A. Pendahuluan
Keberhasilan menanamkan nilai-nilai rohaniah (keimanan dan ketakwaan pada Allah swt.) dalam diri peserta didik, terkait dengan satu faktor dari sistem pendidikan, yaitu metode pendidikan yang dipergunakan pendidik dalam menyampaikan pesan-pesan ilahiyah, sebab dengan metode yang tepat, materi pelajaran akan dengan mudah dikuasai peserta didik. Dalam pendidikan Islam, perlu dipergunakan metode pendidikan yang dapat melakukan pendekatan menyeluruh terhadap manusia, meliputi dimensi jasmani dan rohani (lahiriah dan batiniah), walaupun tidak ada satu jenis metode pendidikan yang paling sesuai mencapai tujuan dengan semua keadaan. Sebaik apapun tujuan pendidikan, jika tidak didukung oleh metode yang tepat, tujuan tersebut sangat sulit untuk dapat tercapai dengan baik. Sebuah metode akan mempengaruhi sampai tidaknya suatu informasi secara lengkap atau tidak. Bahkan sering disebutkan cara atau metode kadang lebih penting daripada materi itu sendiri. Oleh sebab itu pemilihan metode pendidikan harus dilakukan secara cermat, disesuaikan dengan berbagai faktor terkait, sehingga hasil pendidikan dapat memuaskan. (Anwar, 2003: 42) Rasul saw. sejak awal sudah mencontohkan dalam mengimplementasikan metode pendidikan yang tepat terhadap para sahabatnya. Strategi pembelajaran yang beliau lakukan sangat akurat dalam menyampaikan ajaran Islam. Rasul saw. sangat memperhatikan situasi, kondisi dan karakter seseorang, sehingga nilai-nilai Islami dapat ditransfer dengan baik. Rasulullah saw. juga sangat memahami naluri dan kondisi setiap orang, sehingga beliau mampu menjadikan mereka suka cita, baik meterial maupun spiritual, beliau senantiasa mengajak orang untuk mendekati Allah swt. dan syari’at-Nya. Makalah ini akan menyajikan hadis-hadis Nabi saw. tentang metode pendidikan dalam lingkup makro dan mikro, yang dilaksanakan Rasulullah. Hadis-hadis yang berimplikasikan pada metode pendidikan dalam lingkup makro, meliputi; metode keteladanan, metode lemah lembut/kasih sayang, metode deduktif, metode perumpamaan, metode kiasan, metode memberi kemudahan, metode perbandingan. Metode pendidikan dalam lingkup mikro terdiri dari; metode tanya jawab, metode pengulangan, metode demonstrasi, metode eksperimen, metode pemecahan masalah, metode diskusi, metode pujian/memberi kegembiraan, metode pemberian hukuman.
Keberhasilan menanamkan nilai-nilai rohaniah (keimanan dan ketakwaan pada Allah swt.) dalam diri peserta didik, terkait dengan satu faktor dari sistem pendidikan, yaitu metode pendidikan yang dipergunakan pendidik dalam menyampaikan pesan-pesan ilahiyah, sebab dengan metode yang tepat, materi pelajaran akan dengan mudah dikuasai peserta didik. Dalam pendidikan Islam, perlu dipergunakan metode pendidikan yang dapat melakukan pendekatan menyeluruh terhadap manusia, meliputi dimensi jasmani dan rohani (lahiriah dan batiniah), walaupun tidak ada satu jenis metode pendidikan yang paling sesuai mencapai tujuan dengan semua keadaan. Sebaik apapun tujuan pendidikan, jika tidak didukung oleh metode yang tepat, tujuan tersebut sangat sulit untuk dapat tercapai dengan baik. Sebuah metode akan mempengaruhi sampai tidaknya suatu informasi secara lengkap atau tidak. Bahkan sering disebutkan cara atau metode kadang lebih penting daripada materi itu sendiri. Oleh sebab itu pemilihan metode pendidikan harus dilakukan secara cermat, disesuaikan dengan berbagai faktor terkait, sehingga hasil pendidikan dapat memuaskan. (Anwar, 2003: 42) Rasul saw. sejak awal sudah mencontohkan dalam mengimplementasikan metode pendidikan yang tepat terhadap para sahabatnya. Strategi pembelajaran yang beliau lakukan sangat akurat dalam menyampaikan ajaran Islam. Rasul saw. sangat memperhatikan situasi, kondisi dan karakter seseorang, sehingga nilai-nilai Islami dapat ditransfer dengan baik. Rasulullah saw. juga sangat memahami naluri dan kondisi setiap orang, sehingga beliau mampu menjadikan mereka suka cita, baik meterial maupun spiritual, beliau senantiasa mengajak orang untuk mendekati Allah swt. dan syari’at-Nya. Makalah ini akan menyajikan hadis-hadis Nabi saw. tentang metode pendidikan dalam lingkup makro dan mikro, yang dilaksanakan Rasulullah. Hadis-hadis yang berimplikasikan pada metode pendidikan dalam lingkup makro, meliputi; metode keteladanan, metode lemah lembut/kasih sayang, metode deduktif, metode perumpamaan, metode kiasan, metode memberi kemudahan, metode perbandingan. Metode pendidikan dalam lingkup mikro terdiri dari; metode tanya jawab, metode pengulangan, metode demonstrasi, metode eksperimen, metode pemecahan masalah, metode diskusi, metode pujian/memberi kegembiraan, metode pemberian hukuman.
B. Pembahasan
 1. Pengertian Metode Pendidikan.
Satu dari berbagai komponen penting untuk mencapai tujuan pendidikan 
adalah ketepatan menentukan metode. Sebab dengan metode yang tepat, 
materi pendidikan dapat diterima dengan baik. Metode diibaratkan sebagai
 alat yang dapat digunakan dalam suatu proses pencapaian tujuan. Tanpa 
metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara efektif
 dan efisien dalam kegiatan pembelajaran menuju tujuan pendidikan.
Secara etimologi kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu meta yang 
berarti ”yang dilalui” dan hodos yang berarti ”jalan”, yakni jalan yang 
harus dilalui. Jadi secara harfiah metode adalah cara yang tepat untuk 
melakukan sesuatu.(Poerwakatja, 1982: 56). Sedangkan dalam bahasa 
Inggeris, disebut dengan method yang mengandung makna metode dalam 
bahasa Indonesia.(Wojowasito, 1980:113). Dalam bahasa Arab, metode 
disebut dengan tharīqah yang berarti jalan atau cara.(Louwis, t.t.: 
465). Demikian pula menurut Yunus, tharīqah adalah perjalanan hidup, 
hal, mazhab dan metode.(Munawwir, 1997: 849). Secara terminologi, para 
ahli memberikan definisi yang beragam tentang metode, di antaranya 
pengertian yang dikemukakan Surakhmad (1998: 96), bahwa metode adalah 
cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. 
Menurut Yusuf (1995: 2), metodologi adalah ilmu yang mengkaji atau 
membahas tentang bermacam-macam metode mengajar, keunggulannya, 
kelemahannya, kesesuaian dengan bahan pelajaran dan bagaimana 
penggunaannya. Poerwakatja (1982: 386), mengemukakan; metode 
pembelajaran berarti jalan ke arah suatu tujuan yang mengatur secara 
praktis bahan pelajaran, cara mengajarkannya dan cara mengelolanya.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli mengenai pengertian 
metode pendidikan, beberapa hal yang mesti ada dalam metode yaitu:
a. Melaksanakan aktivitas pembelajaran dengan penuh kesadaran dan 
tanggung jawab;
b. Aktivitas tersebut memiliki cara yang baik dan tujuan tertentu;
c. Tujuan harus dicapai secara efektif.
Ada istilah lain dalam pendidikan yang mengandung makna berdekatan 
dengan metode, yaitu pendekatan dan teknik/strategi, sebagai berikut:
a. Pendekatan (al-madkhal/approach).
Pendekatan yaitu sekumpulan pemahaman mengenai bahan pelajaran yang 
mengandung prinsip-prinsip filosofis. Jadi pendekatan merupakan 
kebenaran umum yang bersifat mutlak. Misalkan asumsi yang berhubungan 
dengan pembelajaran bahasa, bahwa aspek menyimak dan percakapan harus 
diajarkan terlebih dahulu sebelum aspek membaca dan menulis atau 
sebaliknya, sehingga dari asumsi tersebut pendidik dapat menentukan 
metode yang tepat.(Sumardi, t.t: 91-94).
b. Teknik/strategi.
Teknik penyajian bahan pelajaran adalah penyajian yang dikuasai pendidik
 dalam mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada peserta didik di 
dalam kelas, agar bahan pelajaran dapat dipahami dan digunakan dengan 
baik. Teknik adalah pelaksanaan pengajaran di dalam kelas, yaitu 
penggunaan metode yang didasarkan atas pendekatan terhadap materi 
pelajaran. Jadi teknik harus sejalan dengan metode dan pendekatan. 
Misalkan dalam mengatasi masalah peserta didik yang tidak dapat 
menyebutkan bunyi suatu huruf dengan tepat, pendidik memintakan peserta 
didik untuk menirukan ucapannya.
c. Metode
.
Metode adalah rencana menyeluruh yang berkenaan dengan penyajian 
bahan/materi pelajaran secara sistematis dan metodologis serta 
didasarkan atas suatu pendekatan, sehingga perbedaan pendekatan 
mengakibatkan perbedaan penggunaan metode. Jika metode tersebut 
dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat membawa arti metode sebagai 
jalan pembinaan pengetahuan, sikap dan tingkah laku sehingga terlihat 
dalam pribadi subjek dan obyek pendidikan, yaitu pribadi Islami. Selain 
itu, metode dapat membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali dan
 mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan 
perkembangan zaman.(Nata, 2001: 91).
Metode, merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan 
pendidikan. Alat ini mempunyai dua fungsi ganda, yaitu polipragmatis dan
 monopragmatis. Polipragmatis, bilamana metode mengandung kegunaan yang 
serba ganda, misalnya suatu metode tertentu pada suatu situasi kondisi 
tertentu dapat digunakan membangun dan memperbaiki. Kegunaannya dapat 
tergantung pada si pemakai atau pada corak, bentuk dan kemampuan dari 
metode sebagai alat. Sebaliknya monopragmatis, bilamana metode 
mengandung satu macam kegunaan untuk satu macam tujuan. Penggunaannya 
mengandung implikasi bersifat konsisten, sistematis dan kebermaknaan 
menurut kondisi sasarannya. Mengingat sasaran metode adalah manusia, 
maka pendidik dituntut untuk berhati-hati dalam penerapannya.
Metode pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi penghalang 
kelancaran jalannya proses pembelajaran, sehingga banyak tenaga dan 
waktu terbuang sia-sia. Oleh karena itu, metode yang diterapkan oleh 
seorang guru baru berdaya guna dan berhasil guna, jika mampu 
dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Dalam 
pendidikan Islam, metode yang tepat guna adalah metode yang mengandung 
nilai nilai instrinsik dan ekstrinsik, sejalan dengan materi pelajaran 
dan secara fungsional dapat dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai 
ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam. (Arifin, 1996: 
197). Nahlawi (1996: 204), mengatakan metode pendidikan Islam adalah 
metode dialog, metode kisah Qur’ani dan Nabawi, metode perumpamaan 
Qur’ani dan Nabawi, metode keteladanan, metode aplikasi dan pengamalan, 
metode ibrah dan nasihat serta metode tarģîb dan tarhîb.
Berdasarkan rumusan-rumusan di atas, dapat dipahami bahwa metode 
pendidikan Islam adalah berbagai cara yang digunakan oleh pendidik 
muslim, sebagai jalan pembinaan pengetahuan, sikap dan tingkah laku, 
sehingga nilai-nilai Islami dapat terlihat dalam pribadi peserta didik 
(subjek dan obyek pendidikan).
2. Hadis-hadis Tentang Metode Pendidikan dalam Lingkup Makro
a. Metode Keteladanan.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ 
عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ 
الزُّرَقِيِّ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ 
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ 
أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
 وَسَلَّمَ وَلِأَبِي الْعَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا 
سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا.
Artinya: Hadis dari Abdullah ibn Yusuf, katanya Malik memberitakan pada 
kami dari Amir ibn Abdullah ibn Zabair dari ‘Amar ibn Sulmi az-Zarâqi 
dari Abi Qatadah al-Anshâri, bahwa Rasulullah saw. salat sambil membawa 
Umâmah binti Zainab binti Rasulullah saw. dari (pernikahannya) dengan 
Abu al-Ash ibn Rabi’ah ibn Abdu Syams. Bila sujud, beliau menaruhnya dan
 bila berdiri beliau menggendongnya. (al-Bukhari, 1987, I: 193)
Hadis di atas tergolong syarîf marfû’ dengan kualitas perawi yang 
sebagian terdiri dari şiqah mutqinũn, ra’su mutqinũn, şiqah dan perawi 
bernama Qatadah adalah sahabat Rasulullah saw. (CD Room, Kutub 
at-Tis’ah).
Menurut al-Asqalâni, ketika itu orang-orang Arab sangat membenci anak 
perempuan. Rasulullah saw. memberitahukan pada mereka tentang kemuliaan 
kedudukan anak perempuan. Rasulullah saw. memberitahukannya dengan 
tindakan, yaitu dengan menggendong Umamah (cucu Rasulullah saw.) di 
pundaknya ketika salat. Makna yang dapat dipahami bahwa perilaku 
tersebut dilakukan Rasulullah saw. untuk menentang kebiasaan orang Arab 
yang membenci anak perempuan. Rasulullah saw. menyelisihi kebiasaan 
mereka, bahkan dalam salat sekalipun. (Al-Asqalani, 1379H: 591-592). 
Hamd, mengatakan bahwa pendidik itu besar di mata anak didiknya, apa 
yang dilihat dari gurunya akan ditirunya, karena anak didik akan meniru 
dan meneladani apa yang dilihat dari gurunya, maka wajiblah guru 
memberikan teladan yang baik. (al-Hamd, 2002: 27).
Memperhatikan kutipan di atas dapat dipahami bahwa keteladanan mempunyai
 arti penting dalam mendidik, keteladanan menjadi titik sentral dalam 
mendidik, kalau pendidiknya baik, ada kemungkinan anak didiknya juga 
baik, karena murid meniru gurunya. Sebaliknya jika guru berperangai 
buruk, ada kemungkinan anak didiknya juga berperangai buruk.
Rasulullah saw. merepresentasikan dan mengekspresikan apa yang ingin 
diajarkan melalui tindakannya dan kemudian menerjemahkan tindakannya ke 
dalam kata-kata. Bagaimana memuja Allah swt., bagaimana bersikap 
sederhana, bagaimana duduk dalam salat dan do’a, bagaimana makan, 
bagaimana tertawa, dan lain sebagainya, menjadi acuan bagi para sahabat,
 sekaligus merupakan materi pendidikan yang tidak langsung.
Mendidik dengan contoh (keteladanan) adalah satu metode pembelajaran 
yang dianggap besar pengaruhnya. Segala yang dicontohkan oleh Rasulullah
 saw. dalam kehidupannya, merupakan cerminan kandungan Alquran secara 
utuh, sebagaimana firman Allah swt. berikut:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر 
الله كثيرا.
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan 
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan 
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33: 21).
Al-Baidhawi (Juz 5: 9), memberi makna uswatun hasanah pada ayat di atas 
adalah perbuatan baik yang dapat dicontoh. Dengan demikian, keteladanan 
menjadi penting dalam pendidikan, keteladanan akan menjadi metode yang 
ampuh dalam membina perkembangan anak didik. Keteladanan sempurna, 
adalah keteladanan Rasulullah saw., yang dapat menjadi acuan bagi 
pendidik sebagai teladan utama, sehingga diharapkan anak didik mempunyai
 figur pendidik yang dapat dijadikan panutan.
Dengan demikian, keteladanan menjadi penting dalam pendidikan, 
keteladanan akan menjadi metode yang ampuh dalam membina perkembangan 
anak didik. Keteladanan sempurna, adalah keteladanan Rasulullah saw., 
yang dapat menjadi acuan bagi pendidik sebagai teladan utama, sehingga 
diharapkan anak didik mempunyai figur pendidik yang dapat dijadikan 
panutan.
b. Metode lemah lembut/kasih sayang.
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ
 أَبِي شَيْبَةَ وَتَقَارَبَا فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ قَالَ حَدَّثَنَا 
إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ عَنْ يَحْيَى 
بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ
 يَسَارٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قَالَ بَيْنَا 
أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَرَمَانِي
 الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَا ثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ
 تَنْظُرُونَ إِلَيَّ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى 
أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ 
فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ 
أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي 
وَلَا شَتَمَنِي قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ
 مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ 
وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ…. 
Artinya: Hadis dari Abu Ja’far Muhammad ibn Shabah dan Abu Bakr ibn Abi 
Syaibah, hadis Ismail ibn Ibrahim dari Hajjâj as-Shawwâf dari Yahya ibn 
Abi Kaşir dari Hilâl ibn Abi Maimũnah dari ‘Atha’ ibn Yasâr dari 
Mu’awiyah ibn Hakam as-Silmiy, Katanya: Ketika saya salat bersama 
Rasulullah saw., seorang dari jama’ah bersin maka aku katakan 
yarhamukallâh. Orang-orang mencela saya dengan pandangan mereka, saya 
berkata: Celaka, kenapa kalian memandangiku? Mereka memukul paha dengan 
tangan mereka, ketika saya memandang mereka, mereka menyuruh saya diam 
dan saya diam. Setelah Rasul saw. selesai salat (aku bersumpah) demi 
Ayah dan Ibuku (sebagai tebusannya), saya tidak pernah melihat guru 
sebelumnya dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau.
 Demi Allah beliau tidak membentak, memukul dan mencela saya. Rasulullah
 saw. (hanya) bersabda: Sesungguhnya salat ini tidak boleh di dalamnya 
sesuatu dari pembicaraan manusia. Ia hanya tasbîh, takbîr dan membaca 
Alquran. (Muslim, t.t, I: 381).
Hadis di atas tergolong syarîf marfũ’ dengan kualitas perawi yang 
sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut. An-Nawâwi, dalam syarahnya 
mengatakan hadis ini menunjukkan keagungan perangai Rasulullah saw., 
dengan memiliki sikap lemah lembut dan mengasihi orang yang bodoh (belum
 mengetahui tata cara salat). Ini juga perintah agar pendidik 
berperilaku sebagaimana Rasulullah saw. dalam mendidik.(an-Nawawi, 
1401H, V: 20-21).
Pentingnya metode lemah lembut dalam pendidikan, karena materi pelajaran
 yang disampaikan pendidik dapat membentuk kepribadian peserta didik. 
Dengan sikap lemah lembut yang ditampilkan pendidik, peserta didik akan 
terdorong untuk akrab dengan pendidik dalam upaya pembentukan 
kepribadian. 
c. Metode deduktif.
حَدَََّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ بُنْدَارٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى 
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ 
عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي 
ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ 
نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي 
الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ 
وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ 
وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى 
حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ 
اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ.
Artinya: Hadis Muhammad ibn Basysyar ibn Dar, katanya hadis Yahya dari 
Abdullah katanya hadis dari Khubâib ibn Abdurrahman dari Hafs ibn ‘Aśim 
dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw.bersabda: Tujuh orang yang akan 
dinaungi oleh Allah di naungan-Nya yang tidak ada naungan kecuali 
naungan Allah; pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam keadaan taat
 kepada Allah; seorang yang hatinya terikat dengan mesjid, dua orang 
yang saling mencintai karena Allah (mereka bertemu dan berpisah karena 
Allah), seorang yang diajak oleh wanita terpandang dan cantik namun ia 
berkata ’saya takut kepada Allah’, seorang yang menyembunyikan 
sadekahnya sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan 
oleh tangan kanannya dan orang yang mengingat Allah dalam kesendirian 
hingga air matanya mengalir. (al-Bukhari, t.t, I: 234). 
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang 
sebagian tergolong şiqah dan şiqah mutqin, sedangkan Abu Hurairah adalah
 sahabat Rasulullah saw. Menurut Abi Jamrah, metode deduktif 
(memberitahukan secara global) suatu materi pelajaran, akan memunculkan 
keingintahuan pelajar tentang isi materi pelajaran, sehingga lebih 
mengena di hati dan memberi manfaat yang lebih besar. (an-Andalusi, 
1979, I: 97).
d. Metode perumpamaan
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَاللَّفْظُ لَهُ أَخْبَرَنَا 
عَبْدُ الْوَهَّابِ يَعْنِي الثَّقَفِيَّ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ
 نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الْمُنَافِقِ كَمَثَلِ الشَّاةِ الْعَائِرَةِ 
بَيْنَ الْغَنَمَيْنِ تَعِيرُ إِلَى هَذِهِ مَرَّةً وَإِلَى هَذِهِ مَرَّةً
 . 
Artinya; Hadis dari Muhammad ibn Mutsanna dan lafaz darinya, hadis dari 
Abdul Wahhâb yakni as- Śaqafi, hadis Abdullah dari Nâfi’ dari ibn Umar, 
Nabi saw. bersabda: Perumpamaan orang munafik dalam keraguan mereka 
adalah seperti kambing yang kebingungan di tengah kambing-kambing yang 
lain. Ia bolak balik ke sana ke sini. (Muslim, IV: 2146)
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang 
sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut, şiqah hâfiz, sedangkan ibn 
Umar adalah sahabat Rasulullah saw. Menurut ath-Thîby (1417H, XI: 2634),
 orang-orang munafik, karena mengikut hawa nafsu untuk memenuhi 
syahwatnya, diumpamakan seperti kambing jantan yang berada di antara dua
 kambing betina. Tidak tetap pada satu betina, tetapi berbolak balik 
pada ke duanya. Hal tersebut diumpamakan seperti orang munafik yang 
tidak konsisten dengan satu komitmen.
Perumpamaan dilakukan oleh Rasul saw. sebagai satu metode pembelajaran 
untuk memberikan pemahaman kepada sahabat, sehingga materi pelajaran 
dapat dicerna dengan baik. Matode ini dilakukan dengan cara menyerupakan
 sesuatu dengan sesuatu yang lain, mendekatkan sesuatu yang abstrak 
dengan yang lebih konkrit. Perumpamaan yang digunakan oleh Rasulullah 
saw. sebagai satu metode pembelajaran selalu syarat dengan makna, 
sehinga benar-benar dapat membawa sesuatu yang abstrak kepada yang 
konkrit atau menjadikan sesuatu yang masih samar dalam makna menjadi 
sesuatu yang sangat jelas. 
e. Metode kiasan.
حَدَّثَنَا يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ
 صَفِيَّةَ عَنْ أُمِّهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْ 
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ غُسْلِهَا مِنْ 
الْمَحِيضِ فَأَمَرَهَا كَيْفَ تَغْتَسِلُ قَالَ خُذِي فِرْصَةً مِنْ 
مَسْكٍ فَتَطَهَّرِي بِهَا قَالَتْ كَيْفَ أَتَطَهَّرُ قَالَ تَطَهَّرِي 
بِهَا قَالَتْ كَيْفَ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِي فَاجْتَبَذْتُهَا
 إِلَيَّ فَقُلْتُ تَتَبَّعِي بِهَا أَثَرَ الدَّمِ….
Artinya: Hadis Yahya, katanya hadis ‘Uyainah dari Mansyur ibn Shafiyyah 
dari Ibunya dari Aisyah, seorang wanita bertanya pada Nabi saw. tentang 
bersuci dari haid. Aisyah menyebutkan bahwa Rasul saw. mengajarkannya 
bagaimana cara mandi. Kemudian kamu mengambil secarik kain dan 
memberinya minyak wangi dan bersuci dengannya. Ia bertanya, bagaimana 
aku bersuci dengannya? Sabda Rasul saw. Kamu bersuci dengannya. 
Subhânallah, beliau menutup wajahnya. Aisyah mengatakan telusurilah 
bekas darah (haid) dengan kain itu. (al-Bukhari, I: 119)
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang 
sebagian tergolong şiqah dan şiqah hâfiz, sedangkan Aisyah adalah istri 
Rasulullah saw. Ibn Hajar, memberi komentar terhadap hadis ini dengan 
mengatakan ini adalah dalil tentang disunnahkannya menggunkan 
kiasan/sindiran pada hal-hal yang berkenaan dengan aurat dan bimbingan 
untuk masalah-masalah yang dianggap aib. (al-Asqalani, I: 415-416). 
Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, mengatakan cara mempergunakan kiasan dalam
 pembelajaran, yaitu:
1) Rayuan dalam nasehat, seperti memuji kebaikan anak didik, dengan 
tujuan agar lebih meningkatkan kualitas akhlaknya, dengan mengabaikan 
membicarakan keburukannya.
2) Menyebutkan tokoh-tokoh agung umat Islam masa lalu, sehingga 
membangkitkan semangat mereka untuk mengikuti jejak mereka.
3) Membangkitkan semangat dan kehormatan anak didik.
4) Sengaja menyampaikan nasehat di tengah anak didik.
5) Menyampaikan nasehat secara tidak langsung/ melalui kiasan.
6) Memuji di hadapan orang yang berbuat kesalahan, orang yang mengatakan
 sesuatu yang berbeda dengan perbuatannya. Merupakan cara mendorong 
seseorang untuk berbuat kebajikan dan meninggalkan keburukan.
f. Metode memberi kemudahan.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ
 قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو التَّيَّاحِ عَنْ 
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
قَالَ يَسِّرُوا وَلا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلا تُنَفِّرُوا وكان يحب 
التخفيف والتسري على الناس. 
Artinya: Hadis Muhammad ibn Basysyar katanya hadis Yahya ibn Sâ’id 
katanya hadis Syu’bah katanya hadis Abu Tayyâh dari Anas ibn Malik dari 
Nabi saw. Rasulullah saw. bersabda: Mudahkanlah dan jangan mempersulit. 
Rasulullah saw. suka memberikan keringanan kepada manusia.(al-Bukhari, 
I: 38)
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang 
sebagian tergolong şiqah dan şiqah hâfiz, Anas adalah sahabat Rasul saw.
 Ibnu Hajar al-Asqalâni mengomentari hadis tersebut dengan mengatakan 
pentingnya memberikan kemudahan bagi pelajar yang memiliki kesungguhan 
dalam belajar, (al-Asqalani, I: 62) dalam arti mengajarkan ilmu 
pengetahuan harus mempertimbangkan kemampuan si pelajar.
Sebagai pendidik, Rasulullah saw. tidak pernah mempersulit, dengan 
harapan para sahabat memiliki motivasi yang kuat untuk tetap 
meningkatkan aktivitas belajar .
g. Metode perbandingan.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ 
بْنُ إِدْرِيسَ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي 
وَمُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ ح و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا 
مُوسَى بْنُ أَعْيَنَ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا 
أَبُو أُسَامَةَ كُلُّهُمْ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ ح و 
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا يَحْيَى 
بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ حَدَّثَنَا قَيْسٌ قَالَ سَمِعْتُ 
مُسْتَوْرِدًا أَخَا بَنِي فِهْرٍ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ 
إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ وَأَشَارَ 
يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ وَفِي 
حَدِيثِهِمْ جَمِيعًا غَيْرَ يَحْيَى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ 
عَنْ الْمُسْتَوْرِدِ بْنِ شَدَّادٍ أَخِي بَنِي فِهْرٍ وَفِي حَدِيثِهِ 
أَيْضًا قَالَ وَأَشَارَ إِسْمَعِيلُ بِالْإِبْهَامِ. 
Artinya: Hadis Abu Bakr ibn Abi Syaibah, hadis Abdullah ibn Idris, Hadis
 ibn Numair, hadis Abi Muhammad ibn Bisyr, hadis Yahya ibn Yahya, khabar
 dari Musa ibn A’yân, hadis Muhammad ibn Rafi’, hadis Abu Usamah dari 
Ismail ibn Abi Khalid, hadis Muhammad ibn Hatim dan lafaz darinya, hadis
 Yahya ibn Sa’id, hadis Ismâil, hadis Qâis katanya aku mendengar 
Mustaurid saudara dari bani Fihrin katanya, Rasul saw. bersabda: Demi 
Allah tidaklah dunia dibandingkan dengan akhirat kecuali seperti seorang
 yang menaruh jarinya ini, beliau menunjuk kepada telunjuknya di laut, 
kemudian perhatikan apa yang tersisa di telunjuknya. (Muslim, IV: 3193)
Hadis di atas tergolong syarif marfu’ dengan kualitas perawi yang 
sebagian tergolong şiqah dan şiqah hafiz, şiqah şubut dan śaduq. Imam 
an-Nawâwi memberi komentar pada hadis ini, dengan ungkapan” akhirat 
dibandingkan dengan dunia, dalam hal waktunya dunia itu singkat dan 
kenikmatannya yang sirna, sedangkan akhirat serba abadi, sebagaimana 
perbandingan antara air yang lengket pada jari dibanding dengan sisanya 
di lautan. (an-Nawawi, XVII: 192-193)
Makna hadis di atas yaitu pentingnya metode perbandingan dalam 
pendidikan, sehingga potensi jasmaniah dan rohaniah si pembelajar dapat 
memahami hal-hal yang memiliki perbedaan antara suatu permasalahan 
dengan lainnya.
3. Hadis-hadis Tentang Metode Pendidikan dalam Lingkup Mikro
a. Metode tanya jawab
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح وَقَالَ 
قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بَكْرٌ يَعْنِي ابْنَ مُضَرَ كِلَاهُمَا عَنْ ابْنِ 
الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ 
عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَفِي حَدِيثِ بَكْرٍ أَنَّهُ سَمِعَ 
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَرَأَيْتُمْ 
لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ 
خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالُوا لَا يَبْقَى 
مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ 
يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا. 
Artinya: Hadis Qutaibah ibn Sa’id, hadis Lâis kata Qutaibah hadis Bakr 
yaitu ibn Mudhar dari ibn Hâd dari Muhammad ibn Ibrahim dari Abi Salmah 
ibn Abdurrahmân dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda; 
Bagaimana pendapat kalian seandainya ada sungai di depan pintu salah 
seorang di antara kalian. Ia mandi di sana lima kali sehari. Bagaimana 
pendapat kalian? Apakah masih akan tersisa kotorannya? Mereka menjawab, 
tidak akan tersisa kotorannya sedikitpun. Beliau bersabda; Begitulah 
perumpamaan salat lima waktu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa. 
(Muslim, I: 462-463)
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang 
sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut, sedangkan Abu Hurairah adalah 
sahabat Rasulullah saw. Metode bertanya ini untuk mengajak si pendengar 
agar fokus dengan pembahasan. Misalnya kata; ”bagaimana pendapat 
kalian?” adalah pertanyaan yang diajukan untuk meminta informasi. 
Maksudnya beritahukan padaku, apakah masih tersisa?. Menurut at-Thiiby, 
sebagaimana dikutip al-Asqalâni, menjelaskan lafaz ”لو” dalam hadis 
tersebut memberi makna perumpamaan. (al-Asqalani, I: 462).
Metode tanya jawab, apakah pembicaraan antara dua orang atau lebih, 
dalam pembicaraan tersebut mempunyai tujuan dan topik tertentu. Metode 
dialog berusaha menghubungkan pemikiran seseorang dengan orang lain, 
serta mempunyai manfaat bagi pelaku dan pendengarnya.(an-Nahlawi, 1996: 
205). Uraian tersebut memberi makna bahwa dialog dilakukan oleh 
seseorang dengan orang lain, baik mendengar langsung atau melalui 
bacaan. Nahlawi, mengatakan pembaca dialog akan mendapat keuntungan 
berdasarkan karakteristik dialog, yaitu topik dialog disajikan dengan 
pola dinamis sehingga materi tidak membosankan, pembaca tertuntun untuk 
mengikuti dialog hingga selesai. Melalui dialog, perasaan dan emosi akan
 terbangkitkan, topik pembicaraan disajikan bersifat realistik dan 
manusiawi. Dalam Alquran banyak memberi informasi tentang dialog, di 
antara bentuk-bentuk dialog tersebut adalah dialog khitâbi, ta’abbudi, 
deskritif, naratif, argumentatif serta dialog nabawiyah. Metode tanya 
jawab, sering dilakukan oleh Rasul saw. dalam mendidik akhlak para 
sahabat. Dialog akan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk 
bertanya tentang sesuatu yang tidak mereka pahami. Pada dasarnya metode 
tanya jawab adalah tindak lanjut dari penyajian ceramah yang disampaikan
 pendidik. Dalam hal penggunaan metode ini, Rasulullah saw. menanyakan 
kepada para sahabat tentang penguasaan terhadap suatu masalah.
b. Metode Pengulangan.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ بَهْزِ بْنِ
 حَكِيمٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ 
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَيْلٌ لِلَّذِي 
يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ. 
Artinya: Hadis Musaddad ibn Musarhad hadis Yahya dari Bahzâ ibn Hâkim, 
katanya hadis dari ayahnya katanya ia mendengar Rasulullah saw bersabda:
 Celakalah bagi orang yang berbicara dan berdusta agar orang-orang 
tertawa. Kecelakaan baginya, kecelakaan baginya. (As-Sijistani, t.t, II:
 716).
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang 
sebagian tergolong şiqah dan şiqah hafiz, şiqah sadũq. Rasulullah saw. 
mengulang tiga kali perkataan ”celakalah”, ini menunjukkan bahwa 
pembelajaran harus dilaksanakan dengan baik dan benar, sehingga materi 
pelajaran dapat dipahami dan tidak tergolong pada orang yang merugi.
Satu proses yang penting dalam pembelajaran adalah pengulangan/latihan 
atau praktek yang diulang-ulang. Baik latihan mental dimana seseorang 
membayangkan dirinya melakukan perbuatan tertentu maupun latihan motorik
 yaitu melakukan perbuatan secara nyata merupakan alat-alat bantu 
ingatan yang penting. Latihan mental, mengaktifkan orang yang belajar 
untuk membayangkan kejadian-kejadian yang sudah tidak ada untuk 
berikutnya bayangan-bayangan ini membimbing latihan motorik. Proses 
pengulangan juga dipengaruhi oleh taraf perkembangan seseorang. 
Kemampuan melukiskan tingkah laku dan kecakapan membuat model menjadi 
kode verbal atau kode visual mempermudah pengulangan. Metode pengulangan
 dilakukan Rasulullah saw. ketika menjelaskan sesuatu yang penting untuk
 diingat para sahabat.
c. Metode demonstrasi
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ 
الْوَهَّابِ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ 
حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ 
عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدْ 
اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا أَوْ قَدْ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا 
بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا 
فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ 
لا أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي. 
Artinya: Hadis dari Muhammad ibn Muşanna, katanya hadis dari Abdul 
Wahhâb katanya Ayyũb dari Abi Qilâbah katanya hadis dari Mâlik. Kami 
mendatangi Rasulullah saw. dan kami pemuda yang sebaya. Kami tinggal 
bersama beliau selama (dua puluh malam) 20 malam. Rasulullah saw adalah 
seorang yang penyayang dan memiliki sifat lembut. Ketika beliau menduga 
kami ingin pulang dan rindu pada keluarga, beliau menanyakan tentang 
orang-orang yang kami tinggalkan dan kami memberitahukannya. Beliau 
bersabda; kembalilah bersama keluargamu dan tinggallah bersama mereka, 
ajarilah mereka dan suruhlah mereka. Beliau menyebutkan hal-hal yang 
saya hapal dan yang saya tidak hapal. Dan salatlah sebagaimana kalian 
melihat aku salat. (al-Bukhari, I: 226)
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang 
sebagian tergolong şiqah dan şiqah kaşir, şiqah şubut. Hadis ini sangat 
jelas menunjukkan tata cara salat Rasulullah saw. kepada sahabat, 
sehingga para sahabat dipesankan oleh Rasulullah saw. agar salat seperti
 yang dicontohkan olehnya.
Menurut teori belajar sosial, hal yang amat penting dalam pembelajaran 
ialah kemampuan individu untuk mengambil intisari informasi dari tingkah
 laku orang lain, memutuskan tingkah laku mana yang akan diambil untuk 
dilaksanakan. Dalam pandangan paham belajar sosial, sebagaimana 
dikemukakan Grendler (1991: 369), orang tidak dominan didorong oleh 
tenaga dari dalam dan tidak oleh stimulus-stimulus yang berasal dari 
lingkungan. Tetapi sebagai interaksi timbal balik yang terus-menerus 
yang terjadi antara faktor-faktor penentu pribadi dan lingkungannya.
Metode demonstrasi dimaksudkan sebagai suatu kegiatan memperlihatkan 
suatu gerakan atau proses kerja sesuatu. Pekerjaannya dapat saja 
dilakukan oleh pendidik atau orang lain yang diminta mempraktekkan 
sesuatu pekerjaan. Metode demonstrasi dilakukan bertujuan agar pesan 
yang disampaikan dapat dikerjakan dengan baik dan benar.
Metode demonstrasi dapat dipergunakan dalam organisasi pelajaran yang 
bertujuan memudahkan informasi dari model (model hidup, model simbolik, 
deskripsi verbal) kepada anak didik sebagai pengamat. Sebagai contoh 
dipakai mata pelajaran Pikih kelas II pada madrasah Tsanawiyah yang 
membahas pelaksanaan shalat Zuhur. Kompetensi Dasar (KD) dari pokok 
bahasan tersebut adalah: “Siswa dapat melaksanaan ibadah shalat Zuhur 
setelah mengamati dan mempraktekkan berdasarkan model yang ditentukan”. 
Untuk mencapai tujuan pembelajaran, dibutuhkan beberapa kemampuan yang 
harus dikuasai anak didik dalam indikator pencapaian, yaitu :
1) Kemampuan gerakan (melakukan posisi berdiri tegak menghadap kiblat, 
mengangkat tangan sejajar dengan telinga ketika takbiratul ihram, 
membungkuk dengan memegang lutut ketika ruku’, melakukan i’tidal, 
melakukan sujud dengan kening menempel di sajadah, melakukan duduk di 
antara dua sujud, melakukan duduk tahyat akhir yang agak berbeda dengan 
duduk di antara dua sujud, melakukan salam dengan menoleh ke kanan dan 
kiri.
2) Kemampuan membaca bacaan salat (bacaan surat al-Fatihah, bacaan ayat 
Alquran, bacaan ruku’, bacaan berdiri i’tidâl, bacaan sujud, bacaan 
duduk antara dua sujud, bacaan tahyat awal dan akhir.
3) Menganalisis tingkah laku yang dimodelkan. Tingkah laku yang 
dimodelkan sesuai dengan bahan pelajaran adalah ‘motorik” meliputi 
keterampilan dalam gerakan salat dan kemampuan membaca bacaan shalat.
4) Menunjukkan model. Gerakan dalam salat dilakukan berdasarkan 
urut-urutannya (prosedural) dan bacaan dalam salat diucapkan dengan baik
 dan benar berdasarkan tata cara membaca Alquran (ilmu tajwid).
5) Memberikan kesempatan pada siswa untuk mempraktekkan dengan umpan 
balik yang dapat dilihat, tiap anak didik mempraktekkan kembali gerakan 
shalat Zuhur yang ditunjukkan oleh model seiring dengan aba-aba prosedur
 yang diberikan guru. Demikian pula dengan bacaan salat dapat 
dipraktekkan anak didik.
6) Memberikan reinforcement dan motivasi. Guru memberikan penguatan pada
 anak didik yang telah berhasil melakukan gerakan dengan baik dan benar 
dan mengarahkan serta memperbaiki gerakan dan bacaan anak didik yang 
belum sesuai. 
d. Metode eksperimen
حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ عَنْ 
ذَرٍّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى عَنْ أَبِيهِ 
قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّي 
أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبْ الْمَاءَ فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ
 بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِي سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ
 فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ
 فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ 
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ 
هَكَذَا فَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
بِكَفَّيْهِ الْأَرْضَ وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ ….
Artinya: Hadis Adam, katanya hadis Syu’bah ibn Abdurrahmân ibn Abzâ dari
 ayahnya, katanya seorang laki-laki datang kepada Umar ibn Khattâb, maka
 katanya saya sedang janabat dan tidak menemukan air, kata Ammar ibn 
Yasir kepada Umar ibn Khattâb, tidakkah anda ingat ketika saya dan anda 
dalam sebuah perjalanan, ketika itu anda belum salat, sedangkan saya 
berguling-guling di tanah, kemudian saya salat. Saya menceritakannya 
kepada Rasul saw. kemudian Rasulullah saw. bersabda: ”Sebenarnya anda 
cukup begini”. Rasul memukulkan kedua telapak tangannya ke tanah dan 
meniupnya kemudian mengusapkan keduanya pada wajah.(al-Bukhari, I: 129)
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang 
sebagian tergolong şiqah dan şiqah hafiz, şiqah şubut. Menurut 
al-Asqalani, hadis ini mengajarkan sahabat tentang tata cara tayammum 
dengan perbuatan. (Al-Asqalani, I: 444) Sahabat Rasulullah saw. 
melakukan upaya pensucian diri dengan berguling di tanah ketika mereka 
tidak menemukan air untuk mandi janabat. Pada akhirnya Rasulullah saw. 
memperbaiki ekperimen mereka dengan mencontohkan tata cara bersuci 
menggunakan debu.
e. Metode pemecahan masalah.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ
 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
 اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً
 لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ فَحَدِّثُونِي مَا 
هِيَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي قَالَ عَبْدُ اللَّهِ 
وَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ فَاسْتَحْيَيْتُ ثُمَّ قَالُوا 
حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هِيَ النَّخْلَةُ.
Artinya: Hadis Quthaibah ibn Sâ’id, hadis Ismâil ibn Ja’far dari 
Abdullah ibn Dinar dari Umar, sabda Rasulullah saw. Sesungguhnya di 
antara pepohonan itu ada sebuah pohon yang tidak akan gugur daunnya dan 
pohon dapat diumpamakan sebagai seorang muslim, karena keseluruhan dari 
pohon itu dapat dimanfaatkan oleh manusia. Cobalah kalian beritahukan 
kepadaku, pohon apakah itu? Orang-orang mengatakan pohon Bawâdi. 
Abdullah berkata; Dalam hati saya ia adalah pohon kurma, tapi saya malu 
(mengungkapkannya). Para sahabat berkata; beritahukan kami wahai 
Rasulullah!. Sabda Rasul saw; itulah pohon kurma.(al-Bukhari, I: 34).
Hadis di atas tergolong syarîf marfū’ dengan kualitas perawi yang 
sebagian tergolong şiqah şubut, dan şiqah, sedangkan ibn Umar ra. adalah
 sahabat Rasulullah saw. Al-Asqalâni (I:147), menyebutkan dengan metode 
perumpamaan tersebut dapat menambah pemahaman, menggambarkannya agar 
melekat dalam ingatan serta mengasah pemikiran untuk memandang 
permasalahan yang terjadi. (al-Asqalani, I: 147). Metode tanya jawab 
berusaha menghubungkan pemikiran seseorang dengan orang lain, serta 
mempunyai manfaat bagi pelaku dan pendengarnya, melalui dialog, perasaan
 dan emosi pembaca akan terbangkitkan, jika topik pembicaraan disajikan 
bersifat realistik dan manusiawi. (an-Nahlawi, t.t.: 205) Uraian 
tersebut memberi makna bahwa dialog dilakukan oleh seseorang dengan 
orang lain, baik mendengar langsung atau melalui bacaan.
f. Metode diskusi
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَا 
حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ 
أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ
 فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ 
مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ 
وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ
 دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ
 حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا 
عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي 
النَّارِ. 
Artinya: Hadis Qutaibah ibn Sâ’id dan Ali ibn Hujr, katanya hadis Ismail
 dan dia ibn Ja’far dari ‘Alâ’ dari ayahnya dari Abu Hurairah ra. 
bahwasnya Rasulullah saw. bersabda: Tahukah kalian siapa orang yang 
muflis (bangkrut)?, jawab mereka; orang yang tidak memiliki dirham dan 
harta. Rasul bersabda; Sesungguhnya orang yang muflis dari ummatku 
adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) salat, puasa 
dan zakat,. Dia datang tapi telah mencaci ini, menuduh ini, memakan 
harta orang ini, menumpahkan darah (membunuh) ini dan memukul orang ini.
 Maka orang itu diberi pahala miliknya. Jika kebaikannya telah habis 
sebelum ia bisa menebus kesalahannya, maka dosa-dosa mereka diambil dan 
dicampakkan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke neraka.(Muslim, t.t, 
IV: 1997)
Hadis di atas tergolong syarîf marfū’ dengan kualitas perawi yang 
sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut, şiqah hâfiz, sedangkan Abu 
Hurairah ra. adalah sahabat Rasulullah saw. Menurut an-Nawâwi, 
Penjelasan hadis di atas yaitu Rasulullah saw. memulai pembelajaran 
dengan bertanya dan jawaban sahabat ternyata salah, maka Rasulullah saw.
 menjelaskan bahwa bangkrut dimaksud bukanlah menurut bahasa. Tetapi 
bangkrut yang dimaksudkan adalah peristiwa di akhirat tentang pertukaran
 amal kebaikan dengan kesalahan. (an-Nawawi, t.t, XVI: 136).
g. Metode pujian/memberi kegembiraan.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي 
سُلَيْمَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي 
سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ قِيلَ يَا 
رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
 قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ
 يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ 
أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ 
النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا 
اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ.
Artinya: Hadis Abdul Aziz ibn Abdillah katanya menyampaikan padaku 
Sulaiman dari Umar ibn Abi Umar dari Sâ’id ibn Abi Sa’id al-Makbârî dari
 Abu Hurairah, ia berkata: Ya Rasulullah, siapakah yang paling bahagia 
mendapat syafa’atmu pada hari kiamat?, Rasulullah saw bersabda: Saya 
sudah menyangka, wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada yang bertanya 
tentang hadis ini seorangpun yang mendahului mu, karena saya melihat 
semangatmu untuk hadis. Orang yang paling bahagia dengan syafaatku ada 
hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan ”Lâilaha illa Allah” dengan 
ikhlas dari hatinya atau dari dirinya.(al-Bukhari, t.t, I: 49) 
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang 
sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut. sedangkan Abu Hurairah adalah 
sahabat Rasul saw. Ibn Abi Jamrah mengatakan hadis ini menjadi dalil 
bahwa sunnah hukumnya memberikan kegembiraan kepada anak didik sebelum 
pembelajaran dimulai. Sebagaimana Rasulullah saw. mendahulukan sabdanya;
 ’saya telah menyangka’, selain itu ‘karena saya telah melihat 
semangatmu untuk hadis’. Oleh sebab itu perlu memberikan suasana 
kegembiraan dalam pembelajaran. (Andalusi, t.t :133-134)
h. Metode pemberian hukuman.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ 
أَخْبَرَنِي عَمْرٌو عَنْ بَكْرِ بْنِ سَوَادَةَ الْجُذَامِيِّ عَنْ 
صَالِحِ بْنِ خَيْوَانَ عَنْ أَبِي سَهْلَةَ السَّائِبِ بْنِ خَلَّادٍ 
قَالَ أَحْمَدُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا أَمَّ قَوْمًا فَبَصَقَ فِي الْقِبْلَةِ وَرَسُولُ
 اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ فَقَالَ رَسُولُ 
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ فَرَغَ لَا يُصَلِّي 
لَكُمْ…. 
Artinya: Hadis Ahmad ibn Shalih, hadis Abdullah ibn Wahhab, Umar 
memberitakan padaku dari Bakr ibn Suadah al-Juzâmi dari Shâlih ibn 
Khaiwân dari Abi Sahlah as-Sâ’ib ibn Khallâd, kata Ahmad dari kalangan 
sahabat Nabi saw. bahwa ada seorang yang menjadi imam salat bagi 
sekelompok orang, kemudian dia meludah ke arah kiblat dan Rasulullah 
saw. melihat, setelah selesai salat Rasulullah saw. bersabda ”jangan 
lagi dia menjadi imam salat bagi kalian”… (Sijistani, t.t, I: 183).
Hadis di atas tergolong syarîf marfū’ dengan kualitas perawi yang 
sebagian tergolong şiqah hâfiz, şiqah dan şiqah azaly. memberikan 
hukuman (marah) karena orang tersebut tidak layak menjadi imam. 
Seakan-akan larangan tersebut disampaikan beliau tampa kehadiran imam 
yang meludah ke arah kiblat ketika salat. (Abadi, t.t, II: 105-106). 
Dengan demikian Rasulullah saw. memberi hukuman mental kepada seseorang 
yang berbuat tidak santun dalam beribadah dan dalam lingkungan sosial.
Sanksi dalam pendidikan mempunyai arti penting, pendidikan yang terlalu 
lunak akan membentuk pelajar kurang disiplin dan tidak mempunyai 
keteguhan hati. Sanksi tersebut dapat dilakukan dengan tahapan sebagai 
berikut, dengan teguran, kemudian diasingkan dan terakhir dipukul dalam 
arti tidak untuk menyakiti tetapi untuk mendidik. Kemudian dalam 
menerapkan sanksi fisik hendaknya dihindari kalau tidak memungkinkan, 
hindari memukul wajah, memukul sekedarnya saja dengan tujuan mendidik, 
bukan balas dendam. Alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan adalah;
1) Memberi nasehat dan petunjuk.
2) Ekspresi cemberut.
3) Pembentakan.
4) Tidak menghiraukan murid.
5) Pencelaan disesuaikan dengan tempat dan waktu yang sesuai.
6) Jongkok.
7) Memberi pekerjaan rumah/tugas.
8) Menggantungkan cambuk sebagai simbol pertakut.
9) Alternatif terakhir adalah pukulan ringan. (al-Syalhub, Terj. Abu 
Haekal, 2005: 59-60).
Hal yang menjadi prinsip dalam memberikan sanksi adalah tahapan dari 
yang paling ringan, sebab tujuannya adalah pengembangan potensi baik 
yang ada dalam diri anak didik.
C. Penutup
Metode pendidikan adalah cara yang dipergunakan pendidik dalam 
menyampaikan bahan pelajaran kepada peserta didik, sehingga dengan 
metode yang tepat dan sesuai, bahan pelajaran dapat dikuasai dengan baik
 oleh peserta didik. Beberapa metode pendidikan yang dikemukakan dalam 
makalah ini (masih banyak yang belum), terdiri dari metode keteladanan, 
metode lemah lembut/kasih sayang, metode deduktif, metode perumpamaan, 
metode kiasan, metode memberi kemudahan, metode perbandingan, metode 
tanya jawab, metode pengulangan, metode demonstrasi, metode eksperimen, 
metode pemecahan masalah, metode diskusi, metode pujian/memberi 
kegembiraan, metode pemberian hukuman dapat dilaksanakan pendidik dalam 
penanaman nilai-nilai pada ranah afektif dan pengembangan pola pikir 
pada ranah kognitif serta latihan berperilaku terpuji pada ranah 
psikomotorik.
. 
DAFTAR BACAAN
Andalūsi, Imâm Ibn Abi Jamrah. Bahjât an-Nufūs wa Tahallihâ Bima’rifati mâ Lahâ wa mâ Alaihi (Syârah Mukhtasar Shahih al-Bukhâri) Jam’u an Nihâyah fi bad’i al-Khairi wa an-Nihâyah. Beirut: Dârul Jiil, 1979. Anwar, Qomari. Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa. Jakarta: UHAMKA Press, 2003. Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Asqalâni, Ahmad ibn Ali ibn Hajar Abu al-Fâdhil. Fâthul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379
H. Bukhâri, Abu Abdullah bin Muhammad Ismâil. Al-Jâmi’ al-Shahĩh al-Mukhtasar, Juz 1. Beirut: Dâr Ibnu Kaşir al-Yamâmah, 198.
Grendler, Bell E. Margaret. Belajar dan Membelajarkan, terj. Munandir. Jakarta: Rajawali, 1991. Hamd, Ibrahim, Muhammad. Maal Muallimîn, terj. Ahmad Syaikhu. Jakarta: Dârul Haq, 2002. Lathîb, Muhammad Syamsy al-Hâq al-’Azhîm ‘Abadi. ‘Aunu al-Ma’būd Syarh Sunan Abi Dâud. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, cet 1, 1401 H. Munawwir, Warson Ahmad. Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Nahlawi, Abdurrahman. Ushulut Tarbiyyah Islamiyyah Wa Asâlibiha fî Baiti wal Madrasati wal Mujtama’ terj. Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press:1996. Naisabūri, Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi. Shahih Muslim, Juz 1. Saudi Arabia : Idâratul Buhūş Ilmiah wa Ifta’ wa ad-Dakwah wa al-Irsyâd, 1400 H. Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. Nawâwi, Abu Zakaria Yahya ibn Syaraf ibn Maria. Syarah an-Nawāwi ‘ala Shahih Muslim. Beirut: Dâr al-Fikri, 1401 H. Poerwakatja, Soegarda. Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung, 1982. Sijistâni, Abu Dâud Sulaiman ibn al-Asy’aş. Sunan Abu Dâud. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, cet 1, 1401 H. Sumardi, Muljanto. Pedoman Pengajaran Bahasa Arab Pada Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN. Jakarta: Departemen Agama RI, Proyek Pengembangan Sistem Pendidikan Agama, t.t. Surakhmad,Winarno. Pengantar Interaksi Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito, 1998. Syalhub, Fuad bin Abdul Azizi. Al-Muallim al-Awwal shalallaahu alaihi Wa Sallam Qudwah Likulli Muallim wa Muallimah, terj. Abu Haekal. Jakarta: Zikrul Hakim, 2005. Thîby, Syarafuddin. Syaharh ath-Thîby alâ Misykat al-Mashâbih, juz 11. Makkah: Maktabah Nizar Musthafa al-Bâz, 1417 H. Wojowasito, S. W. Wasito Tito. Kamus Lengkap Inggeris-Indonesia, Indonesia-Inggeris. Bandung: Hasta, 1980. Yasū‘iy, Ma‘lūf, Louwis. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, Cetakan XXVI. Beirut: al- Masyriq, t.t. Yusuf, Tayar Anwar, Syaiful. Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Andalūsi, Imâm Ibn Abi Jamrah. Bahjât an-Nufūs wa Tahallihâ Bima’rifati mâ Lahâ wa mâ Alaihi (Syârah Mukhtasar Shahih al-Bukhâri) Jam’u an Nihâyah fi bad’i al-Khairi wa an-Nihâyah. Beirut: Dârul Jiil, 1979. Anwar, Qomari. Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa. Jakarta: UHAMKA Press, 2003. Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Asqalâni, Ahmad ibn Ali ibn Hajar Abu al-Fâdhil. Fâthul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379
H. Bukhâri, Abu Abdullah bin Muhammad Ismâil. Al-Jâmi’ al-Shahĩh al-Mukhtasar, Juz 1. Beirut: Dâr Ibnu Kaşir al-Yamâmah, 198.
Grendler, Bell E. Margaret. Belajar dan Membelajarkan, terj. Munandir. Jakarta: Rajawali, 1991. Hamd, Ibrahim, Muhammad. Maal Muallimîn, terj. Ahmad Syaikhu. Jakarta: Dârul Haq, 2002. Lathîb, Muhammad Syamsy al-Hâq al-’Azhîm ‘Abadi. ‘Aunu al-Ma’būd Syarh Sunan Abi Dâud. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, cet 1, 1401 H. Munawwir, Warson Ahmad. Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Nahlawi, Abdurrahman. Ushulut Tarbiyyah Islamiyyah Wa Asâlibiha fî Baiti wal Madrasati wal Mujtama’ terj. Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press:1996. Naisabūri, Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi. Shahih Muslim, Juz 1. Saudi Arabia : Idâratul Buhūş Ilmiah wa Ifta’ wa ad-Dakwah wa al-Irsyâd, 1400 H. Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. Nawâwi, Abu Zakaria Yahya ibn Syaraf ibn Maria. Syarah an-Nawāwi ‘ala Shahih Muslim. Beirut: Dâr al-Fikri, 1401 H. Poerwakatja, Soegarda. Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung, 1982. Sijistâni, Abu Dâud Sulaiman ibn al-Asy’aş. Sunan Abu Dâud. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, cet 1, 1401 H. Sumardi, Muljanto. Pedoman Pengajaran Bahasa Arab Pada Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN. Jakarta: Departemen Agama RI, Proyek Pengembangan Sistem Pendidikan Agama, t.t. Surakhmad,Winarno. Pengantar Interaksi Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito, 1998. Syalhub, Fuad bin Abdul Azizi. Al-Muallim al-Awwal shalallaahu alaihi Wa Sallam Qudwah Likulli Muallim wa Muallimah, terj. Abu Haekal. Jakarta: Zikrul Hakim, 2005. Thîby, Syarafuddin. Syaharh ath-Thîby alâ Misykat al-Mashâbih, juz 11. Makkah: Maktabah Nizar Musthafa al-Bâz, 1417 H. Wojowasito, S. W. Wasito Tito. Kamus Lengkap Inggeris-Indonesia, Indonesia-Inggeris. Bandung: Hasta, 1980. Yasū‘iy, Ma‘lūf, Louwis. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, Cetakan XXVI. Beirut: al- Masyriq, t.t. Yusuf, Tayar Anwar, Syaiful. Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar