STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Jumat, 21 September 2012

Pengertian wahyu / الــــوحي

Secara bahasa kata “wahyu” berarti “isyarat yang cepat, surat, tulisan, dan segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain untuk diketahui.[10]
Dalam Alquran, kata wahy (الوحي) , digunakan dalam bentuk الإيحاءdan dipakai dalam berbagai macam pengertian. Di antaranya:
  • Ilham Fithriah bagi manusia:
Artinya: Dan Kami wahyukan (berikan ilham) kepada ibu Musa agar ia menyusuinya …[Q.S. Al-Qashash/28: 7].
- Instink bagi hewan :
Artinya: Dan Tuhanmu telah mewahyukan (memberikan instink) kepada lebah, “buatlah sarang-sarang di bukit-bukit dan di pohon-pohon dan di tempat-tempat yang dibuat oleh manusia [Q.S. Al-Nahl/16: 68].
- Isyarat :
Artinya: Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia wahyukan (memberi isyarat) kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang [Maryam/19: 11].
- Bisikan/rayuan syeithan :
Artinya: Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan [Q. S. Al-An’am/6: 112]
Demikian arti kata wahyu menurut penggunaannya dalam Alquran. Sedangkan kata wahy menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abduh, ialah “pengetahuan yang didapat seseorang di dalam dirinya serta diyakini bahwa pengetahuan tersebut datangnya dari Allah, baik dengan perantaraan, dengan suara atau tanpa suara, maupun tanpa perantaraan”.[11] Jika definisi ini dipadukan dengan pengertian wahyu menurut bahasa atau yang digunakan oleh Alquran sendiri, maka secara definitif, wahyu dapat diartikan sebagai “Pemberitahuan Tuhan kepada nabi/rasul-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan, bahwa apa yang diterimanya benar-benar dari Tuhan. Pemberitahuan tersebut bersifat ghaib, rahasia dan berlangsung sangat cepat.

Pengertian demikian ini juga digunakan dalam Alquran, antara lain pada ayat :
Artinya: Sesungguhnya Kami Telah memberikan wahyu kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami juga telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudahny;, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman, dan Kami berikan Zabur kepada Daud [Q. S. Al-Nisa’/4: 163]
Sedangkan proses penyampaiannya yang kadangkala secara langsung dan kadangkala melalui perantara, diungkapkan dalam Alquran surat al-Syura/42: 51 sebagai berikut:
  1. Artinya: Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir (secara langsung) atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana [Q.S. Al-Syura/42: 51]..
E. Macam-macam wahyu
Berkaitan dengan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad, maka segala sesuatu yang disampaikan beliau kepada umatnya dalam kapasitas beliau sebagai rasul, adalah wahyu. Karena apa yang disampaikannya tidaklah lahir dari keinginan pribadinya, melainkan berupa wahyu yang diterimanya dari Allah. Seperti dalam firman-Nya:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #“uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
Artinya: Dan dia (Muhammad) tidak memngucapkan sesuatu yang keluar dari hawa nafsunya, melainkan (apa yang diucapkannya) adalah wahyu yang diwahyukan Tuhan [Al-Najm/53: 3 – 4].
Sungguhpun redaksi ayat ini bersifat umum, mencakup apa saja — ajaran — yang disampaikan/diucapkan oleh Muhammad, namun dalam realitasnya harus dibatasi pada hal-hal yang bersifat ilahiyah, yang menempatkan Muhammad sebagai utusan Allah[12].
Ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada umatnya dideskripsikan dalam tiga macam bentuk wahyu, yaitu: Alquran, Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi. Perbandingan antara ketiga macam wahyu ini dapat ditabulasikan sebagai berikut:
ALQURAN HADITS QUDSI HADITS NABAWI
Redaksi bahasa dan mak-nanya dari Allah Maknanya dari Allah, redaksi bahasanya disusun sendiri oleh Nabi dengan menis-batkannya kepada Allah. Maknanya dari Allah, sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh Nabi tanpa menisbatkan-nya kepada Allah
Keabsahan-nya sebagai
wahyu Allah bersifat mutlaq (قطعيّ الورود)
Keabsahannya sebagai wahyu Allah ada yang
bersifat mutlaq (قطعيّ الورود) dan ada yang relatif (ظنيّ الورود)
Keabsahannya sebagai wahyu Allah ada yang bersifat mutlaq (قطعيّ الورود) dan ada yang tidak mutlaq (ظنيّ الورود)
F. Perbedaan Wahyu, Ilham dan Ta’lim
Ketiga istilah ini memiliki kesamaan, bahwa semuanya sama-sama menunjukkan pengetahuan yang bersumber dari Allah Swt. Perbedaannya adalah, wahyu hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, yaitu para Nabi dan Rasul; sedangkan ilham dan ta’lim (ilmu) diberikan oleh Allah kepada semua manusia.
Pengertian ilham, menurut pendapat sebagian ulama, sebagaimana dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqie, ialah “menuangkan suatu pengetahuan kedalam jiwa yang menuntut penerimanya supaya mengerjakannya, tanpa didahului dengan ijtihad dan penyelidikan hujjah-hujjah agama”.[13] Sejalan dengan pendapat ini, Al-Jurjani dalam Kitāb At-Ta’rīfāt mendefinisikan, bahwa ilham ialah “sesuatu yang dilimpahkan ke dalam jiwa dengan cara pemancaran, ia merupakan ilmu yang ada di dalam hati/jiwa, dan dengannya seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu tanpa didahului dengan pemikiran”.[14]
Ilham dalam pengertian ini hampir sama dengan pengertian instink yang dikenal dalam dunia Psikologi, yaitu “pola tingkahlaku yang merupakan karakteristik-karakteristik spesi tertentu; tingkahlaku yang diwariskan dan dilakukan secara berulang-ulang yang merupakan khas spesi tertentu. Bahkan menurut Sigmund Freud, ia merupakan sumber energi atau dorongan primal yang tidak dapat dipecahkan. Lebih lanjut Freud menambahkan, instink itu terbagi dua: instink kehidupan (Eros) dan instink Kematian (Tahanatos)”.[15]
Dua macam instink (ilham) yang terdapat dalam jiwa setiap manusia juga diungkapkan dalam Aquran dengan sebutan Fujur dan Taqwa. Sebagaimana termaktub dalam Alquran, surat Al-Syams/91: 8,
Artinya: Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaannya (Q. S. al-Syams/91: 8).
Dua macam instink yang disebutkan dalam ayat di atas adalah instink atau kecendrungan untuk berbuat buruk (Fujur) dan instink atau kecendrungan untuk berbuat baik (Taqwa). Kedua macam instink ini bersifat potensial. Artinya, setiap manusia memiliki potensi untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Karena sifatnya yang potensial, maka aktualisasi instink ini tergantung pada kecendrungan/kemauan manusia untuk mengaktualkan instink mana dari kedua instink tersebut. Jika seorang manusia memiliki kecendrungan untuk mengaktualkan instink keburukan (fujur), maka yang akan dominan dalam dirinya adalah sifat kejahatan; sehingga jadilah dia sebagai penjahat, pengingkar terhadap perintah dan larangan Allah. Demikian pula sebaliknya, jika instink kebaikan yang dikembangkan/diaktualkan, maka jadilah dia sebagai manusia yang baik, patuh terhadap perintah dan larangan Allah.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa perbedaan antara kedua istilah yang disebutkan terakhir (ilham dan ta’lim) terletak pada proses/cara memperolehnya. Ilham hanya dapat diperoleh atas kehendak Allah, tanpa usaha manusia; sedangkan ta’lim (ilmu) harus melalui usaha manusia; kecuali ilmu ladunniy yang dalam pandangan ahli tasawwuf proses perolehannya sama dengan ilham.

[1] Abdul ‘Azhim Az-Zarqani, مناهل العرفان في علوم القرآن , Daar al-Fikr, Beirut, 1988, Juz I, hal. 14; Bandingkan dengan Rosihon Anwar, hal. 29; Masjfuk Zuhdi, hal. 2.
[2] Badruddin Muhammad Bin Abdullah Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur’an, Isa al-Baby al-Halaby, Kaero, 1957, Juz I, hal. 278
[3] Dr. Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, دراسات في علوم القرآن (ULUMUL-QUR’AN: Studi Kompleksitas Alquran), Alih Bahasa Amirul Hasan & Muhammad Halabi, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, Cet. I, 1997, hal. 38
[4] Abdul ‘Azhim Az-Zarqani, op. cit, Juz I, hal. 19
[5] Mutawatir adalah proses penyampaian informasi yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta atau melakukan manipulasi.
[6] Imam Muhyiddin An-Nawawi, Riyadhush-Shalihin, Alih Bahasa Salim Bahreisy, PT. Al-Ma’arif, Bandung, Cet. V, 1979, hal. 126
[7]Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986: 27 – 34
[8] Muhammad Mushthafa Al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, Daar al-Fikr, Beirut, 2001, Juz I, hal. 17
[9] Fachruddin Ar-Razy, Tafsir Mafatih al-Ghaib, Daar al-Fikr, Beirut, 1425H, Juz I., hal. 123
[10]Prof. Dr. M. Qureish Shihab, et.al. SEJARAH & ULUM AL-QURAN, Pustaka Firdaus, Jakarta, Cet. II, 2000, hal. 48
[11] Ibid. Dikutip dari Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, Daar al-Syuruq, Beirut, 1994, hal. 101
[12] Salah satu contoh ucapan Muhammad yang disampaikan dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa, bukan sebagai utusan Allah, adalah ketika akan terjadi perang Khandaq. Muhammad menginstruksikan kepada prajuritnya untuk membuat pertahanan di dalam kota. Namun instruksi ini dipertanyakan oleh salah seorang tentaranya, dengan berkata: “Ya Rasulallah, apakah instruksi ini merupakan wahyu dari Allah?” Muhammad menjawab, “Bukan”. Lalu tentara tadi mengusulkan agar pertahanan dilakukan di luar kota, karena kalau bertahan di dalam kota, walaupun menang dalam peperangan tetapi akan menyebabkan hancurnya kota. Karena itu dibuatlah parit (Khandaq) sebagai benteng pertahanan di luar kota.
[13] Prof. Dr. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran/Tafsr, Bulan Bintang, Jakarta, 1980, hl. 29 – 31.
[14] Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Al-Haramain, Singapore, t.t., 34
[15] Dali Gulo, Kamus Psychologi, Tonis, Bandung, 1982, hal. 123

Tidak ada komentar:

Posting Komentar