[8]

Artinya: Hai Manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan (khalaqna) kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan (ja’alna) kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal.

قل هو الذي انشأكم وجعل لكم السمع والابصار والافئدة قليلا ما تشكرون[9]

Artinya: Katakanlah; Dialah yang menciptakan kamu (ansya’akum) dan menjadikan (ja’ala) bagimu pendengaran, penghihatan dan hati (fuad), akan tetapi amat sedikit kamu bersyukur.

فاقم وجهك للدين حنيفا فطرت الله التى فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين

القيمولكن اكثر الناس لا يعلمون[10]

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan (fathara) manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Mengenai kata fitrah menurut istilah (terminologi) dapat dimengerti dalam uraian arti yang luas, sebagai dasar pengertian itu tertera pada surah al-Rum ayat 30, maka dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa pada asal kejadian yang pertama-pertama diciptakan oleh Allah adalah agama (Islam) sebagai pedoman atau acuan, di mana berdasarkan acuan inilah manusia diciptakan dalam kondisi terbaik. Oleh karena aneka ragam faktor negatif yang mempengaruhinya, maka posisi manusia dapat “bergeser” dari kondisi fitrah-nya, untuk itulah selalu diperlukan petunjuk, peringatan dan bimbingan dari Allah yang disampaikan-Nya melalui utusannya (Rasul-Nya).[11]

Pengertian sederhana secara terminologi menurut pandangan Arifin; fitrah mengandung potensi pada kemampuan berpikir manusia di mana rasio atau intelegensia (kecerdasan) menjadi pusat perkembangannya,[12]dalam memahami agama Allah secara damai di dunia ini.

Quraish Shihab mengungkapkan dalam Tafsir al Misbah-nya, bahwa fitrah merupakan “menciptakan sesuatu pertama kali/tanpa ada contoh sebelumnya”. Dengan mengikut sertakan pandangan Quraish Shihab tersebut berarti fitrah sebagai unsur, sistem dan tata kerja yang diciptakan Allah pada makhluk sejak awal kejadiannya sehingga menjadi bawaannya, inilah yang disebut oleh beliau dengan arti asal kejadian, atau bawaan sejak lahir.[13]

Ungkapan senada mengenai pengertian fitrah juga dilontarkan oleh Arifin yakni secara keseluruhan dalam pandangan Islam mengatakan bahwa kemampuan dasar/pembawaan itu disebut dengan fitrah.[14]Ada yang mengemukakan bahwa fitrah merupakan kenyakinan tentang ke-Esaan Allah swt, yang telah ditanamkan Allah dalam diri setiap insan. Maka manusia sejak lahirnya telah memiliki agama bawaan secara alamiah, yaitu agama tauhid.[15] Istilah fitrah dapat dipandang dalam dua sisi. Dari sisi bahasa, maka makna fitrah adalah suatu kecenderungan bawaan alamiah manusia. Dan dari sisi agama kata fitrah bermakna keyakinan agama, yakni bahwa manusia sejak lahirnya telah memiliki fitrah beragama tauhid, yaitu mengesakan Tuhan.

Imam Nawawi mendefinisikan fitrah sebagai kondisi yang belum pasti (unconfirmed state) yang terjadi sampai seorang individu menyatakan secara sadar keimanannya. Sementara menurut Abu Haitam fitrah berarti bahwa manusia yang dilahirkan dengan memiliki kebaikan atau ketidakbaikan (prosperous or unprosperous) yang berhubungan dengan jiwa.[16]

Bila tidak berlebihan dalam memahami terminologi Abu Haitam dapat dipahami, pada awalnya setiap makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dibekal dengan fitrah (keseimbangan) yang bilamana keseimbangan ini mampu dijaga dengan baik maka yang bersangkutan akan senantiasa berada dalam kebaikan. Sebaliknya bila keseimbangan ini sudah tidak mampu dipertahankan maka menyebabkan seseorang akan terjerumus kepada ketidakbaikan. Fitrah adalah kata yang selalu digunakan untuk menunjukkan kesucian sekalipun dalam bentuk abstrak keberadaannya selalu dikaitkan dengan masalah moral. Keabstrakan ini meskipun selalu dipakai dalam aspek-aspek tertentu namun pengertiannya hampir sama yaitu keseimbangan.

C. Hubungan Fitrah Dengan Pendidikan Islam dalam al-Quran.

Manusia dalam pandangan Islam adalah khalifah Allah di muka bumi. Sebagai duta Tuhan, dia memiliki karakteristik yang multidimensi, yakni pertama, diberi hak untuk mengatur alam ini sesuai kapasitasnya. Dalam mengemban tugas ini, manusia dibekali wahyu dan kemampuan mempersepsi, kedua, dia menempati posisi terhormat di antara makhluk Tuhan yang lain. Anugerah ini diperoleh lewat kedudukan, kualitas dan kekuatan yang diberikan Tuhan kepadanya, ketiga, dia memiliki peran khusus yang harus dimainkan di planet ini, yaitu mengembangkan dunia sesuai dasar dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Tuhan.[17]

Potensi akal secara fitrah mendorong manusia memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, memperbandingkan maupun membuat kesimpulan dan akhirnya memilih maupun memisahkan yang benar dan salah.[18] Di samping itu menurut Jalaluddin, akal dapat mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah serta merekayasa lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman dan nyaman.[19]

Sebelum terlalu jauh kita mengulas tentang hubungan konsep fitrah dan hubungannya dengan pendidikan Islam ada baiknya kita telusuri terlebih dahulu tujuan dari pendidikan Islam secara umum. Secara general tendensi dari pendidikan Islam itu sendiri adalah mengetahui hakikat kemanusiaan menurut Islam, yakni nilai-nilai ideal yang diyakini serta dapat mengangkat harkat dan martabat manusia. Sementara Achmadi meletakkan keterangan tujuan pendidikan Islam dalam “tiga karakteristik” yakni tujuan tertinggi/akhir, tujuan umum, tujuan khusus.[20] Tujuan tertinggi adalah bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan karena sesuai dengan konsep Ilahi yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi/akhir ini pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah. Salah satu prilaku itu identitas Islami itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai prilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Tujuan selanjutnya adalah tujuan umum yang berbeda substansinya dengan tujuan pertama yang cenderung mengarah kepada nilai filosofis. Tujuan ini lebih bersifat empirik dan realistic. Ahmad tafsir mengemukakan tujuan umum bersifat tetap, berlaku di sepanjang tempat, waktu, dan keadaan. Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian subjek didik, sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang utuh. Itulah yang disebut realisasi diri (self realization).[21] Sementara tujuan khusus merupakan pengkhususan atau operasionalisasi tujuan tertinggi/akhir dan tujuan umum pendidikan Islam. Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi/akhir dan umum itu Pengkhususan tujuan pendidikan Islam tersebut menurut Achmadi didasarkan pada: kultur dan cita-cita suatu bengsa dimana pendidikan itu diselenggarakan, minat, bakat, dan kesanggupan subjek didil; dan tuntunan situasi, kondisi pada kurun waktu tertentu.[22]

Konsep fitrah dalam hubungannya dengan pendidikan Islam mengacu pada tujuan bersama dalam menghadirkan perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian setelah seseorang mengalami proses pendidikan. Menjadi masalah adalah bagaimana sifat dan tanda-tanda (indikator) orang yang beriman dan bertaqwa.

Maka konsep fitrah terhadap pendidikan Islam dimaksudkan di sini, bahwa seluruh aspek dalam menunjang seseorang menjadi menusia secara manusiawi adanya penyesuaian akan aktualisasi fitrah-nya yang diharapkan, yakni pertama, konsep fitrah mempercayai bahwa secara alamiah manusia itu positif (fitrah), baik secara jasadi, nafsani (kognitif dan afektif) maupun ruhani (spiritual). Kedua, mengakui bahwa salah satu komponen terpenting manusia adalah qalbu. Perilaku manusia bergantung pada qalbunya. Di samping jasad, akal, manusia memiliki qalbu. Dengan qalbu tersebut manusia dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar) berkecenderungan kepada yang benar dan bukan yang salah (termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran), dan memiliki kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa.[23]

Menghubungkan keterangan ini secara ilmiah dengan adanya teori pendidikan Islam maka secara disiplin ilmu merupakan konsep pendidikan yang mengandung berbagai teori yang dapat dikembangkan dari hipotesa-hipotesa yang bersumber dari al Qur’an maupun hadis baik dari segi sistem, proses, dan produk yang diharapkan mampu membudayakan umat manusia agar bahagia dan sejahtera dalam hidupnya.[24]inilah yang disebut secara implikasi konsep fitrah kecenderungan peserta didik pada yang benar dalam memiliki secara pendekatan ilmiah kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa. Sedang pendidikan bila diberikan pengertian dari al-Qur’an maka kalangan pemikir pendidikan Islam meletakkan pada tiga karakteristik di antaranya rabb, ta’lim, , ta’dib dimaksud dalam al-Qur’an. 

Dari ketiga kata tersebut, Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqy dalam bukunya al-Mu’jam al Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim telah menginformasikan bahwa di dalam al-Qur’an kata Tarbiyah dengan berbagai kata yang serumpun dengan diulang sebanyak lebih dari 872 kali.[25] Kata tersebut berakar pada kata rabb. Kata ini sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata dari al-Raghib al-Ashfahany, pada mulanya berarti al-Tarbiyah yaitu insy’ al-syaihalan fa halun ila hadd al-tamam yang artinya mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi tahap sampai pada batas yang sempurna.[26]

D. Signifikansi Fitrah Dalam Pendidikan Islam

Konsep fitrah pada dasarnya mempercayai bahwa arah pergerakan hidup manusia (peserta didik) secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu taqwa dan fujur. Peserta didik pada dasarnya diciptakan dalam keadaan memiliki potensi positif dan ia dapat bergerak ke arah taqwa. Bila manusia berjalan lurus antara fitrah dan Allah, maka ia akan menjadi taqwa (sehat, selamat). Bila tidak selaras antara fitrah dan Allah, maka ia akan berjalan ke pilihan yang sesat (fujur). Secara fitrah manusia diciptakan dengan penuh cinta, memiliki cinta, namun ia dapat berkembang ke arah agresi. Akan tetapi implikasi dimaksud dalam penelitian ini mendapatkan bentuk konsep fitrah sesuai realita yang ada, bahwa nilai-nilai aktualisasi fungsi konsep fitrah sejalan dengan tujuan pendidikan, baik secara epistemologi pendidikan, mewujudkan peserta didik yang memiliki potensi kepribadian muslim yang berorientasi pada aktualisasi konsep fitrah manusia.

Jakfar Siddik mengungkapkan bahwa yang menjadi inti kemanusiaan itu adalah fitrah (agama) itu sendiri. Fitrah-lah yang membuat manusia (peserta didik) memiliki keluhuran jiwa secara alamiah berkeinginan suci dan berpihak pada kebaikan dan kebenaran Allah swt.[27] Menurut penulis membuat suatu tatanan proses perkembangan peserta didik terhadap lingkungan pendidikan sebagai lahan mengembangkan potensi kesucian peserta didik (konsep fitrah) dapat terpenuhi maka kebutuhan kepribadian peserta didik akan lebih sempurna.

Potensi kalangan peserta didik sebagai anak manusia pengemban amanat Allah swt dan juga sebagai khalifah di muka bumi ini, ia dilahirkan adanya nilai bertauhid Menurut Nurcholis Madjid merupakan sebuah peristiwa dengan adanya perjanjian mahkluk (manusia) dengan Tuhan Allah swt, maka dapat dikatakan bahwa manusia (peserta didik) tersebut terikat dengan perjanjian itu (pemaknaan bersifat religius). Demikian juga halnya dengan agama pun sebenarnya memang adalah perjanjian, yang dalam bahasa Arabnya disebut dengan mitsaq atau ‘ahdun, perjanjian dengan Allah swt. Seluruh hidup merupakan realisasi atau pelaksanaan untuk memenuhi perjanjian manusia dengan Allah. Intinya ialah ibadah, artinya memperhambakan diri kepada Allah. Karena Allah swt sendiri telah diakui sebagai Rabb. Maka implikasinya, akibat dari beribadah kepada Allah itu adalah, bahwa manusia yakni kalangan peserta didik yang haus akan kebutuhan pengembanagan kepribadian nilai fitrah-nya diharuskan menempuh jalan hidup yang benar.[28]

Menurut al-Attas, yang dikutip oleh Baharuddin, fitrah merupakan ketundukan manusia sebelum kehadirannya di bumi yang dijelaskan dalam surah al-A’raf/ 7: 172 menunjukkan utangnya kepada Allah, begitu juga kerugiannya yang total, sehinga dia mungkin bisa membayarnya dan kembali kepada Allah dengan menyerahkan diri untuk mengabdi kepada-Nya. Kewajiban ini dirasakan oleh umat manusia sebagai suatu kecenderungan wajar dan alamiah, fitrah yang oleh al-Attas disepadankan dengan al-din, merujuk kepada surat al-Rum/30: 30-32 fitrah adalah sifat dasar ketundukan pada manusia dan al-din adalah bentuk ketundukan bagi manusia. Ketundukan sadar dan kehendak bebas memantapkan harmonisasi dan kosmos, sementara penolakan tunduk mengakibatkan ketimpangan dan kekacauan.[29]

Hakikinya, konsep fitrah bila diaktualisasikannya dalam pendidikan, tidak sekedar "tranfern of knowlegde" atau pun "tranfers of training". tetapi jauh dari itu merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait langsung dengan Tuhan, dan inilah yang merupakan potensi tauhid bahagian konsep fitrah manusia. Tegasnya kebermaknaan konsep fitrah dalam hubungannya dengan wilayah pendidikan adalah melahirkan suatu kegiatan yang mengarah dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai dengan atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Konsep fitrah yang merupakan potensi dasar manusia dapat teraktualisasikan bila kondisi lingkungan serta proses pendidikan dapat membentuk nilai-nilai kepribadian tersebut. Secara global potensi-potensi tersebut mengarahkan bentuk induvidualis dan sosialis yang beragama, atau dengan kata lain potensi fitrah termanifestasikan pada diri seseorang adalah nilai-nilai obyektifitas trasendensi moral humanisme, terlebih lagi pada persoalan pengembangan keperibadian untuk menuju kepribadian muslim yang kaffah di mana hal itu merupakan bagian dari proses internalisasi nilai-nilai fitrah terhadap pendidikan yang berasaskan Islam.

Individu dalam pandangan konsep fitrah yakni Islam memandang bahwa manusia memiliki daya untuk berkembang dan siap pula untuk dikembangkan. Akan tetapi tidak berati individu tersebut dapat diperlakukan sebagai manusia pasif, melainkan memiliki kemampuan dan keaktifan yang mampu membuat dilihat dan penilaian, menerima, menolak atau menentukan alternatif-laternatif yang lebih sesuai dengan pilihannya sebagai perwujudan dari adanya kehendak dan kemauan bebasnya.[30]

Jadi signifikansi pendidikan Islam dalam kerangka konsep fitrah dapat dideskripsikan sebagai suatu sistem yang membawa manusia ke arah kebahagian dunia dan akhirat baik melalui ilmu maupun melalui ibadah, karena pada hakikatnya tujuan akhir dari pendidikan Islam itu sendiri adalah pencapaian kebahagian hidup di dunia dan kesejahteraan di akhirat. Maka selayaknya yang harus menjadi fokus utama dalam rangka menyikapi hal ini adalah memperhatikan nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifatnya, misi dan tujuan hidup di dunia dan akhirat nanti, hak dan kewajiban sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Sehingga secara fitrah, setelah seseorang mengetahui tentang hakikat kehidupan, maka dia tidak saja dapat memberikan inspirasi kepada manusia lain, akan tetapi juga dapat mentransfer nilai-nilai luhur yang ia kembangkan hingga menjadi manusia-manusia baru, yakni manusia yang cinta hidup damai, aman dan sejahtera karena fitrah mansuai yang sebenarnya adalah hidup dalam jalinan cinta sesama

E. Penutup.

Hakikat Konsep fitrah bila dikaitkan dengan pendidikan Islam sebenarnya sangat bersifat religius yang lebih menekankan pada pendekatan keimanan, sebab, setiap manusia yang dilahirkan dia membawa potensi yang disebut dengan potensi keimanan terhadap Allah atau dalam bahasa agamanya adalah tauhid. Pengertian fitrah di dalam al Qur’an adalah gambaran bahwa sebenarnya manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu agama tauhid. Karena itu manusia yang tidak beragama tauhid merupakan penyimpangan atas fitrahnya.

Setelah memahami konsep fitrah dalam arti luas, maka tujuan yang ingin dicapai adanya gerakan Islamisasi pendidikan berlandaskan sistem pendidikan Islam terhadap ajarannya. Adanya paradigma ideologi humanisme teosentris berdasarkan konsep fitrah, diharapkan tidak saja mampu menjadi alat ukur perkembangan produktifitas peserta didik secara fitrah, tetapi juga diharapkan implementasi operasionalnya tersusun secara sistematis, logis dan obyektif mengenai ajaran Islam. Bukan malah sebaliknya melahirkan produktifitas peserta didik berdasarkan filsafat Barat mengenai teori-teori kemanusiaan, yang belum tentu memberikan uraian kebutuhan nilai religiusitas peserta didik itu sendiri.

Perlu untuk dipertegas bahwa kebutuhan nilai religiusitas peserta didik sesuai tujuan pendidikan Islam harus berlandaskan teori konsep fitrah itu, sebab segala usaha dalam meningkatkan sistem pendidikan Islam haruslah memelihara dan mengembangkan fitrah peserta didik agar sumber daya manusia itu menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai pada norma-norma ke-Islaman.

Seiring dengan tujuan konsep fitrah dalam sistem pendidikan Islam, konsep fitrah yang ada pada diri peserta didik dapat diformulasikan secara benar dan sempurna sebagai pribadi muslim. Manusia yang beriman dan bertaqwa serta memiliki berbagai kemampuan aktualisasi hubungan dengan Allah swt, sesama manusia, dan alam secara positif konstruktif, inilah yang disebut transendent humanisme teosentris. Sehingga adanya pendidikan Islam berdasarkan konsep fitrah, hendaknya kalangan peserta didik pantas menjadi hamba pilihan sesuai uraian Allah swt dalam al-Qur’an.

Islam sebagai agama fitrah tidak hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia tetapi juga sesuai dengan, bahkan menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya, sehingga akan membawa kepada keutuhan dan kesempurnaan pribadinya. Di sisi lain, Islam sebagai way of life (pandangan hidup) yang berdasarkan nilai-nilai ilahiyah, baik yang termuat dalam al Qur’an maupun al hadist diyakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat transendental, universal dan eternal (abadi), sehingga secara akidah diyakini oleh pemeluknya akan sesalu sesuai dengan fitrah manusia, artinya memenuhi kebutuhan manusia kapan dan di mana saja ( likulli zamanin wa makanin)

Mudah-mudahan paparan kecil dari makalah mini ini dapat bermamfaat dan menjadi renungan bagi semua hamba ilmu yang selalu ingin mencari titik-titik kebenaran di antara bungkahan-bungkahan mutiara yang tercecer di altar kehidupan ini. Amin.

 Konsep Fitrah Dalam Al-Quran  Oleh Al Husaini M.Daud Dosen Pembimbing Dr. Ahmad Zuhri, Lc. MA
Footnote

[1]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme-Teosentris (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 11-12.

[2]Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoristis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, cet V (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 88.

[3]Luis Ma’luf, al Munjid fi al lughah wa al a’lam (Bairut: Dar el Mashreq, 2000), h. 588. lihat Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, cet. V (Yokjakarta: Multi Karya Grafika, 1996), h. 1399. lihat juga, A.W. Munawwir, Kamus al Munawwir; Arab-Indonesia, cet. XIV (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1063.

[4]Abul A’la Al-Maududi, Towards Understanding Islam, Islamic Publication LTD, Lahore-Dacca. 1966.

[5]Ibid.

[6]Arief, Pengantar ,h 7

[7]Achmadi, Ideologi Pendidikan, h. 41

[8]Q.S. al Hujurat/49: 13.

[9]Q.S. al Mulk/67: 23.

[10]Q.S. al Rum/30: 30.

[11]LPKUB, Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama, P.Sipahutar dan Arifinsyah ( Ed.) edisi 2 (Bandung: Citapustaka Media), 2003. h.118

[12] Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, cet. VI (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 158.

[13] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol 11 (Jakarta: Lentera Hati,2002), h 53.

[14]Arifin, Ilmu Pendidikan, h. 88.

[15]Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami Studi Tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.148.

[16] Ia mendasarkannya pada hadits yang cukup populer, “setiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orangtuanya yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Dalam keterangan lainnya Juhaya S, Praja mengemukakan dalam tulisannya bahwa fitrah merupakan bawaan manusia sejak lahir.

[17]Ahmed Othman Al-twaijri, Kebebasan Akademis Menurut Konsep Islam dan Barat, terj. F. Rozi Dalimunthe dan Nur. A. Fadhil Lubis (Medan: Lembaga Ilmiah IAIN-SU, 1988), h. 82.

[18] Jalaluddin, Teologi Pendidikan,cet. II (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h. 35

[19] Ibid.

[20] Achmadi, Ideologi, h 94.

[21]Achmadi, Ideologi, h. 98

[22]Ibid., 103.

[23]Ahmad Faqih HN, “Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara Paradigma Kemodernan dan Turats Islam” dalam Artikel Mingguan Islam (20 Januari 2000). H. 203

[24] Ibid. h. 10

[25]Muhammad Fuad Abd al-Baqy, Mu’jam al-Mufahrass li Alfadz al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h. 285-299.

[26]Al-Raghib al-Asfahany, Mu’jam Mufradat li alFadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h 198. lihat juga Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 6

[27] Dja’far Siddik, “Menelusuri Konsep Proses Pembelajaran dalam Sistem Pendidikan Islam” dalam Hasan Asari, Amroeni Drajat, (ed), Antologi Kajian Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2004),h. 147.

[28] Nurcholish Madjid, ”Pesan-Pesan Takwa Nurcholish Madjid”, Editor Asrori S. Karni, (Jakarta: Paramadina, 2000).h. 224.

[29]Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Islam Secularism and The Philosophy of the Future ( London: Mansell Publishing Limited, 1985), h 32.

[30]Siddik, “Menelusuri Konsep, h. 150-151.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar