STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Jumat, 10 Juni 2011

AYAT MANTUQ DAN AYAT MAFHUM AYAT MUJMAL DAN AYAT MUBAYYAN

Hubungan antara hukum Islam atau fiqih Islam dengan pengetahuan bahasa Arab merupakan hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Alasannya sangat jelas. Karena sumber pokok dari hukum Islam itu adalah Al-Qur’an dan Hadits yang nota bene memakai atau menggunakan bahasa Arab standar sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab atau ilmu nahwu dan sharaf. Kalau kita menengok kepada lafadz-lafadz yang digunakan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan dalam Hadits Nabi, maka dapat disimpulkan bahwa diantara lafadz yang digunakan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits tersebut ada lafadz yang jelas penunjukan atau pengertian atau maknanya. Di samping itu ada pula lafadz yang tidak jelas atau samar maknanya. Diantara yang tidak jelas maknanya itu ada yang disebut dengan Ayat Mujmal yang berlawanan dengan Ayat Mubayyan. Pembahasan tentang Mujmal dan Mubayyan ini sangat membantu dalam pemahaman terhadap maksud atau makna dari suatu ayat Al-Qur’an atau suatu Hadits Nabi. Ada juga lafadz Al-Qur’an yang apabila ditinjau dari segi dilalah (penunjukkan) terhadap hukumnya bisa dipahami langsung dari lafal yang tertulis yang biasa disebut dengan Ayat Mantuq, ada juga lafadz Al-Qur’an yang bisa dipahami dari sesuatu yang ditunjuk oleh lafadz, tetapi bukan dari ucapan lafadz itu sendiri yang biasa disebut dengan Ayat Mafhum.
Kata Kunci : Ayat Mantuq, Ayat Mafhum, Ayat Mujmal, Ayat Mubayyan
Pendahuluan
Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Qur’an, sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam Al-Qur’an tersebut tidak semuanya memberikan arti/pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.

Ayat Mantuq adalah salah satu ayat yang hukumnya sudah memuat apa yang diucapkan (makna tersurat), akan tetapi ada Ayat Mafhum yang mana ayat tersebut hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq (makna tersirat). Menurut kitab mabadiulawwaliyah, mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan, sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan.
Ini menunjukkan bahwa ternyata ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak hanya memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, tetapi ada ayat yang maknanya tersirat didalam ayat tersebut. Begitu juga dengan ayat Mujmal, yang mana ayat ini belum jelas maksudnya, apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskannya. Dan ayat ini berlawanan dengan ayat mubayyan.
Oleh karena itu, agar kita semua dapat memahami dan mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Qur’an, penulis akan memaparkan sedikit penjelasan mengenai pengertian, pembagian sampai contoh dari ayat-ayat tersebut.

Lafal dari Segi Dilalah (Penunjukkan) Terhadap Hukum
Lafal Mantuq
1. Pengertian Lafal Mantuq
Kata mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang ditunjukkan oleh lafal ketika diucapkan. Secara istilah dilalah mantuq adalah : (Wahbah al-Zuhaili, 2001 : 360)
دلالة المنطوق هي دلالة اللفظ على حكم شيئ مذ كور في الكلم
“Dilalah mantuq adalah penunjukkan lafal terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafal)”.
Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu hukum dipahami langsung lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut pemahaman secara mantuq. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada S. Al-Isra’ : 23 yang berbunyi :
فلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
Dengan menggunakan pemahaman secara mantuq ayat ini menunjukkan haramnya mengucapkan kata “ah” dan membentak kedua orang tua. Larangan atau haramnya hal tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini.
Para ahli ushul fiqh membagi mantuq kepada dua macam, yaitu mantuq sharih dan mantuq ghairu sharih. Mantuq sharih secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas. Adapun definisi mantuq sharih secara istilah adalah:
المنطوق الصريح هوما وضغ اللفظ له فيد ل عليه بالمطابقة او بالتضمن
“Mantuq sharih adalah makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafal sesuai dengan penciptaannya, baik secara penuh atau berupa bagiannya”. (Mushtafa Said al-Khain, 2001 : 139)
Untuk memahami definisi ini dengan baik perlu dikemukakan contoh penggunaan dilalah mantuq sharih pada firman Allah S. Al-Baqarah : 175 yang berbunyi :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas melalui mantuq sharih tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba.
Adapun mantuq ghairu sharih adalah :
المنطوق غير صريح هو مالم يوضع اللفظ له بل هولا زم لما وضع
“Mantuq ghairu sharih adalah pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafal, sebagai konsekuensi dari suatu ucapan”. (Mushtafa Said al-Khain, 2001 : 139)
Dari definisi ini jelas bahwa apabila penunjukkan suatu hukum didasarkan pada konsekuensi dari suatu ucapan (lafal), bukan ditunjukkan secara tegas oleh suatu lafal sejak penciptaannya, baik secara penuh atau bagiannya disebut dilalah mantuq ghairu sharih. (Firdaus, 2008 : 172). Misalnya, firman Allah S. Al-Baqarah : 233 yang berbunyi :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.
Dari ayat ini dipahami bahwa nasab seorang anak dihubungkan kepada bapak bukan kepada ibu karena tanggung jawab nafkah anak berada di tangan bapak. Kesimpulan seperti ini diambil dengan cara mantuq ghairu sharih dari ayat di atas.
Dilalah mantuq ghairu sharih sendiri terbagi menjadi tiga bagian, yaitu dilalah iqtidha’, dilalah ima’ dan dilalah isyarat. (Mushtafa Said al-Khain, 2001 : 139)
a) Dilalah Iqtidha’
Adapun yang dimaksud dengan dilalah iqtidha’ adalah :
دلالة الاقتضاء هى دلالة اللفظ على ما يكون مقصودا للمتكلم و يتوقف عليه صدق الكلام او صحته عقلا او سرعا
“Dilalah iqtidha’ adalah pengertian yang dimaksudkan oleh pembicara dan kebenaran atau ketepatan pengertian ucapan itu bergantung pada akal atau syara’. (Firdaus, 2008 : 172)
Definisi ini mengisyaratkan bahwa untuk memahami dilalah iqtidha’ diperlukan pengertian kata yang disisipkan secara tersirat dalam pemahaman (akal) untuk memudahkan memahami suatu redaksi. Tanpa pengertian kata yang disisipkan tersebut agak sulit memahami sebuah redaksi secara apa adanya. Misalnya, firman Allah dalam S. Al-Baqarah : 184 yang artinya
“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak tiga hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”.
Untuk dapat memahami ayat ini secara benar perlu disisipkan kata aftara setelah kata safarin. Dengan demikian, ayat ini menjelaskan bahwa siapa yang sakit atau berada dalam perjalanan, lalu ia berbuka puasa (tidak berpuasa) pada siang Ramadhan, maka hendaklah ia mengganti puasa yang ditinggalkan tersebut pada hari yang lain.
b) Dilalah Ima’
Untuk memahami dilalah ima’ dapat diamati dari definisi yang dikemukakan para ahli ushul fiqh berikut :
دلالة الايماء هى دلالة اللفظ على لازم مقصود للمتكلم لا يتوقف عليه صدق الكلام او صحته عقلا او سرعا بسبب اقتران الحكم بوصف
“Dilalah ima’ adalah pengertian yang lazim menjadi maksud pembicara, dimana kebenaran atau ketepatan pengertian ucapan itu tidak bergantung pada akal atau syara’ karena penyebutan suatu hukum sesudah menyebutkan suatu sifat”. (Firdaus, 2008 : 173)
Penerapan dilalah ima’ dapat diamati dari firman Allah S. Al-Maidah : 38 yang artinya :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah”.
Perintah memotong tangan yang terdapat dalam ayat ini terkait dengan sifat yang disebutkan pada ayat ini, yaitu pencurian.
c) Dilalah Isyarat
Ahli ushul fiqh mendefinisikan dilalah isyarat adalah :
دلالة الاشارة هي دلالة اللفظ على لازم غير مقصود للمتكلم
“Suatu pengertian yang ditunjukkan suatu redaksi yang bukan maksud asli dari pembicara” . (Firdaus, 2008 : 174)
Definisi ini menjelaskan bahwa suatu redaksi menunjukkan suatu pengertian, tetapi bukan pengertian aslinya melainkan suatu konsekuensi hukum yang ditunjukkan redaksi itu. Karena erat kaitannya dengan hukum yang jelas dalam mantuq, maka hukum yang diambil dari dilalah isyarat dipandang sebagai hukum yang ditunjuk oleh matuq secara tidak tegas.
Penerapan dilalah isyarat dapat diamati dari kasus berikut. Dalam S. Al-Ahkaaf : 15 yang artinya :
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”.
Dalam S. Luqman : 14 yang artinya :
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”.
Mantuq yang terdapat dalam S. Al-Ahkaaf : 15 menegaskan bahwa jumlah masa kandungan dan menyusukan anak selama 30 bulan. Sedangkan pada S. Luqman : 14 menjelaskan masa menyusukan anak selama dua tahun atau dua puluh empat bulan. Dari kedua ayat ini dapat digunakan dilalah isyarat, yaitu sisa waktu selama enam ulan adalah minimal dalam kandungan. Masa minimal kandungan selama enam bulan bukan dimaksudkan oleh turunnya kedua ayat tersebut, tetapi merupakan konsekuensi logis dari ketegasan kedua ayat itu.

2. Pembagian Mantuq
Mantuq terbagi menjadi dua, yaitu : (Saiful Hadi, 2009 : 121)
1) Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi. Seperti firman Allah SWT :
“Maka hendaklah puasa tiga hari” (S. Al-Maidah : 89)
2) Zhahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendaki kepada penta’wilan. Seperti firman Allah SWT :
“Dan kekal wajah tuhan engkau” (Q. S. Ar-Rahman : 27)
Wajah dalam ayat diartikan dengan dzat, karena mustahil bagi Allah mempunyai wajah

Lafal Mafhum
1. Pengertian Mafhum
Pengertian Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafadz, tetapi bukan dari ucapan lafadz itu sendiri. (A. Hanafie MA, 1961 : 74)
Para ahli ushul fiqh mendefinisikan mafhum sebagai berikut :
المفهوم مادل عليه اللفظ لا في محل النطق و بعبارة اخرى هو دلالة اللفظ على حكم شىئ لم يذكر في الكلام او هو اثبات نقيض حكم المنطوق للمسكوت عنه
“Mafhum adalah penunjukkan lafal yang tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukkan lafal terhadap suatu hukum yang tidak disebutkan atau menetapkan pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (bagi sesuatu yang tidak diucapkan)”. (Wahbah al-Zuhaili, 2001 : 361)
Seperti firman Allah SWT :

فلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka” (Q. S. Al-Isra’ : 23)

Secara mantuq, hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah haramnya mengucapkan kata “ah” dan menghardik orang tua. Dari ayat ini dapat juga digunakan mafhum, dimana melaluinya dapat diketahui haram hukumnya memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.
2. Pembagian Mafhum
Mafhum juga dapat dibedakan kepada 2 bagian :
1. Mafhum Muwafaqah, yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafadz yang disebutkan. Menurut para ahli usul fiqh mafhum muwafaqah adalah penunjukkan hukum yang tidak disebutkan untuk memperkuat hukum yang disebutkan karena terdapat kesamaan antara keduanya dalam meniadakan atau menetapkan (Mushtafa Said al-Khain, 2001 : 143). Mafhum Muwafaqah dapat dibagi kepada :
a. Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya, firman Allah yang berbunyi :
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka” (Q. S. Al-Isra’ : 23).
Sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
b. Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti firman Allah SWT :
”Mereka yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api ke dalam perut mereka” (Q. S. An-Nisa’ : 10)
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta dilarang (haram)
2. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi’ (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafadz yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT :
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakannya dan tinggalkanlah jual beli” (Q. S. Jum’at : 9)
Dipahami dari ayat ini bahwa boleh jual beli di hari Jum’at sebelum azan si Mu’azin dan sesudah mengerjakan sholat. Dinamakan juga Mafhum Mukhalafah ini Dalil Khitab.
Mafhum mukhalafah terdiri dari beberapa bagian, diantaranya : (A. Hanafie M.A, 1961 : 80 – 81)
a. Mafhum al-Sifat, adalah penunjukkan suatu lafal yang terkait dengan suatu sifat terhadap kebalikan hukumnya ketika tiada sifat tersebut. Misalnya, firman Allah S. An-Nisa’ : 25 yang berbunyi :
“Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanitamerdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.”
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang laki-laki mukmin boleh menikahi budak perempuan yang beriman ketika tidak mampu menikahi perempuan beriman yang merdeka. Melalui mafhum mukhalafah diketahui haramnya menikahi budak perempuan yang tidak beriman.
b. Mafhum ‘Illat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut ‘illatnya. Seperti mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
c. Mafhum al-Adad, yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan yang tertentu. Seperti firman Allah SWT :
datangkan 4 orang saksi, maka pukullah mereka 80 kali pukulan” (Q. S. An-Nur : 4)
Berdasarkan ayat ini, hukuman bagi orang yang menuduh wanita baik-baik melakukan zina, sementara ia tidak mampu menghadirkan empat orang saksi adalah dipukul sebanyak 80 kali. Dalam hal ini, tidak boleh mengurangi dan menambah hukuman pukulan dari 80 kali.
d. Mafhum Ghayah, yaitu lafadz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan/hinggaan), hingga lafadz ghayah ini adakalanya dengan “ilaa” dan dengan “hatta”. Seperti firman Allah SWT :
“Bila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada dua mata siku” (Q. S. Al-Maidah : 6) atau firman Allah SWT :
“Dan jangan kamu dekati istri-istrimu hingga mereka itu suci” (Q. S. Al-Baqarah : 222)
e. Mafhum had, yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu adat di antara adat-adatnya. Seperti firman Allah SWT :
“Katakanlah, tidak saya peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepada saya, akan suatu makanan yang haram atas orang memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi; karena ia barang yang keji atau fasiq, yaitu binatang yang disembelih dengan tidak atas nama Allah” (Q. S. Al-An’am :145).
f. Mafhum al-Laqab, yaitu meniadakan berlakunya suatu hukum yang terkait dengan suatu lafal terhadap orang lain dan menetapkan hukum itu berlaku untuk nama atau sebutan tertentu (Hasballah, 2001 : 250). Misalnya, firman Allah dalam S. Yusuf : 4 yang berbunyi :
“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya : Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud padaku.”
Dari ayat ini dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait dengan Nabi Yusuf karena tidak ada kaitannya dengan orang lain.
g. Mafhum al-Syarat, ialah menetapkan kebalikan hukum yang terkait dengan syarat ketika syarat tersebut tidak ada (Hasballah, 2001 : 251). Misalnya, firman Allah dalam S. Talaq : 6 yang berbunyi :
“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.”
Ayat ini menegaskan adanya kewajiban suami memberi nafkah terhadap isterinya yang ditalak bain dalam keadaan hamil. Secara mafhum mukhalafah, suami tidak berkewajiban memberi nafkah terhadap isterinya yang telah ditalak yang tidak dalam keadaan hamil.
3. Syarat-Syarat Mafhum Mukhalafah
Syarat-syarat sahnya mafhum mukhalafah, seperti yang dikemukakan oleh A. Hanafie dalam bukunya Ushul Fiqh diperlukan empat syarat,yaitu sebagai berikut :
1) Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq mapun mafhum muwafaqah.
 Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq :
“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan” (Q. S. Isra’ : 31)
Mafhumnya, kalu bukan karena takut kemiskinan dibunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil mantuq, yaitu :
“Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran” (Q. S. Isra’ :33)
 Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah :
“Janganlah engkau mengeluarkan kata yang kasar kepada orang tua, dan jangan pula engkau hardik” (Q. S. Isra’ : 23)
Yang disebutkan, hanya kata-kata yang kasar mafhum mukhalafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhum ini berlawanan dengan mafhum muwafaqahnya, yaitu tidak boleh memukuli.
2) Yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Contoh :
“Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu” (Q. S. An-Nisa’ :23)
Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam pemeliharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, sebab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
3) Yang disebutkan (mantuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Contoh:
المسلم من سلم المسلمون من يديه ولسانه
“Orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang Islam lainnya, baik dengan tangan ataupun dengan lisannya” (Hadits)
Dengan perkataan “orang-orang Islam (Muslimin)” tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan pekataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.
4) Yang disebutkan (mantuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain. Contoh :
“Janganlah kamu campuri mereka (istri-istrimu) padahal kamu sedang ber’itikaf di masjid” (Q. S. Al-Baqarah : 187)
Tidak dapat dipahamkan, kalau tidak ber’itikaf di masjid, boleh mencampuri.

4. Kehujjahan Dalil Mafhum
“Mafhum muwafaqah bisa menjadi hujjah”. Hampir semua ulama berpendirian demikian, kecuali golongan zhahiriyah. “Semua mafhum nmukhalafah bisa menjadi hujjah, kecuali mfhum laqaab”. Demikianlah pendapat kebanyakan ulama ushul. Mengkhususkan sesuatu untuk disebut tentulah ada faedahnya. Kalau tidak demikian apa perlunya disebutkan? Juga dapat kita ketahui dari bahasa Arab, bahwa pabila sesuatu mempunyai dua sifat dan yang disebutkan hanya salah satunya, maka yang dikehendaki, ialah sifat yang disebutkan bukan sifat lainnya. Berlainan dengan pendapat tersebut, maka Abu Hanifah dan Ibnu Hazm dari golongan zhahiriyah mengatakan, bahwa semua mafhum mukhalafah tidak bisa menjadi hujjah (pegangan). Menyebutkan salah satu sifat, tidak berarti meniadakan sifat-sifat lainnya. (A. Hanafie MA, 1961 : 81 – 82)

Lafal Mujmal dan Mubayyan
Lafal Mujmal
1. Pengertian Mujmal
Secara etimologi, kata mujmal berarti sesuatu yang diragukan. Secara istilah, para ahli ushul fiqh mendefinisikan mujmal dalam berbagai macam. Imam sarakhasi mendefinisikan mujmal sebagai berikut :
المجمل هو لفظ لا يفهم ا لمراد منه الا با ستفسار من ا لمجمل و بيان من جهته يعرف به المراد
Mujmal adalah suatu lafal yang tidak dapat dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan dari yang mengeluarkan lafal mujmal itu dan melalui penjelasannya diketahui maksud lafal tersebut. (Abi Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahal Al-Sarakhasi, 1973 : 168)
Wahbah Al-Zuhaili mendefinisikan mujmal dengan :
المجمل هو اللفظ الذي خفي المراد منه بنفسه اللفظ خفاء لا يدرك الا ببيان من المتكلم به
Mujmal adalah lafal yang sulit dipahami maksudnya kecuali melalui penjelasan dari mutakallim (orang yang mengucapkan). (Wahbah Al-Zuhaili, 2001 : 340)
Sedangkan Jalaluddin Abd Al-Rahman mendefinisikan mujmal sebagai :
المجمل هو ماله د لالة غير واضحة
Mujmal adalah lafal yang dilalahnya tidak jelas. (Jalaluddin Abd Al-Rahman, 2003 : 12)
Dari beberapa definisi mujmal di atas dipahami bahwa mujmal merupakan suatu lafal yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari yang menyampaikan lafal tersebut. Kesulitan memahami lafal ini bukan berasal dari luarnya, tetapi dari lafal itu sendiri. Untuk dapat memahami lafal mujmal sangat bergantung pada penjelasan mutakallim atau Syari’ yang menyampaikan lafal tersebut. (Firdaus, 2008 : 162)
Ada beberapa sebab suatu lafal disebut mujmal, yaitu :
1) Lafal yang mempunyai makna musytarak tanpa diiringi oleh indikator (qarinah) sehingga sulit untuk mengetahui makna yang paling terkuat diantaranya. Misalnya, lafal quru’ dalam firman Allah S. Al-Baqarah : 228 yang berbunyi :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”.
Lafal quru’ ini secara bahasa berarti suci dan haid. Imam Syafi’i berpendapat bahwa lafal quru’ berarti suci, sedangkan imam Abu Hanifah berpendapat bahwa quru’ berarti haid. (Saiful Hadi, 2009 : 69)
2) Suatu lafal yang maknanya secara bahasa aneh atau ganjil, seperti kata (هلوع) pada firman Allah S. Al-Ma’arij :19 - 21 yang berbunyi :
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”.
Kata (هلوع) dalam ayat 19 S. Al-Ma’arij ini sulit dipahami sampai Allah menjelaskan pada ayat 20 dan 21 pada surat yang sama.
3) Pemindahan lafal dari makna kebahasaan menuju makna secara istilah atau menurut syara’, seperti lafal shalat, zakat, puasa, dan haji. Sehubungan dengan ini, Sunnah dating menjelaskan makna secara syara’ dari lafal-lafal ini. Apabila tidak ada penjelasan Syari’ tentang makna lafal-lafal ini, maka tidak mungkin mengetahui makna lafal tersebut secara syara’ sebagaimana yang diinginkan oleh Syari’.
2. Bentuk Lafadz Mujmal
Lafadz yang mujmal mempunyai dua bentuk : (M. Umar, 1983 : 301)
1) Bentuk Al-Ifrod yang terdiri dari satu lafadz. Bentuk Al-Ifrod itu dapat terjadi karena :
 Satu lafadz mempunyai beberapa arti (musytarak) seperti lafadz quru’ dapat berarti haid dan dapat pula berarti suci
 Pengambilan kata-kata (etimologis) seperti qoola dapat berarti perkataan kalau diambil dari kata qaulun dan dapat berarti tidur siang kalau diambil dari kata-kata qailulah
 Lafadz yang digunakan untuk menunjukkan istilah syara’ tertentu seperti lafadz shalat, zakat, puasa, dan sebagainya.
Bentuk Al-Ifrod itu dapat pula berupa :
 Isim seperti lafadz laun dapat berarti hitam atau putih, lafadz Nashil dapat berarti dahaga atau segar.
 Fiil seperti lafadz ‘as’asa dapat berarti menghadap atau membelakangi
 Hukum seperi huruf wawu dapat berfungsi sebagai athaf (kata hubung) atau isti’naf (permulaan kata) atau berfungsi sebagai hal. Huruf ilaa dapat menunjukkan ghaya (batas = sampai) dapat berarti ma’a (beserta)
2) Bentuk At-Tarkib yakni susunan kalimat dari beberapa lafadz yang merupakan rangkaian satu kalimat yang tak dapat dipisah-pisahkan, seperti firman Allah S. Al-Baqarah : 237 yang berbunyi :
“Atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah”
Di dalam ayat di atas masih berbentuk ijmal karena kalimat “orang yang memegang ikatan nikah”, itu dapat berarti “suami” dan dapat pula berarti “wali”.
Untuk menentukan siapa di antara keduanya yang dimaafkan itu perlu bayan, yaitu sebagaimana yang diterangkan selanjutnya dalam ayat 237 S. Al-Baqarah tersebut.
3. Hukum Mujmal
Terhadap lafal yang mujmal perlu tawaqquf untuk mengetahui maksudnya. Lafal ini tidak dapat diamalkan sampai dating penjelasan dari Syari’ tentang maksudnya. Apabila penjelasan dari Syari’ terhadap lafal mujmal cukup jelas, maka lafal mujmal berubah menjadi lafal mufassar sehingga hukum yang dikandungnya harus diambil, seperti penjelasan Syari’ tentang lafal shalat, zakat dan haji.
Apabila penjelasan lafal mujmal oleh Syari’ tidak begitu jelas, maka lafal mujmal berada pada posisi lafal musykil dan hukumnya tetap diambil. Dalam hal ini, mujtahid berupaya kuat untuk menghilangkan kemusykilan yang terdapat dalam lafal tersebut dengan tidak bergantung pada penjelasan baru dari Syari’. Misalnya, lafal riba pada firman Allah S. Al-Baqarah : 275 yang berbunyi :
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Menurut Abu Hanifah, lafal riba yang terdapat dalam ayat ini mujmal karena riba secara bahasa berarti tambahan. Sebagaimana yang diketahui bahwa tidak semua tambahan termasuk riba. Jual beli yang disyariatkan Islam bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan tambahan. Namun, yang dilarang dalam Islam adalah memperoleh tambahan dalam sebuah transaksi tanpa ada pengganti yang disyariatkan ketika transaksi berlangsung. Untuk menentukan suatu transaksi termasuk riba atau tidak perlu didukung oleh penjelasan Syari’. Dalam hal ini, Nabi SAW hanya menjelaskan enam jenis barang yang termasuk riba, yaitu emas, perak, gandum, jelai, korma, dan garam. (HR. Bukhari).
Untuk itu, para ulama boleh melakukan ijtihad menentukan jenis barang lain yang termasuk riba dengan mengqiyaskan kepada enam jenis barang yang disebutkan dalam hadits ini. (Zaidan, 2003 : 352 – 353)



Lafal Mubayyan
1. Pengertian dan Pembagian Mubayyan
Secara etimologi, kata mubayyan seakar dengan kata bayan yang berarti jelas atau terang. Kata bayan dapat pula berarti mengeluarkan lafadz mujmal dari keadaan yang sulit dipahami agar jelas dan mudah untuk dipahami. (Saiful Hadi, 2001 : 70)
Istilah mubayyan adalah lawan dari mujmal. Secara istilah, para ahli ushul fiqh mendefinisikan mubayyan sebagai berikut :
المبين ما اتضحت دلا لته بالنسبة الى معنا ها
“Mubayyan adalah suatu lafal yang dilalahnya telah jelas dengan memperhatikan maknanya”. (Firdaus, 2008 : 165)

Dilihat dari segi kejelasan maknanya, mubayyan terbagi menjadi dua bentuk.
1) Al-wadih bi Nafsihi, yaitu lafal yang telah jelas maknanya sejak awal penggunaannya sehingga tidak membutuhkan penjelasan dari lafal lain. Kejelasan lafal ini diketahui melalui pendekatan bahasa, seperti firman Allah SWT dalam S. Al-Baqarah : 282 yang berbunyi :
    
“Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
Makna yang terkandung dalam ayat ini dapat dipahami dengan mudah dengan melihat penggunaan bahasanya.
Selain itu, kejelasan lafal dapat diketahui dengan menggunakan akal, seperti firman Allah SWT dalam S. Yusuf : 82 yang berbunyi :
“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ”.
Apabila diperhatikan secara bahasa, ayat ini memerintahkan untuk bertanya kepada kampung. Hal ini tentu tidak logis. Oleh sebab itu, akal dapat memahami bahwa yang diperintahkan sebenarnya bertanya kepada penduduk yang tinggal di kampung tersebut.
Adakala kejelasan lafal diperoleh melalui illat yang terdapat padanya. Hal seperti ini disebut kalangan Hanafiyyah dengan dilalah al-nash dan kalangan Syafi’iyyah menyebutnya fahwal khitab. Dalam hal ini, hukum yang terdapat pada maskut anhu (yang tidak disebutkan) lebih utama dari hukum mantuq (yang disebutkan). Misalnya, larangan mengucapkan kata uff kepada orang tua dalam s. Al-Isra’ : 23 yang berbunyi :
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia “.
Mengucapkan kata “ah” kepada orang tua akan menyakitkan hatinya. Namun, mencaci maki dan memukulnya lebih menyakitkan dari mengucapkan kata “ah” karena itu hal tersebut lebih utama haramnya.
2) Al-wadih bi Ghairihi, yaitu untuk mengetahui maknanya perlu dibantu oleh lafal lain. Misalnya, firman Allah SWT pada S. Al-An’am : 141 yang berbunyi :
“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)”.
Kata hak yang terdapat dalam ayat ini mengandung makna sesuatu yang memiliki sifat, maka penjelasannya dapat berupa kadar atau ukuran.
2. Tingkatan Bayan
Menurut para ahli ushul fiqh, bayan mempunyai lima tingkatan, yaitu : (Firdaus, 2008 : 167)
1) Bayan al-Ta’kid, yaitu nash al-jalli (nash yang jelas) yang tidak membutuhkan takwil. Dengan kata lain, al-Qur’an telah memberikan penjelasan secara lengkap tentang suatu persoalan. Misalnya, firman Allah SWT pada S. Al-Baqarah : 196 yang berbunyi :
“Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna”.
Ayat ini merupakan penjelasan (bayan) tentang puasa tamattu’. Puasa dilakukan tiga hari ketika melaksanakan ritual haji dan tujuh hari dilakukan setelah kembali ke kampong halaman sehingga jumlah keseluruhan puasa itu menjadi sepuluh hari. Pernyataan Allah dalam ayat ini dengan menegaskan (تلك عشرة كا ملة)(Itulah sepuluh (hari) yang sempurna) merupakan penjelasan yang bersifat tambahan atau penguat. Sebenarnya, di dalam ayat ini telah jelas bahwa puasa tamattu’ tiga hari ketika melaksanakan haji dan tujuh hari setelah kembali ke kampung sehingga jumlahnya menjadi sepuluh hari. Dengan demikian, bayan atau penjelasan di sini memperkuat hukum yang terdapat dalam ayat.
2) Nash yang menjelaskan secara jelas tentang maksud pembicaraan sebelumnya. Bayan ini hanya diketahui oleh ulama. Misalnya, maksud huruf wawu (الواو) dan ilaa (الى) dalam ayat tentang wudhu’, yaitu S. Al-Maidah : 6 yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”
Huruf ilaa dan wawu yang terdapat dalam ayat ini mempunyai fungsi dan hal ini hanya dapat diketahui oleh orang yang mengetahui bahasa Arab. Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad SAW memberikan contoh tentang tata cara berwudhu dengan berpedoman pada ayat ini. Nabipun menjelaskan bahwa kedua siku dan kedua mata kaki dibasuh ketika berwudhu’. Sementara dalam ayat ini memungkinkan dipahami kedua siku dan kedua mata kaki merupakan batas akhir yang dibasuh. Berdasarkan penjelasan Nabi kedua siku dan mata kaki termasuk anggota wudhu’ yang dibasuh.
3) Nash-nash Sunnah yang dating menjelaskan hal-hal yang bersifat umum dalam al-Qur’an. Banyak ayat al-Qur’an yang hanya menjelaskan hukum secara umum, seperti perintah shalat dan zakat yang terdapat pada S. Al-Baqarah : 43 yang berbunyi :
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
Ayat ini hanya menjelaskan bahwa setiap mukallaf diperintahkan untuk melaksanankan shalat wajib lima waktu dan menunaikan zakat harta bagi yang mampu. Mengenai tata cara shalat, jumlah rakaat, waktu dan bacaannya Nabi SAW yang menjelaskan melalui sunnah fi’liyah dan taqririyah. Demikian pula dengan zakat, Nabi SAW pula yang menjelaskan melalui sunnahnya tentang nisab dan jumlah zakat yang dikeluarkan muzakki (orang yang berzakat).
Sunnah menjelaskan dan menetapkan hukum yang belum diatur dalam Al-Qur’an. Sesuatu yang dijelaskan Nabi SAW meskipun tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an, tetapi hakikatnya tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan al-Qur’an. Sebab, apa yang disampaikan Nabi SAW berasal dari wahyu tidak langsung atau dari Allah juga. Hal ini sejalan dengan firman Allah, S. Al-Najm : 3-4 yang berbunyi :
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
4) Qiyas yang diistinbatkan dari al-Qur’an dan Sunnah yang disebut dengan bayan al-isyarah.
3. Lafadz Mubayyan terhadap Lafadz yang Mujmal
Penjelasan/Lafadz Mubayyan terhadap Lafadz yang mujmal itu ada tujuh macam, yaitu : (M. Umar, 1983 : 302 – 304)
1) Penjelasan dengan perkataan atau disebut juga penjelasan penguat. Misalnya kewajiban berpuasa atas orang yang mengerjakan ibadah Haji secara tamattu’, seperti firman Allah pada S. Al-Baqarah : 196 yang berbunyi:
“Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna”.
Kalimat “Itulah sepuluh (hari) yang sempurna” adalah penjelasan penguat bagi tiga dan tujuh hari yang telah ditetapkan sebelumnya.
2) Penjelasan dengan perbuatan. Seperti hadist Nabi yang berbunyi :
صلوا كما رايتموني اصلى
“Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat” (HR. Bukhari)
Hadits ini adalah merupakan penjelasan terhadap kemujmalan ayat-ayat shalat.
3) Penjelasan dengan tulisan. Seperti surat-surat Nabi yang dikirim ke daerah-daerah mengenai kadar dan pembagian zakat. Dan surat-surat itu merupakan penjelasan Rasulullah SAW terhadap kemujmalan ayat-ayat zakat.
4) Penjelasan dengan isyarat. Seperti penjelasan Rasulullah SWA mengenai bilangan dari bulan Ramadhan. Rasulullah mengatakan “Begini, begini, begini” (sambil mengangkat kedua tangannya dan mengisyaratkan dengan jari-jarinya). Dan hal ini diulang sampai dua kali dan pada kali yang kedua Rasulullah menekuk salah satu ibu jarinya.
Hal ini dapat dipahami bahwa jumlah hari bulan Ramadhan itu adakalanya 30 hari adakalanya 29 hari. Hadits ini merupakan bayan terhadap ayat-ayat tentang puasa.
5) Penjelasan dengan meninggalkan sesuatu. Seperti perbuatan Rasulullah SAW meninggalkan wudhu setelah memakan suatu makanan yang dimasak dengan api setelah pada mulanya Rasulullah mengambil wudhu sehabis memakan makanan yang dimasak dengan api
6) Penjelasan dengan sikap diam. Seperti tatkala Nabi menjelaskan tentang wajibnya ibadah haji, ada seseorang sahabat menanyakan apakah kewajiban haji itu tiap tahun? Nabi diam tidak menjawab.
diamnya Rasulullah tidak menjawab pertanyaan sahabatnya merupakan jawaban bahwa haji itu tidak wajib tiap tahun.
7) Penjelasan dengan mukhashshis-mukhashish terhadap dalil-dalil yang Am sebagaimana telah diterangkan pada bab tentang Ayat Am dan Khas.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa dalil-dalil yang terkandung didalam Al-Qur’an tidak semuanya memberikan pemahaman/penjelasan yang jelas dan secara langsung. Akan tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat dan membutuhkan ayat yang lain untuk memahamkannya. Skema dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an :

DALIL AL-QUR’AN DARI SEGI DILALAH HUKUMNYA

Mantuq Mafhum

Zhahir Nash Muwafaqah Mukhalafah

Fahwal Khitab Lahnul Khitab Mafhum Sifat
Mafhum Syarat
Mafhum ‘Illat
Mafhum ‘Adad
Mafhum ghayah
Mafhum Hasr
Mafhum Laqab

Daftar Pustaka
1. Khallaf, Abdul Wahhab. 1998. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta. Rineka Cipta.
2. A. Hanafi. 1961. Usul Fiqh. Jakarta. Wijaya.
3. Hadi, Saiful. 2009. Ushul Fiqh. Yogyakarta. Sabda media.
4. M. Umar, dkk. 1984. Fiqih-Ushul Fiqih-Mantiq. Jakarta. Departemen Agama RI.
5. Firdaus. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta. Zikrul
6. Syafe’i, Rachnat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung. Pustaka Setia.
Lampiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar