1.
PENDAHULUAN
a.
Latar
Belakang Masalah
Prestasi belajar
merupakan hasil belajar yang dicapai setelah melalui proses kegiatan belajar
mengajar. Prestasi belajar dapat ditunjukan melalui nilai yang diberikan oleh
seorang guru dari jumlah bidang studi yang telah dipelajari oleh peserta didik.
Setiap kegiatan pembelajaran tentunya selalu mengharapkan akan menghasilkan
pembelajaran yang maksimal. Dalam proses pencapaiannya, prestasi belajar sangat
dipengaruhi oleh berbagai factor. Salah satu factor utama yang sangat
berpengaruh dalam keberhasilan pembelajaran adalah keberadaan guru. Mengingat
keberadaan guru dalam proses kegiatan belajar mengajar sangat berpengaruh, maka
sudah semestinya kualitas guru harus diperhatikan.
Sebagaimana dikemukakan
di atas, bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, aspek utama yang
ditentukan adalah kualitas guru. Untuk itu, upaya awal yang dilakukan dalam
peningkatan mutu pendidikan adalah kualitas guru. Kualifikasi pendidikan guru
sesuai dengan prasyarat minimal yang ditentukan oleh syarat-syarat seorang guru
yang profesional.
Guru profesional yang
dimaksud adalah guru yang berkualitas, berkompetensi, dan guru yang dikehendaki
untuk mendatangkan prestasi belajar serta mampu mempengaruhi proses belajar
mengajar siswa yang nantinya akan menghasilkan prestasi belajar siswa yang
baik.
Kamal Muhammad ‘Isa
mengatakan: “bahwa guru atau pendidik adalah pemimpin sejati, pembimbing dan
pengarah yang bijaksana, pencetak para tokoh dan pemimpin ummat”.[1] Adapun pengertian guru menurut Undang-undang
No. 14 Tahun 2005 tantang Guru dan Dosen, yakni sebagaimana tercantum dalam Bab
I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (1) sebagai berikut: “guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan dasar dan menengah”.[2] Selanjutnya Moh Uzer Usman dalam bukunya
Menjadi Guru Profesional mendefinisikan bahwa: “guru profesional adalah orang
yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia
mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal.[3]
Pendapat lain
dikemukakan oleh Asrorun Ni’am Sholeh dalam buku yang bejudul Membangun
Profesionalitas Guru, mengungkapkan bahwa: dalam proses pendidikan, guru tidak
hanya menjalankan fungsi alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga berfungsi untuk menanamkan nilai
(values) serta membangun karakter (character building) peserta didik secara berkelanjutan. Dalam
terminology Islam, guru diistilahkan dengan murabby,
satu akar dengan rabb yang berarti
Tuhan. Jadi, fungsi dan peran guru dalam sistem pendidikan merupakan salah satu
manifestasi dari sifat ketuhanan. Demikian mulianya posisi guru, sampai-sampai
Tuhan, dalam pengertian sebagai rabb
mengidentifikasi diri-Nya sebagai rabbul’alamin
“Sang Maha Guru”, “Guru seluruh jagad raya”. Untuk itu, kewajiban pertama yang
dibebankan setiap hamba sebagai murid
“Sang Maha Guru” adalah belajar, mencari ilmu pengetahuan. Setelah itu,
setiap orang yang telah mempunyai ilmu pengetahuan memiliki kewajiban untuk
mengajarkannya kepada orang lain. Dengan demikian, profesi mengajar adalah
sebuah kewajiban yang merupakan manifestasi dari ibadah. Sebagai
konsekuensinya, barang siapa yang menyembunyikan sebuah pengetahuan maka ia
telah melangkahkan kaki menuju api neraka.[4]
Menanggapi apa yang
telah dikemukakan oleh Asrorun Ni’am Sholeh, penulis memahami bahwa profesi
mengajar adalah suatu pekerjaan yang memiliki nilai kemuliaan dan ibadah.
Mengajar adalah suatu kewajiban bagi setiap orang yang memiliki pengetahuan.
Selanjutnya, mengingat mengajar adalah suatu kewajiban bagi setiap orang yang
memiliki pengetahuan, maka sudah sepantasnya bagi orang yang tidak menyampaikan
ilmu pengetahuannya maka akan berakibat dosa bagi dirinya.
Selanjutnya Asrorun
Ni’am Sholeh mengatakan bahwa di sisi lain, profesi mengajar merupakan
kewajiban tersebut, hanya dibebankan kepada setiap orang yang berpengetahuan.
Dengan kata lain, profesi mengajar harus didasarkan pada adanya kompetensi
dengan kualifikasi akademik tertentu. Mengajar, bagi seseorang yang tidak
mempunyai kompetensi profesional untuk itu justru akan berbuah dosa. Kemudian,
“apabila sesuai dilakukan oleh sesuatu yang bukan ahlinya, maka tunggulah suatu
kehancurannya”. Penggalan hadits Rasulullah saw. ini seolah memberikan warning bagi guru yang tidak memenuhi kompetensi profesionalnya.[5]
Dari penjelasan yang
dikemukakan Asrorun Ni’am Sholeh, penulis dapat menyimpulkan bahwa profesi
mengajar merupakan kewajiban yang hanya dibebankan kepada orang yang berpengetahuan.
Dengan demikian, profesi mengajar harus didasarkan pada adanya kompetensi dan kualifkasi tertentu bagi setiap orang
yang hendak mengajar.
Menurut Asrorun Ni’am
Sholeh, secara konseptual, deskripsi dua kondisi di atas memberikan dua hal
prinsip dalam konteks membicarakan mengenai
profesi guru dan dosen. Pertama,
adanya semangat keterpanggilan jiwa, pengabdian dan ibadah. Profesi pendidik
merupakan profesi yang mempunyai kekhusususan
dalam membentuk watak serta peradaban bangsa yang bemartabat dan
memerlukan keahlian, idealism, kearifan dan keteladanan melalui waktu yang
panjang. Kedua,adanya perinsip
profesionalitas, keharusan adanya kompetensi dan kualifikasi akademik yang
dibutuhkan, serta adanya penghargaan terhadap profesi yang diemban. Maka
prinsip idealism dan keterpanggilan jiwa serta prinsip profesionalitas harus
mendasari setiap perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat guru dan
dosen. Dengan demikian profesi guru dan dosen merupakan profesi tertutup yang
harus sejalan dengan prinsip-prinsip idealism dan profesionalitas secara
berimbang. Jangan sampai akibat pada perjuangan dan penonjolan aspek
profesionalisme berakibat penciptaan gaya hidup materialisme dan pragmatisme
yang menafikan idealism dan keterpanggilan jiwa.[6]
Secara konseptual, unjuk kerja guru menurut
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Johson, sebagaimana yang dikutip oleh
Martinis Yamin mencakup tiga aspek, yaitu; (a) kemampuan profesional, (b)
kemampuan sosial, dan (c) kemampuan personal (pribadi).[7]
Menyadari akan
pentingnya profesionalisme dalam pendidikan, maka Ahmad Tafsir mendefinisikan
bahwa profesionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan
harus dilakukan oleh orang yang profesional.[8]
Akan tetapi melihat
realita yang ada, keberadaan guru profesional sangat jauh dari apa yang
dicita-citakan. Menjamurnya sekolah-sekolah yang rendah mutunya memberikan
suatu isyarat bahwa guru professional hanyalah sebuah wacana yang belum
terrealisasi secara merata dalam seluruh pendidikan yang ada di Indonesia. Hal
itu menimbulkan suatu keprihatinan yang tidak hanya datang dari kalangan
akademis, akan tetapi orang awam sekalipun ikut mengomentari ketidakberesan pendidikan dan tenaga pengajar yang ada.
Kenyataan tersebut menggugah kalangan akademis, sehingga mereka membuat
perumusan untuk meningkatkan kualifikasi guru melalui pemberdayaan dan
peningkatan profesionalisme guru dari
pelatihan sampai dengan intruksi agar guru memiliki kualifikasi pendidikan
minimal Strata 1 (S1).
Yang menjadi permasalahan
baru adalah, guru hanya memahami intruksi tersebut hanya sebagai formalitas
untuk memenuhi tuntutan kebutuhan yang sifatnya administratif. Sehingga
kompetensi guru profesional dalam hal inti tidak menjadi prioritas utama.
Dengan pemahaman tersebut, kontribusi untuk siswa menjadi kurang terperhatikan
bahkan terabaikan.
Masalah lain yang
dtentukan penulis adalah minimnya tenaga pengajar dalam suatu lembaga
pendidikan juga memberikan celah seorang guru untuk mengajar yang tidak sesuai
dengan keahliannya. Sehingga yang menjadi imbasnya adalah siswa sebagai anak
didik tidak mendapatkan hasil pembelajaran yang maksimal. Padahal siswa ini
adalah sasaran pendidikan yang dibentuk melalui bimbingan, keteladanan,
bantuan, latihan, pengetahuan yang maksimal, kecakapan, keterampilan, nilai,
sikap yang baik dari seorang guru. Maka hanya dengan seorang guru profesional
hal tersebut dapat terwujud secara utuh, sehinggan akan menciptakan kondisi
yang menimbulkan kesadaran dan keseriusan dalam proses kegiatan belajar mengajar.
Dengan demikian, apa yang disampaikan seorang guru akan berpengaruh terhadap hasil pembelajaran.
Sebaliknya, jika hal di atas tidak terealisasi dengan baik, maka akan berakibat
ketidak puasan siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar.
Tidak kompetennya
seorang guru dalam penyampaian bahan ajar secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap hasil dari pembelajaran. Karena proses pembelajaran tidak
hanya tercapai dengan keberanian, melainkan faktor utamanya adalah kompetensi yang ada dalam pribadi seorang guru.
Keterbatasan pengetahuan guru dalam penyampaian materi baik dalam hal metode
ataupun penunjang pokok pembelajaran lainnya akan berpengaruh terhadap
pembelajaran.
Melihat wacana di atas,
sangat terlihat bahwa profesionalisme guru dapat berpengaruh terhadap prestasi
belajar. Atas dasar wacana yang ada di lapangan, maka penulis ingin membuktikan
apakah persepsi yang ada di kalangan masyarakat mengenai masalah
profesionalisme guru itu benar atau sebaliknya, dengan melakukan penelitian.
Berdasarkan dugaan
penulis, pada umumnya kondisi sekolah yang ada masih terdapat guru yang belum
profesional. Kompetensi guru yang ada di sekolah tersebut belum sepenuhnya
memenuhi kriteria sebagaimana yang
diinginkan oleh persyaratan guru profesional. Oleh karena itu, pemerintah
mengadakan program sertifikasi keguruan dengan mensyaratkan pengajar memiliki
kualifikasi pendidikan minimal S1 sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Berdasrkan latar
belakang masalah yang dipaparkan diatas, maka penulis tertarik untuk membahasnya
dan melakukan penelitian yang berjudul “PROFESIONALISME GURU DAN HUBUNGANNYA
DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI MTS ATTAQWA 03 BABELAN BEKASI-UTARA”
Alasan penulis
mengambil judul penelitian ini adalah: Pertama, penulis sangat tertarik dengan
pembahasan yang berkaitan dengan masalah profesionalisme guru. Karena penulis
berpendapat bahwa profesionalisme guru dalam pendidikan sangat berpengaruh terhadap
proses kegiatan belajar mengajar. Kedua, penulis berpendapat bahwa kegagalan
pendidikan di Indonesia salah satu penyebabnya adalah tingkat profesionalisme
guru yang kurang baik. Untuk itu, penulis ingin mengetahui pembenaran asumsi
tersebut melalui penelitian langsung ke MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara.
Ketiga, berawal dari suatu kasus yang ada diwilayah Bekasi yang berkaitan
dengan adanya intruksi pemerintah dalam penyetaraan standar kualifikasi tenaga
pendidik minimal S1. Penulis melihat, intruksi tersebut ditanggapi tenaga
pendidik hanya sebagai pemenuhan administratif yang tanpa memperhatikan peningkatan
mutu atau tingkat profesionalisme dalam proses belajar mengajar. Dengan
demikian, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian apakah tenaga pengajar
MTs Attaqwa 03 termasuk guru yang mementingkan tingkat profesionalitas ataukah
tidak. Keempat, adanya tenaga pengajar yang mengajar tidak sesuai latar
belakang pendidikannya akan berdampak terhadap kualitas pendidikan. Penulis
ingin mengetahui apakah tenaga pengajar di MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara
mengalami masalah yang sama ataukah tidak. Untuk itu penulis memilih MTs
Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara, sebagai tempat untuk menguji apakah ada
hubungan yang signifikan antara profesionalisme guru dengan prestasi belajar
siswa di MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara.
b.
Pembatasan
dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar
masalah dalam penelitian ini lebih fokus dan tidak menyimpang dari apa yang
ingin diteliti, maka penulis membatasi penelitian ini pada permasalahan sebagai
berikut:
a. Secara
garis besar, permaslahan yang menyangkut dengan profesionalisme guru sangat
kompleks sekali. Adapun pada judul penelitian ini, profesionalisme guru yang dimaksud adalah prifesionalisme
guru Islam yang lebih spesifiknya guru Fiqih yang profesional, guru yang
berkualitas yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Kompetensi guru
yang akan diteliti dalam penelitian ini dibatasi kedalam empat kategori, yakni;
merencanakan program belajar mengajar, menguasai bahan pelajaran, melaksanakan
dan memimpin atau mengelola proses belajar mengajar, serta menilai kemajuan
proses belajar mengajar.
b. Sedangkan
prestasi belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa yang
diperoleh dari penelitian aspek kongnitif, afektif dan psikomotorik yang dapat
dilihat dari hasil belajar siswa berupa nilao raport dalam bidang studi Fiqih.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan
masalah yang akan diteliti adalah:
a. Bagaimana
profesionalisme guru Fiqih di MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara?
b. Bagaimana
prestasi belajar siswa dalam bidang studi Fiqih di MTs Attaqwa 03 Babelan
Bekasi-Utara?
c. Apakah
ada korelasi antara profesionalisme guru Fiqih dengan prestasi belajar siswa di
MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara?
c.
Tujuan
Penelitian
Tujuan
yang hendak dicapai adalah:
a. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui tingkat profesionalisme guru dalam bidang studi
Fiqih yang ada di sekolah MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara.
b. Untuk
memperoleh gambaran tentang prestasi belajar siswa MTs Attaqwa 03 Babelan
Bekasi-Utara dalam bidang studi Fiqih.
c. Untuk
mengetahui hubungan antara profesionalisme guru dalam proses pembelajaran
dengan prestasi belajar siswa dalam bidang studi Fiqih.
2. Kajian Pustaka
A.
Profesonalisme
Guru
Istilah profesionalisme berasal dari profession. Dalam Kamus Inggris
Indonesia, “profession berarti
pekerjaan”.[9]
Arifin dalam buku Kapita Selekta Pendidikan mengemukakan bahwa profession mengandung arti yang sama
dengan kata occupation atau pekerjaan
yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus.[10]
Dalam buku yang ditulis oleh Kunandar yang berjudul
Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan disebutkan
pula bahwa profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang
pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan
sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan
keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intesif. Jadi,
profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu.[11]
Menurut Martinis Yamin profesi mempunyai pengertian
seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan
prosedur berlandaskan intelektualitas.[12]
Jasmin Muhammad yang dikutip oleh Yunus Namsa, beliau menjelaskan bahwa profesi
adalah “suatu lapangan pekerjaan yang dalam melakukan tugasnya memerlukan
teknik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi serta cara menyikapi lapangan
pekerjaan yang berorientasi pada pelayanan yang ahli”. Pengertian profesi ini
tersirat makna bahwa di dalam suatu pekerjaan profesional diperlukan teknik
serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual yang mengacu pada
pelayan yang ahli.[13]
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan atau keahlian yang mensyaratkan
kompetensi intelektualitas, sikap dan keterampilan tertentu yang diperoleh
melalui proses pendidikan secara akademis.
Dengan demikian, Kunandar mengemukakan profesi guru
adalah keahlian dan kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan
pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan
hidup yang bersangkutan. Guru sebagai profesi berarti guru sebagai pekerjaan
yang mensyaratkan kompetensi (kehalian dan kewenangan) dalam pendidikan dan
pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan
efisien serta berhasil guna.[14]
Adapun mengenai kata “Profesional”, Uzer Usman
memberikan suatu kesimpulan bahwa suatu pekerjaan yang bersifat profesional
memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan
kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Kata “profesional” itu sendiri
berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang
berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan
sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaan yang bersifat profesional adalah
pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk
itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat
memperoleh pekerjaan lain. Dengan bertitik tolak pada pengertian ini, maka
pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian
khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya
sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal.[15]
H.A.R. Tilaar menjelaskan pula bahwa seorang
profesional menjalankan pekerjaannya sesuai dengan tuntutan profesi atau dengan
kata lain memiliki kemampuan dan sikap sesuai dengan tuntutan profesinya.
Seorang profesional menjalankan kegiatannya berdasarkan profesionalisme, dan
bukan secara amatiran. Profesionalisme bertentangan dengan amatirisme. Seorang
profesional akan terus-menerus meningkatkan mutu karyanya secara sadar, melalui
pendidikan dan pelatihan.[16]
Adapun mengenai pengertian profesionalisme itu
sendiri adalah, suatu pandangan bahwa suatu keahalian tertentu diperlukan dalam
pekerjaan tertentu yang mana keahlian itu hanya diperoleh melalui pendidikan
khusus atau latihan khusus.[17]
Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu
keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan
pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, guru yang
profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk
melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Dengan kata lain, maka dapat
disimpulkan bahwa pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki
kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan
tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Guru yang
profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki
pengalaman yang kaya di bidangnya.[18]
Sedangkan Oemar Hamalik mengemukakan bahwa guru profesional merupakan orang
yang telah menempuh program pendidikan guru dan memiliki tingkat master serta
telah mendapat ijazah negara dan telah berpengalaman dalam mengajar pada
kelas-kelas besar.[19]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, profesi
adalah suatu jabatan, profesional adalah kemampuan atau keahlian dalam memegang
suatu jabatan tetentu, sedangkan profesionalisme adalah jiwa dari suatu profesi
dan profesional. Dengan demikian, profesionalisme guru dalam penelitian ini
adalah profesionalisme guru dalam bidang studi Fiqih, yaitu seorang guru yang
memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang studi Fiqih serta telah
berpengalaman dalam mengajar Fiqih sehingga ia mampu melakuakn tugas dan
fungsinya sebagai guru Fiqih dengan kemampuan yang maksimal serta memiliki
kompetensi sesuai dengan kriteria guru profesional, dan profesinya itu telah menjadi
sumber mata pencaharian.
B.
Prestasi
Belajar
Kata
prestasi belajar terdiri dari dua suku kata, yaitu “prestasi” dan “belajar”. Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan prestasi adalah:
“Hasil yang telah dicapai (dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya)”.[20]
Adapun
belajar menurut pengertian secara psikologis, adalah merupakan suatu proses
perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil adri interaksi dengan
lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut
akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Menurut slameto pengertian belajar
dapat didefinisikan sebagai berikut: “Belajar ialah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan ingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya.[21]
M.
Ngalim Purwanto dalam bukunya Psikologi Pendidikan, mengemukakan bahwa belajar
adalah: “tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut
berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: perubahan dalam
pengertian, pemecahan suatu masalah atau berfikir, keterampilan, kecakapan, kebiasaan,
ataupun sikap.[22]
Dalam
rumusan H. Spears yang dikutip oleh Dewa Ketut Sukardi mengemukakan bahwa
belajar itu mencakup berbagai macam perbuatan mulai dari mengamati, membaca,
menurun, mencoba sampai mendengarkan untuk mencapai suatu tujuan.[23]
Selanjutnya,
definisi belajar ang diungkapkan oleh Cronbach di dalam bukunya Edicational Psychology yang dikutip oleh
Sumardi Suryabrata menyatakan bahwa: belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan
mengalami; dan dalam mengalami itu si pelajar mempergunakan pancainderanya.[24]
Berdasarkan
definisi yang dikemukakan beberapa tokoh di atas, maka penulis dapat mengambil
suatu kesimpulan, bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang
merupakan sebagai akibat dari pengalaman atau latihan.
Sedangkan
pengertian prestasi belajar sebagaimana yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah: “penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan
oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka nilai yang
diberikan oleh guru.[25]
Prestasi
belajar dapat bersifat tetap dalam sejarah kehidupan manusia karena sepanjang
kehidupannya selalu mengejar prestasi menurut bidang dan kemampuan
masing-masing. Prestasi belajar dapat memberikan kepuasaan kepada orang yang
bersangkutan, khususnya orang yang sedang menuntut ilmu di sekolah.
Prestasi
belajar meliputi segenap ranah kejiwaan yang berubah sebagai akibat dari
pengalaman dan proses belajar siswa yang bersangkutan. Prestasi belajar dapat
dinilai dengan cara:
a. Penilaian
Formatif
Penilaian formatif adalah kegiatan
penilaian yang bertujuan untuk mencari umpan balik (feedback), yang selanjutnya hasil penilaian tersebut dapat
digunakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar yang sedang atau yang suda
dilaksanakan.
b. Penilaian
Sumatif
Penilaian sumatif adalah penilaian
yang dilakukan untuk memperoleh data atau informasi sampai dimana penguasaan
atau pencapaian belajar siswa terhadap bahan pelajaran yang telah dipelajarinya
selama jangka waktu tertentu.[26]
C.
Hubungan
Profesionalisme Guru Dengan Pretasi Belajar Siswa
Dari
penjelasan di atas, penulis memberikan kesimpulan bahwa yang menjadi alas an
adanya hubungan profesionalisme guru dengan prestasi belajar siswa dalam
penelitian ini, dapat dilihat dalam dua hal sebagai berikut:
a. Karena
keberadaan guru dalam kelas adalah sebagai manajer bidang studi. Yaitu, orang
yang merencanakan, melaksanakan, dan mengecaluasi hasil belajar di sekolah.
b. Karena
guru di sekolah bertugas menentukan keberhasilan siswa. Oleh karena itu,
apabila siswa belum berhasil, maka guru perlu mengadakan remedial.
Untuk itu, guru yang mampu
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasl belajar adalah guru yang
profesional.
3. Hipotesis dan Kerangka Pemikiran
Hipotesis
Untuk
menguji ada atau tidaknya hubungan variabel X (profesionalisme guru) dengan
variabel Y (pretasi belajar siswa), maka penulis mengajukan hipotesa sebagai
berikut:
Ha: Terdapat
hubungan positif yang signifikan antara profesionalisme guru dengan prestasi
belajar siswa di MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara.
Ho: Tidak terdapat
hubungan positif yang signifikan antara profesionalisme guru dengan prestasi
belajar siswa di MTs Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara.
Dari hipotesis di atas, penulis
memiliki dugaan sementara bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan
antara profesionalisme guru dengan prestasi belajar siswa di MTs Attaqwa 03
Babelan Bekasi-Utara. Untuk itu, penulis sepakat dengan pernyatan Ha di atas.
Kerangka Pemikiran
Profesionalisme berasal dari kata profesion yang
mengandung arti pekerjaan yang memerlukan keahlian yang dapat diperoleh melalui
jenjang pendidikan atau latihan tertentu.
Berbicara mengenai profesionalisme, guru adalah
termasuk suatu profesi yang memerlukan keahlian tertentu dan memiliki tanggung
jawab yang harus dikerjakan secara profesional. Karena guru adalah individu
yang memiliki tanggung jawab moral terhadap kesuksesan anak didik yang berbeda
dibawah pengawasannya, maka keberhasilan siswa akan sangat dipengaruhi oleh
kinerja yang dimiliki seorang guru. Oleh karena itu, guru profesional diharapkan
akan memberikan sesuatu yang positif yang berkenaan dengan keberhasilan
prestasi belajar siswa.
Dalam pelaksanaannya, tanggung jawab guru tidak
hanya terbatas kepada proses dalam pentrnsferan ilmu pengetahuan. Banyak hal
yang menjadi tanggung jawab guru, yang salah satunya adalah memiliki kompetensi
idealnya sebagaimana guru professional. Kompetensi disini meliputi pengetahuan,
sikap, dan keterampilan profesional, baik yang bersifat pribadi, sosial, maupun
akademis. Dengan kata lain, guru yang profesional ini memiliki keahlian khusus
dalam bidang keguruan sehinga dia mampu melaksanakan tugasnya secara maksimal
dan terarah.
Dalam pelaksanaan kegiatan belajar, seorang guru
profesional harus terlebih dahulu mampu merencanakan program pengajaran. Kemudian
melaksanakan program pengajaran dengan baik dan mengevaluasi hasil pembelajaran
sehingga mampu mencapai tujuan pembelajaran. Selain itu, seorang guru
profesional akan menghasilkan anak didik yang mampu menguasai pengetahuan baik
dalam aspek kognitif, afektif serta psikomotorik.
Dengan demikian, seorang guru dikatakan profesional
apabila mampu menciptakan proses belajar mengajar yang berkualitas dan
mendatangkan prestasi belajar yang baik. Demikian dengan siswa, mereka baru
dikatakan memiliki prestasi belajar yang maksimal apabila telah menguasai
materi pelajaran dengan baik dan mampu mengaktualisasikannya. Prestasi itu akan
terlihat berupa pengetahuan, sikap dan perbuatan.
Kehadiran guru profesional tentunya akan berakibat
positif terhadap perkembangan siswa, baik dalam pengetahuan maupun dalam
keterampilan. Oleh sebab itu, siswa akan antusias dengan apa yang disampaikan
oleh guru yang bertindak sebagai pasilitator dalam proses kegiatan belajar
mengajar. Bila hal itu terlaksana dengan baik, maka apa yang disampaikan oleh
guru akan berpengaruh terhadap kemampuan atau prestasi belajar anak. Karena,
disadari atau tidak, bahwa guru adalah faktor eksternal dalam kegiatan
pembelajaran yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan proses
kegiatan pembelajaran itu. Untuk itu, kualitas guru akan memberikan pengaruh
yang sangat berarti terhadap proses pembentukan prestasi anak didik. Maka oleh
karena itu, dengan keberadaan seorang
guru profesional diharapkan akan mampu memberikan pengaruh positif terhadap
kelancaran dan keberhasilan proses belajar mengajar serta mampu memaksimalkan
hasil prestasi belajar siswa dengan sebaik-baiknya.
4. Metodologi Penelitian
1. Jenis
Penelitian dan Pendekatan
a. Jenis
Penelitian
Penelitian ini
termasuk jenis penelitian lapangan (Filed
Research) sebab data-data yang dikumpulkan diperoleh dari pengamatan di
lapangan terhadap objek yang diteliti.
b. Pendekatan
Penelitian
Pendekatan
Penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif, yaitu pendekatan yang menggunakan perhitungan statistic sebagai
dasar untuk menarik kesimpulan.
2. Lokasi
Penelitian
Penelitian ini
dilaksanakan di Madrasah Tsanawiyah Attaqwa 03 Babelan Bekasi-Utara.
3. Teknik
Pengumpulan Data
a. Angket
(kuesioner)
Angket adalah
sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden.
b. Wawancara
Wawancara adalah metode tanya jawab
untuk menyelidiki pengalaman, perasaan motiv serta motivasi.
c. Observasi
Observasi
menurut Marzuki adalah memperhatikan sesuatu dengan menggunakan mata atau
pengamatan yang meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dan
menggunakan seluruh panca indera.
d. Dokumentasi
Menurut Moleong
dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar dan sebagainya.
4. Teknik
Analisis Data
Teknik analisa data merupakan cara yang digunakan
untuk menguraikan keterangan-keterangan atau data yang diperoleh agar data
tersebut dapat dipahami bukan oleh orang yang mengumpulkan data saja, tapi juga
oleh orang lain. Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:
1.
Editing
Dalam pengolahan
data yang pertama kali harus dilakukan adalah editing. Ini berarti bahwa semua
angket harus diteliti satu persatu tentang kelengkapan dan kebenaran pesngisian
angket sehingga terhindar dari kekeliruan dan kesalahan.
2.
Scoring
Setelah melalui
tahap editing, maka selanjutnya penulis memberikan skor terhadap pertanyaan
yang ada pada angket.
Daftar
Pustaka
Ø Arifin,
H.M, Kapita
Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet.
Ke-3.
Ø Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Cet. Ke-2.
Ø ‘Isa
Kamal Muhammad, Manajemen Pendidikan
Islam, Jakarta: PT. Fikahati Anesta,
1994, Cet. Ke-1.
Ø Hamalik
, Oemar, Pendidikan Guru Berdasarkan
Pendekatan Kompetensi, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006, Cet. Ke-4.
Ø Kunandar,
Guru Profesional Implementasi Kurikulum
Tingkat Satuan pndidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, Jakarta:
PT. Raja Grapindo Persada, 2007, Cet. Ke-1.
Ø Namsa,
M. Yunus, Kiprah Baru Profesi Guru
Indonesia Wawasan Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Pustaka
Mapan, 2006, Cet. Ke-1.
Ø Purwanto,
M. Ngalim, Prinsip-prinsip dan Teknik
Evaluasi Pengajaran, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001, Cet. Ke-10.
Ø _______________,
Psikologi Pendidikan, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003), Cet. Ke-19.
Ø Usman,
M. Uzer, Menjadi Guru Profesional,
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006, Cet. Ke-20.
Ø Sholeh,
Asrorun, Ni’am, Membangun Profesionalitas
Guru Analisis Kronologis atas Lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen,
Jakarta: eLSAS, 2006, Cet. Ke-1.
Ø Salmeto,
Belajar dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, Cet. Ke-4.
Ø Sukardi,
Dewa, Ketut, Bimbingan dan Penyuluhan Belajar
di Sekolah, Surabaya: Usaha Nasional, 1983, Cet. Ke-1.
Ø Suryabrata,
Sumardi, Psikologi Pendidikan,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-2, h. 231.
Ø Tafsir,
Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005, Cet. Ke-6.
Ø Tilaar
, H.A.R, Membenahi Pendidkan Nasional,
Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002, Cet. Ke-1.
Ø Undang-Undang Republik Indonesia
No. 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen, Bandung: Citra
Umbara, 2006, Cet, Ke-1.
Ø Usman,
M. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2006, Cet. Ke-20.
Ø Yamin,
Martinis, Profesionalisasi Guru dan
Implementasi KTSP, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007, Cet. Ke-2.
[1]
Kamal Muhammad ‘Isa, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta:
PT. Fikahati Anesta, 1994), Cet. Ke-1, h. 64.
[2]
Undang-Undang Republik
Indonesia No. Tahun 2005 Tentang Guru dan dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2006),
h. 2-3.
[3]
M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Ke-20, h. 15.
[4]
Asrorun Ni’am Shole, Membangun Profesionalitas Guru Analisis
Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen, (Jakarta: eLSAS, 2006), Cet.
Ke-1, h. 3.
[5]
Asrorun Ni’am Shole, Membangun Profesionalitas Guru Analisis
Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen, (Jakarta: eLSAS, 2006), Cet.
Ke-1, h. 4.
[6]
Asrorun Ni’am Shole, Membangun Profesionalitas Guru Analisis
Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen, (Jakarta: eLSAS, 2006), Cet.
Ke-1, h. 4-5.
[7]
Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP,
(Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), Cet. Ke-2, h. 4.
[8]
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), Cet. 6, h. 107.
[9]
John M. Echols dan Hassan
Shadili, Kamus Inggris Indonesia,
(Jakarta: PT. Gramedia, 1996), Cet. Ke-23, h. 449.
[10]
Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum),
(Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. Ke-3, h. 105.
[11]
Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum
Tingkat Satuan pndidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru,
(Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2007), Cet. Ke-1, h. 45.
[12]
Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP,
(Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), Cet. Ke-2, h. 3.
[13]
M. Yunus Namsa, Kiprah Baru Profesi Guru Indonesia Wawasan
Metodologi Pengajaran Agama Islam, h. 29.
[14]
Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum
Tingkat Satuan pndidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru,
(Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2007), Cet. Ke-1, h. 46.
[15]
M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Ke-20, h. 14-15.
[16]
H.A.R. Tilaar, Membenahi Pendidkan Nasional, (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2002), Cet. Ke-1, h. 86.
[17]
Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum),
(Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. Ke-3, h. 105.
[18]
Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum
Tingkat Satuan pndidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru,
(Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2007), Cet. Ke-1, h. 46-47.
[19]
Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan
Kompetensi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), Cet. Ke-4, h. 27.
[20]
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. Ke-2, h. 895.
[21]
Salmeto, Belajar dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), Cet. Ke-4, h. 2.
[22]
M Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003), Cet. Ke-19, h. 85.
[23]
Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1983), Cet. Ke-1, h. 17.
[24]
Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-2, h. 231.
[25]
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. Ke-2, h. 895.
[26]
M Ngalim Purwanto, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi
Pengajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. Ke-10, h. 26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar