Pernikahan
merupakan sunnah Rasullah Saw yang menjadi kebutuhan setiap manusia.
Islam menghendaki umatnya untuk menikah dalam rangka memperbanyak
keturunan dan meneruskan budaya leluhur umat manusia. Oleh karena itu,
Islam menghendaki laki-laki yang dipilih menjadi pendampingnya
betul-betul orang-orang yang matang dan siap memikul tanggung jawabnya
sebagai suami sekaligus kepala rumah tangga. Begitu juga Islam
menghendaki wanita-wanita yang dipilih menjadi isteri betul-betul orang
yang sanggup memikul tanggung jawab sebagai isteri dan memberikan
keturunan-keturunan yang sehat. Sehingga faktor usia harus menjadi
pertimbangan seseorang untuk siap menikah. Karena menikah bukan sebatas
dibolehkannya bersenggama tetapi juga bersama-sama antara suami dan
isteri membangun kehidupan keluarga yang lebih baik bersama anak-anak
keturunannya.
Menikah Gadis di Bawah Umur
Islam
selalu memberikan batasan kepada seseorang untuk memikul kewajiban yang
telah dibebankan kepadanya. Batasan bagi laki-laki ketika usia balligh
dengan bermimpi atau keluar mani, sedangkan bagi kaum wanita ditandai
dengan menstruasi. Sejak usia itulah, Islam sudah memandang orang
tersebut siap mental, fisik dan psikis, dewasa dan memahami kewajiban
yang telah dibebankan kepadanya. Jika yang dimaksud menikahi gadis di
bawah umur adalah menikahi orang-orang yang belum mencapai usia balligh,
maka pernikahan tersebut tidak dianggap sah dan ketika dewasa (balligh)
ia wajib menikah lagi, seperti halnya kewajiban ibadah haji bagi anak
kecil.
Tetapi
jika dimaksudkan menikahi gadis di bawah umur adalah umur dibawah yang
ditetapkan oleh Undang-undan perkawinan no. 1 tahun 1974 yaitu biasanya
wanita Indonesia usia balligh 10 tahun sd 15 tahun), maka pernikahan
tersebut dalam pandangan Islam dianggap sah. Jika tujuan pernikahan
semata-mata menjalankan perintah Allah Swt. Namun pernikahannya
bertentangan dengan undang-undang perkawinan. Karena menurut
undang-undang tersebut bahwa pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria
mencapai usia 19 tahun dan pihak perempuan mencapai usia 16 tahun.
Ada
beberapa faktor menikahi wanita di bawah umur, yaitu faktor ekonomi,
karena keluarga sudah tidak mampu menyekolahkan atau membiayi lagi.
Fator lingkungan atau tradisi. Pada zaman nenek kita usia menikah mereka
sekitar 10 -19 tahun. Di atas usia tersebut termasuk orang-orang yang
terlambat untuk menikah. Sedangkan tradisi hari ini, usia wanita menikah
20-30 tahun. Faktor ketiga yang masih juga terjadi di suatu daerah,
menikahi wanita yang masih muda belia karena jaminan hutang. Jika sang
ayah tidak dapat melunasi hutangnya, maka si penghutang berhak mengawini
anak gadisnya meski masih anak-anak. (http://WWW.eramuslim.com).
Hukum Menikahi Gadis di Bawah Umur
Hukum asal menikahi gadis di bawah umur (<16>
Pertama,
kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqh yang berkaitan
dengan urusan pernikahan dan pasca pernikahan, seperti kewajiban
sebagai isteri, ibu dari anak-anak, muamalah dan lain sebagainya.
Kedua,
kesiapan materi/harta, yaitu harta sebagai mahar dan harta sebagai
nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer bagi
isteri yang berupa sandang, pangan dan papan.
Ketiga, kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten.
Dengan
demikian, kesiapan tersebut tidak khusus diperuntukan bagi calon suami
tetapi juga bagi calon isteri. Oleh karena itu, seorang isteri pun harus
mempersiapkan sebelum pernikahan dilangsungkan. Sehingga diperlukan
kematangan fisik seorang wanita yang akan menikah. Keharusan untuk
mempersiapkan segala sesuatu sebelum pernikahan didasarkan kepada sabda
Rasulullah Saw:
“Wahai
para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin
itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan.
Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai
bagimu.” (HR. Bukhari-Muslim).
Kesiapan
tersebut mencakup kematangan fisik seorang wanita yang akan dinikahi,
sebagaimana MUI juga menganjurkan untuk mengikuti UU yang mengatur
seorang perempuan menikah minimal berusia 16 tahun. Juga didasarkan
kepada kemaslahatan hidup berumah tangga yang akan siap menghadapi
segala macam problematikan kehidupan keluarga.
Dampak Pernikahan di Bawah Umur
Undang-undang
perkawinan Indonesia sudah tepat memberikan batasan usia pernikahan
bagi wanita adalah 16 tahun. Karena pada usia ini, seorang wanita sudah
siap secara fisik dan psikis untuk berumah tangga. Karena usia balligh
saja tidak cukup untuk siap disetubuhi dan mengandung seorang bayi.
Sebagaimana menurut pandangan ahli kandungan Winahyo mengatakan bahwa,
meskipun seorang wanita telah menstruasi, seorang perempuan belum dapat
dikatakan dewasa dan siap untuk menikah. Menstruasi, hanya salah satu
rangkaian dari siklus reproduksi. Selain itu, perempuan berusia di bawah
16 tahun belum matang secara emosional.
Sependapat
dengan di atas, Dokter spesialis obsteri dan ginekologi Deradjat
Mucharram mengatakan bahwa kematangan fisik seorang anak tidak sama
dengan kematangan psikologinya meskipun anak tersebut sudah menstruasi,
secara mental ia belum siap untuk berhubungan seks. Kehamilan bisa saja
terjadi pada anak usia 12-15 tahun, namun psikologinya belum siap untuk
mengandung dan melahirkan. Sel telur yang dimiliki anak juga
diperkirakan belum matang dan belum berkualitas sehingga bisa terjadi
kelainan kromosom pada bayi. Terlebih jika anak tersebut belum
menstruasi, bisa mengakibatkan robek berat pada bagian keintimannya dan
bisa mengganggu sistem reproduksinya. (Warta Kota, Jumat, 24 Oktober
2008).
Dengan
demikian, Undang-Undang pernikahan bab II pasal 7 ayat satu yang
menyebutkan bahwan usia perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai usia 16 tahun
dan dalam bab IV Kompilasi Hukum Islam pasal 15 menyebutkan hal yang
sama ternyata UU perkawinan di sejumlah negara Arab hampir sama dengan
UU kita di atas seperti di Suriah, yang menjelaskan batas usia
pernikahan untuk pria adalah jika telah mencapai 18 tahun dan untuk
perempuannya jika sudah berusia 16 tahun (UU Perkawinan Suriah, pasal
16). (http://nu.or.id)
Menikahi
gadis di bawah umur sering menjadi polemik dan kontroversi dalam
masyarakat dikarenakan masih adanya asumsi bahwa hal itu dicontohkan
Nabi Muhammad Saw yang menikahi Sayidah Aisyah. Akad pernikahan antara
Rasul dengan Sayidah Aisyah yang kala itu berusia sekitar 10 tahun tidak
dapat dijadikan sandaran dan dasar pegangan menikahi gadis di bawah
umur dengan alasan sebagai berikut:
Pertama,
pernikahan itu merupakan perintah Allah sebagaimana sabda Rasul, “Saya
diperlihatkan wajahmu (Sayidah Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali,
Malaikat membawamu dengan kain sutera nan indah dan mengatakan bahwa ini
adalah isterimu”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua,
Rasul sendiri sebenarnya tidak berniat berumah tangga kalaulah bukan
karena desakan para sahabat lain yang diwakili Sayidah Khawlah bin Hakim
yang masih merupakan kerabat Rasul, di mana mereka melihat betapa Rasul
setelah wafatnya Sayidah Khadijah, isteri tercintanya, sangat
membutuhkan pendamping dalam mengemban dakwah Islam.
Ketiga;
perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah mempunyai hikmah penting dalam
dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam berbagai
aspek kehidupan khususnya yang berkaitan dengan masalah keperempuan yang
banyak dari mereka bertanya kepada Nabi melalui Sayidah Aisyah.
Dikarenakan kecakapan dan kecerdasan Sayidah Aisyah sehingga ia menjadi
gudang dan sumber ilmu pengetahuan sepanjang zaman.
Keempat,
masyarakat Islam (Hijaz) saat itu sudah terbiasa dengan masalah nikah
muda dan sudah biasa menerima hal tersebut. Walaupun terdapat nikah
muda, namun secara fisik maupun psikis telah siap sehingga tidak timbul
adanya asumsi buruk dan negatif dalam masyarakat. (Amiruddin Thamrin,
Id.Wikipedia.com).
Berbeda
dengan pendapat di atas, Hilman Rosyad berpendapat bahwa menikahi gadis
di bawah umur tidak masalah, karena secara syariah Islam selama
perempuan sudah haid maupun belum haid sekalipun dapat dinikahkan. Jadi
secara hukum agama tidak masalah, diperbolehkan. Rasulullah menikahi
Aisyah di usia 7 tahun, tetapi tidak bersetubuh sampai akil balig.
Lebih
lanjut Hilman mengatakan bahwa secara agama, kesehatan, psikologis
maupun sosiologis pernikahan itu tidak ada masalah. Secara agama sudah
tidak ada masalah. Secara kesehatan juga tidak masalah menikahi gadis di
bawah umur kalau sudah balligh tidak masalah, selama asupan gizinya
tercukupi, jadi kalau dia hamil dan masih dalam masa pertumbuhan dia
cukup membutuhkan gizi yang lebih baik. Selama tercukupi gizinya tidak
menjadi masalah. Jika dilihat dari sisi psikologis pun tidak masalah.
Karena perkembangan psikologis beriringan dengan perkembangan biologis.
Jika normal, secara metabolisme mempengaruhi sikap psikologisnya, begitu
juga secara sosial bahwa orang tua akan bangga anaknya dinikahi oleh
orang yang lebih mapan dan dewasa (terlebih jika kiayi yang menikahinya
seperti kasus Syekh Fuji yang menikahi Ulfa) ketimbang
dengan pemuda tanggung. Dan dari tinjauan pendidikan, jika suaminya
baik dan konsen pada pendidikan isterinya, maka melibatkan isterinya
meneruskan pendidikannya baik formal maupun nonformal. (http://openx.detik.com)
Sependapat
dengan Hilman, Umar Shihab ketua umum MUI berpendapat bahwa menikahi
perempuan yang sudah balligh dan memenuhi syarat-syarat pernikahan
secara Islam dibenarkan. Tetapi pernikahan tersebut melanggar
Undang-undang perkawinan. Bahkan jika pernikahan tersebut terbukti ada
tanda-tanda pemaksaan dan pelanggaran hak anak, maka pernikahan tersebut
dipertanyakan dan dapat dikenai pelanggaran UU perlindungan anak dan
undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
Namun
menurut Hanafi bahwa pernikahan Rasulullah dengan Aisyah yang berusia 7
dan 9 tahun masih diragukan, sebagaimana keterangan berikut ini:
Sebagian besar hadis yang mengisahkan pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah
diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah. Hadis-hadis tersebut, antara lain:
“Khadijah wafat 3 tahun sebelum hijrah Nabi ke Madinah. Rasul SAW sempat
menduda kurang lebih 2 tahun sampai kemudian menikahi ‘Aisyah yang kala
itu berusia 6 tahun. Namun Nabi SAW baru hidup serumah dengan ‘Aisyah
saat gadis cilik itu telah memasuki usia 9 tahun” (HR. Al-Bukhari).
Riwayat
lain yang menceritakan hal serupa dengan informasi sedikit berbeda
adalah: “Nabi SAW meminang ‘Aisyah di usia 7 tahun dan menikahinya pada
usia 9 tahun. Seringkali Nabi SAW mengajaknya bermain. Tatkala Nabi SAW
wafat, usia ‘Aisyah saat itu baru 18 tahun” (HR. Al-Bukhari).
Sejarahwan Muslim klasik, al-Thabari dalam Târikh al-Umam wa al-Mulûk mengamini
riwayat di atas bahwa ‘Aisyah (puteri Abu Bakr) dipinang Nabi pada usia
7 tahun dan mulai berumah tangga dengannya pada usia 9 tahun. Pada
bagian lain, al-Thabari mengatakan bahwa semua anak Abu Bakr yang
berjumlah 4 orang dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya. Jika
‘Aisyah dipinang Nabi pada 620 M (saat dirinya masih berusia 7 tahun)
dan berumah tangga tahun 623 M (pada usia 9 tahun), hal itu menunjukkan
bahwa ‘Aisyah dilahirkan pada tahun 613 M. Yakni, 3 tahun sesudah masa
Jahiliyah berakhir (tahun 610 M).
Padahal
al-Thabari sendiri menyatakan bahwa ‘Aisyah dilahirkan pada masa
Jahiliyah. Jika ‘Aisyah dilahirkan pada masa Jahiliyah, setidaknya
‘Aisyah berusia 14 tahun saat dinikahi Nabi. Pendeknya, riwayat
al-Thabari perihal usia ‘Aisyah ketika menikah dengan Nabi tidak
reliable dan tampak kontradiktif.
Kontradiksi
perihal usia ‘Aisyah saat dinikahi Nabi akan semakin kentara jika usia
‘Aisyah dihitung dari usia kakaknya, Asma’ binti Abi Bakr. Menurut Ibn
Hajar al-‘Asqallani dalam Tahdzîb al-Tahdzîb, Asma’ yang lebih
tua 10 tahun dari ‘Aisyah meninggal di usia 100 tahun pada 74 Hijrah.
Jika Asma’ wafat di usia 100 tahun pada 74 H, maka Asma’ seharusnya
berumur 27 tahun ketika adiknya ‘Aisyah menikah pada tahun 1 Hijrah
(yang bertepatan dengan tahun 623 M).
Kesimpulannya,
berdasarkan riwayat di atas itu pula dapat dikalkulasi bahwa ‘Aisyah
ketika berumah tangga dengan Nabi berusia sekitar 17 tahun.
Kontradiksi
lain seputar mitos usia kanak-kanak ‘Aisyah tatkala dinikahi Nabi dapat
dicermati melalui teks riwayat Ahmad bin Hanbal berikut. Sepeninggal
isteri pertamanya, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehatinya agar
menikah lagi. Lantas Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada
dalam pikiran Khaulah. Khaulah kemudian berkata, “Anda dapat menikahi
seorang perawan (bikr) atau seorang janda (tsayyib).” Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis perawan (bikr) tersebut, Khaulah menyebut nama ‘Aisyah (HR. Ahmad).
Bagi orang yang mengerti bahasa Arab, dia akan paham bahwa kata bikr tidak digunakan untuk bocah ingusan berusia 7 atau 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis ingusan yang masih kanak-kanak adalah jariyah. Sebutan bikr
diperuntukkan bagi seorang gadis yang belum menikah serta belum punya
pengalaman seksual—yang dalam bahasa Inggris diistilahkan “virgin”. Oleh
karena itu, jelaslah bahwa ‘Aisyah yang disebut bikr dalam hadis di atas telah melewati masa kanak-kanak dan mulai menapaki usia dewasa saat menikah dengan Nabi.
Bahkan
dalam perspektif al-Quran bahwa sebagai muslim merupakan kewajiban
untuk merujuk sumber utama dari ajaran Islam, yakni Alqur’an.
Sebenarnya, tidak ada satu ayat pun yang seucara eksplisit mengizinkan
pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat yang dapat dijadikan inspirasi
untuk menjawab persoalan di atas, meski substansi dasarnya adalah
tuntunan bagi Muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Meski
demikian, petunjuk Alqur’an mengenai perlakuan terhadap anak yatim itu
dapat juga kita terapkan pada anak kandung kita sendiri.
Ayat tersebut adalah:
وابتلوا اليتامى حتى إدا بلغوا النكاح
“Ujilah
anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (mampu mengelola harta), maka
serahkan kepada mereka harta bendanya” (QS. al-Nisa’: 6).
Dalam
kasus anak yang ditinggal wafat oleh orang tuanya, seorang bapak asuh
diperintahkan untuk: (1) mendidik, (2) menguji kedewasaan mereka “sampai
usia menikah” sebelum mempercayakan pengelolaan keuangan sepenuhnya. Di
sini, ayat Alqur’an mempersyaratkan perlunya test dan bukti obyektif
perihal tingkat kematangan fisik dan kedewasaan intelektual anak asuh
sebelum memasuki usia nikah sekaligus mempercayakan pengelolaan harta
benda kepadanya.
Dengan
demikian, logikanya, jika bapak asuh tidak diperbolehkan sembarang
mengalihkan pengelolaan keuangan kepada anak asuh yang masih
kanak-kanak, tentunya bocah ingusan tersebut juga tidak layak, baik
secara fisik dan intelektual untuk menikah. Oleh karena itu, sulit
dipercaya, Abu Bakr al-Shiddiq, seorang pemuka sahabat, menunangkan
anaknya yang masih belia berusia 7 tahun, untuk kemudian menikahkannya
pada usia 9 tahun dengan sahabatnya yang telah berusia setengah abad. Demikian pula halnya, sungguh sulit untuk dibayangkan bahwa Nabi SAW menikahi gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun.
Namun pendapat ini dibantah oleh Ibnu Mundzir yang dikutip Muhammad Djabir bahwa Menikahi atau menikahkan perempuan
di bawah umum, sebelum haid atau usia 15 tahun, dalam pandangan Islam
sah. Dalam hal ini, tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama’. Ibn Mundzir
menyatakan:
“Semua
ahli ilmu, yang pandangannya kami hapal, telah sepakat, bahwa seorang
ayah yang menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya mubah
(sah).”
Salah satu argumentasi yang digunakan adalah firman Allah SWT yang menyatakan:
والئى
يئسن من المحيض إن ارتبتم فعدتهن ثلاثة أشهر والئى لم يحضن واولت الأحمال
أجلهن أن يضعن حملهن ومن يتق الله يجعل له من أمره يسرا
“Perempuan-perempuan
yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika
kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah
tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid. Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya. Siapa siapa yang bertakwa kepada Allah,
niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. at-Thalaq [65]: 04)
Allah menetapkan perempuan dengan predikat: wa al-la’i lam yahidhna
(yang belum haid) dengan ‘iddah selama 3 bulan, sementara ‘iddah 3
bulan tersebut hanya berlaku bagi perempuan yang ditalak atau difasakh,
maka ayat ini menjadi dalalah iltizam, bahwa perempuan yang disebutkan
tadi sebelumnya telah dinikah, kemudian ditalak atau difasakh.
Selain itu, juga hadits yang dituturkan oleh Aisyah —radhiya-Llahu ‘anha— dari Hisyam, dari ayahnya (‘Urwah), yang menyatakan:
“Saya
dinikahi oleh Nabi saw. ketika saya gadis berusia enam tahun, dan
baginda membawa saya, ketika saya berusia sembilan tahun.” (H.r. Muttafaq ‘Alaih)
Selain
redaksi di atas, juga terdapat riwayat lain, yang dikeluarkan oleh
Bukhari dan Muslim, dari ‘Urwah dari Aisyah, yang menyatakan:
“Nabi
menikahi beliau (Aisyah) ketika beliau berumur tujuh tahun. Penikahan
beliau dengan Nabi diumumkan ketika beliau berumur sembilan tahun,
ketika beliau masih menggendong mainannya. Nabi meninggalkan beliau
(wafat), ketika beliau berusia delapan belas tahun.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Ibn
Hazm, mengutip pendapat Abu Muhammad, bahwa argumentasi yang digunakan
untuk melegalkan tindakan orang tua menikahkan anak perempuannya di
bawah umur adalah tindakan Abu Bakar —radhiya-Llahu ‘anhu— menikahkan
Aisyah ra. dengan Nabi saw. ketika Aisyah berusia enam tahun. Ini
merupakan riwayat yang populer, dan tidak perlu dikemukakan lagi
isnad-nya.
Namun,
Ibn Hazm juga mengutip pendapat Ibn Syubramah, yang menyatakan, bahwa
tidak boleh menikahkan anak di bawah umur sampai akil baligh, dan
menegaskan bahwa pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. itu merupakan
kekhususan bagi Nabi, tidak untuk yang lain. Pendapat ini telah
digugurkan dengan sejumlah fakta pernikahan para sahabat dengan
perempuan di bawah umum, seperti yang dilakukan oleh ‘Umar bin
al-Khatthab ketika menikahi Ummu Kaltsum, putri ‘Ali bin Abi Thalib, dan
Qudamah bin Math’ghun yang menikahi putri Zubair.
Seputar Hadits Pernikahan ‘Aisyah
Hadits
tersebut, selain dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, juga dikeluarkan
oleh an-Nasai. Bedanya, an-Nasai tidak hanya menuturkan melulu melalui
jalur Hisyam dari ayahnya, ‘Urwah, tetapi juga jalur Abu ‘Ubaidah dan
al-Aswad. Jika menganalisis lafadz kedua hadits di atas memang ada
perbedaan; Lafadz pertama menyatakan, Nabi menikahi Aisyah ketika
berumur enam tahun. Sedangkan lafadz kedua, menyatakan, bahwa Nabi
menikahi Aisyah ketika berumur tujuh tahun. Hanya saja, dalam menentukan
mana yang lebih kuat; apakah penuturan Aisyah sendiri, atau kesimpulan
perawi? Tentu, yang paling kuat adalah penuturan pelaku langsung. Sebab
ini bukan kesimpulan perawi, tetapi penuturan langsung pelakunya, yang
mengalami sendiri peristiwa tersebut. Karena itu, riwayat yang
menyatakan, bahwa Aisyah dinikahi oleh Nabi dalam usia enam tahunlah
yang paling kuat. Ini dari segi matan (redaksi) hadits.
Adapun
dari segi sanad, kedua hadits di atas adalah sama-sama merupakan hadits
sahih, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Jika dilihat dari
segi sanad, kedua hadits tersebut bisa masuk dalam katagori hadits
mu’an’an, yang dalam lazimnya kaidah periwayatan hadits termasuk dalam
kelompok hadits dhaif. Namun, khusus kasus hadits mu’an’an dalam Shahih
al-Bukhari dan Muslim, dikecualikan dari kaidah tersebut. Dengan kata
lain, hadits mu’an’an dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim tetap dianggap
oleh para ahli hadits sebagai hadits sahih. Selain itu juga harus
dicatat, bahwa kaidah atau teori hadits itu baru muncul belakangan, jauh
setelah munculnya Shahih al-Bukhari dan Muslim. Karena itu, hadits
pernikahan Aisyah dengan Nabi saw. tersebut jelas merupakan hadits
sahih, yang kesahihannya tidak patut diperdebatkan lagi. Selain itu,
makna hadits tersebut juga tidak bertentangan dengan nas yang qath’i,
seperti al-Qur’an, surat at-Thalaq: 4, justru saling menguatkan.
Mengenai
status Hisyam (w 145 H), yang konon baru meriwayatkan hadits ini di
usianya ketujuhpuluh tahun, dan itu pun dituturkan pada saat di Irak,
maka harus diteliti:
Pertama, dalam konteks ada’ (penyampaian) riwayat, tidak ada larangan seseorang menyampaikan riwayat di usia senja. Tentu dengan catatan, bahwa faktor ingatan (dhabt)-nya tidak ada masalah. Dalam kasus periwayatan Hisyam di Irak, yang dipersoalkan oleh ahli hadits adalah ketidakkonsistenan Hisyam dalam menyampaikan model periwayatan.[9] Beliau kadang mengatakan: haddatsani abi, yang berarti Hisyam mendengar langsung dari ayahnya, dalam posisi beliau sudah mempersiapkan materi hadits dan menghapalnya. Kadang beliau mengatakan: akhbarani abi, yang berari hadits tersebut dibacakan oleh ayahnya. Kadang beliau mengatakan: yaqulu li abi, yang berarti beliau mendengarkan hadits tersebut dari ayahnya, tanpa persiapan dan hapalan sebelumnya.[10] Namun, secara umum Hisyam, sebagaimana penuturan Ibn Hibban, dalam kitabnya, ats-Tsiqat, adalah orang yang terpercaya (mutqin), wara’, mulia (fadhil) dan hafidh.
Pertama, dalam konteks ada’ (penyampaian) riwayat, tidak ada larangan seseorang menyampaikan riwayat di usia senja. Tentu dengan catatan, bahwa faktor ingatan (dhabt)-nya tidak ada masalah. Dalam kasus periwayatan Hisyam di Irak, yang dipersoalkan oleh ahli hadits adalah ketidakkonsistenan Hisyam dalam menyampaikan model periwayatan.[9] Beliau kadang mengatakan: haddatsani abi, yang berarti Hisyam mendengar langsung dari ayahnya, dalam posisi beliau sudah mempersiapkan materi hadits dan menghapalnya. Kadang beliau mengatakan: akhbarani abi, yang berari hadits tersebut dibacakan oleh ayahnya. Kadang beliau mengatakan: yaqulu li abi, yang berarti beliau mendengarkan hadits tersebut dari ayahnya, tanpa persiapan dan hapalan sebelumnya.[10] Namun, secara umum Hisyam, sebagaimana penuturan Ibn Hibban, dalam kitabnya, ats-Tsiqat, adalah orang yang terpercaya (mutqin), wara’, mulia (fadhil) dan hafidh.
Kedua,
tidak ada bukti satu pun yang bisa memastikan, bahwa hadits Aisyah
tersebut dituturkan oleh Hisyam di usianya yang senja, atau ketika
beliau pindah ke Irak. Karena itu, catatan Ya’kub bin Syibah, tentang
kondisi Hisyam di Irak: “Hisyam adalah tsiqah, yang tidak ada penolakan
sedikit pun terhadap riwayat yang datang darinya, kecuali setelah dia
menetap di Irak.” Tidak bisa digunakan untuk menjustifikasi, bahwa
hadits pernikahan Aisyah tersebut tidak kredibel. Sebab, semua ahli
hadits dan biografi perawi sepakat, bahwa hadits Hisyam tetap kredibel,
terutama hadits yang terdapat dalam kitab Shahih. Salah satunya, bisa
kita lihat pernyataan Ibn Kharrasy: “Hisyam adalah orang yang jujur
(shaduq), dimana haditsnya banyak masuk di dalam kitab Shahih.”
Jika
kesimpulan hadits pernikahan Aisyah tersebut ditarik pada posisi Hisyam
setelah pindah ke Irak dan di usianya yang senja, maka penarikan
kesimpulan seperti ini tidak didasarkan pada fakta, melainkan hanya
asumsi. Karenanya, kesimpulan hadits tersebut tidak kredibel, karena
faktor Hisyam, ini merupakan kesimpulan logika mantik. Inilah sebenarnya
yang terjadi. Karena itu, cara berfikir seperti ini sangat fatal.
Berapa Umur Aisyah ketika Menikah?
Dalam
konteks ini memang ada dua riwayat; penuturan Aisyah sendiri, yang
menyatakan dinikahi oleh Nabi ketika berusia enam tahun, dan penuturan
‘Urwah, yang menyatakan tujuh tahun. Dalam konteks matan, sebagaimana
yang dikemukakan di atas, maka penuturan Aisyah tentu lebih kuat,
ketimbang penuturan tidak langsung yang disampaikan oleh ‘Urwan. Selain
itu, perbedaan seperti ini tidak terlalu urgen, mengingat selisih waktu
sering kali terjadi, karena beda pijakan dalam perhitungannya. Namun
demikian, dua riwayat ini juga bisa dikompromikan, sebagaimana yang
dilakukan oleh Ibn Hajar, sehingga bisa disimpulkan, bahwa Aisyah telah
berusia enam tahun, memasuki tahun ketujuh.
Namun,
ada kesimpulan lain yang dikembangkan, seolah-olah Aisyah berusia
tujuhbelas, delapanbelas atau sembilanbelas tahun. Kesimpulan seperti
ini tentu tidak mempunyai pijakan faktual, selain asumsi mantik. Sebagai
contoh, pernyataan at-Thabari: “Semua anak Abu Bakar dilahirkan pada
masa Jalihiyah dari dua isterinya.”
Dengan
asumsi ini, maka Aisyah pun diklaim telah lahir pada masa pra Islam.
Padahal, menurut riwayat yang sahih, sebagaimana dinyatakan oleh Ibn
Hajar, dalam al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, Aisyah dilahirkan
pada tahun keempat atau kelima bi’tsah. Menarik Aisyah dalam katagori
“semua anak” Abu Bakar jelas bertentangan dengan fakta, bahwa Aisyah
tidak sama dengan anak-anak Abu Bakar yang lain, dimana Aisyah
dilahirkan setelah bi’tsah, sementara yang lain sebelumnya.
Undang-Undang
pernikahan bab II pasal 7 ayat satu yang menyebutkan bahwan usia
perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak perempuan sudah mencapai usia 16 tahun dan dalam bab IV
Kompilasi Hukum Islam pasal 15 menyebutkan hal yang sama ternyata UU
perkawinan di sejumlah negara Arab hampir sama dengan UU kita di atas
seperti di Suriah, yang menjelaskan batas usia pernikahan untuk pria
adalah jika telah mencapai 18 tahun dan untuk perempuannya jika sudah
berusia 16 tahun (UU Perkawinan Suriah, pasal 16). (http://nu.or.id)
Latihan
Untuk memantapkan pemahaman Anda terhadap materi ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
1. Jelaskan pandangan Islam tentang menikahi gadis di bawah umur?
2. Jelaskan kedua ayat al-Quran yang membolehkan dan melarang menikahi gadis di bawah umur?
3. Jelaskan UU Perkawinan tentang usia menikah?
4. Jelaskan seputar hadits Aisyah tentang usia menikah?
5. Jelaskan dampak menikahi gadis di bawah umur?
Rangkuman
1. Menikahi
gadis di bawah umur adalah menikahi gadis di bawah umur yang ditetapkan
oleh Undang-undang pernikahan Bab II pasal 7 yaitu usia 16 tahun.
2. Ulama
berbeda pendapat berkaitan dengan menikahi gadis di bawah umur,
pendapat pertama mengatakan bahwa secara agama menikahi gadis yang belum
mencapai usia balligh dibolehkan tetapi tidak boleh disetubuhi sampai
ia menstruasi. Sedangkan pendapat kedua, bahwa menikahi gadis di bawah
umur tidak dibolehkan dikarenakan belum terkena taklif.
3. Menurut
ahli medis, bahwa menstruasi bukan syarat kematangan seorang wanita
untuk disetubuhi, karena secara psikologis, anak di bawah 16 tahun belum
matang dan siap untuk hamil dan melahirkan.
4. Kesiapan untuk pernikahan pada umumnya diukur dengan tiga hal: kesiapan ilmu pengetahuan, kesiapan ekonomi dan kesiapan fisik.
5. Tidak
ada satu ayat pun yang secara eksplisit mengizinkan pernikahan wanita
di bawah umur. Tetapi ada sebuah ayat yang dapat dijadikan inspirasi
untuk menjawab persoalan di atas, meski substansi dasarnya adalah
tuntunan bagi Muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Ayat tersebut adalah:
وابتلوا اليتامى حتى إدا بلغوا النكاح
“Ujilah
anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (mampu mengelola harta), maka
serahkan kepada mereka harta bendanya” (QS. al-Nisa’: 6).
Di
sini, ayat Alqur’an ini mempersyaratkan perlunya test dan bukti
obyektif perihal tingkat kematangan fisik dan kedewasaan intelektual
anak asuh sebelum memasuki usia nikah sekaligus mempercayakan
pengelolaan harta benda kepadanya.
6. Namun ada ayat lain tentang iddah wanita yang belum haid yakni “Perempuan-perempuan
yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika
kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah
tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid.
(QS. al-Thalaq:4). Ayat ini menunjukkan bahwa dibolehkan menikahi wanita
di bawah umur. Karena syarat iddah adalah adanya perkawinan. Keterangan
ayat ini juga dikuatkan dengan pernikahan Rasulullah Saw dengan Aisyah:
“Saya dinikahi oleh Nabi saw. ketika saya gadis berusia enam tahun,
dan baginda membawa saya, ketika saya berusia sembilan tahun.” (H.r. Muttafaq ‘Alaih)
Tes Formatif
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan benar dan tepat:
1. Berikut ini isteri yang paling muda dinikahi oleh Rasulullah Saw adalah:
a. Khadijah c. Fatimah
b. Aisyah d. Maimunah
2. Berikut ini alasan menikahi Sayidah Aisyah r.a di usia muda:
a. Karena adat masyarakat Islam c. karena anak sahabat beliau
b. Karena syahwat d. Karena kecantikan Aisyah
3. Berikut ini maksud dari kalimat ba’ah, kecuali
a. Kemampuan ekonomi c. kemampuan ilmu pengetahuan
b. Kemampuan fisik d. Memiliki pengalaman menikah
4. Berikut ini usia yang dianjurkan menikah bagi wanita berdasarkan UU Perkawinan:
a. 16 tahun c. 18 tahun
b. 17 tahun d. 19 tahun
5. Berikut ini usia yang dianjurkan menikah bagi laki-laki berdasarkan UU Perkawinan:
a. 16 tahun c. 18 tahun
b. 17 tahun d. 19 tahun
6. Hukum asal menikahi wanita di bawah umur adalah:
a. Haram c. Halal
b. Makruh d. Sunnah
7. MUI menganjurkan untuk usia menikah bagi wanita adalah:
a. 16 tahun c. 18 tahun
b. 17 tahun d. 19 tahun
8. Jika wanita yang belum menstruasi dinikahi dan disetubuhi berakibat:
a. Menjaga sistem reproduksi c. melindungi sistem reproduksi
b. Merusak sistem reproduksi d. Merusak mata
9. Kelainan kromosom pada bayi diakibatkan oleh:
a. Menikahi wanita di bawah umur c. menikahi orang sejenis
b. Menikahi wanita tua d. Menikahi wanita pezina
10. Berikut ini anjuran Rasulullah bagi mereka yang belum mampu untuk menikah:
a. Mencari nafkah c. berpuasa
b. Berolah raga d. berdzikir
Kunci Jawaban Tes Formatif
1. B 6. C
2. A 7. A
3. D 8. B
4. A 9. A
5. D 10. C
Daftar Pustaka
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Terj. Jamaludin Miri, Jakarta: Pustaka Amani, 1999.
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: Elsas, 2008.
Dadang Hawari, Al-Quran: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.
Hisyam Tholbah, Ensiklopedia Mukjizat al-Quran dan Sunnah, jilid 3.Sapta Sentosa, 2008.
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997
Sayid Qutb, Fi Zhilalil Quran,
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, Terj. Tim Kuadran, Bandung: Jabal, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar