A. Pendahuluan
Substansi ajaran Islam pada
intinya adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Pada tataran
aktualisasinya, martabat dan kemuliaan manusia akan terwujud manakala
manusia tersebut mampu mendekatkan diri kepada Tuhan, karena memang dia
berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Islam merupakan agama
fitrah yang mengusung kemaslahatan bagi umat manusia.
Al-Quran yang merupakan sumber
utama dalam Islam tak jarang berbicara mengenai fitrah, yang secara
normative sarat dengan nilai-nilai transendental-ilahiyah dan insaniyah.
Artinya, di satu sisi memusatkan perhatian pada fitrah manusia dengan
sumber daya manusianya, baik jasmaniah maupun ruhaniah sebagai potensi
yang siap dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya melalui proses
humanisering sehingga keberadaan manusia semakin bermakna. Di sisi lain,
pengembangan kualitas sumber daya manusia tersebbut dilaksanakan
selaras dengan prinsip-prinsip ketauhidan, baik tauhid rububiyah maupun
tauhid uluhiyah.[1]
Pandangan Islam secara global
menyatakan bahwa fitrah merupakan kecenderungan alamiah bawaan sejak
lahir. Penciptaan terhadap sesuatu ada untuk pertama kalinya dan
struktur alamiah manusia sejak awal kelahirannya telah memiliki agama
bawaan secara alamiah yakni agama tauhid. Islam sebagai agama fitrah
tidak hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia tetapi juga
dengan, bahkan menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya. Hal ini
menjadikan eksistensinya utuh dengan kepribadiannya yang sempurna.
makalah mini ini akan membahas
sekelumit diskursus tentang fitrah dalam al Qur’an, baik menyangkut
hubungannya dengan pendidikan Islam maupun signifikasinya. Semoga
pembahasan singkat ini menjadikan kita lebih arif dalam menapaki
perjalanan hidup ini.
B. Pengertian Fitrah
Secara lughatan (etimologi)
berasal dari kosa kata bahasa Arab yakni fa-tha-ra yang berarti
“kejadian”, oleh karena kata fitrah itu berasal dari kata kerja yang
berarti menjadikan.[2] Pada pengertian lain interpretasi fitrah secara
etimologis berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa
dan anyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan
ansy’a digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta,
menjadikan sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola
dasar yang perlu penyempurnaan. Dalam Kamus al Munjid diterangkan bahwa
makna harfiah dari fitrah adalah al Ibtida’u wa al ikhtira’u, yakni al
shifat allati yattashifu biha kullu maujudin fi awwali zamani khalqihi.
Makna lain adalah shifatu al insani al thabi’iyah. Lain daripada itu ada
yang bermakna al dinu wa al sunnah.[3]
Abu a’la al-Maududi mengatakan
bahwa manusia dilahirkan di bumi ini oleh ibunya sebagai muslim
(berserah diri) yang berbeda-beda ketaatannya kepada Tuhan, tetapi di
lain pihak manusia bebas untuk menjadi muslim atau non muslim.[4]
Sehingga ada hubungannya dalam aspek terminologi fitrah selain memiliki
potensi manusia beragama tauhid, manusia secara fitrah juga bebas untuk
mengikuti atau tidaknya ia pada aturan-aturan lingkungan dalam
mengaktualisasikan potensi tauhid (ketaatan pada Tuhan) itu, tergantung
seberapa tinggi tingkat pengaruh lingkungan positif serta negatif yang
mempengaruh diri manusia secara fitrah-nya.
Sehingga uraian Al-Maududi
mengenai peletakan pengertian konsep fitrah secara sederhana yakni
menunjukkan kepada kalangan pembaca bahwa meskipun manusia telah diberi
kemampuan potensial untuk berpikir, berkehendak bebas dan memilih, namun
pada hakikatnya ia dilahirkan sebagai muslim, dalam arti bahwa segala
gerak dan lakunya cenderung berserah diri kepada Khaliknya.[5]
Mengenai fitrah kalangan fuqoha
telah menetapkan hak fitrah manusia, sebagaimana dirumuskan oleh mereka,
yakni meliputi lima ha: 1). Din (agama), 2) jiwa, 3). Akal, 4). Harga
diri, dan 5). Cinta
Menurut Armai, bila interpretasi
lebih luas konsep fitrah dimaksud bisa berarti bermacam-macam,
sebagaimana yang telah diterjemahkan dan didefenisikan oleh banyak pakar
d iatas, di antara arti-artinya yang dimaksud adalah : 1) Fitrah
berarti “ thuhr’ (suci), 2) fitrah berarti “Islam”, 3) fitrah berarti
“Tauhid” (mengakui keesaan Allah), 4) fitrah berarti “Ikhlash” (murni),
5) fitrah berarti kecenderungan manusia untuk menerima dan berbuat
kebenaran, 6) fitrah berarti “al-Gharizah” (insting), 7) fitrah berarti
potensi dasar untuk mengabdi kepada Allah, 8) fitrah berarti ketetapan
atas manusia, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan.[6]
Kata ini juga dipakaikan kepada
anak yang baru dilahirkan karena belum terkontaminasi dengan sesuatu
sehingga anak tersebut sering disebut dalam keadaan fitrah (suci).
Pengaruh dari pengertian inilah maka semua kata fitrah sering
diidentikkan dengan kesucian sehingga 'id al-fitri sering pula diartikan
dengan kembali kepada kesucian demikian juga zakat al-fitrah.
Pengertian ini tidak selamanya benar kata fitrah itu sendiri digunakan
juga terhadap penciptaan langit dan bumi dengan pengertian keseimbangan
sebagaimana yang tertera dalam al-Qur'an
Kata-kata yang biasanya
digunakan dalam al-Quran untuk menunjukkan bahwa Allah menyempurnakan
pola dasar ciptaan-Nya untuk melengkapi penciptaan itu adalah kata
ja’ala yang artinya “menjadikan”, yang diletakan dalam satu ayat setelah
kata khalaqah dan ansy’a. Perwujudan dan penyempurnaan selanjutnya
diserahkan pada manusia.[7]
ياايها الناس انا خلقناكم من ذكر وانثي وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم ان الله عليم خبير[8]
Artinya: Hai Manusia,
sesungguhnya kami telah menciptakan (khalaqna) kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan (ja’alna) kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal.
قل هو الذي انشأكم وجعل لكم السمع والابصار والافئدة قليلا ما تشكرون[9]
Artinya: Katakanlah; Dialah yang
menciptakan kamu (ansya’akum) dan menjadikan (ja’ala) bagimu
pendengaran, penghihatan dan hati (fuad), akan tetapi amat sedikit kamu
bersyukur.
فاقم وجهك للدين حنيفا فطرت الله التى فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين
القيمولكن اكثر الناس لا يعلمون[10]
Artinya: Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah
yang telah menciptakan (fathara) manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.
Mengenai kata fitrah menurut
istilah (terminologi) dapat dimengerti dalam uraian arti yang luas,
sebagai dasar pengertian itu tertera pada surah al-Rum ayat 30, maka
dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa pada asal kejadian yang
pertama-pertama diciptakan oleh Allah adalah agama (Islam) sebagai
pedoman atau acuan, di mana berdasarkan acuan inilah manusia diciptakan
dalam kondisi terbaik. Oleh karena aneka ragam faktor negatif yang
mempengaruhinya, maka posisi manusia dapat “bergeser” dari kondisi
fitrah-nya, untuk itulah selalu diperlukan petunjuk, peringatan dan
bimbingan dari Allah yang disampaikan-Nya melalui utusannya
(Rasul-Nya).[11]
Pengertian sederhana secara
terminologi menurut pandangan Arifin; fitrah mengandung potensi pada
kemampuan berpikir manusia di mana rasio atau intelegensia (kecerdasan)
menjadi pusat perkembangannya,[12]dalam memahami agama Allah secara
damai di dunia ini.
Quraish Shihab mengungkapkan
dalam Tafsir al Misbah-nya, bahwa fitrah merupakan “menciptakan sesuatu
pertama kali/tanpa ada contoh sebelumnya”. Dengan mengikut sertakan
pandangan Quraish Shihab tersebut berarti fitrah sebagai unsur, sistem
dan tata kerja yang diciptakan Allah pada makhluk sejak awal kejadiannya
sehingga menjadi bawaannya, inilah yang disebut oleh beliau dengan arti
asal kejadian, atau bawaan sejak lahir.[13]
Ungkapan senada mengenai
pengertian fitrah juga dilontarkan oleh Arifin yakni secara keseluruhan
dalam pandangan Islam mengatakan bahwa kemampuan dasar/pembawaan itu
disebut dengan fitrah.[14]Ada yang mengemukakan bahwa fitrah merupakan
kenyakinan tentang ke-Esaan Allah swt, yang telah ditanamkan Allah dalam
diri setiap insan. Maka manusia sejak lahirnya telah memiliki agama
bawaan secara alamiah, yaitu agama tauhid.[15] Istilah fitrah dapat
dipandang dalam dua sisi. Dari sisi bahasa, maka makna fitrah adalah
suatu kecenderungan bawaan alamiah manusia. Dan dari sisi agama kata
fitrah bermakna keyakinan agama, yakni bahwa manusia sejak lahirnya
telah memiliki fitrah beragama tauhid, yaitu mengesakan Tuhan.
Imam Nawawi mendefinisikan
fitrah sebagai kondisi yang belum pasti (unconfirmed state) yang terjadi
sampai seorang individu menyatakan secara sadar keimanannya. Sementara
menurut Abu Haitam fitrah berarti bahwa manusia yang dilahirkan dengan
memiliki kebaikan atau ketidakbaikan (prosperous or unprosperous) yang
berhubungan dengan jiwa.[16]
Bila tidak berlebihan dalam
memahami terminologi Abu Haitam dapat dipahami, pada awalnya setiap
makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dibekal dengan fitrah (keseimbangan)
yang bilamana keseimbangan ini mampu dijaga dengan baik maka yang
bersangkutan akan senantiasa berada dalam kebaikan. Sebaliknya bila
keseimbangan ini sudah tidak mampu dipertahankan maka menyebabkan
seseorang akan terjerumus kepada ketidakbaikan. Fitrah adalah kata yang
selalu digunakan untuk menunjukkan kesucian sekalipun dalam bentuk
abstrak keberadaannya selalu dikaitkan dengan masalah moral. Keabstrakan
ini meskipun selalu dipakai dalam aspek-aspek tertentu namun
pengertiannya hampir sama yaitu keseimbangan.
C. Hubungan Fitrah Dengan Pendidikan Islam dalam al-Quran.
Manusia dalam pandangan Islam
adalah khalifah Allah di muka bumi. Sebagai duta Tuhan, dia memiliki
karakteristik yang multidimensi, yakni pertama, diberi hak untuk
mengatur alam ini sesuai kapasitasnya. Dalam mengemban tugas ini,
manusia dibekali wahyu dan kemampuan mempersepsi, kedua, dia menempati
posisi terhormat di antara makhluk Tuhan yang lain. Anugerah ini
diperoleh lewat kedudukan, kualitas dan kekuatan yang diberikan Tuhan
kepadanya, ketiga, dia memiliki peran khusus yang harus dimainkan di
planet ini, yaitu mengembangkan dunia sesuai dasar dan hukum-hukum yang
ditetapkan oleh Tuhan.[17]
Potensi akal secara fitrah
mendorong manusia memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak,
menganalisa, memperbandingkan maupun membuat kesimpulan dan akhirnya
memilih maupun memisahkan yang benar dan salah.[18] Di samping itu
menurut Jalaluddin, akal dapat mendorong manusia berkreasi dan
berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan
kemampuan akalnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,
mengubah serta merekayasa lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang
lebih baik, aman dan nyaman.[19]
Sebelum terlalu jauh kita
mengulas tentang hubungan konsep fitrah dan hubungannya dengan
pendidikan Islam ada baiknya kita telusuri terlebih dahulu tujuan dari
pendidikan Islam secara umum. Secara general tendensi dari pendidikan
Islam itu sendiri adalah mengetahui hakikat kemanusiaan menurut Islam,
yakni nilai-nilai ideal yang diyakini serta dapat mengangkat harkat dan
martabat manusia. Sementara Achmadi meletakkan keterangan tujuan
pendidikan Islam dalam “tiga karakteristik” yakni tujuan
tertinggi/akhir, tujuan umum, tujuan khusus.[20] Tujuan tertinggi adalah
bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan karena sesuai dengan konsep
Ilahi yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan
tertinggi/akhir ini pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan
peranannya sebagai ciptaan Allah. Salah satu prilaku itu identitas
Islami itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai prilaku
manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Allah
sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Tujuan selanjutnya
adalah tujuan umum yang berbeda substansinya dengan tujuan pertama yang
cenderung mengarah kepada nilai filosofis. Tujuan ini lebih bersifat
empirik dan realistic. Ahmad tafsir mengemukakan tujuan umum bersifat
tetap, berlaku di sepanjang tempat, waktu, dan keadaan. Tujuan umum
berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena
menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian subjek didik,
sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang utuh.
Itulah yang disebut realisasi diri (self realization).[21] Sementara
tujuan khusus merupakan pengkhususan atau operasionalisasi tujuan
tertinggi/akhir dan tujuan umum pendidikan Islam. Tujuan khusus bersifat
relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan dimana perlu
sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada
kerangka tujuan tertinggi/akhir dan umum itu Pengkhususan tujuan
pendidikan Islam tersebut menurut Achmadi didasarkan pada: kultur dan
cita-cita suatu bengsa dimana pendidikan itu diselenggarakan, minat,
bakat, dan kesanggupan subjek didil; dan tuntunan situasi, kondisi pada
kurun waktu tertentu.[22]
Konsep fitrah dalam hubungannya
dengan pendidikan Islam mengacu pada tujuan bersama dalam menghadirkan
perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian setelah seseorang
mengalami proses pendidikan. Menjadi masalah adalah bagaimana sifat dan
tanda-tanda (indikator) orang yang beriman dan bertaqwa.
Maka konsep fitrah terhadap
pendidikan Islam dimaksudkan di sini, bahwa seluruh aspek dalam
menunjang seseorang menjadi menusia secara manusiawi adanya penyesuaian
akan aktualisasi fitrah-nya yang diharapkan, yakni pertama, konsep
fitrah mempercayai bahwa secara alamiah manusia itu positif (fitrah),
baik secara jasadi, nafsani (kognitif dan afektif) maupun ruhani
(spiritual). Kedua, mengakui bahwa salah satu komponen terpenting
manusia adalah qalbu. Perilaku manusia bergantung pada qalbunya. Di
samping jasad, akal, manusia memiliki qalbu. Dengan qalbu tersebut
manusia dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar) berkecenderungan kepada
yang benar dan bukan yang salah (termasuk memiliki kebijaksanaan,
kesabaran), dan memiliki kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa.[23]
Menghubungkan keterangan ini
secara ilmiah dengan adanya teori pendidikan Islam maka secara disiplin
ilmu merupakan konsep pendidikan yang mengandung berbagai teori yang
dapat dikembangkan dari hipotesa-hipotesa yang bersumber dari al Qur’an
maupun hadis baik dari segi sistem, proses, dan produk yang diharapkan
mampu membudayakan umat manusia agar bahagia dan sejahtera dalam
hidupnya.[24]inilah yang disebut secara implikasi konsep fitrah
kecenderungan peserta didik pada yang benar dalam memiliki secara
pendekatan ilmiah kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa. Sedang
pendidikan bila diberikan pengertian dari al-Qur’an maka kalangan
pemikir pendidikan Islam meletakkan pada tiga karakteristik di antaranya
rabb, ta’lim, , ta’dib dimaksud dalam al-Qur’an.
Dari ketiga kata tersebut,
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqy dalam bukunya al-Mu’jam al Mufahras li Alfadz
al-Qur’an al-Karim telah menginformasikan bahwa di dalam al-Qur’an kata
Tarbiyah dengan berbagai kata yang serumpun dengan diulang sebanyak
lebih dari 872 kali.[25] Kata tersebut berakar pada kata rabb. Kata ini
sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata dari al-Raghib al-Ashfahany, pada
mulanya berarti al-Tarbiyah yaitu insy’ al-syaihalan fa halun ila
hadd al-tamam yang artinya mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu
setahap demi tahap sampai pada batas yang sempurna.[26]
D. Signifikansi Fitrah Dalam Pendidikan Islam
Konsep fitrah pada dasarnya
mempercayai bahwa arah pergerakan hidup manusia (peserta didik) secara
garis besar dibagi menjadi dua, yaitu taqwa dan fujur. Peserta didik
pada dasarnya diciptakan dalam keadaan memiliki potensi positif dan ia
dapat bergerak ke arah taqwa. Bila manusia berjalan lurus antara fitrah
dan Allah, maka ia akan menjadi taqwa (sehat, selamat). Bila tidak
selaras antara fitrah dan Allah, maka ia akan berjalan ke pilihan yang
sesat (fujur). Secara fitrah manusia diciptakan dengan penuh cinta,
memiliki cinta, namun ia dapat berkembang ke arah agresi. Akan tetapi
implikasi dimaksud dalam penelitian ini mendapatkan bentuk konsep fitrah
sesuai realita yang ada, bahwa nilai-nilai aktualisasi fungsi konsep
fitrah sejalan dengan tujuan pendidikan, baik secara epistemologi
pendidikan, mewujudkan peserta didik yang memiliki potensi kepribadian
muslim yang berorientasi pada aktualisasi konsep fitrah manusia.
Jakfar Siddik mengungkapkan
bahwa yang menjadi inti kemanusiaan itu adalah fitrah (agama) itu
sendiri. Fitrah-lah yang membuat manusia (peserta didik) memiliki
keluhuran jiwa secara alamiah berkeinginan suci dan berpihak pada
kebaikan dan kebenaran Allah swt.[27] Menurut penulis membuat suatu
tatanan proses perkembangan peserta didik terhadap lingkungan pendidikan
sebagai lahan mengembangkan potensi kesucian peserta didik (konsep
fitrah) dapat terpenuhi maka kebutuhan kepribadian peserta didik akan
lebih sempurna.
Potensi kalangan peserta didik
sebagai anak manusia pengemban amanat Allah swt dan juga sebagai
khalifah di muka bumi ini, ia dilahirkan adanya nilai bertauhid Menurut
Nurcholis Madjid merupakan sebuah peristiwa dengan adanya perjanjian
mahkluk (manusia) dengan Tuhan Allah swt, maka dapat dikatakan bahwa
manusia (peserta didik) tersebut terikat dengan perjanjian itu
(pemaknaan bersifat religius). Demikian juga halnya dengan agama pun
sebenarnya memang adalah perjanjian, yang dalam bahasa Arabnya disebut
dengan mitsaq atau ‘ahdun, perjanjian dengan Allah swt. Seluruh hidup
merupakan realisasi atau pelaksanaan untuk memenuhi perjanjian manusia
dengan Allah. Intinya ialah ibadah, artinya memperhambakan diri kepada
Allah. Karena Allah swt sendiri telah diakui sebagai Rabb. Maka
implikasinya, akibat dari beribadah kepada Allah itu adalah, bahwa
manusia yakni kalangan peserta didik yang haus akan kebutuhan
pengembanagan kepribadian nilai fitrah-nya diharuskan menempuh jalan
hidup yang benar.[28]
Menurut al-Attas, yang dikutip
oleh Baharuddin, fitrah merupakan ketundukan manusia sebelum
kehadirannya di bumi yang dijelaskan dalam surah al-A’raf/ 7: 172
menunjukkan utangnya kepada Allah, begitu juga kerugiannya yang total,
sehinga dia mungkin bisa membayarnya dan kembali kepada Allah dengan
menyerahkan diri untuk mengabdi kepada-Nya. Kewajiban ini dirasakan oleh
umat manusia sebagai suatu kecenderungan wajar dan alamiah, fitrah yang
oleh al-Attas disepadankan dengan al-din, merujuk kepada surat
al-Rum/30: 30-32 fitrah adalah sifat dasar ketundukan pada manusia dan
al-din adalah bentuk ketundukan bagi manusia. Ketundukan sadar dan
kehendak bebas memantapkan harmonisasi dan kosmos, sementara penolakan
tunduk mengakibatkan ketimpangan dan kekacauan.[29]
Hakikinya, konsep fitrah bila
diaktualisasikannya dalam pendidikan, tidak sekedar "tranfern of
knowlegde" atau pun "tranfers of training". tetapi jauh dari itu
merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan
kesalehan; suatu sistem yang terkait langsung dengan Tuhan, dan inilah
yang merupakan potensi tauhid bahagian konsep fitrah manusia. Tegasnya
kebermaknaan konsep fitrah dalam hubungannya dengan wilayah pendidikan
adalah melahirkan suatu kegiatan yang mengarah dengan sengaja
perkembangan seseorang sesuai dengan atau sejalan dengan nilai-nilai
Islam. Konsep fitrah yang merupakan potensi dasar manusia dapat
teraktualisasikan bila kondisi lingkungan serta proses pendidikan dapat
membentuk nilai-nilai kepribadian tersebut. Secara global
potensi-potensi tersebut mengarahkan bentuk induvidualis dan sosialis
yang beragama, atau dengan kata lain potensi fitrah termanifestasikan
pada diri seseorang adalah nilai-nilai obyektifitas trasendensi moral
humanisme, terlebih lagi pada persoalan pengembangan keperibadian untuk
menuju kepribadian muslim yang kaffah di mana hal itu merupakan bagian
dari proses internalisasi nilai-nilai fitrah terhadap pendidikan yang
berasaskan Islam.
Individu dalam pandangan konsep
fitrah yakni Islam memandang bahwa manusia memiliki daya untuk
berkembang dan siap pula untuk dikembangkan. Akan tetapi tidak berati
individu tersebut dapat diperlakukan sebagai manusia pasif, melainkan
memiliki kemampuan dan keaktifan yang mampu membuat dilihat dan
penilaian, menerima, menolak atau menentukan alternatif-laternatif yang
lebih sesuai dengan pilihannya sebagai perwujudan dari adanya kehendak
dan kemauan bebasnya.[30]
Jadi signifikansi pendidikan
Islam dalam kerangka konsep fitrah dapat dideskripsikan sebagai suatu
sistem yang membawa manusia ke arah kebahagian dunia dan akhirat baik
melalui ilmu maupun melalui ibadah, karena pada hakikatnya tujuan akhir
dari pendidikan Islam itu sendiri adalah pencapaian kebahagian hidup di
dunia dan kesejahteraan di akhirat. Maka selayaknya yang harus menjadi
fokus utama dalam rangka menyikapi hal ini adalah memperhatikan
nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifatnya, misi dan tujuan
hidup di dunia dan akhirat nanti, hak dan kewajiban sebagai individu
dan sebagai anggota masyarakat. Sehingga secara fitrah, setelah
seseorang mengetahui tentang hakikat kehidupan, maka dia tidak saja
dapat memberikan inspirasi kepada manusia lain, akan tetapi juga dapat
mentransfer nilai-nilai luhur yang ia kembangkan hingga menjadi
manusia-manusia baru, yakni manusia yang cinta hidup damai, aman dan
sejahtera karena fitrah mansuai yang sebenarnya adalah hidup dalam
jalinan cinta sesama
E. Penutup.
Hakikat Konsep fitrah bila
dikaitkan dengan pendidikan Islam sebenarnya sangat bersifat religius
yang lebih menekankan pada pendekatan keimanan, sebab, setiap manusia
yang dilahirkan dia membawa potensi yang disebut dengan potensi
keimanan terhadap Allah atau dalam bahasa agamanya adalah tauhid.
Pengertian fitrah di dalam al Qur’an adalah gambaran bahwa sebenarnya
manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu agama
tauhid. Karena itu manusia yang tidak beragama tauhid merupakan
penyimpangan atas fitrahnya.
Setelah memahami konsep fitrah
dalam arti luas, maka tujuan yang ingin dicapai adanya gerakan
Islamisasi pendidikan berlandaskan sistem pendidikan Islam terhadap
ajarannya. Adanya paradigma ideologi humanisme teosentris berdasarkan
konsep fitrah, diharapkan tidak saja mampu menjadi alat ukur
perkembangan produktifitas peserta didik secara fitrah, tetapi juga
diharapkan implementasi operasionalnya tersusun secara sistematis, logis
dan obyektif mengenai ajaran Islam. Bukan malah sebaliknya melahirkan
produktifitas peserta didik berdasarkan filsafat Barat mengenai
teori-teori kemanusiaan, yang belum tentu memberikan uraian kebutuhan
nilai religiusitas peserta didik itu sendiri.
Perlu untuk dipertegas bahwa
kebutuhan nilai religiusitas peserta didik sesuai tujuan pendidikan
Islam harus berlandaskan teori konsep fitrah itu, sebab segala usaha
dalam meningkatkan sistem pendidikan Islam haruslah memelihara dan
mengembangkan fitrah peserta didik agar sumber daya manusia itu menuju
terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai pada norma-norma
ke-Islaman.
Seiring dengan tujuan konsep
fitrah dalam sistem pendidikan Islam, konsep fitrah yang ada pada diri
peserta didik dapat diformulasikan secara benar dan sempurna sebagai
pribadi muslim. Manusia yang beriman dan bertaqwa serta memiliki
berbagai kemampuan aktualisasi hubungan dengan Allah swt, sesama
manusia, dan alam secara positif konstruktif, inilah yang disebut
transendent humanisme teosentris. Sehingga adanya pendidikan Islam
berdasarkan konsep fitrah, hendaknya kalangan peserta didik pantas
menjadi hamba pilihan sesuai uraian Allah swt dalam al-Qur’an.
Islam sebagai agama fitrah tidak
hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia tetapi juga sesuai
dengan, bahkan menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya,
sehingga akan membawa kepada keutuhan dan kesempurnaan pribadinya. Di
sisi lain, Islam sebagai way of life (pandangan hidup) yang berdasarkan
nilai-nilai ilahiyah, baik yang termuat dalam al Qur’an maupun al hadist
diyakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat transendental,
universal dan eternal (abadi), sehingga secara akidah diyakini oleh
pemeluknya akan sesalu sesuai dengan fitrah manusia, artinya memenuhi
kebutuhan manusia kapan dan di mana saja ( likulli zamanin wa makanin)
Mudah-mudahan paparan kecil dari
makalah mini ini dapat bermamfaat dan menjadi renungan bagi semua hamba
ilmu yang selalu ingin mencari titik-titik kebenaran di antara
bungkahan-bungkahan mutiara yang tercecer di altar kehidupan ini. Amin.
Konsep Fitrah Dalam Al-Quran Oleh Al Husaini M.Daud Dosen Pembimbing Dr. Ahmad Zuhri, Lc. MA, |
Footnote
[1]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme-Teosentris (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 11-12.
[2]Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoristis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, cet V (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 88.
[3]Luis Ma’luf, al Munjid fi al lughah wa al a’lam (Bairut: Dar el Mashreq, 2000), h. 588. lihat Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, cet. V (Yokjakarta: Multi Karya Grafika, 1996), h. 1399. lihat juga, A.W. Munawwir, Kamus al Munawwir; Arab-Indonesia, cet. XIV (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1063.
[4]Abul A’la Al-Maududi, Towards Understanding Islam, Islamic Publication LTD, Lahore-Dacca. 1966.
[5]Ibid.
[6]Arief, Pengantar ,h 7
[7]Achmadi, Ideologi Pendidikan, h. 41
[8]Q.S. al Hujurat/49: 13.
[9]Q.S. al Mulk/67: 23.
[10]Q.S. al Rum/30: 30.
[11]LPKUB, Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama, P.Sipahutar dan Arifinsyah ( Ed.) edisi 2 (Bandung: Citapustaka Media), 2003. h.118
[12] Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, cet. VI (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 158.
[13] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol 11 (Jakarta: Lentera Hati,2002), h 53.
[14]Arifin, Ilmu Pendidikan, h. 88.
[15]Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami Studi Tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.148.
[16] Ia mendasarkannya pada hadits yang cukup populer, “setiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orangtuanya yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Dalam keterangan lainnya Juhaya S, Praja mengemukakan dalam tulisannya bahwa fitrah merupakan bawaan manusia sejak lahir.
[17]Ahmed Othman Al-twaijri, Kebebasan Akademis Menurut Konsep Islam dan Barat, terj. F. Rozi Dalimunthe dan Nur. A. Fadhil Lubis (Medan: Lembaga Ilmiah IAIN-SU, 1988), h. 82.
[18] Jalaluddin, Teologi Pendidikan,cet. II (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h. 35
[19] Ibid.
[20] Achmadi, Ideologi, h 94.
[21]Achmadi, Ideologi, h. 98
[22]Ibid., 103.
[23]Ahmad Faqih HN, “Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara Paradigma Kemodernan dan Turats Islam” dalam Artikel Mingguan Islam (20 Januari 2000). H. 203
[24] Ibid. h. 10
[25]Muhammad Fuad Abd al-Baqy, Mu’jam al-Mufahrass li Alfadz al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h. 285-299.
[26]Al-Raghib al-Asfahany, Mu’jam Mufradat li alFadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h 198. lihat juga Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 6
[27] Dja’far Siddik, “Menelusuri Konsep Proses Pembelajaran dalam Sistem Pendidikan Islam” dalam Hasan Asari, Amroeni Drajat, (ed), Antologi Kajian Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2004),h. 147.
[28] Nurcholish Madjid, ”Pesan-Pesan Takwa Nurcholish Madjid”, Editor Asrori S. Karni, (Jakarta: Paramadina, 2000).h. 224.
[29]Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Islam Secularism and The Philosophy of the Future ( London: Mansell Publishing Limited, 1985), h 32.
[30]Siddik, “Menelusuri Konsep, h. 150-151.
[1]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme-Teosentris (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 11-12.
[2]Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoristis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, cet V (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 88.
[3]Luis Ma’luf, al Munjid fi al lughah wa al a’lam (Bairut: Dar el Mashreq, 2000), h. 588. lihat Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, cet. V (Yokjakarta: Multi Karya Grafika, 1996), h. 1399. lihat juga, A.W. Munawwir, Kamus al Munawwir; Arab-Indonesia, cet. XIV (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1063.
[4]Abul A’la Al-Maududi, Towards Understanding Islam, Islamic Publication LTD, Lahore-Dacca. 1966.
[5]Ibid.
[6]Arief, Pengantar ,h 7
[7]Achmadi, Ideologi Pendidikan, h. 41
[8]Q.S. al Hujurat/49: 13.
[9]Q.S. al Mulk/67: 23.
[10]Q.S. al Rum/30: 30.
[11]LPKUB, Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama, P.Sipahutar dan Arifinsyah ( Ed.) edisi 2 (Bandung: Citapustaka Media), 2003. h.118
[12] Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, cet. VI (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 158.
[13] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol 11 (Jakarta: Lentera Hati,2002), h 53.
[14]Arifin, Ilmu Pendidikan, h. 88.
[15]Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami Studi Tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.148.
[16] Ia mendasarkannya pada hadits yang cukup populer, “setiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orangtuanya yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Dalam keterangan lainnya Juhaya S, Praja mengemukakan dalam tulisannya bahwa fitrah merupakan bawaan manusia sejak lahir.
[17]Ahmed Othman Al-twaijri, Kebebasan Akademis Menurut Konsep Islam dan Barat, terj. F. Rozi Dalimunthe dan Nur. A. Fadhil Lubis (Medan: Lembaga Ilmiah IAIN-SU, 1988), h. 82.
[18] Jalaluddin, Teologi Pendidikan,cet. II (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h. 35
[19] Ibid.
[20] Achmadi, Ideologi, h 94.
[21]Achmadi, Ideologi, h. 98
[22]Ibid., 103.
[23]Ahmad Faqih HN, “Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara Paradigma Kemodernan dan Turats Islam” dalam Artikel Mingguan Islam (20 Januari 2000). H. 203
[24] Ibid. h. 10
[25]Muhammad Fuad Abd al-Baqy, Mu’jam al-Mufahrass li Alfadz al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h. 285-299.
[26]Al-Raghib al-Asfahany, Mu’jam Mufradat li alFadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h 198. lihat juga Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 6
[27] Dja’far Siddik, “Menelusuri Konsep Proses Pembelajaran dalam Sistem Pendidikan Islam” dalam Hasan Asari, Amroeni Drajat, (ed), Antologi Kajian Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2004),h. 147.
[28] Nurcholish Madjid, ”Pesan-Pesan Takwa Nurcholish Madjid”, Editor Asrori S. Karni, (Jakarta: Paramadina, 2000).h. 224.
[29]Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Islam Secularism and The Philosophy of the Future ( London: Mansell Publishing Limited, 1985), h 32.
[30]Siddik, “Menelusuri Konsep, h. 150-151.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar