STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 28 Juni 2011

Asas-asas Ekonomi Islam

Pendahuluan
Secara de facto aktivitas ekonomi telah dilakukan oleh seluruh suku bangsa di dunia, dari mulai suku bangsa paling primitive hingga suku bangsa paling modern saat ini. Maka tidaklah mengherankan jika aktivitas ini menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan umat manusia, dari dahulu hingga sekarang dan akan terus berlangsung hingga masa yang akan datang.
Aktivitas ekonomi telah membawa sutera-sutera halus dari Cina mengembara ke gurun-gurun Sahara, ia juga telah menarik kristal-kristal Eropa menuju pedalaman Asia. Semua itu terjadi karena aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh umat manusia sepanjang sejarah.
Aktivitas ekonomi juga terjadi di lembah gersang Mekah, berbagai pola dan sistem ekonomi telah berlangsung selama berabad-abad di sini. Kaum Quraisy sebagai salah satu suku pebisnis telah mengarungi gurun-gurun pasir untuk melakukan kegiatan bisnis mereka. Aktivitas ekonomi mereka telah masyhur di berbagai belahan negeri, dari kegiatan bisnis berskala regional yang dilakukan di antara mereka, hingga bisnis berskala internasional yang dilakukan pada setiap bulan Dzulhijjah di Ukaz Expo, Pasar Festival di Dzul Majaz dan Pasar Majaz (Al-Mubarakfury, 1998 : 43). Selain itu mereka juga telah terbiasa melakukan bisnis dalam skala global, hal ini seperti termaktub dalam Al-Qur'an :
لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ(1)إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ
Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.QS Quraisy : 1-2.
Kebiasaan yang mereka lakukan pada musim dingin dam musim panas adalah dalam rangka perjalanan untuk berbisnis ke berbagai tempat di penjuru dunia.
Kondisi perekonomian mereka maju dengan nilai surplus perdagangan yang berlimpah.  Walaupun kondisi ekonomi sebagian mereka mapan ternyata sistem ekonomi yang mereka anut banyak bertentangan dengan nilai-nilai Ilahiyah dan tidak membawa kemaslahatan bagi seluruh manusia. Sebagian kecil mereka ada yang sangat kaya hingga hampir pekerjaannya setiap hari adalah menghambur-hamburkan uang, sementara sebagian besar yang lain hidup dalam kemelaratan dan menjadi budak yang dijualbelikan.
Hal inilah yang menjadikan sistem ekonomi mereka tidak membawa kemaslahatan bagi seluruh lapisan masyarakat. Ini terbukti dengan maraknya praktek riba yang bersifat 'ad'afan mudha'afa. Selain itu dijualbelikannya berbagai jenis khamr semakin membuat sistem perekonomian mereka selaras dengan kondisi sosial kemasyarakatannya yang Jahiliyah.  
Dalam keadaan sistem ekonomi yang demikianlah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa salam diutus untuk mendakwahkan tauhidullah, melenyapkan segala bentuk perbudakan kepada berhala. Selain itu beliau diutus untuk membentuk sebuah masyarakat Islami yang berpedoman kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih.
Di bidang ekonomi beliau juga memberikan dasar-dasar dan batasan-batasan dalam berbagai aktivitas ekonomi, kerububiyahan Allah ta'ala, larangan mengkonsumsi khamr, memungut riba, melakukan perjudian dan berbagai bentuk distorsi pasar. Semua itu adalah sebuah tindakan preventif yang beliau lakukan sebagai awal sebuah pembentukan sistem ekonomi yang Islami. 
Setelah beliau hijrah ke Madinah beliau melanjutkan berbagai inovasi di bidang ekonomi, dengan bimbingan wahyu dari Allah ta'ala. Beliau telah membuat sebuah dasar-dasar bagi berjalannya sebuah aktivitas sistem ekonomi yang memiliki karakteristik tersendiri karena dibimbing oleh Yang Maha Mencipta.
Pada hakikatnya teori ekonomi yang beliau gagas adalah sebuah model baru yang tidak pernah ada sebelumnya. Ia sangat berbeda dengan sistem kapitalis yang datang belakangan, atau ia juga bukan jiplakan dari sistem sosialis. Ia berdiri sendiri sebelum sistem ekonomi lainnya menjadi sebuah teori. Maka kewajiban bagi setiap muslim untuk menggali sistem ekonomi Islam ini. 
Bagaimana dasar-dasar sistem ekonomi yang telah beliau pancangkan? Pembahasan ini akan menggali secara mendalam dasar-dasar atau asas-asas ekonomi yang telah beliau pancangkan sejak beliau berada di Mekah hingga hijrah ke Madinah.

Pengertian
Sebelum kita membahas lebih mendalam mengenai asas-asas ekonomi Islam, maka kita akan melihat pengertian dari ekonomi dalam ruang lingkup global. Ekonomi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu kata oikonomia, kata ini terdari dua rangkaian kata yaitu "Oikos" yang berarti rumah tangga dan kata "Nomos" yang berarti mengatur. Gabungan keduanya bermakna mengatur rumah tangga. Kata ekonomi juga bisa berarti menggunakan sesuatu dengan tepat guna (hemat) atau bisa juga bermakna kekayaan.
Adapun makna Islam  secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu lafadz السلام - أسلم – يسلم - إسلاما (al-salam-aslama-yaslimu-islaman), yang artinya kesejahteraan, kedamaian serta sifat tunduk patuh (Ibnu Mandzur : Lisan Al-Arab).
Sedangkan Islam menurut istilah yaitu :
الإستسلام لله بالتوحيد والانقياد له بالطاعة والبراءة من الشرك وأهله
"Penyerahan diri kepada Allah ta'ala serta tunduk dengan penuh ketaatan serta berlepas diri dari syirik dan para pelakunya." (Al-Utsaimin, Syarh Ushul Tsalatsah : 2004).
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam itu adalah sebuah jalan hidup berupa ketundukan dan penyerahan diri hanya kepada Allah ta'ala saja.
Ada beberapa cendekiawan muslim yang memberikan pengertian Islam dengan “Rangkaian ibadah kepada Allah ta'ala dengan apa-apa yang disyariatkanNya, ia berlaku sejak Nabi pertama di utus hingga hari kiamat tiba"
Dari sini makna ekonomi Islam berarti sebuah sistem ekonomi yang didasarkan pada norma-norma dan adab-adab dalam syariat Islam. Ia merupakan bagian tak terpisahkan dari syari'ah Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia. Jika dikatakan sistem ekonomi Islam berarti sistem ekonomi yang berdiri sendiri dan tidak akiatannya dengan sistem ekonomi lainnya. Ia merupakan sistem yang diturunkan dari Allah ta'ala yang telah menciptakan manusia, sehingga sistem ini adalah sistem Ilahiyah. Walaupun demikian bukan berarti sistem ini tidak memerlukan adanya ijtihad dan pembaharuan dalam beberapa bagiannya. Sebagaimana hukum Islam lainnya, ia menerima setiap kritik dan pemikiran baru yang dihasilakn dari analisa yang qath'i. Dari sinilah sistem ekonomi Islam akan terus maju dan berkembang seiring kehidupan manusia. Ia tidak lekang dimakan zaman, dengan kata lain selalu up to date di mana saja dan kapan saja.
Ekonomi Islam : Sebuah Sistem Ekonomi
Apakah ekonomi Islam sebuah system ekonomi ? untuk menjawab pertanyaan ini mari kita ketahui bersama apa yang dimaksud dengan sistem. Urgensinya adalah untuk menjawab subhat beberapa pihak yang menganggap bahwa ekonomi Islam hanyalah sebuah norma dan etika ekonomi saja. Padahal ekonomi Islam adalah sebuah sistem ekonomi yang terkait erat dengan tiga pokok kegiatan ekonomi yaitu produksi, distribusi dan konsumsi.
Dalam Webster's New Collegiate Dictionary system didefinisikan sebagai " …..a regulary interacting or interdependent group of items forming a unified whole". Sementara Henri Pratt Faerchild mendefinisikannya dengan "….system … an aggregate of related interest or activities. There is the assumption of an organization of part or phases in onderly arrangement a philosophy in all its related phases may be so regarded, also a communication or transportation system, or an economic system. Whatever the system its related character is identified by harmony in operation an integration of its structure".
Dari definisi di atas kita dapat melihat bahwa elemen-elemen atau sub system yang terdapat dalam suatu system dan mencirikan system tersebut adalah :
1.Terdapat suatu komplek keseluruhan elemen-elemen atau bagian-bagian.
2.Setiap elemen tersebut dicirikan dengan interrelasi.
3.Elemen-elemannya saling terintegrasi naumn bersifat otonom atau entitas (entity).
4.Entitas tersebut ditujukan ke arah pencapaian sasaran tertentu terdapat suatau integrasi elemen yang diatur dan disusun dengan mengingat sarana, arti dan hakekat bagi adanya sistem yang bersangkutan. (Suharyono, 2003 : 1.2). 
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa setiap sistem harus ada dan didukung oleh subsistem baik intern maupun ekstern. Karena tiap-tiap sub sistem mempunyai interaksi sehingga mekanisme sistem berjalan normal dan diharapkan dapat mengarah ke hal yang lebih baik.
Korelasi dengan sistem ekonomi adalah bahwa sistem ekonomi merupakan organisasi yang terdiri dari sejumlah lembaga atau pranata (ekonomi-sosial-politik-ide-ide) yang saling mempengaruhi satu sama lain yang ditujukan ke arah pemecahan problem-problem produksi, distribusi dan konsumsi yang merupakan dasar setiap perekonomian demi tercapainya kemakmuran masyarakat.
Dari sinilah Islam mengambil perannya sebagai sebuah sistem, ia merupakan bagian integral dalam sebuah sistem sosial Islami yang merupakan subsistem dari syariah Islam yang sangat luas ini. Sehingga ia merupakan manhaj al-hayat (way of life) bagi setiap muslim.
Bahkan lebih jauh lagi kebenaran sistem ekonomi Islam akan dirasakan tidak hanya oleh muslim tapi juga bagi orang-orang di luar muslim. Hal ini terbukti dengan banyaknya nasabah bank syariah yang ternyata adalah non-muslim. Demikian pula sifat Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ(107)
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. QS Al-Anbiyaa : 107.
Sistem ekonomi Islam adalah sebuah sistem ekonomi yang didasarkan atas keyakinan dan pandangan hidup setiap muslim. Tentu sistem ini akan mengakomodir semua kebutuhan manusia akan sebuah sistem ekonomi, dan ia tentu cocok dengan segala tempat dan zaman.
Mengenai hal ini, menarik sekali apa yang disebutkan oleh Pande Silalahi yang berpendapat "Sistem yang cocok dengan suatu bangsa pada hakekatnya harus didasarkan kepada pandangan hidup bangsa yang bersangkutan, atau ia harus menjelma sesuai pandangan hidup dari bangsa tersebut".
Sistem ekonomi Islam adalah sebuah jelmaan dari pandangan hidup dan keyakinan yang datang dari Sang Pencipta manusia, maka ia akan membawa kemasalahatan bagi umat manusia semuanya. 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam merupakan sebuah sistem ekonomi yang terdiri dari subsistem-subsistem yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan.
Dalam ekonomi Islam kita mengenal dua istilah yang berbeda yaitu sistem ekonomi Islam dan Ilmu Ekonomi Islam (Az-Zain : 1981).
Sistem ekonomi Islam didasarkan pada prinsip-prinsip Islam, sedangkan Ilmu ekonomi Islam beraitan dengan tekhnologi dan berbagai disiplin ilmu untuk meningkatkan produktivitas barang dan jasa. Dari sini terdapat perbedaan mendasar antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi Kapitalis, Sosialis atau sistem ekonomi lainnya di mana sistem ekonomi Islam menetapkan secara baku (tauqifi) hal-hal yang berkaitan dengan etika produksi, distribusi dan konsumsi. 
Adapun di bidang peningkatan mutu SDM, penggunaan tekhnologi, pemanfaatan metode-metode terkini adalah bagian dari ilmu ekonomi Islam yang diberikan kebebasan kepada manusia untuk mengembangkannya.
Hal ini berbeda dengan definisi ilmu ekonomi menurut sebagian ahli ekonomi konvensional, menurut mereka ilmu ekonomi adalah "Ilmu ekonomi merupakan suatu studi tentang perilaku masyarakat dalam menggunakan sumber daya yang langka dalam rangka memproduksi berbagai komodti  untuk kemudian menyalurkannya kepada berbagai individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat". ( Samuelson, Paul A. dan William D.Nordhaus, 1995 : 4).
Perbedaan mendasar dari keduanya adalah adanya norma dan etika yang menjadi tolok ukur bagi segala bentuk aktivitas ekonomi, semisal produksi, distribusi dan konsumsi.
Asas-asas Ekonomi Islam
Sesungguhnya Islam datang dengan segala bentuk kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, karena itu ia memberikan dasar-dasar dan kaidah-kaidah bagi kemaslahatan mereka. Hal ini terlihat dari asas-asas yang menjadi dasar bagi sistem ekonomi dalam Islam.
Beberapa cendekiawan muslim telah merumuskan asas-asas yang menjadi dasar dari sistem ekonomi Islam. Diantaranya adalah Taqyuddin An-Nabhani yang menyebutkan bahwa asas yang digunakan untuk membangun sistem ekonomi Islam adalah : Kepemilikan (property), Pengelolaan kepemilikan (tasharuf al-milkiyah) serta distribusi kekayaan  di tengah masayarakat. (An-Nabhani, 1996 : 50).
Kepemilikan yang dimaksud oleh An-Nabhani adalah bahwa dalam sistem hukum Islam kepemilikan mutlak adalah hanya milik Allah ta'ala, sedangkan manusia hanya sebagai  pengelola saja (istikhlaf). Adapun pengelolaan kepemilikan meliputi bagaimana proses kepemilikan itu diperoleh serta dibelanjakan dan terakhir  distribusi kekayaan di masyarakat. Distribusi menurutnya adalah sebuah proses perpindahan suatu barang ataupun jasa yang telah diatur batas-batasnya oleh syariah Islam.
Asas yang disebutkan di atas terkesan sangat global dan tidak mengkaitkan dengan bagaimana Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa salam  melakukan aktifitas ekonomi, sehingga tidak sempurna sebuah asas (ushul) tanpa mengkaitkannya dengan asas-asas yang telah dirumuskan oleh beliau.   
Adapun Adiwarman karim membuat sebuah bagan yang sangat menarik berkenaan dengan prinsip-prinsip umum ekonomi Islam. Di antara prinsip-prinsip tersebut adalah : Tauhid (keimanan), 'Adl (keadilan), Nubuwwah (kenabian), Khilafah (pemerintahan) dan Ma'ad (hasil akhir) (Karim, 2007 : 34).
Teori ini banyak mempengaruhi penulis dalam membuat sebuah teori asas-asas dari ekonomi Islam. Pada teori ini sudah dimasukan ke dalamnya etika Nabi dalam melakukan aktivitas ekonomi, hanya saja terkesan memisahkan permasalahan khilafah dengan kenabian. Padahal seperti kita ketahui bahwa beliau telah melakukan fungsi sebagai seorang pengawas pasar (Muhtasib) dan tempat mengadu bagi permasalahan ekonomi yang terjadi pada zamannya. Selain itu kebebasan berusaha  (freedom to act) seharusnyalah menjadi sebuah akhlak dari setiap pelaku bisnis, tentunya bukan kebebasan yang tanpa batas, dengan kata lain kebebasan tersebut adalah jika dikaitkan dengan urusan-urusan dunia yang tidak terkait langsung dengan masalah keagamaan.   
Sementara Afzalurrahman merumuskan bahwa prinsip dasar sistem ekonomi Islam  adalah : Kebebasan individu, Hak terhadap harta, ketidaksamaan ekonomi dalam batas wajar, kesamaan sosial, jaminan sosial, distribusi kekayaan secara meluas, larangan menumpuk kekayaan, larangan terhadap organisasi anti sosial, kesejahteraan individu dan masyarakat. (Afzalurrahman, 1995 : 8-10).
Prinsip dasar ini lebih menitikberatkan kepada bagaimana sebuah sistem ekonomi itu berlaku di tengah masyarakat. Sehingga titik tekannya adalah bagaimana masyarakat mendapatkan kesejahteraan sosial. Kelemahan dari prinsip dasar ini adalah tidak disebutkannya prinsip ketauhidan dan kenabian yang menjadi prinsip dasar bagi setiap teori yang disandarkan kepada Islam. Apalagi berkaitan dengan sebuah sistem ekonomi yang berkaitan erat dengan kepemilikan mutlak yaitu bagi Allah ta'ala. 
Didin Hafidhuddin menyatakan bahwa Landasan filosofi ekonomi Islam adalah : Tauhid, Keadilan dan keseimbangan, kebebasan, amanah dan pertanggung jawaban, saling menolong dan menangggung beban (at-ta'awun wa at-takaful). (Didin Hafidhuddin : 2007).
Landasan filosofi ini sudah cukup sempurna hanya saja karena dituangkan dalam sebuah artikel sehingga diperlukan adanya penjabaran lebih lanjut. Landasan ini didasarkan bahwa sistem ekonomi Islam haruslah memiliki pondasi yang kuat, sehingga ia akan mampu menopang setiap problem dan permasalahan yang tengah terjadi atau yang akan terjadi, khususnya berkaitan dengan aktifitas ta'awun di tengah masyarakat. Sehingga dengan landasan ini diharapkan akan tercipta sebuah sinergi di antara masyarakat di bidang ekonomi. 
Pada dasarnya semua teori asas-asas ekonomi Islam yang telah disebutkan sebelumnya saling melengkapi dan menunjukan bahwa asas ini memiliki akar yang kokoh dalam setiap nash dan dalil yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, sehingga sebuah keniscayaan mana kala seorang muslim komitmen dengan sistem ekonomi ini. 
Agar asas dan prinsip ekonomi Islam yang telah disebutkan sebelumnya lebih sempurna dan sistematis penulis berusaha merumuskan kembali dan menggabungkannya menjadi sebuah asas ekonomi yang dapat dijadikan sebuah acuan bagi para pemerhati ataupun praktisi ekonomi Islam. Rumusan asas-asas ekonomi Islam yang penulis gunakan adalah gabungan dari beberapa teori yang telah disebutkan sebelumnya. Berikut adalah bagan asas ekonomi tersebut :

1.Asas Pertama : Tauhidullah (Pengesaan Allah)
Ini adalah asas mutlak bagi setiap subsistem dalam syariah Islam. Ia merupakan prasyarat mutlak dalam setiap aktivitas hidup manusia. Asas ini yang membedakan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya. Bahkan ia merupakan ghayah (tujuan) bagi adanya syari'ah Islam ini.
ولقد بعثنا في كل أمة رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu" QS An-nahl : 36.
Penyembahan kepada Allah ta'ala  adalah inti dari tauhidullah, sehingga inilah asas pertama dan utama dalam system ekonomi Islam.
Asas ini memiliki beberapa pilar yang merupakan bagian tak terpisahkan yang berfungsi mengejawantahkannya dalam system ekonomi Islam. Di antara pilar tersebut adalah :   
a. Pilar pertama : Kepemilikan (Al-Milkiyyah).
Setiap muslim harus meyakini bahwa manusia diciptakan oleh Allah ta'ala, ayat-ayat yang menyebutkan tentang hal ini sangat banyak jumlahnya, misalnya :
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ(13)
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. QS Al-Hujuraat : 13.
Ini adalah keyakinan mutlak yang menjadi dasar bagi berbagai aktivitas ekonomi setiap muslim. Tidak hanya itu, setelah seorang muslim mengetahui bahwa ia diciptakan Allah ta'ala maka ia harus mengetahui bahwa tujuan dari diciptakannya ia ke muka bumi adalah untuk beribadah. Allah ta'ala berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. QS Adz-Dzariyat : 56.
Makna "menyembah" dalam ayat ini ini berarti beribadah hanya kepada Allah sang Pencipta. Makna ibadah sendiri mempunyai cakupan yang sangat luas. Seperti disebutkan oleh Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah yang mendefinisikan ibadah dengan :
إسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضه من الأقوال والأفعال ظاهرا وباطنا
"Ibadah adalah sebuah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhaiNya yang berupa perkataan dan perbuatan baik yang Nampak atau yang tersembunyi". (Ibnu Taimiyah, Al-Ubudiyyah : 3)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa segala bentuk aktivitas ekonomi adalah bagian dari ibadah yang disyariatkan oleh Islam. Hubungannya dengan asas ekonomi adalah bahwa manakala kita mengimani bahwa Allah adalah pencipta seluruh manusia dan tugas kita di muka bumi adalah untuk beribadah kepadaNya maka kita semakin yakin bahwa segala bentuk aktivitas kita haruslah berlandaskan keyakinan ini.
Dari keyakinan ini pula akan muncul adanya sikap bahwa kita selaku hambaNya, kita adalah ciptaanNya dan kita semua adalah milikNya, sebagaiamna seluruh yang ada di langit dan bumi adalah milikNya :
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا فِيهِنَّ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(120)
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. QS Al-Maidah ayat 120.
Kepemilikan Allah ta'ala atas segala sesuatu di langit dan di bumi serta di antara keduanya adalah kepemilikan mutlak (Absolut Property) sehingga manusia hanya sebagai pemegang amanah (istikhlaf).
Dari sinilah asas ekonomi Islam berbeda dengan sistem ekonomi yang lainnya. Yaitu bahwa kepemilikan pada dasarnya mutlak bagi Allah ta'ala sedangkan manusia hanya sebagai pengelola (istikhlaf)  saja. Walaupun demikian manusia juga diberikan kewenangan untuk memiliki harta Allah (malillah) tersebut. Seperti disebutkan dalam firmanNya :
وَءَاتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي ءَاتَاكُمْ
......dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. QS An-Nur ayat 33.
Makna ayat ini menunjukan bahwa Allah ta'ala telah memberikan hak kepemilikan kepada manusia untuk menggunakan hartaNya. Selain itu terdapat juga dalam ayat yang lainnya :
وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا
…dan harta-harta yang kalian usahakan. QS At-Taubah ayat 24.
Ayat-ayat yang lainnya masih banyak disebutkan dalam Al-Qur'an yang menisbatkan harta kepada manusia. Dari sini berarti pilar pertama yaitu kepemilikan (milkiyah) dalam Islam adalah kepemilikan mutlak hanya milik Allah ta'ala, dan manusia hanya diberikan hak untuk mengelolanya.
Berkaitan dengan kepemilikan, dalam sistem ekonomi Islam asas kepemilikan yang dianut adalah Multytype Ownership (kepemilikan multi jenis) yang berarti sistem ini mengakui adanya kepemilikan oleh individu, kelompok ataupun negara. Hal ini tentu berbeda dengan sistem ekonomi Kapitalis yang mengakui kepemilikan hanya bagi pihak swasta, atau sistem ekonomi Sosialis yang hanya mengakui kepemilikan bagi negara. (Karim : 42).
b. Pilar kedua : Keadilan (Al-Adl).
Pilar kedua dari asas tauhidullah adalah keadilan (al-'adl). Keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan yang berasl dari Allah ta'ala. Di antara sifat Allah ta'ala adalah Al-'Adl yang berarti Maha Adil, sebagiaman disebutkan dalam firmanNya :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ(90)
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.  QS An-Nahl : 90.
Berlaku adil dalam ayat ini bermakna  memberikan kepada sesuatu hak-haknya, semisal hak-hak manusia yang harus dilaksanakan, demikian pula hak-hak Allah yang harus kita laksanakan. (As-Sa'di, 2003 : 615). Dalam ruang lingkup ekonomi berarti keadilan Allah ta'ala meliputi pemberian hak rizki bagi setiap makhlukNya (bandingkan dengan teori ekonomi konvensional mengenai sumber daya alam yang terbatas). Selain itu keadilan yang harus dilaksanakan setiap orang-orang yang diberikan amanah harta benda untuk memberikan hak-hak fakir miskin pada sebagian hartanya (zakat).
Ayat yang lainnya menyebutkan :   
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. QS Al-Maidah : 8.
Melengkapi ayat sebelumnya, ayat ini memerintahkan setiap manusia untuk berbuat adil, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hal ini berarti tidaklah pantas seorang pelaku ekonomi Islam melakukan hal-hal yang tidak adil dalam segala aktivitas ekonominya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa keadilan yang menjadi pilar dari asas ini adalah bahwa segala aktivitas yang dilakukan oleh setiap muslim haruslah berada di jalur la tadzlimuuna wa la tudzlamun (Tidak saling terdzalimi). Baik di bidang produksi, distribusi dan konsumsi. Seorang produsen yang memiliki sifat adil maka akan memproduksi barang-barang yang dibolehkan oleh syariat dan tidak membahayakan konsumen. Demikian pula seorang penjual yang adil akan menjual dan memberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai cacat dari barang yang dijualnya. Selain itu keadilan juga mencakup distribusi harta kekayaan di tengah masyarakat. Allah ta'ala berfirman mengenai hal ini :
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
.....supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. QS Al-Hasyr : 7.
Ayat ini menunjukan bahwa distribusi harta kekayaan haruslah merata di antara manusia, dalam arti tidak ada pihak yang berlebihan dan tidak ada pihak yang kekurangan.
Keadilan yang dimaksud bukan berarti seperti sistem ekonomi Sosialis yang menyamaratakan seluruh manusia, akan tetapi sistem ekonomi Islam mentolerir adanya perbedaan yang wajar antara si kaya dan si miskin. (Afdzalurrahman : 1995).    
c. Pilar yang ketiga : Ma'ad (Tempat kembali)
Ma'ad yaitu kesadaran bahwa setiap manusia akan kembali kepada Allah ta'ala (meninggal), keyakinan ini akan berimplikasi kepada sikap dan perilaku (attitude) dari setiap pelaku ekonomi Islam. Kesadaran ini juga akan berdampak kepada kejujuran dan kerendahan hati untuk selalu ingat bahwa setiap manusia akan meninggal. Alah ta'ala berfirman :
إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ
Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur'an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. QS Al-Qhashas : 85.
Dalam ayat yang lain disebutkan secara jelas :
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan. QS Al-Ankabut : 57.
Kesadaran setiap muslim bahwa ia akan kembali keharibaanNya akan terlihat dari sikap hidupnya yang selalu dapat menahan diri dari berlebih-lebihan (Ghuluw wa tabdzir). Selain itu ia memiliki sebuah tujuan akhir yaitu akhirat, ia tidak akan mengorankan kehidupan dunianya yang fana untuk meraih kehidupan akhirat yang kekal :
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? QS Al-An'am : 32.
Dengan pilar ma'ad ini kita dapat mengetahui bahwa sewaktu-waktu kita akan meninggalkan dunia ini sehingga aktivitas bisnis yang kita lakukan senantiasa berorientasi kepada akhirat :
وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi . QS Al-Qhashas : 77.
Inilah keseimbangan yang ada dalam Islam, kehidupan dunia di dapat dan kehidupan akhirat juga selamat. Hal ini sangat berbeda dengan system ekonomi konvensional yang hanya mementingkan urusan dunia saja tanpa pernah berfikir tentang akhirat. Demikian juga kepercayaan lain yang hanya membahas masalah hubungan manusia dengan Tuhan saja.
2.Asas Kedua : Mutaba'aturasul (mengikuti petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa salam)
Para Ulama telah bersungguh-sungguh (ijtihad) dalam menggali berbagai hukum Islam, di antara hasil kesungguhan mereka adalah terumuskannya berbagai kaidah-kaidah fiqhiyah yang berkaitan dengan berbagai sendi hukum Islam. Dalam ruang lingkup ekonomi (muamalah Islam) dikenal adanya kaidah :
الاصل في المعاملت الاباحة إلا ما دل الدليل على تحريمه
Hukum Asal dalam hal muamalah adalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Dalam kaidah yang lebih umum dikatakan :
الاصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Hukum pokok dari segala sesuatu adalah boleh, sampai terdapat dalil yang mengharamkan. (As-Suyuti : Al-Asyab Wa Nadzair). 
Sumber kaidah ini berasal dari beberapa hadis nabi yang berkenaan dengan urusan-urusan dunia yang telah beliau sebutkan di antaranya adalah :
حَدَّثَنِي رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ قَالَ قَدِمَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يَأْبُرُونَ النَّخْلَ يَقُولُونَ يُلَقِّحُونَ النَّخْلَ فَقَالَ مَا تَصْنَعُونَ قَالُوا كُنَّا نَصْنَعُهُ قَالَ لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا فَتَرَكُوهُ فَنَفَضَتْ أَوْ فَنَقَصَتْ قَالَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ رَأْيٍ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ قَالَ عِكْرِمَةُ أَوْ نَحْوَ هَذَا قَالَ الْمَعْقِرِيُّ فَنَفَضَتْ وَلَمْ يَشُكَّ
Dari Rafi' bin Khadij ia berkata "Rasulullah tiba di Madinah dan orang-orag sedang mencangkok pohon-pohon kurma. Beliau bertanya, "Apa yang sedang anda lakukan ?" mereka menjawab "Mencangkok pohon kurma" beliau berkata lagi "Barangkali ada baiknya kalau pekerjaan itu tidak usah diteruskan". Maka berhentilah mereka mencangkok. Tetapi kemudian ternyata hasilnya berkurang, lalu mereka kabarkan kepada Rasulullah. Mak beliau bersabda "Sesungguhnya aku hanya manusia bias. Apabila aku perintahkan kamu mengenai urusan agamamu maka laksanakanlah. Dan apabila aku perintahkan kepadamu sesuatu berdasarkan buah pikiranku semata-mata maka sesungguhnya aku hanya manusia biasa. HR Muslim. 
Dalam riwayat yang lain dikatakan :
أنتم أعلم أمور الدنياكم
"Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian".
Demikianlah penyerahan masalah-masalah keduniaan yang tidak ada nashnya maka hal itu diserahkan kepada setiap manusia untuk melaksanakannya dengan syarat tidak adanya larangan padanya. Asas ini memepunyai beberapa pilar sebagai implementasinya, di anatara pilar tersebut adalah :
a. Pilar pertama : Hady An-Nabi (Petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa salam).
Pilar pertama yang menjadi asas mutaba'aturasul adalah petunjuk Nabi yang berupa perintah, larangan, taqrir dan amalan-amalan beliau. Petunjuknya meliputi hal-hal yang berkaitan dengan akhirat ataupun dalam urusan keduniaan.
Di bidang akhirat, beliau telah memberikan sebuah aturan (role) bagi manusia untuk mengikutinya, misalnya : larangan memakan riba, larangan ikhtikar dan iktinaz, larangan mengkonsumsi semua yang memabukan, larangan menjual sesuatu yang memudharatkan dan lain sebagainya. Semua itu masuk ke dalam sistem ekonomi Islam.
Adapun petunjuk Nabi dalam masalah dunia, maka beliau menyerahkan sepenuhnya kepada manusia.
Berkaitan dengan aktivitas ekonomi maka manusia diberi kebebasan untuk mengembangkan dan meningkatkan produktivitas barang dan jasanya dengan menggunakan tekhnologi terbaru. Dalam ekonomi Islam hal ini masuk ke dalam Ilmu Ekonomi (An-Nabhany : 1995). Adiwarman Karim menyebut istilah ini dengan Freedom to act (kebebasan bertindak dan berusaha), tentu yang dimaksud di sini adalah kebebasan dalam bingkai syariah Islam. Bukan kebebasan yang menghalalkan yang haram.
Petunjuk nabi dalam hal ini meliputi perintah-perintah yang berkaitan dengan sistem ekonomi Islam dan larangan-laranganya, termasuk pula sesuatau yang dibiarkan oleh beliau (taqrir).       
Petunjuk nabi dalam bentuk yang lainnya adalah Adab An-Nabi (etika Nabi) dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Adab An-Nabi adalah setiap akhlak beliau yang agung yang telah mendapatkan pujian dari Allah ta'ala :
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. QS Al-Qalam : 3.  Akhlak beliau yang agung tercermin dalam muamalah sehari-hari yang beliau lakukan. Hal ini telah dipraktekkan oleh beliau Shalallahu 'Alaihi Wa salam, di mana beliau memiliki berbagai sifat yang sempurna di dalam bermuamalah. Di antara adab beliau dalam tersebut adalah :
1.Siddiq (benar dan jujur). Sebuah etika bisnis yang sangat mulia ketika kita mampu mengatakan secara benar apa yang ada pada setiap product yang dijualnya. Demikian pula sikap benar ini akan emunculkan konsep turunan khas ekonomi dan bisnis yakni efektivitas (mencapai tujuan yang tepat dan benar) dan efisien (melakukan kegiatan dengan benar tanpa adanya sifat mubadzir). (Karim, 2007 : 39) 
2.Amanah (tanggung jawab, kepercayaan dan kredibilitas). Sifat amanah berkaitan dengan sikap profesionalisme setiap muslim. Ketika ia diberikan sebuah jabatan, maka sifat amanah ini akan menjadikan ia mampu melaksanakan jabatan tersebut dengan penuh tanggung jawab dan sikap profesional yang tinggi, dari sini akan muncul sebuah hasil maksimal dari jabatan yang emabankan kepadanya.
3.Fathanah (kecerdikan, kebijaksanaan dan intelektualitas). Seseorang yang memiliki sifat fathanah akan tercermin dari tingkah lakunya sehari-hari, kecermatan dan kecerdikan dalam mengambil sebuah keputusan adalah ciri dari sifat ini. Seorang muslim dalam mengambil sebuah keputusan haruslah didasarkan kepada argumen-argumen qath'i dan pertimbangan-pertimbangan yang membawa kepada kemasalahatan hidup, baik di dunia maupun di akhirat sana. Itulah ciri seseorangyang mempunyai sifat fathanah.
4.Tabligh (komunikasi, keterbukaan dan pemsaran). Pedagang yang baik adalah ketika mampu menyebutkan secara terbuka nilai positif dan negatif dari barang atasupun jasa yang dijualnya. Adanya keluhan dari berbagai lapisan konsumen karena tidak adanya sifat tabligh pada seorang pedagang. Sering kali seorang pembeli kecewa dengan barang yang dibelinya. Ketika transaksi berlangsung ia perhatikan tidak ada cacat yang terlihat pada benda yang dibelinya, namun setelah ia sampai di rumah ternyata benda yang dibelinya mempunyai kekurangan yang tidak disebutkan oleh penjualnya. Apa yang terjadi ? kekecewaan karena sifat tabligh tidak ada pada sang penjual.
b. Pilar kedua : Kesejahteraan Sosial (Maslahah Al-Ummah).
Pilar kedua dari asas mutaba'aturasul adalah Maslahah Al-Ummah (Kesejahteraan Sosial). Secara istilah makna Maslahah Al-Ummah (kemaslahatan umat) lebih luas dari sekadar kesejahteraan sosial. Ia mencakup segala hal yang berkaitan dengan tujuan dari sistem ekonomi Islam yaitu baldatun thayibbatun wa rabbun ghafur :
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun". QS Saba : 15.
Inilah tamsil negeri yang didambakan oleh Islam dan menjadi tujuan dari system ekonominya.
Kemasalahtan umat juga mencakup adanya keinginan yang terkendali bagi seluruh masyarakat untuk tidak menghambur-hamburkan harta. Hal ini didasari adanya keyakinan yang mendalam mengenai wahyu yang datang dari Allah ta'ala, terutama berkaitan dengan telah ditetapkannya rizqi bagi setiap makhluk :
وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ(60)
Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. QS Al-Ankabuut : 60.
Selain itu sikap hidup untuk tidak menghambur-hamburkan harta dan tidak mubadzir, Allah ta'ala berfirman :
وَءَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا(26)
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. QS Al-Isra : 26. 
c. Pilar ketiga : Ulu Al-Amri (Pemerintah).
Ada yang terluput dari beberapa teori yang disebutkan oleh para ahli ekonomi Islam, yaitu peran Nabi sebagai seorang pemimpin dalam kaitannya dengan aktivitas ekonomi warganya. Maksudnya adalah beliau telah menjadi seorang pemimpin negara (ulul amri) yang telah melaksanakan fungsi pemerintahan dengan mengeluarkan dan bahkan melaksanakan regulasi pasar agar perekonomian di wilyahnya berjalan normal.
Pemerintah (ulu al-amri) dalam sebuah sistem ekonomi memiliki peranan yang urgen, dan peran ini telah dilakukan oleh Nabi dalam perannya sebagai seorang pengawas pasar (muhatasib), dalam hal ini telah datang kepada kita sebuah riwayat dari di mana Rasulullah datang ke sebuah pasar dan melihat ada seorang pedagang kurma yang mencampur kurma antara kualitas yang bagus dengan yang jelek, beliau langsung melarang hal tersebut.  Demikian pula beliau pernah mengutus seseorang untuk melakukan operasi pasar :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كُنَّا فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنْ الْمَكَانِ الَّذِي ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ
Dari Ibnu Umar r.a. ia berakata :"Pada masa rasulullah kami pernah berdagang (bahan) makanan, lalu beliau mengirim orang kepada kami dan memerintahkan kami supaya memindahkan barang yang telah kami beli ke tempat lain sebelum menjualnya. HR Muslim.
Dari riwayat ini kita bisa melihat peranan pemerintah di dalam sebuah sistem ekonomi. Dan rasulullah telah melakukan hal itu, maka tidak ada hujjah lain untuk tidak mengikuti fungsi beliau dalam perannya sebagai ulu al-amri (pemerintah) dalam rangka menjaga kestabilan ekonomi terutama di pasar.  
Selain itu peran pemerintah yang lainnya juga sebagai pihak yang berhak untuk menetapkan harga maksimum ataupun harga minimum pada sebuah komoditas, hal ini terutama dilakukan ketika terjadi distorsi pasar atau adanya pihak-pihak yang terdzalimi baik ia sebagai produsen maupun konsumen.
Dari sini peran pemerintah memiliki posisi yang sangat penting sebagai sebuah pilar dalam sistem ekonomi Islam yang merupakan unsur derivatif dari asas mutaba'aturasul. Beliau telah mengimplementasikannnya dan memberikan keluasan bagi pemerintah untuk melaksanakan fungsinya sebagai pengayom umat :
تصرف الامام علي الرعيته منوط بالمصلحة  
Thasharuf (tindakan) imam (pemerintah) terhadap rakyatnya harus dihubungkan dengan kemaslahatan. (Abdul Mujib, 1992 : 61). 
Dengan demikian asas mutaba'aturasul ini menjadi sesuatu yang sangat urgen dalam sistem ekonomi Islam. Sehingga pantaslah kalau Allah ta'ala berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. QS Al-Ahzab : 21.
Dengan mengikuti petunjuk dan adab beliau maka insya Allah segala aktivitas ekonomi kita akan mendapatkan ridhaNya, dan kemaslahatan yang berupa kesejahteraan umat akan dapat terwujud sehingga system ekonomi Islam ini akan menjadi solusi bagi setiap krisi ekonomi yang terjadi di muka bumi ini.


Referensi :
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Syarh Ats-Tsalastah Al-Ushul, Mesir : Dar Ibn Al-Jauzy, 2004.
Mudjib, Abdul. Al-Qawaidul Fiqhiyyah, Jakarta : Kalam Mulia, 2001.
Syafe'i, Rahmat. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia, 2004.
Karim, Adiwarman A. Ekonomi Mikro Islami, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2007.
Suharyono dan Niam Sovie. Sistem Ekonomi Indonesia, Jakarta : Universitas Terbuka, 2003.
Az-Zain, S.A. Syariat Islam : Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik dan Sosial sebagai studi perbandingan. Bandung : Penerbit Husaini, 1981.
An-Nabhani, Taqyuddin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam. Surabaya : Risalah Gusti, 1996.
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam I, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Al-Mubarakfury, Shafiyurrahman. Sirah Nabawiyah , Jakarta : Rabbani Press, 1998. 
Hafidhuddin, Didin. Islam Membangkitkan Ekonomi Umat, dalam Majalah Sabili Edisi Khusus 2007, hal. 26-27)
Samuelson, Paul A. dan William D.Nordhaus, Mikro Ekonomi, Jakarta : Penerbit Erlangga, 1995. 
Ibnu Taimiyah, Al-Ubudiyyah
Muslim bin Al-Hajaj. Shahih Al-Muslim, Kuwait : Dar Al-Ihya At-Turats Al-'Araby, 1972.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar