STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 17 Februari 2014

SEJARAH PERKEMBANGAN KURIKULUM DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Istilah kurikulum (curriculum) berasal dari kata curir (pelari) dan curere (tempat berpacu), dan pada awalnya digunakan dalam dunia olahraga. Pada saat itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk memperoleh medali/penghargaan. Kemudian, pengertian tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan menjadi sejumlah mata pelajaran (subject) yang harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal sampai akhir program pelajaran untuk memperoleh penghargaan dalam bentuk ijazah.
Berbicara tentang sejarah perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia, maka hal itu tidak terlepas dari sejarah perkembangan pendidikan bangsa Indonesia itu sendiri. Sejak zaman kolonialisme, bangsa Indonesia sudah mengenal sekolah, yang tentu saja juga ada kurikulum. Setiap generasi memiliki sejarah kurikulum yang berbeda antara satu dengan yang lain. Kurikulum pendidikan di Indonesia senantiasa berubah sesuai dengan zamannya. Bahkan tak jarang juga terdapat keterkaitan dengan unsur-unsur politis yang mengiringinya. Dalam pengertian bahwa kurikulum di Indonesia kerapkali mengikuti kehendak pemimpin yang berkuasa ketika itu. Ketika masa kolonialisme, maka kurikulum yang berkembang disesuaikan dengan tujuan melanggengkan imprialisme. Begitupula dengan beberapa masa setelahnya.
Dalam perjalanan sejarah sejak Indonesia merdeka atau tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006, ( bahkan rencananya akan kembali terjadi perubahan kurikulum di 2013 ini ). Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Atas dasar inilah penulis akan membuat makalah sederhana yang mengupas tentang perkembangan sejarah kurikulum di Indonesia dari sebelum kemerdekaan hingga orde reformasi saat ini.
1.2.Rumusan Masalah
Bagaimanakah perkembangan kurikulum prakemerdekaan?
Bagaimana perkembangan kurikulum orde lama?
Bagaimana perkembangan kurikulum orde baru?
Bagaimana perkembangan kurikulum orde reformasi?
1.3.Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui perkembangan kurikulum prakemerdekaan
2. Untuk mengetahui perkembangan kurikulum orde lama
3. Untuk mengetahui perkembangan kurikulum orde baru
4. Untuk mengetahui perkembangan kurikulum orde reformasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kurikulum Pendidikan Pra Kemerdekaan
Pendidikan pada prakemerdekaan dipengaruhi oleh kolonialisme. Hasilnya bangsa ini dididik untuk mengabdi kepada penjajah. Karena, pada saat penjajahan semua bentuk pendidikan dipusatkan untuk membantu dan mendukung kepentingan penjajah. Pada mulanya, mereka tidak pernah terpikirkan untuk memperhatikan pendidikan namun murni hanya mencari rempah-rempah. Meski demikian, bangsa Eropa ini juga memiliki misi penyebaran agama. Karena itu pada abad ke-16 dan 17, mereka mendirikan lembaga pendidikan dalam upaya penyebaran agama Kristen di Nusantara. Pendidikan tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi mereka tapi juga penduduk pribumi yang beragama Kristen.
Selanjutnya, pihak penjajah yang merasakan perlu adanya pegawai rendahan yang dapat membaca dan menulis guna membantu pengembangan usaha, khususnya tanam paksa, maka dibentuklah lembaga-lembaga pendidikan. Namun kelas ini masih hanya diperuntukkan untuk kalangan terbatas, yaitu anak-anak priyai. Konsep ideal pendidikan kolonialis adalah pendidikan yang mampu mencetak para pekerja yang dapat dipekerjakan oleh penjajah pula. Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah pada pembentukan dan pendidikan orang muda untuk mengabdi pada bangsa dan tanah airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat penjajah agar dapat ditransfer oleh penduduk pribumi dan menggiring penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintahan kolonial. Pendidikan model bentukan Belanda pada masa ini terdapat dua macam. Pertama, Sekolah Kelas Dua untuk anak pribumi dengan lama pendidikan 3 tahun. Sementara kurikulum yang diajarkan meliputi berhitung, menulis dan membaca. Kedua, Sekolah Kelas Satu yang diperuntukkan untuk anak pegawai pemerintah Hindia Belanda. Lama pendidikan ini awalnya 4 tahun, kemudian 5 tahun dan terakhir 7 tahun. Kurikulum yang diajarkan meliputi ilmu bumi, sejarah, ilmu hayat/ menggambar dan ilmu mengukur tanah. Sementara bahasa pengantarnya menggunakan Bahasa Melayu dan Bahasa Belanda.
Diberlakukannya politik etis pada awal-awal abad ke-20 berpengaruh pula terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Pada masa ini, di Jawa khususnya, Sekolah Kelas Dua yang mulanya hanya 3 tahun berubah menjadi 5 tahun. Kemudian pada tahun 1914 didirikan sekolah sambungan yang lamanya 2 tahun.
Pada prinsipnya Undang-Undang Hindia Belanda membagi jenis penduduk menjadi 3 golongan, yaitu Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. Klasifikasi ini berpengaruh pula terhadap sistem pendidikan ketika itu, yaitu:
1. ELS (Europe Lagere School) yaitu sekolah untuk anak-anak Eropa, Tionghoa, dan Indonesia yang menurut undang-undang disamakan haknya dengan bangsa Eropa.
2. HCS (Holand Chinese School) yaitu sekolah untuk golongan Tionghoa.
3. HIS (Holand Inlandse School) yaitu sekolah untuk rakyat pribumi atau bumiputra golongan atas.
Ini merupakan gambaran pendidikan rendah di Indonesia masa Belanda yang berlangsung sampai dengan tahun 1942.
Sementara untuk kelas menengah didirikan Gymnasium yang terbatas siswanya hanya orang-orang Barat atau golongan ningrat. Masa belajar pendidikan ini berlangsung selama 3 tahun. Pendidikan ini bertujuan untuk menciptakan pegawai-pegawai menengah dan tingkat tinggi. Sedang mata pelajaran yang diajarkan meliputi Bahasa Belanda, bahasa Inggris, Ilmu Hitung, Aljabar, ilmu ukur, ilmu alam atau kimia, ilmu hayat, ilmu bumi, sejarah dan tatabuku. Perkembangan selanjutnya, Gymnasium berubah menjadi OSVIA dan HBS. OSVIA sebagian diperuntukkan golongan ningrat bumiputera, sedang HBS (Hogore Burgere School) untuk orang Belanda dari golongan tinggi. Dari model pendidikan ini kemudian menjelma menjadi MULO (Meer Uifgebried Order Wijs) yang lama pendidikannya ditambahkan 1 tahun dengan dasar bahwa anak-anak pribumi dianggap kesulitan memahami pelajaran. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Melayu.
Sementara untuk tingkatan atas, Belanda mendirikan AMS (Algemene Midelbare School). Sekolah ini didirikan pada 1919, sebagai lanjutan dari sekolah lanjutan pertama atau MULO. Lama pendidikan ini berlangsung selama 3 tahun yang terbagi pada bagian A dan bagian B. Bagian A spesifikasinya adalah ilmu kebudayaan yaitu kesusatraan timur dan kesusatraan klasik barat. Kesusastraan timur meliputi bahasa Jawa, Melayu, Sejarah Indonesia dan ilmu bangsa-bangsa. Sedang kesusatraan klasik barat lebih kepada bahasa latin. Sedang bagian B spesifikasi pelajarannya adalah Ilmu Pengetahuan Kealaman yang meliputi ilmu pasti dan ilmu alam.
Sementara ketika kependudukan beralih dari Belanda ke Jepang, maka pendidikan yang berbau Belanda disingkirkan dengan diganti pendidikan berciri khas Jepang dan sesuai dengan tujuan mereka. Pada pendidikan tingkat rendahan Jepang menggantinya dengan sebutan Kokumin Gako dengan lama pendidikan 6 tahun. Kurikulum pendidikan ini lebih menitik beratkan pada olahraga kemiliteran yang memang bertujuan untuk membantu pertahanan Jepang. Anak-anak masa ini diajarkan untuk mengumpulkan kerikil dan pasir untuk pertahanan, serta menanam pohon jarak untuk membuat minyak sebagai kepentingan perang. Namun masa ini, bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Dengan demikian penggunaan bahasa Indonesia hampir merata di semua sekolah. Materi yang dipelajari sebenarnya tidak jauh beda dengan masa pendudukan Belanda, namun hanya saja yang awalnya semua hal yang berbau Belanda tergantikan dengan model-model Jepang.
2.2. Kurikulum Pendidikan Masa Orde Lama
Sebagaimana yang disebutkan pada pendahuluan, bahwa kurikulum pendidikan nasional telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan kurikulum disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh para penguasa. Tentu saja ada beberapa hal yang memang tujuannya disesuaikan dengan tuntutan kondisi zaman.
Jika kita berbicara tentang kurikulum, maka sudah sepatutnya kita membicarakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum pada era Orde Lama dibagi manjadi 2 kurikulum di antaranya:
1) Kurikulum 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer plan”artinya rencana pelajaran. Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan, asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan “Rencana Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela negara. Kemungkinan model ini masih terkontamninasi dengan model pendidikan yang diterapkan oleh Jepang sebelumnya.
2) Kurikulum 1952-1964
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut “Rencana Pelajaran Terurai 1952”. Silabus mata pelajarannya jelas sekali, dan seorang guru mengajar satu mata pelajaran. Pada masa ini memang kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan. Namun, dalam kurikulum ini siswa masih diposisikan sebagai objek karena guru menjadi subjek sentral dalam pentransferan ilmu pengetahuan. Guru yang menentukan apa saja yang akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang menentukan standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.
Sistem pendidikan masa ini dikenal dengan Sistem Panca Wardana atau sistem lima aspek perkembangan yaitu perkembangan moral, perkembangan intelegensia, perkembangan emosional/artistik, perkembangan keprigelan dan perkembangan jasmaniah. Sistem panca wardana ini dapat diuraikan menjadi beberapa mata pelajaran.
1. Perkembangan moral; pendidikan kemasyarakatan dan pendidikan agama/budi pekerti.
2. Perkembangan intelegensia; bahasa Indonesia, bahasa daerah, berhitung dan pengetahuan alamiah.
3. Perkembangan emosional/artistik; seni sastra/musik, seni lukis/rupa, seni tari, seni drama.
4. Perkembangan keprigelan; pertanian/peternakan, industry kecil/pekerjaan tangan, koperasi/tabungan dan keprigelan-keprigelan lain.
5. Perkembangan jasmaniah; pendidikan jasmaniah dan pendidikan kesehatan.
Fokus kurikulum 1964 ini lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Pada kurikulum 1964 ini, arah pendidikan mulai merambah lingkup praksis. Dalam pengertian bahwa setiap pelajaran yang diajarkan disekolah dapat berkorelasi positif dengan fungsional praksis siswa dalam masyarakat. Kurikulum masa ini dapat pula dikategorikan sebagai Correlated Curriculum.
2. 3. Kurikulum Pendidikan Masa Orde Baru
1) Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 merupakan tonggak awal pendidikan masa orde baru. Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dengan suatu pertimbangan untuk tujuan pada pembentukan manusia Pancasila sejati.
Dasar pendidikan masa ini adalah Falsafah Negara Pancasila sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XXVI/MPRS/1966. Sedang Tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia pancasila sejati berdasarkan ketentuan ketentuan seperti yang dikehendaki oleh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan isi Undang-Undang Dasar 1945 ( Tap. MPRS No. XXVII/MPRS/1966).
Sementara isi pendidikan nasionalnya adalah; memperingati mental budi pekerti dan memperkuat keyakinan agama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, membina dan mempertimbangkan fisik yang kuat dan sehat ( Tap. MPRS No. XXVII/MPRS/1966).
Kurikulum pada tingkatan SD 1968 dibagi menjadi tiga kelompok besar. Pertama, kelompok pembinaan Pancasila; pendidikan agama, pendidikan kwarganegaraan, pendidikan bahasa Indonesia, bahasa daerah dan olahraga. Kedua, Kelompok pembinaan pengetahuan dasar; berhitung, ilmu pengetahuan alam, pendidikan kesenian, pendidikan kesejahteraan keluarga (termasuk ilmu kesehatan). Ketiga, Kelompok kecakapan khusus; kejuruan agragia (pertanian, peternakan, perikanan), kejuruan teknik (pekerjaan tangan/perbekalan), kejuruan ketatalaksanaan/jasa (koperasi, tabungan).
Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja.
2) Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.
Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar berlangsung. Tiap guru harus detail dalam perencanaan pelaksanaan program belajar mengajar. Setiap tatap muka telah diatur dan dijadwalkan sedari awal. Dengan kurikulum ini semua proses belajar mengajar menjadi sistematis dan bertahap.
Dasar pendidikan masa ini adalah KTPD, MPR-RI No. IV/MPR/1973, yaitu; pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun diri sendiri dan bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Sementara tujuan pendidikan dan pengajaran terbagi pada tujuan pendidikan umum, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.
3) Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung “process skill approach”. Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diperankan dalam pembentukkan suatu pengetahuan dengan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, dan mendiskusikan sesuatu. Sementara dasar dan tujuan pendidikan sama dengan kurikulum 1975
4) Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Dalam ranah pendidikan dasar, isi kurikulum sekurang-kurangnya wajib memuat bahan kajian dan pelajaran: pendidikan pancasila, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, membaca dan menulis, matematika, pengantar sains dan teknologi, ilmu bumi, sejarah nasional dan sejarah umum, kerajinan tangan dan kesenian, pendidikan jasmani dan kesehatan, menggambar, bahasa Inggris.(PP. No. 28 tahun 1990. Pasal 14:2). Sementara materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain.
Dalam kurikulum pendidikan kelas dasar (SD/MI/SMP/MTS) ini, pengantar Sains dan Tekhnologi menempati peran penting untuk dipelajari anak didik meskipun tidak mengabaikan aspek yang lain. Hal ini dimungkinkan sebagai upaya mempersiapkan anak didik memasuki era industrialisasi abad ke-21 dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Sementara berkaitan dengan isi kurikulum tingkat pendidikan menengah, maka setidaknya wajib memuat tiga aspek kajian dan pelajaran yaitu; Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan. Disamping itu, kurikulum sekolah menengah dapat menjabarkan dan menambahkan mata pelajaran sesuai dengan keadaan lingkungan dan ciri khas sekolah menengah yang bersangkutan dengan tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secara nasional (Pasal 15:5)
Atas dasar inilah berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi.
Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut:
Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.
Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).
Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
Pengajaran dari hal yang konkrit ke hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks.
Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman.Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai berikut:
Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/ substansi setiap mata pelajaran.
Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
2.4. Pendidikan pada Masa Reformasi
Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara. Dengan didasarkan oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang diperkuat dengan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka pendidikan digiring pada pengembangan lokalitas, di mana keberagaman sangat diperhatikan. Masyarakat dapat berperan aktif dalam pelaksanaan satuan pendidikan.
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi” atau yang kerap disebut kurikulum KBK.
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989, dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai: “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”.
1) Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004)
Pada pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan sebagai subjek dalam proses pendidikan dengan terbukanya ruang diskusi untuk memperoleh suatu pengetahuan. Siswa justru dituntut untuk aktif dalam memperoleh informasi. Peran guru diposisikan kembali sebagai fasilitator dalam perolehan suatu informasi. KBK berupaya untuk menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Hal ini mutlak diperlukan mengingat KBK juga memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik siswa sebagai subjek pendidikan.
KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah (Depdiknas, 2002). Kurikulum ini menitik beratkan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap serangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh tanggungjawab.
Diantara karakteristik utama KBK, yaitu:
1. Menekankan pencapaian kompetensi siswa, bukan tuntasnya materi.
2. Kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan potensi siswa (normal, sedang, dan tinggi).
3. Berpusat pada siswa.
4. Orientasi pada proses dan hasil.
5. Pendekatan dan metode yang digunakan beragam dan bersifat kontekstual.
6. Guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.
7. Buku pelajaran bukan satu-satunya sumber belajar.
8. Belajar sepanjang hayat;
9. Belajar mengetahui (learning how to know),
10. Belajar melakukan (learning how to do),
11. Belajar menjadi diri sendiri (learning how to be),
12. Belajar hidup dalam keberagaman (learning how to live together).
Meski demikian, kurikulum 2004 merupakan kurikulum eksperimen yang diterapkan secara terbatas di beberapa sekolah/madrasah. Ketentuan ini belum mendapatkan payung hukum dari peraturan pemerintah. Namun demikian, pemerintah tetap menghargai terhadap sekolah/madrasah yang menerapkan kurikulum KBK tersebut. Setidaknya ini tercermin dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 20/2005 tentang ujian nasional tahun ajaran 2005/2006 yang menyatakan bahwa bahan ujian nasional disusun berdasarkan kurikulum 1994 atau standar kompetensi lulusan kurikulum 2004.
2) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
Secara umum KTSP tidak jauh berbeda dengan KBK namun perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (sekolah/madrasah). Sedangkan pemerintah pusat hanya memberi rambu-rambu yang perlu dirujuk dalam pengembangan kurikulum. Jadi pada kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP lebih mendorong pada lokalitas pendidikan. Karena KTSP berdasar pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan secara terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
Dalam kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada tempatnya semula yaitu unsur teoritis dan praksis. Namun, dalam kurikulum ini unsur praksis lebih ditekankan daripada unsur teoritis. Setiap kebijakan yang dibuat oleh satuan terkecil pendidikan dalam menentukan metode pembelajaran dan jenis mata ajar disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sekitar.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia sejalan dengan sejarah perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Ketika Indonesia dalam cengkeraman kolonial, maka kurikulum pendidikan yang dikembangkan adalah demi kepentingan penjajah itu sendiri, baik penjajahan Belanda maupun Jepang. Masa kolonialisme yang panjang dan begitu mengakar dalam kebudayaan Indonesia, disadari ataupun tidak, turut pula memberikan pengaruh terhadap pola pendidikan Indonesia ketika merdeka meskipun dalam hal ini nuansanya lebih keindonesiaannya.
Pendidikan di Indonesia juga tidak jarang masuk dalam bidikan politisi. Ketika orde lama berkuasa, pertentangan ideologi juga menyusupi dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Sekolah sempat dijadikan wahana ideologisasi atau proses internalisasi sosial komunis. Begitu pula ketika orde baru memimpin, maka pelanggengan kekuasaan juga dikoarkan dalam dunia pendidikan dengan pendidikan Pancasilanya, dan menghilangkan hal-hal yang berbau orde lama.
Meski demikian, sejarah kurikulum pendidikan nasional senantiasa mencari formula sesuai dengan perkembangan zaman. Ketika posisi sentralisasi pendidikan dianggap sudah usang dan kurang relevan dengan otonomi daerah, maka pendidikan juga turut mengalami desentralisasi dengan memberikan daerah otonomi sendiri. Bahkan terakhir, pemerintah pusat memberikan kebijakan kepada masing-masing satuan pendidik untuk menentukan silabus yang sesuai dengan kondisi peserta didik. Pemerintah pusat dalam hal ini hanya menentukan standar kompetensi dan kompetensi dasarnya.
3.2. Saran
Penulis sangat menyadari jika dalam makalah sederhana ini masih banyak kekurangan. Karena itu, penulis membuka diri untuk menerima kritik yang membangun guna tersempurnanya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://malikabdulkarim.blogspot.com/2011/05/sejarah-perkembangan-kurikulum.html
http://filsufgaul.wordpress.com/2009/08/30/sejarah-pendidikan-indonesia/http://ebookbrowse.com/sejarah-pendidikan-dari-zaman-kolonial-belanda-sampai-kurikulum-ktsp-pdf-d339796568
Idi, Abdullah. Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. 2011
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.1997.

2 komentar: