STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Sabtu, 09 Februari 2013

Tafsir Tarbawi: METODE DAN TUJUAN PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Metode berasal dari bahasa Latin “Meta” yang berarti melalui dan “Hodos” yang berarti jalan atau ke atau cara ke. Dalam bahasa Arab metode disebut “Thariqah” artinya jalan, cara, sistem atau ketertiban dalam mengerjakan sesuatu. Sedangkan menurut Istilah ialah suatu sistem atau cara yang mengatur suatu cita-cita. Kata “Metode” disini diartikan secara luas, karena mengajar adalah salah satu bentuk upaya mendidik
Metode dalam pendidikan Islam, mencerminkan kandungan pesan-pesan dan bersumber dari wahyu (al-Qur’an) dalam membentuk peradaban yang seimbang antara orientasi dunia dan akhirat, orientasi keamalan dan ke-Tuhanan, akal dan wahyu, dan sebagainya.
Seperti yang di Al Qur’an dalam surat Ibrohim ayat 24 25 menjelas tentang metode pendidikan yang diperumpamakan seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Pembuatan perumpamaan akan membantu memahamkan dan mengingatkan manusia terhadap makna perkataan, karena hati lebih mudah di lunakkan dengan perumpamaan-perumpamaan. Ia dapat mengeluarkan makna dari yang tersembunyi kepada yang jelas, dan dari yang dapat diketahui dengan pikiran kepada yang dapat diketahui dengan tabiat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana penjelasan tentang konsep  pendidikan dalam Al-Qur’an?
2.      Bagaimana mufradat penjelasan tentang konsep  tujuan pendidikan dalam Al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konsep Pendidikan dalam Al-qur’an
Istilah pendidikan bisa ditemukan dalam al-Qur’an dengan istilah ‘at-Tarbiyah’, ‘at-Ta’lim’, tetapi lebih banyak kita temukan dengan ungkapan kata ‘rabba’ , kata at-Tarbiyah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi rabba , yang mempunyai pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah. Dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’,
Beberapa ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan kata-kata diatas. Sebagaimana dikutip dari Ahmad Tafsir bahwa pendidikan merupakan arti dari kata ‘Tarbiyah’ kata tersebut berasal dari tiga kata yaitu;  (rabba-yarbu) yang bertambah, tumbuh, dan (rabbiya- yarbaa) berarti menjadi besar, serta (rabba-yarubbu) yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara[1].
Para ahli memberikan definisi at-Tarbiyah, bila diidentikan dengan Ar-Rabb sebagai berikut; Menurut al-Qurtubi bahwa; arti Ar-Rabb adalah pemilik, tua, Maha memperbaiki, Yang Maha pengatur, Yang Maha mengubah, dan Yang Maha menunaikan. Menurut louis al-Ma’luf, Ar-Rabb berarti tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah dan mengumpulkan. Menurut Fahrur Razi, Ar-Rabb merupakan fonem yang seakar dengan al-Tarbiyah, yang mempunyai arti at-Tanwiyah (pertumbuhan dan perkembangan). Al-Jauhari memberi arti at-Tarbiyah, rabban dan rabba dengan memberi makan, memelihara dan mengasuh. Kata dasar Ar-Rabb, yang mempunyai arti yang luas antara lain; memilki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi  akan, menumbuhkan, mengembangkan dan berarti pula mendidik. Apabila pendidikan Islam di identikan dengan at-Ta’lim, para ahli memberikan pengertian sebagai berikut; Abdul Fattah Jalal, mendefinisikan at-Ta’lim sebagai proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.
At-Ta’lim menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman prilaku yang baik. At-ta’lim merupakan proses yang terus menerus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta memanfaatkanya dalam kehidupan. Munurut Rasyid Ridho, at-Ta’lim adalah proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Definisi ini berpijak pada firman Allah al-Baqoroh ayat 31 tentang ‘Allama Allah kepada Nabi Adam as, sedangkan proses tranmisi dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya. Dari penjelasan ini disimpulkan bahwa pengertian at-Ta’lim lebih luas/lebih umum sifatnya daripada istilah at-tarbiyah yang khusus berlaku pada anak-anak. Hal ini karena at-Ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, sedangkan at-Tarbiyah, khusus pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak. Sayed Muhammad an Naquid al-Athas, mengartikan at-ta’lim disinonimkan dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bila at-Ta’lim disinonimkan dengan at-Tarbiyah, at-Ta’lim mempunyai arti pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem. Menurutnya ada hal yang membedakan antara at-Tarbiyah dengan at-Ta’lim, yaitu raung lingkup at-Ta’lim lebih umum daripada at-Tarbiyah, karena at-Tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial dan juga at-Tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa latin education, yang keduanya mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi sumbernya bukan dari wahyu.
Pengunaan at-Ta’dib, menurut Naquib al-Attas lebih cocok untuk digunakan dalam pendidikan Islam, konsep inilah yang diajarkan oleh Rasul. At-Ta’dib berarti pengenalan, pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedimikian rupa, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud dan keberadaanya. Kata Addaba yang juga berarti mendidik dan kata Ta’dib yang berarti pendidikan adalah diambil dari hadits Nabi “Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”. Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian at-ta’lim berbeda dengan pendapat diatas, beliau mengatakan bahwa; at-ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan at-tarbiyah, karena at-ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan at-tarbiyah mencakup keseluruhan aspek-aspek pendidikan. Masih banyak lagi pengertian pendidikan Islam dari berbagai tokoh pemikir Islam, tetapi cukuplah pendapat diatas untuk mewakili pemahaman kita tentang konsep pendidikan Islam (al-Qur’an ). Konsep filosofis pendidikan Islam adalah bersumber dari hablum min Allah (hubungan dengan Allah) dan hablum min al-nas (hubungan dengan sesama manusia) dan hablum min al-alam (hubungan dengan manusia dengan alam sekitar) yang selanjutnya berkembang ke berbagai teori yang ada seperti sekarang ini. Inprirasi dasar yaitu berasal dari al-Qur’an.[2]
B. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah suatu yang diharapakan tercapai setelah sesuatu kegiatan selesai atau tujuan adalah cita, yakni suasana ideal itu nampak yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan, suasana ideal itu tampak pada tujuan akhir (ultimate aims of education). Adapun tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalamai proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu hidup, selain sebagai arah atau petunjuk dalam pelaksanaan pendidikan, juga berfungsi sebagai pengontrol maupun mengevaluasi keberhasilan proses pendidikan. Sebagai pendidikan yang notabenenya Islam, maka tentunya dalam merumuskan tujuan harus selaras dengan syari’at Islam. Adapun rumusan tujuan pendidikan Islam yang disampaikan beberapa tokoh adalah; Ahmad D Marimba; tujuan pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup orang muslim. Tujuan hidup manusia munurut Islam adalah untuk menjadi hamba allah. Hal ini mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. Dr. Ali Ashraf; ‘tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah pada tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya”.
Muhammad Athiyah al-Abrasy. “tujuan pertama dan tertinggi dari pendidikan Islam adalah kehalusan budi pekerti dan pendidikan jiwa”. Syahminan Zaini; “Tujuan Pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berjasmani kuat dan sehat dan trampil, berotak cerdas dan berilmua banyak, berhati tunduk kepada Allah serta mempunyai semangat kerja yang hebat, disiplin yang tinggi dan berpendirian teguh”. Dari berbagai pendapat tentang tujuan pendidikan Islam diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.
C. Hakekat Pendidikan dalam al-Qur’an
Hakekat/nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Nilai bersifat praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara objektif didalam masyrakat. Nilai ini merupakan suatu realita yang sah sebagai suatu cita-cita yang benar dan berlawanan dengan cita-cita palsu yang bersifat khayal. Dari beberapa pengertian diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa pengertian pendidikan Islam adalah; proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam pada peserta didik melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya untuk mencapai keseimbangan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya. Sehingga dapat dijabarkan pada enam pokok pikiran hakekat pendidikan Islam yaitu; Proses tranformasi dan internalisasi, yaitu upaya pendidikan Islam harus dilakukan secara berangsur-angsur, berjenjang dan Istiqomah, penanaman nilai/ilmu, pengarahan, pengajaran dan pembimbingan kepada anak didik dilakukan secara terencana, sistematis dan terstuktur dengan menggunakan pola, pendekatan dan metode/sistem tertentu.
Kecintaan kepada Ilmu pengetahuan, yaitu upaya yang diarahkan pada pemberian dan pengahayatan, pengamalan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang berciri khas Islam, dengan disandarkan kepada peran dia sebagai khalifah fil ardhi dengan pola hubungan dengan Allah (hablum min Allah), sesama manusia (hablum minannas) dan hubungan dengan alam sekitas (hablum min al-alam). Nilai-nilai Islam, maksudnya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam praktek pendidikan harus mengandung nilai Insaniah dan Ilahiyah. Yaitu: a) nilai yang bersumber dari sifat-sifat Allah sebanyak 99 yang tertuang dalam “al Asmaul Husna” yakni nama-nama yang indah yang sebenarnya karakter idealitas manusia yang selanjutnya disebut fitrah, inilah yang harus dikembangkan. b) Nilai yang bersumber dari hukum-hukum Allah, yang selanjutnya di dialogkan pada nilai insaniah. Nilai ini merupakan nilai yang terpancar dari daya cipta, rasa dan karsa manusia yang tumbuh sesuai dengan kebutuhan manusia. Pada diri peserta didik, maksudnya pendidikan ini diberikan kepada peserta didik yang mempunyai potensi-potensi rohani. Potensi ini memungkinkan manusia untuk dididik dan selanjutnya juga bisa mendidik.
Melalui pertumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya, tugas pokok pendidikan Islam adalah menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, dan menjaga potensi manusia, sehingga tercipta dan terbentuklah kualitas generasi Islam yang cerdas, kreatif dan produktif. Menciptakan keseimbangan dan kesempurnaan hidup, dengan kata lain ‘insan kamil’ yaitu manusia yang mampu mengoptimalkan potensinya dan mampu menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani, dunia dan akherat. Proses pendidikan yang telah dijalani menjadikan peserta didik bahagia dan sejahtera, berpredikat khalifah fil ardhi.
Al-Qur’an merupakan firman Allah yang selanjutnya di jadikan pedoman hidup (way of life) kaum muslim yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Di dalamnya terkandung ajaran-ajaran pokok (prinsip dasar) menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa dan kapanpun masanya dan hadir secara fungsional memecahkan problem kemanusiaan. Salah satu permasalah yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah masalah pendidikan.
Al Qur’an sesungguhnya berbicara tentang pendidikan yang justru lebih utuh dan mendasar. Jika pendidikan dimaksudkan adalah untuk membawa anak manusia menjadi lebih sempurna yang dilakukan secara terus menerus dan tidak mengenal henti, maka al Qur’an sesungguhnya diturunkan ke bumi melalui Muhammad SAW, dimaksudkan memberikan petunjuk, penjelasan, rakhmat, pembeda dan obat bagi manusia agar tidak tersesat dalam hidupnya. Artinya, dengan al Qur’an menjadi selamat, di dunia dan di akherat.
Dalam al-Qur’an sendiri telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan sangat penting, jika al-Qur’an dikaji lebih mendalam maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang selanjutnya bisa kita jadikan inspirsi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu. Ada beberapa indikasi yang terdapat dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan antara lain; menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, fitrah manusia, penggunaan cerita (kisah) untuk tujuan pendidikan.
Sedemikian erat hubungan antara pendidikan dan al Qur’an, maka terasa tidak mungkin sampai pada sasaran jika berbicara pendidikan tanpa menyinggung al Qur’an. Berbicara pendidikan tanpa al Qur’an sama artinya berbicara tentang membangun manusia tanpa petunjuk dan arah, maka akan mengalami kesesatan. Kalau pun toh dilakukan, akan sekedar sampai pada sisi-sisi dlohir (kecerdasan intelektual), belum menyentuh aspek batin (kecerdasan spiritual dan emosional), yang lebih substantive yang pada akhirnya akan menjadikan seseorang akan mampu memiliki kecerdasan social yang luar biasa. Hal itu terlihat seperti yang terjadi pada saat ini, berbicara pendidikan hanya sampai pada upaya mengantarkan peserta didik menjadi berpikiran cerdas dan terampil. Selanjutnya, apakah dengan cerdas dan terampil sekaligus mereka akan berbudi pekerti luhur, adil, jujur dan peduli pada lingkungan, ternyata belum tentu. Sebab, kenyataan sehari-hari yang dapat dilihat menunjukkan bahwa tidak sedikit orang berhasil menjadi pintar lupa akan orang lain dan bahkan juga lupa pada dirinya sendiri.
Seluruh isi al Qur’an berbicara tentang pendidikan. Surat al Fatihah yang disebut sebagai Ummul Qur’an (induk al Qur’an) memberikan tuntutan hidup menyeluruh sekalipun secara garis besar, mengajarkan tentang kasih sayang, bersyukur, wilayah kehidupan manusia tidak saja didunia tetapi juga sampai di akherat, perlunya petunjuk dalam kehidupan, dan kesadaran sejarah. Manusia yang berkualitas atas dasar ukuran-ukuran kemanusiaan seharusnya memiliki wawasan itu. Jika Rasulullah diutus ke bumi untuk melakukan bimbingan dan penyempurnaan kehidupan umat manusia ke jalan yang benar, agar mereka selamat di dunia dan akherat, Bukankah sesungguhnya dengan demikian Muhammad adalah sebagai pendidik yang sempurna. Muhammad adalah seorang pendidik dan pendidik yang tidak ada seorangpun yang menyamai kualitasnya. Dalam bahasa sehari-hari, seorang guru juga disebut pendidik. Akan tetapi sebutan guru lebih menonjol dari pada sebutan pendidik. Pendidik selalu sekaligus sebagai guru, akan tetapi guru belum tentu sebagai pendidik. Ada guru matematika, guru bahasa, guru biologi, guru kimia dan seterusnya. Akan tetapi guru matematika, fisika, kimia, belum tentu melakukan peran-peran pendidik kehidupan secara menyeluruh. Muhammad sebagai seorang ummi, tidak pintar membaca dan menulis. Dia tidak sanggup menjadi guru membaca, akan tetapi dia mampu menjadi pendidik secara sempurna. Dia mendorong umatnya untuk belajar membaca dan bahkan mencari jalan keluar bagaimana cara membaca itu dengan menugasi para tawanan perang mengajari membaca menulis sebagai syarat dibebaskan sebagai tawanan perang. Dalam salah satu ayat Qur’an diterangkan bahwa tugas Rasulullah Adalah
Ada empat tahap yang seharusnya dilakukan oleh seorang sebagai pendidik, yaitu (1) Tilawah, membaca jagad raya ini dengan berbagai tingkatannya. Membaca atau iqro’ sesungguhnya adalah awal kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang pendidik. Membaca merupakan proses awal dalam rangka membuka dan memahami keilmuan dan pengetahuan yang pada akhirnya nanti manusia mampu menjalankan kehidupannya sesuai dengan Al Qur’an. Inilah proses tilawah yang harus dilalui.(2) Tazkiyah, adalah mensucikan. Seorang anak terdidik harus dijauhkan dari apa saja yang mengotori, baik jiwa maupun raganya. Peserta didik harus bersih dan selalu dibersihkan. Apa yang dimakan harus bersih, baik, halal dan berberkah. Demikian pula, jiwanya tidak boleh terkotori oleh semua penyakit hati seperti kufur, iri hati, dengki, tamak, suka marah, dendam, permusuhan, dan sebagainya. Semua itu diawali dari pribadi seorang pendidik. (3) Ta’lim, pendidik memberikan pengajaran. Mengajarkan sesuatu yang dibutuhkan, mulai dari memberi nama, istilah, konsep, proposisi, dalil-dalil tentang berbagai hal yang dikuasai oleh seorang pendidik. Betapapun pendidik adalah bukan seorang Rasul atau Nabi, pengetahuannya terbatas, maka mereka hanya akan mampu mengajar tentang apa yang diketahui. Allah memberikan ilmu kepada manusia, termasuk para guru hanya sedikit. Di sini terdapat keterbatasan-keterbatasan. Akan tetapi bukanlah hal itu kemudian menjadikan seorang pendidik merasa lemah dan cukup, akan tetapi merupakan sebuah kewajiban bagi setiap orang khususnya umat Islam mencari dan menambah wawasan keilmuan dan cakrawala pengetahuan. Guru sebagai pendidik wajib menyampaikan kepada anak didik apa yang telah dipelajari dan diketahuinya. (4) Hikmah. Pendidik harus mengajarkan tentang hikmah. Dalam al Qur’an terdapat kisah, yaitu tentang kehidupan Lukman al Hakim. Ia adalah seorang yang menyandang hikmah. Ia mengajarkan tentang tauhid, berbuat baik kepada kedua orang tua, dan juga sesama umat manusia. Hikmah bukan sekedar ilmiah, tetapi lebih dari itu. Dengan hikmah, maka orang justru menjadi selamat. Mendidik dalam al Qur’an ternyata meliputi aspek yang amat luas. Mendidik bukan saja mencerdaskan, melainkan juga melembutkan hati dan menjadikan peserta didik terampil. Mendidik akan membawa peserta didik tumbuh dengan penampilan, baik lahir maupun batinnya, secara sempurna. Melalui pendidikan, maka peserta didik menjadi sadar akan eksistensinya sebagai manusia yang berketuhanan dan berkemanusiaan sekaligus. Para peserta didik menjadi seorang yang beriman, berakhlak mulia, beramal sholeh dan mampu menjalani hidup di tengah-tengah masyarakatnya, baik yang terkait dengan ekonomi, politik, sosial, hukum dan berbudaya. Pendidikan dalam al Qur’an ternyata berdimensi kemanusiaan yang lebih luas, mendasar dan sempurna. Wa Allahu A’lamu Bi As-Showab.
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Lentera Hati, 2005
Jalaludin Muhammad Ibnu Ahmad Al Mahly, Tafsir Al-Quranul Adzim, Daarul Ilmi, Juz I
Nor Khoiri, Metode Pembelajaran PAI,
Ahmad Mustofa Al Maroghi,  Terjemah Tafsir Al Maraghi, CV. Toha Putra Semarang, 1992.
Yunan Yusuf,  Metode Dakwah, Rahma Rosdakarya, 1991 lm 113 -116


[1] Jalaludin Muhammad Ibnu Ahmad Al Mahly, Tafsir Al-Quranul Adzim, Daarul Ilmi, Juz I
Nor Khoiri, Metode Pembelajaran PAI, hal.110
[2] Yunan Yusuf,  Metode Dakwah, Rahma Rosdakarya, 1991 lm 113 -116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar