Sebagai manusia kita tidak akan pernah dipisahkan dengan yang namanya pinjam-meminjam atau ‘ariyah. Karena kita bahwa semua yang kita butuhkan itu tidak semuanya kita memilikinya. Oleh karena itulah maka adanya pinjam-meminjam atau ‘ariyah. Dalam makalah ini kami akan menjelaskan rukun, syarat, dan dalil-dalil yang membahas mengenai ‘ariyah atau pinjam-meminjam.
Menurut Bahasa ‘ariyah adalah memberi manfaat tanpa imbalan. Sedangkan ‘ariyah menurut syara’ ialah memberikan manfaat dari sesuatu yang halal dimanfaatkan kepada orang lain, dengan tidak merusakkan zatnya, agar zat barang itu nantinya bisa dikembalikan lagi kepada yang mempunyai. Tiap-tiap yang mungkin diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zat barang itu, boleh dipinjam atau dipinjamkan.
‘Ariyah disyariatkan berdasarkan dalil-dalil berikut :
- Firman Allah Ta’ala
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan taqwa kepada Allah dan janganlah kamu bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan bermusuhan.” (Al Maidah : 2)
- Firman Allah Ta’ala
“Dan enggan(menolong dengan) barang berguna.” (Al Ma’un : 7)
- Sabda Rosulullah SAW
“Pinjaman wajib dikembalikan dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar” (riwayat Abu Daud dan Tirmidzi)
Hukum ‘Ariyah
Hukum ‘ariyah adalah sunnah berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al Maidah ayat 2, akan tetapi bisa jadi ‘ariyah itu hukumnya menjadi wajib, misalnya meminjamkan pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati. Dan hukumnya bisa haram apabila barang yang dipinjam itu digunakan untuk sesuatu yang haram atau dilarang oleh agama. Karena jalan menuju sesuatu, hukumnya sama dengan hukum yang dituju.
Diantara hukum-hukum ‘ariyah adalah sebagai berikut :
1. Sesuatu yang dipinjamkan harus sesuatu yang mubah(diperbolehkan). Jadi seseorang tidak boleh meminjamkan budak wanita kepada orang lain untuk digauli atau seseorang tidak boleh meminjamkan orang muslim untuk melayani orang kafir atau meminjamkan parfum haram atau pakaian yang diharamkan, karena Allah Ta’ala berfirman :
“Dan jangan kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al Maidah:2)
2. Jika mu’ir (pihak yang meminjamkan) mengisyaratkan bahwa musta’ir (peminjam) berkewajiban mengganti barang yang dipinjam jika dia merusak barang yang dipinjam, maka musta’ir wajib menggantinya, karena Rosulullah SAW bersabda :
“Kaum muslimin itu berdasarkan syarat-syarat mereka.”(riwayat Abu Daud dan Al Hakim)
Jika mu’ir tidak mengisyaratkan, kemudian barang pinjaman rusak bukan karena kesalahan musta’ir atau tidak karena disengaja, maka musta’ir tidak wajib mengganti, hanya saja dia disunnahkan untuk menggantinya, karena Rosulullah SAW bersabda kepada salah seorang istrinya yang telah memecahkan salah Satu tempat makanan.
“makanan dengan makanan dan tempat dengan tempat.” (diriwayatkan Al Bukhari).
Namun jika kerusakannya hanya sedikit disebabkan karena dipakai dengan izin tidaklah patut diganti, karena terjadinya sebab pemakaian yang diizinkan.(ridlo kepada sesuatu berarti ridlo pula kepada akibatnya).
Jika barang pinjaman mengalami kerusakan karena kesalahan dan disengaja oleh musta’ir, dia wajib menggantinya dengan barang yang sama atau dengan uang seharga barang pinjaman tersebut, karena Rosulullah SAW bersabda :
“Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya.” (Diriwayatkan Abu Daud, At Tirmidzi dan Al Hakim yang men-shahih-kannya).
3. Musta’in (peminjam) harus menanggung biaya pengangkutan barang pinjaman ketika ia mengembalikannya kepada mu’ir jika barang pinjaman tersebut tidak bisa diangkut kecuali oleh kuli pengangkut atau dengan taksi.
Rosulullah bersabda :
“Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya.”(diriwayatkan Abu Daud, At Tarmidzi dan Al Hakim)
4. Musta’in tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya. Adapun meminjamkannya kepada orang lain dibolehkan, dengan syarat mu’in merelakannya.
5. Pada tiap-tiap waktu, yang meminjam ataupun yang meminjamkan boleh memutuskan aqad asal tidak merugikan kepada salah seorang di antara keduanya. Jika seseorang meminjamkan kebun untuk dibuat tembok, ia tidak boleh meminta pengembalian kebun tersebut hingga tembok tersebut roboh. Begitu juga orang yang meminjamkan sawah untuk ditanami, ia tidak boleh meminta pengembalian sawah tersebut hingga tanaman yang ditanam diatas sawah tersebut telah dipanen, karena menimbulkan mudharat kepada seorang muslim itu haram.
6. Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, dia disunahkan tidak meminta pengembaliannya kecuali setelah habisnya batas waktu peminjaman.
Rukun Meminjamkan :
1. Ada yang meminjamkan, syaratnya yaitu :
a. Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya. Anak kecil dan orang yang dipaksa, tidak sah meminjamkan.
b. Manfaat barang yang dipinjamkan dimiliki oleh yang meminjamkan, sekalipun dengan jalan wakaf atau menyewa karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan bersangkutan dengan zat. Oleh karena itu, orang yang meminjam tidak boleh meminjamkan barang yang dipinjamnya karena manfaat barang yang dipinjamnya bukan miliknya. Dia hanya diizinkan mengambilnya tetapi membagikan manfaat yang boleh diambilnya kepada yang lain, tidak ada halangan. Misalnya dia meminjam rumah selama 1 bulan tetapi hanya ditempati selama 15 hari, maka sisanya boleh diberikan kepada orang lain.
2. Ada yang meminjam, hendaklah seorang yang ahli (berhak) menerima kebaikan. Anak kecil dan orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima kebaikan.
3. Ada barang yang dipinjam, syaratnya :
a. Barang yang benar-benar ada manfaatnya
b. Sewaktu diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak).
4. Ada lafadz. Menurut sebagian orang sah dangan tidak berlafadz.
Syarat Sahnya ‘Ariyah :
Untuk sahnya ‘ariyah ada empat syarat yang wajib dipenuhi :
1. Pemberi pinjaman hendaknya orang yang layak berbaik hati. Oleh karena itu, ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang ditahan hartanya tidak sah.
2. Manfaat dari barang yang dipinjamkan itu hendaklah milik dari yang meminjamkan. Artinya, sekalipun orang itu tidak memiliki barang, hanya memiliki manfaatnya saja, dia boleh meminjamkannya, karena meminjam hanya bersangkut dengan manfaat, bukan bersangkut dengan zat.
3. Barang yang dipinjamkan hendaklah ada manfaatnya. Maka tidak sah meminjamkan barang yang tidak berguna. Karena sia-sia saja tujuan peminjaman itu.
4. Barang pinjaman harus tetap utuh, tidak boleh rusak setelah diambil manfaatnya, seperti kendaraan, pakaian maupun alat-alat lainnya. Maka tidak sah meminjamkan barang-barang konsumtip, karena barang itu sendiri akan tidak utuh, seperti meminjamkan makanan, lilin dan lainnya. Karena pemanfaatan barang-barang konsumtip ini justru terletak dalam menghabiskannya. Padahal syarat sahnya ‘ariyah hendaklah barang itu sendiri tetap utuh.
MAKALAH FIQIH TENTANG ARIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
Kegiatan ekonomi yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari bahkan tanpa kita sadari, pinjam-meminjam sering kita lakukan. Berbicara mengenai pinjaman (‘Ariyah), maka perlu kita bahas mengenai dasar hukum ariyah.
Apa sebenarnya ariyah itu? Bagaimana dasar hukum serta rukun dan syarat Ariyah? Dan apakah pembayaran / pengambilan pinjaman itu telah sesuai atau tidak? Untuk itu kita perlu mengetahui bagaimana pengembalian yang sesuai dengan syara . agar kita bisa menerapkan dalam kehidupan nyata.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memberi pengetahuan kepada pembaca umumnya dan saya khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan ‘ariyah dan hukumnya, sehinga kita dapat mengaplikasikanya dalam kegiatan kita sehari-hari. Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
A. Pengertian
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat:
1. menurut Hanafiyah, ariyah ialah:
“memiliki manfaat secara Cuma-Cuma”
2. menurut malikiyah, ariyah ialah:
“Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.
3. Menurut syafiiyah, ariyah adalah:
“Kebolehan mengambil manfaat dari sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4. menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah:
“kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
5. Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di ganti
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila diganti dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ariyah.
B. Dasar Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah:
“dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.”
(Al-Maidah:2)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa:58)
Selain dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah Al-Hadis, ialah:
“barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”
(Riwayat Abu Daud)
“orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya)”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah satu, yaitu ijiab dan Kabul, tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijiab Kabul dengan ucapan.
Menurut Syafiiyah, rukun ariyah adalah sebagai berikut:
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “ saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Mus’tair yaitu orang yang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mus’tair adalah:
baligh
berakal
orang tersebut tidak dimahjur(dibawah curatelle) atau orang yang berada dibawah perlindungan, seperti pemboros.
3. Benda yang diutangkan, pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang matwrinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara, seperti meminjam benda-benda najis.
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda:
“ Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
(Riwayat Bukhari dan Muaslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Rasulallah Saw. Bersabda:
“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulallah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasu bersabda:
“ Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik”
(Riwayat Ahmad)
Jika penambahan itu dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda:
“ Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”
( Dikeluarkan oleh Baihaqi).
E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
F. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik arena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demonian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.
Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, pemin jam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”
(Dikeluarkan ai-Daruquthin)
G. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilia sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut:
a. Sesuai dengan QS. Al-Bazaar: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tresebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.
c. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembelikan, maka yang berpiutang hedaknya membalaskannya.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berari berbuat zalim.
BAB III
KESIMPULAN
‘Ariyah (pinjaman) adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Apabila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ¸’Ariyah.
Dalam ‘ariyah ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi, rukun ‘ariyah yaitu adanya akad (ijab dan qabul), Orang-orang yang berakad, dan barang yang dipijamkan.
Menurut Bahasa ‘ariyah adalah memberi manfaat tanpa imbalan. Sedangkan ‘ariyah menurut syara’ ialah memberikan manfaat dari sesuatu yang halal dimanfaatkan kepada orang lain, dengan tidak merusakkan zatnya, agar zat barang itu nantinya bisa dikembalikan lagi kepada yang mempunyai. Tiap-tiap yang mungkin diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zat barang itu, boleh dipinjam atau dipinjamkan.
‘Ariyah disyariatkan berdasarkan dalil-dalil berikut :
- Firman Allah Ta’ala
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan taqwa kepada Allah dan janganlah kamu bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan bermusuhan.” (Al Maidah : 2)
- Firman Allah Ta’ala
“Dan enggan(menolong dengan) barang berguna.” (Al Ma’un : 7)
- Sabda Rosulullah SAW
“Pinjaman wajib dikembalikan dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar” (riwayat Abu Daud dan Tirmidzi)
Hukum ‘Ariyah
Hukum ‘ariyah adalah sunnah berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al Maidah ayat 2, akan tetapi bisa jadi ‘ariyah itu hukumnya menjadi wajib, misalnya meminjamkan pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati. Dan hukumnya bisa haram apabila barang yang dipinjam itu digunakan untuk sesuatu yang haram atau dilarang oleh agama. Karena jalan menuju sesuatu, hukumnya sama dengan hukum yang dituju.
Diantara hukum-hukum ‘ariyah adalah sebagai berikut :
1. Sesuatu yang dipinjamkan harus sesuatu yang mubah(diperbolehkan). Jadi seseorang tidak boleh meminjamkan budak wanita kepada orang lain untuk digauli atau seseorang tidak boleh meminjamkan orang muslim untuk melayani orang kafir atau meminjamkan parfum haram atau pakaian yang diharamkan, karena Allah Ta’ala berfirman :
“Dan jangan kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al Maidah:2)
2. Jika mu’ir (pihak yang meminjamkan) mengisyaratkan bahwa musta’ir (peminjam) berkewajiban mengganti barang yang dipinjam jika dia merusak barang yang dipinjam, maka musta’ir wajib menggantinya, karena Rosulullah SAW bersabda :
“Kaum muslimin itu berdasarkan syarat-syarat mereka.”(riwayat Abu Daud dan Al Hakim)
Jika mu’ir tidak mengisyaratkan, kemudian barang pinjaman rusak bukan karena kesalahan musta’ir atau tidak karena disengaja, maka musta’ir tidak wajib mengganti, hanya saja dia disunnahkan untuk menggantinya, karena Rosulullah SAW bersabda kepada salah seorang istrinya yang telah memecahkan salah Satu tempat makanan.
“makanan dengan makanan dan tempat dengan tempat.” (diriwayatkan Al Bukhari).
Namun jika kerusakannya hanya sedikit disebabkan karena dipakai dengan izin tidaklah patut diganti, karena terjadinya sebab pemakaian yang diizinkan.(ridlo kepada sesuatu berarti ridlo pula kepada akibatnya).
Jika barang pinjaman mengalami kerusakan karena kesalahan dan disengaja oleh musta’ir, dia wajib menggantinya dengan barang yang sama atau dengan uang seharga barang pinjaman tersebut, karena Rosulullah SAW bersabda :
“Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya.” (Diriwayatkan Abu Daud, At Tirmidzi dan Al Hakim yang men-shahih-kannya).
3. Musta’in (peminjam) harus menanggung biaya pengangkutan barang pinjaman ketika ia mengembalikannya kepada mu’ir jika barang pinjaman tersebut tidak bisa diangkut kecuali oleh kuli pengangkut atau dengan taksi.
Rosulullah bersabda :
“Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya.”(diriwayatkan Abu Daud, At Tarmidzi dan Al Hakim)
4. Musta’in tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya. Adapun meminjamkannya kepada orang lain dibolehkan, dengan syarat mu’in merelakannya.
5. Pada tiap-tiap waktu, yang meminjam ataupun yang meminjamkan boleh memutuskan aqad asal tidak merugikan kepada salah seorang di antara keduanya. Jika seseorang meminjamkan kebun untuk dibuat tembok, ia tidak boleh meminta pengembalian kebun tersebut hingga tembok tersebut roboh. Begitu juga orang yang meminjamkan sawah untuk ditanami, ia tidak boleh meminta pengembalian sawah tersebut hingga tanaman yang ditanam diatas sawah tersebut telah dipanen, karena menimbulkan mudharat kepada seorang muslim itu haram.
6. Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, dia disunahkan tidak meminta pengembaliannya kecuali setelah habisnya batas waktu peminjaman.
Rukun Meminjamkan :
1. Ada yang meminjamkan, syaratnya yaitu :
a. Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya. Anak kecil dan orang yang dipaksa, tidak sah meminjamkan.
b. Manfaat barang yang dipinjamkan dimiliki oleh yang meminjamkan, sekalipun dengan jalan wakaf atau menyewa karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan bersangkutan dengan zat. Oleh karena itu, orang yang meminjam tidak boleh meminjamkan barang yang dipinjamnya karena manfaat barang yang dipinjamnya bukan miliknya. Dia hanya diizinkan mengambilnya tetapi membagikan manfaat yang boleh diambilnya kepada yang lain, tidak ada halangan. Misalnya dia meminjam rumah selama 1 bulan tetapi hanya ditempati selama 15 hari, maka sisanya boleh diberikan kepada orang lain.
2. Ada yang meminjam, hendaklah seorang yang ahli (berhak) menerima kebaikan. Anak kecil dan orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima kebaikan.
3. Ada barang yang dipinjam, syaratnya :
a. Barang yang benar-benar ada manfaatnya
b. Sewaktu diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak).
4. Ada lafadz. Menurut sebagian orang sah dangan tidak berlafadz.
Syarat Sahnya ‘Ariyah :
Untuk sahnya ‘ariyah ada empat syarat yang wajib dipenuhi :
1. Pemberi pinjaman hendaknya orang yang layak berbaik hati. Oleh karena itu, ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang ditahan hartanya tidak sah.
2. Manfaat dari barang yang dipinjamkan itu hendaklah milik dari yang meminjamkan. Artinya, sekalipun orang itu tidak memiliki barang, hanya memiliki manfaatnya saja, dia boleh meminjamkannya, karena meminjam hanya bersangkut dengan manfaat, bukan bersangkut dengan zat.
3. Barang yang dipinjamkan hendaklah ada manfaatnya. Maka tidak sah meminjamkan barang yang tidak berguna. Karena sia-sia saja tujuan peminjaman itu.
4. Barang pinjaman harus tetap utuh, tidak boleh rusak setelah diambil manfaatnya, seperti kendaraan, pakaian maupun alat-alat lainnya. Maka tidak sah meminjamkan barang-barang konsumtip, karena barang itu sendiri akan tidak utuh, seperti meminjamkan makanan, lilin dan lainnya. Karena pemanfaatan barang-barang konsumtip ini justru terletak dalam menghabiskannya. Padahal syarat sahnya ‘ariyah hendaklah barang itu sendiri tetap utuh.
MAKALAH FIQIH TENTANG ARIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
Kegiatan ekonomi yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari bahkan tanpa kita sadari, pinjam-meminjam sering kita lakukan. Berbicara mengenai pinjaman (‘Ariyah), maka perlu kita bahas mengenai dasar hukum ariyah.
Apa sebenarnya ariyah itu? Bagaimana dasar hukum serta rukun dan syarat Ariyah? Dan apakah pembayaran / pengambilan pinjaman itu telah sesuai atau tidak? Untuk itu kita perlu mengetahui bagaimana pengembalian yang sesuai dengan syara . agar kita bisa menerapkan dalam kehidupan nyata.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memberi pengetahuan kepada pembaca umumnya dan saya khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan ‘ariyah dan hukumnya, sehinga kita dapat mengaplikasikanya dalam kegiatan kita sehari-hari. Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
A. Pengertian
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat:
1. menurut Hanafiyah, ariyah ialah:
“memiliki manfaat secara Cuma-Cuma”
2. menurut malikiyah, ariyah ialah:
“Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.
3. Menurut syafiiyah, ariyah adalah:
“Kebolehan mengambil manfaat dari sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4. menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah:
“kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
5. Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di ganti
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila diganti dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ariyah.
B. Dasar Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah:
“dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.”
(Al-Maidah:2)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa:58)
Selain dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah Al-Hadis, ialah:
“barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”
(Riwayat Abu Daud)
“orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya)”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah satu, yaitu ijiab dan Kabul, tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijiab Kabul dengan ucapan.
Menurut Syafiiyah, rukun ariyah adalah sebagai berikut:
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “ saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Mus’tair yaitu orang yang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mus’tair adalah:
baligh
berakal
orang tersebut tidak dimahjur(dibawah curatelle) atau orang yang berada dibawah perlindungan, seperti pemboros.
3. Benda yang diutangkan, pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang matwrinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara, seperti meminjam benda-benda najis.
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda:
“ Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
(Riwayat Bukhari dan Muaslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Rasulallah Saw. Bersabda:
“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulallah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasu bersabda:
“ Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik”
(Riwayat Ahmad)
Jika penambahan itu dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda:
“ Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”
( Dikeluarkan oleh Baihaqi).
E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
F. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik arena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demonian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.
Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, pemin jam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”
(Dikeluarkan ai-Daruquthin)
G. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilia sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut:
a. Sesuai dengan QS. Al-Bazaar: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tresebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.
c. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembelikan, maka yang berpiutang hedaknya membalaskannya.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berari berbuat zalim.
BAB III
KESIMPULAN
‘Ariyah (pinjaman) adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Apabila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ¸’Ariyah.
Dalam ‘ariyah ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi, rukun ‘ariyah yaitu adanya akad (ijab dan qabul), Orang-orang yang berakad, dan barang yang dipijamkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar