STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Sabtu, 01 Februari 2014

Tafsir Tarbawi: ILMU PENGETAHUAN

I.     PENDAHULUAN
Ilmu Pengetahuan merupakan anugerah yang sangat agung dan rahasia Illahi yang paling besar dari sekian banyak rahasia Allah di alam ini. Allah menciptakan dan membentuk manusia dengan perangkat akal dan pikiran yang responsif terhadap berbagai fenomena kehidupan di muka bumi, beserta berbagai macam tanda kebesaran-Nya di jagad raya. Dengan ilmu pengetahuan, manusia dikukuhkan menjadi pembawa risalah kekhalifahan di muka bumi, yang memiliki kewajiban untuk memakmurkan dan mengembangkannya. Dengan dinamika kehidupan dan berbagai pernak-perniknya, berdasarkan petunjuk Rabb-Nya, selaras dengan manhaj dan arahan-Nya, sehingga proses pencarian maupun pengamalan Ilmu Pengetahuan dapat dikategorikan sebagai ibadah.
Berbicara tentang Ilmu Pengetahuan dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ada persepsi bahwa Al-Qur’an itu adalah kitab Ilmu Pengetahuan. Persepsi ini muncul atas dasar isyarat-isyarat Al-Qur’an yang berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan. Dari isyarat tersebut sebagian para ahli berupaya membuktikannya dan ternyata mendapatkan hasil yang sesuai dengan isyaratnya, sehingga semakin memperkuat persepsi tersebut.[1]

II.     RUMUSAN MASALAH
  1. Al-Qur’an surat Al-Mujadalah ayat 11
  2. Al-Qur’an surat Al-Fathir ayat 27-28
  3. Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 79
  4. Al-Qur’an surat Al-Mulk ayat 1-5
III.     PEMBAHASAN
  1. Al-Qur’an surat Al-Mujadalah ayat 11
$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? †Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râ“à±S$# (#râ“à±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_u‘yŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ
11. Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Kata (تفسّحوا) tafassahu dan (افسحوا ) ifsahu terambil dari kata (فسح) fasaha, yakni lapang. Sedang kata (انشزوا) unsyzu terambil dari kata (نشوز) nusyuz, yakni tempat yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih ke tempat yang tinggi. Yang dimaksud di sini pindah ke tempat lain untuk memberi kesempatan kepada yang lebih wajar duduk atau berada di tempat yang wajar pindah itu atau bangkit melakukan satu aktifitas positif. Ada juga yang memahaminya berdirilah dari rumah Nabi, jangan lama-lama di sana, karena boleh jadi ada kepentingan Nabi SAW yang lain dan yang perlu segera beliau hadapi.
Kata ( مجالس) majalis adalah bentuk jamak dari kata ( مجلس) majlis. Pada mulanya berarti tempat duduk. Dalam konteks ayat ini adalah tempat Nabi Muhammad SAW. memberi tuntunan agama ketika itu. Tetapi, yang dimaksud di sini adalah tempat keberadaan secara mutlak, baik tempat duduk, tempat berdiri, atau bahkan tempat berbaring. Karena, tujuan perintah atau tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar serta mengalah kepada orang-orang yang dihormati atau  yang lemah. Seorang tua non-muslim sekalipun jika Anda-wahai yang muda-duduk di bus atau di kereta, sedang dia tidak mendapat tempat duduk, adalah wajar dan beradab jika Anda berdiri untuk memberinya tempat duduk.
Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang berilmu. Tetapi, menegaskan bahwa mereka memiliki derejat-derajat, yakni yang lebih tinggi daripada yang sekedar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan itu sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.
Tentu saja, yang dimaksud dengan ( الّذين اوتواالعلم) alladzina utu al-‘ilm/ yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berati ayat di atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekadar beriman dan beramal saleh dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok yang kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain, baik secara lisan, atau tulisan, maupun dengan keteladanan. Ilmu yang di maksud oleh ayat di atas bukan saja ilmu agama, tetapi ilmu apapun yang bermanfaat.[2]
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘Ilmu yang berarti pengetahuan, merupakan lawan kata jahl yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan. Sumber lain mengatakan bahwa kata ‘ilmu adalah bentuk masdar dari ‘alima, ya’lamu-‘ilman. Menurut Ibn Zakaria, pengarang buku Mu’jam Maqayis al-Lughab bahwa kata ‘ilm mempunyai arti denotatif “bekas sesuatu yang dengannya dapat dibedakan sesuatu dari yang lainnya”. Menurut Ibn Manzur ilmu adalah antonim dari tidak tahu (naqid al-jahl), sedangkan menurut al-Asfahani dan al-Anbari, ilmu adalah mengetahui hakikat sesuatu (indrak al-sya’i bi haqq qatib). Kata ilmu biasa disepadankan dengan kata Arab lainnya, yaitu ma’rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan). Ma’rifah adalah padanan kata yang paling sering digunakan.
Ada dua jenis pengetahuan, yaitu:
  1. Pengetahuan biasa
Pengetahuan biasa diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan, sepperti perasaan, pikiran, pengalaman, panca indra, dan intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa memperhatikan obyek, cara dan kegunaannya.
  1. Pengetahuan ilmiah
Pengetahuan ilmiah merupakan keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu, tetapi dengan memperhatikan obyek yang ditelaah, cara yang digunakaan, dan kegunaan pengetahuan.[3]
وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Allah mengetahui segala perbuatanmu. Tidak ada samar bagi-Nya, siapa yang taat dan siapa yang durhaka di antara kamu. Orang yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, dan orang yang berbuat buruk akan dibalas-Nya dengan apa yang pantas baginya, atau diampuni-Nya.[4]
Dari ayat tersebut dapat diketahui tiga hal sebagai berikut:
Pertama, bahwa para sahabat berupaya ingin saling mendekat pada saat berada di majelis Rasulullah SAW, dengan tujuan agar ia dapat mudah mendengar wejangan dari Rasulullah SAW yang diyakini bahwa dalam wejangannya itu terdapat kebaikan yang amat dalam serta keistimewaan yang agung.
Kedua, bahwa perintah untuk saling meluangkan dan meluaskan tempat ketika berada di majelis, tidak saling berdesakan dan berhimpitan dapat dilakukan sepanjang dimungkinkan, karena cara damikian dapat menimbulkan keakraban di antara sesama orang yang berada di dalam majelis dan bersama-sama dapat mendengar wejangan Rasulullah SAW.
Ketiga, bahwa pada setiap orang yang memberikan kemudahan kepada hamba Allah yang ingin menuju pintu kebaikan dan kedamaian, Allah akan memberikan keluasan kebaikan di dunia dan akhirat.Singkatnya ayat ini berisi perintah untuk memberikan kelapangan dalam mendatangkan setiap kebaikan dan memberikan rasa kebahagiaan kepada setiap orang islam.Atas dasar inilah Rasulullah SAW menegaskan bahwa Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut selalu meolong sesama saudaranya.[5]
  1. Al-Qur’an surat Al-Fathir ayat 27-28
óOs9r& ts? ¨br& ©!$# tAt“Rr& z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB $oYô_t÷zr'sù ¾ÏmÎ/ ;NºtyJrO $¸ÿÎ=tFøƒ’C $pkçXºuqø9r& 4 z`ÏBur ÉA$t6Éfø9$# 7Šy‰ã` ÖÙ‹Î/ ֍ôJãmur ì#Î=tFøƒ’C $pkçXºuqø9r& Ü=ŠÎ/#{xîur ׊qß™ ÇËÐÈ
27. Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.

Kata ( جدد) judad adalah bentuk jamak dari kata ( جدّة) juddah yakni jalan. Kata ( بيض) bidh adalah bentuk jamak dari kata (أبيض) abyadh, kata (سود) adalah bentuk jamak dari kata (أسود) aswad/ hitam, dan kata ( حمر) humur adalah bentuk jamak dari kata ( أحمر) ahmar. Adapun kata ( غرا بيب) gharabib adalah bentuk jamak dari kata ( غربيب) ghirbib yaitu yang pekat (sangat) hitam. Sebenarnya istilah yang lumrah dipakai adalah ( سودغرابيب) sud gharabib/ hitam pekat, tetapi redaksi ayat ini membaliknya untuk menggambarkan kerasnya kepekatan itu.[6]
Pada ayat ini Allah menguraikan beberapa hal yang menunjukkan kesempurnaan dan kekuasaan-Nya, yang dapat dilihat manusia setiap waktu. Jika mereka menyadari dan menginsafi semuanya itu, tentu mereka akan menyadari pula keesaan dan kekuasaan Allah Yang Maha Sempurna itu. Di antara tanda-tanda itu adalah Allah menjadikan sesuatu yang beraneka macamnyayang bersumber dari yang satu. Allah menurunkan hujan dari langit, sehingga tanaman bisa tumbuh dan mengeluarkan buah-buahan yang beraneka ragam warna, rasa, bentuk, dan aromanya sebagaimana yang kita saksikan. Buah-buahan itu warnanya ada yang kuning, merah, hijau dan sebagainya.[7]
šÆÏBur Ĩ$¨Z9$# Å_U!#ur¤$!$#ur ÉO»yè÷RF{$#ur ì#Î=tFøƒèC ¼çmçRºuqø9r& šÏ9ºx‹x. 3 $yJ¯RÎ) Óy´øƒs† ©!$# ô`ÏB ÍnÏŠ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$# 3 žcÎ) ©!$# ͕tã î‘qàÿxî ÇËÑÈ
28. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Al’alim adalah orang yang sangat berpengetahuan atau orang yang mempunyai ilmu pengetahuan mendalam. Pada mulanya akar kata yang terdiri dari kata (‘ain, lam, mim) artinya adanya bekas pada sesuatu yang dengan bekas itu sesuatu tersebut berbeda dengan lainnya. Tanda pada sesuatu disebut juga dengan alamat. ‘Alam juga berarti bendera atau gunung, karena keduanya menjadi tanda. Kata ilmu juga terkait dengan arti  akar kata ini, karena dengan ilmu seseorang akan berbeda dengan orang yang tidak berilmu. Kata al ulama di tujukan kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang apa saja. Dalam konteks keislaman biasanya ungkapan ini untuk menunjukkan kepada orang yang sangat dalam pengetahuan agamanya.[8]
Dan setelah Allah menyebutkan satu persatu tanda-tanda kebesaran, bukti-bukti kekuasaan dan bekas-bekas penciptaan-Nya, maka Dia terangkan pula bahwa semua itu takkan di ketahui sebaik-baiknya kecuali oleh orang-orang yang berilmu tentang rahasia alam semesta yaitu orang-orang yang mengetahui tentang rincian-rincian ciptaan Allah SWT. Mereka itulah yang paham akan hal itu sebaik-baiknya dan mengetahui betapa keras hantaman Allah dan betapa besar tekanan-Nya.
Ada sebuah asar yang diriwayatkan dari  Ibn Abbas bahwa dia berkata, “orang yang berilmu tentang Allah Yang Maha Pencipta di antara hamba-hamba-Nya ialah orang yang tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu pun, menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya, memelihara wasiat-Nya dan yakin bahwa dia akan bertemu dengan-Nya dan memperhitungkan amalnya.”
Sedang Hasan Al-Basri berkata, “Orang yang berilmu ialah orang yang takut kepada Allah Yang Maha Pengasih, sekalipun dia tidak mengetahui-Nya. Dan menyukai apa yang disukai oleh Allah dan menghindari apa yang dimurkai Allah.”[9]
  1. Al-Qur’an Surat an-Nahl ayat 79
óOs9r& (#÷rttƒ ’n<Î) ̍øŠ©Ü9$# ;Nºt¤‚|¡ãB †Îû Èhqy_ Ïä!$yJ¡¡9$# $tB £`ßgä3Å¡ôJムžwÎ) ª!$# 3 ¨bÎ) ’Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcqãYÏB÷sムÇÐÒÈ
79. Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas. tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman.
Ayat ini menggambarkan betapa luasnya kekuasaan Allah SWT melalui burung-burung yang ditundukkan di udara antara langit dan bumi, tidak ada yang menahannya di angkasa dari jauh ke bumi, kecuali Allah Azza wa Jalla dengan kekuasaannya yang luas. Padahal tubuhnya yang berat dan udara yang ringan menharuskan dia untuk jatuh, karena tidak ada gantungan di atasnya dan tidak ada tiang di bawahnya. Sekiranya saja Allah mengambil kekuatan untuk terbang yang telah Dia berikan kepadanya niscaya dia tidak akan kuasa untuk terbang tinggi.
Ulama dahulu mengetahui adanya kerenggangan atmosfir di lapisan-lapisan atas di angkasa. Ini adalah sebuah teori yang baru dipelajari dewasa ini di dalam ilmu-ilmu fisika. Ka’ab Al-Ahbar mengatakan, burung terbang di angkasa setinggi dua belas mil, tidak lebih dari itu.
Sesungguhnya pada penundukan dan penahanan burung di angkasa benar-benar terdapat dalil, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya dan bahwa patung-patung serta berhala tidak mempunyai bagian di dalam uluhiyyah. Dalil tersebut bagi orang yang beriman kepada Allah, dan mengakui-Nya dengan adanya apa yang terlihat oleh padanya mata dan terindra oleh indra-indra mereka.[10]
  1. Al-Qur’an Surat al-Mulk ayat 1-5
x8t»t6s? “Ï%©!$# Ínωu‹Î/ à7ù=ßJø9$# uqèdur 4’n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃ωs% ÇÊÈ   “Ï%©!$# t,n=y{ |NöqyJø9$# no4qu‹ptø:$#ur öNä.uqè=ö7u‹Ï9 ö/ä3•ƒr& ß`|¡ômr& WxuKtã 4 uqèdur Ⓝ͕yèø9$# â‘qàÿtóø9$# ÇËÈ   “Ï%©!$# t,n=y{ yìö7y™ ;Nºuq»yJy™ $]%$t7ÏÛ ( $¨B 3“ts? †Îû È,ù=yz Ç`»uH÷q§9$# `ÏB ;Nâq»xÿs? ( ÆìÅ_ö‘$$sù uŽ|Çt7ø9$# ö@yd 3“ts? `ÏB 9‘qäÜèù ÇÌÈ   §NèO ÆìÅ_ö‘$# uŽ|Çt7ø9$# Èû÷üs?§x. ó=Î=s)Ztƒ y7ø‹s9Î) çŽ|Çt7ø9$# $Y¥Å™%s{ uqèdur ׎Å¡ym ÇÍÈ   ô‰s)s9ur $¨Z­ƒy— uä!$yJ¡¡9$# $u‹÷R‘‰9$# yxŠÎ6»|ÁyJÎ/ $yg»oYù=yèy_ur $YBqã_â‘ ÈûüÏÜ»u‹¤±=Ïj9 ( $tRô‰tGôãr&ur öNçlm; z>#x‹tã ÎŽÏè¡¡9$# ÇÎÈ
1. Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,
2. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,
3. Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang?
4. Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam Keadaan payah.
5. Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.
Yang dimaksud dengan “tangan” dalam ayat ini adalah sifat Allah, bukan nikmat dan kodrat-Nya. Dia adalah benar-benar tangan-Nya secara hakiki, tanpa mempertanyakan bagaimana bentuknya. Tangan yang tidak serupa dengan semua ciptaan-Nya yang akan mengelola kerajaan-Nya sesuai yang Dia kehendaki.
Allah Ta’ala memuliakan diri-Nya sendiri dan memberitahukan bahwa kerajaan itu terletak di tangan-Nya. Dialah Yang Mengatur semua makhluk-Nya sesuai dengan yang Dia kehendaki. Tiddak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya. Dan, Dia tidak akan ditanya tentang perbuatan-Nya, karena Dia adalah Mahakuasa, Mahabijaksana, Mahaadil. Itulah sebabnya Allah Ta’ala berfirman, “Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Kemudian Allah Ta’ala berfirman, “Yang menjadikan mati dan hidup.” Ayat ini menjadi dalil bagi orang yang mengatakan bahwa kematian itu adalah sesuatu yang wujud karena dia adalah makhluk. Adapun makna ayat ini adalah sesungguhnya Dialah yang telah mewujudkan semua makhluk dari yang asalnya tidak ada, dengan tujuan menguji mereka, siapakah di antara mereka yang paling bagus amalnya. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Bagaimanakah mungkin kamu kafir kepada Allah, sedangkan kamu sebelumnya adalah mati, kemudian Dia menghidupkan kamu.” Allah mengistilahkan keadaan yang pertama, yaitu “tidak ada”, dengan kematian. Dan mengistilahkan “kejadian” ini kehidupan. Itulah sebabnya Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian Allah mematikan kamu kemudian menghidupkan kamu.” Dan firman Allah SWT,”Supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya,” dalam ayat ini Allah tidak mengatakan yang paling banyak amalnya. Kemudian Allah SWT berfirman,“Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” Yaitu Dialah Yang Mahaperkasa, Yang Mahaagung, dan zat Yang Mahagagah. Walaupun demikian, Dia adalah Yang Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat kepada-Nya dan kembali setelah sebelumnya menduharkai dan menentang perintah-Nya.
Kemudian firman Allah SWT, “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.” Yaitu satu tingkat demi satu tingkat. Namun, apakah mereka sambung menyambung, dengan kata lain, apakah sebagiannya berada di atas sebagian yang lain, ataukah terpisah oleh suatu ruang yang hampa. Ada dua pandangan mengenai masalah ini, namun yang paling kuat adalah pendapat yang kedua, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh hadits isra Nabi SAW. Kemudian Firman Allah Ta’ala, “Kamu sama sekali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.” Yaitu, padanya tidak ikhtilaf, kesimpangsiuran, pertentengan, kekurangan, aib, dan cacat. Itulah sebabnya selanjutnya Allah Ta’ala berfirman, “Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” Yaitu, lihatlah ke langit, kemudian renungkanlah, apakah kamu melihat ada aib, kekurangan, cacat, atau keretakan di sana?
Kemudian firman Allah SWT, “Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat.” Yaitu, bila kamu memandang dengan berulang-ulang sesuai dengan kehendak kamu, maka pastilah pandanganmu itu akan kembali dengan tidak melihat suatu cacat dan aib apapun. “Dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” Sebab, terlalu sering mengulang-ulang pandangan dan tidak juga mendapatkan kekurangan di sana. Manakala Allah menegaskan bahwa di sana tidak terdapat kekurangan apapun maka Allah pun segera menjelaskan kesempurnaan dan keindahannya. Firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang dekat dengan bintang-bintang,” yaitu bintang gemintang yang ditempatkan di sana, baik yang beredar maupun yang tetap.
Firman Allah Ta’ala, “Dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan.” Maksudnya dengan sejenis bintang, bukan dengan bintang itu sendiri, sebab setan itu tidak dilempari dengan bintang-bintang yang ada di langit, tetapi dengan bola-bola api yang ada di bawahnya. Dan, kadang-kadang pelempar itu merupakan pecahan dari bintang itu sendiri.
Firman Allah Ta’ala, “Dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.” Yaitu, Kami jadikan kehinaan di dunia ini untuk setan-setan itu dan akan Kami sediakan di akhirat nanti siksa yang menyala-nyala. Qatadah mengatakan, “Bintang-bintang ini diciptakan hanyalah untuk tiga fungsi. Diciptakan Allah untuk menghiasi langit, melempari setan-setan, dan tanda-tanda yang dapat dipakai sebagai petunjuk. Orang yang menakwilkan di luar dari tiga hal ini, berarti dia mengatakan berdasarkan nalarnya saja, tersesat, menyia-nyiakan nasibnya, dan membebani diri dengan sesuatu yang tidak diketahuinya.”[11]
IV.            KESIMPULAN
Dari uraian ayat-ayat di atas, dapat ditarik kesimpulan diantaranya:
  1. Allah akan lebih meninggikan derajat orang-orang yang beriman serta berilmu pengetahuan, dibandingkan dengan orang-orang yang hanya sekedar beriman saja.
  2. Ada dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah.
  3. Ulama’ adalah orang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang apa saja.
  4. Sumber ilmu pada garis besarnya ada dua, yaitu:
a)      Ilmu yang bersumber pada wahyu (al-Qur’an) yang menghasilkan ilmu naqli.
b)      Ilmu yang bersumber pada alam melalui penalaran yang menghasilkan ilmu aqli.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghiy juz XIV. Semarang: Toha Putra, 1989
Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghiy juz XXII. Semarang: Toha Putra, 1992
Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghiy juz XXVIII. Semarang: Toha Putra, 1989
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Tafsir Ibnu Katsir  jilid IV. Jakarta: Gema Insani Press, 2000
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya jilid VIII. Jakarta: Lentera Abadi, 2010
Munir, Ahmad, Tafsir Tarbawi cet.1.  Yogyakarta: Teras, 2008
Nata, abuddin, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002
Shihab, M.Quraish, Tafsir Al-Misbah vol. 13. Jakarta: Lentera Hati, 2002

[1] Dr. Ahmad Munir, MA, Tafsir Tarbawi  cet.I (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 80
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 490-491
[3] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafido Persada, 2002), hlm. 155-156
[4] Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, juz XXVIII, (semarang: CV Toha Putra, 1989), hlm. 26
[5] Abuddin Nata, op.cit., hlm. 29
[6] M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 464
[7] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid VIII, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 161
[8] Kementrian Agama RI, Ibid., hlm. 160
[9] Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, juz XXII, op.cit., hlm. 219-220
[10] Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, juz XIV, op.cit., hlm. 212-213
[11] M. Nasib ar- Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid IV, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 762-763

Tidak ada komentar:

Posting Komentar