1.      Memberi Lebih Baik Daripada Meminta
a.      Teks dan Terjemah Hadits
حَدِيْثُ  ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَذَكَرَ الصَّدَقَةَ  وَالتَّعَفُّفَ وَالْمَسْئَلَةَ: اَلْيَدُ الْعُلْيَى خَيْرٌ مِّنَ الْيَدِ  السُّفْلَى، فَالْيَدُ الْعُلْيَى هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ  السَّائِلَةُ (أخرجه البخارى فى : 24 كتاب الزكاة: 18 – لاصدقة إلاّ عن ظهر غنى - ) 
Ibnu  Umar ra. Berkata, “Ketika Nabi saw. Berkhotbah di atas mimbar dan  menyebut sedekah dan minta-minta, beliau bersabda, ”Tangan yang di atas  lebih baik daripada tangan yang di bawah, tangan yang di atas memberi  dan tangan yang di bawah menerima.”
b.      Penjelasan Hadits
Islam  sangat mencela orang yang mampu untuk berusaha dan memiliki badan  sehat, tetapi tidak mau berusaha, melainkan hanya menggantungkan  hidupnya pada orang lain. Misalnya,  dengan  cara meminta-minta. Keadaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan  sifat umat Islam yang mulia dan memiliki kekuatan, sebagaimana  dinyatakan dalam firman-Nya:
... وَِللهِ الْعِزَّةِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ ..... (المنافقون:8)
Kekuatan itu bagi Allah, bagi rasul-Nya dan bgai orang-orang yang beriman (QS. Al-Munafiqun: 8)
Dengan demikian, seorang peminta-peminta, yang sebenarnya mampu mencari kasab  dengan tangannya, selain telah merendahkan dirinya, ia pun secara tidak  langsung telah merendahkan ajaran agamanya yang melarang perbuatan  tersebut. Bahkan ia dikategorikan sebaga kufur nikmat karena  tidak menggunakan tangan dan anggota badannya untuk berusaha mencari  rezeki sebagaimana diperintahkan syara’. Padahal Allah pasti memberikan  rezeki kepada setiap makhluk-Nya yang berusaha.
Allah swt berfirman:
وَمَا  مِنْ دَآبَّةٍ فِى اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ  مُسْتََقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِى كِتَابٍ مُّبِيْنٍ (هود:6)
Dan  tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang  memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan  tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh) (QS. Hud:6).
Dalam  hadits dinyatakan dengan tegas bahwa tangan orang yang di atas (pemberi  sedekah) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang diberi). Dengan  kata lain, derajat orang yang pemberi lebih tinggi daripada derajat  peminta-minta. Maka seyogyanya bagi setiap umat Islam yang memiliki  kekuatan untuk mencari rezeki, berusaha untuk bekerja apa saja yang  penting halal. 
Bagi  orang yang selalu membantu orang lain, di samping akan mendapatkan  pahala kelak di akherat, Allah jug akan mencukupkan rezekinya di dunia.  Dengan demikian, pada hakekatnya dia telah memberikan rezekinya untuk  kebahagiaan dirinya dan keluarganya. Karena Allah swt. Akan memberikan  balasan yang berlipat dari bantuan yang ia berikan kepada orang lain.
Orang  yang tidak meminta-minta dan menggantungkan hidup kepada orang lain,  meskipun hidupnya serba kekurangan, lebih terhormat dalam pandangan  Allah swt. dan Allah akan memuliakannya akan mencukupinya. Orang Islam  harus berusaha memanfaatkan karunia yang diberikan oleh Allah swt, yang  berupa kekuatan dan kemampuan dirinya untuk mencukupi hidupnya disertai  doa kepada Allah swt.
Adanya  kewajiban berusaha bagi manusia, tidak berarti bahwa Allah swt. tidak  berkuasa untuk mendatangkan rezeki begitu saja kepada manusia, tetapi  dimaksudkan agar manusia menghargai dirinya sendiri dan usahanya,  sekaligus agar tidak berlaku semena-mena atau melampaui batas,  sebagaimana dinyatakan oleh Syaqiq Ibrahim dalam menafsirkan ayat:
وَلَوْ  بَسَطَ اللهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِى اْلأَرْضِ وَلَكِنْ  يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَآءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيْرٌ بَصِيْرٌ (الشورى:27)
Dan  jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka  akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang  dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya dia Maha mengetahui  (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat (QS. Asy-Syura:27).
Menurutnya,  seandainya Allah swt., memberi rezeki kepada manusia yang tidak mau  berusaha, pasti manusia semakin rusak dan memiliki banyak peluang untuk  berbuat kejahatan. Akan tetapi, Dia Mahabijaksana dan memerintahkan  manusia untuk berusaha agar manusia tidak banyak berbuat kerusakan.
2.      Larangan Hidup Individualistis
a.      Teks dan Terjemah Hadits
عَنْ  أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ قَالَ: لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ  مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ. (رواه البخارى ومسلم وأحمد والنسائى)
Anas  ra. berkata, bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidaklah termasuk beriman  seseorang di antara kami sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia  mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i)
b.      Penjelasan Hadits
Sikap  individualistis adalah sikap mementingkan diri sendiri, tidak memiliki  kepekaan terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain. Menurut agama,  sebagaimana di sampaikan dalam hadits di atas adalah termasuk golongan  orang-orang yang tidak (smpurna) keimanannyanya.
Seorang  mukmin yang ingin mendapat ridla Allah swt. Harus berusaha untuk  melakukan perbuatan-perbuatan yang diridai-Nya. Salah satunya adalah  mencintai sesama saudaranya seiman seperti ia mencintai dirinya,  sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas.
Namun  demikian, hadits di atas tidak dapat diartikan bahwa seorang mukmin  yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri  berarti tidak beriman. Maksud pernyataan لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ pada hadits di atas, “tidak sempurna keimanan seseorang” jika tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, haraf nafi لاَ pada hadits tersebut berhubungan dengan ketidaksempurnaan.
Hadits  di atas juga menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai persaudaraan  dalam arti sebenarnya. Persaudaraan yang datang dari hati nurani, yang  dasarnya keimanan dan bukan hal-hal lain, sehingga betul-betul merupakan  persaudaraan murni dan suci. Persaudaraan yang akan abadi seabadi  imannya kepada Allah swt. Dengan kata lain, persaudaraan yang didasarkan  Illah, sebagaimana diterangkan dalam banyak hadits tentang keutamaan orang yang saling mencintai karena Allah swt., di antaranya:
عََنْ  أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ يَوْمَ  الْقِيَامَةِ: أَيْنَ الْمُتَحَابُّوْنَ بِجَلاَلِيْ اَلْيَوْمَ  أُظِلُّهُمْ فِى ظِلِّيْ يَوْمَ لاَظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ (رواه مسلم)
Abu  Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda, “pada hari kiamat allah  swt. akan berfirman, ‘di manakah orang yang saling terkasih sayang  karena kebesaran-Ku, kini aku naungi di bawah naungan-Ku, pada saat  tiada naungan, kecuali naungan-Ku.
Sifat  persaudaraan kaum mukmin yatiu mereka yang saling menyayangi, mengasihi  dan saling membantu. Demikian akrab, rukun dan serempak sehingga  merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain. Dalam hal  satu kesatuan ini, Nabi saw. mengibaratkan dalam berbagai hal, di  antaranya dengan tubuh, bangunan dan lainnya. Jika salah satu ada yang  menghadapi kesulitan, maka yang lainpun harus belasungkawa dan turut  menghadapinya. Begitupun sebaliknya.
Orang  yang mencintai saudaranya karena Allah akan memandang bahwa dirinya  merupakan aslah satu anggota masyarakat, yang harus membangun suatu  tatanan untuk kebahagiaan bersama. Apapun yang dirasakan oleh  saudaranya, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan, ia anggap sebagai  kebahagiaan dan kesengsaraannya juga. Dengan demikian, terjadi  keharmonisan hubungan antarindividu yang akan memperkokoh persatuan dan  kesatuan. Dalam hadits lain Rasulullah saw. menyatakan:
عَنْ  أَبِيْ مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى  اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ  يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا. (أخرجه البخارى)
Diriwayatkan  dari Abi Musa ra. di berkata, "Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Orang  mukmin yang satu dengan yang lain bagai satu bangunan yang  bagian-bagiannya saling mengokohkan. (HR. Bukhari)
Masyarakat seperti itu, telah dicontohkan pada zaman Rasulullah saw. Kaum Anshar dengan tulus ikhlas menolong dan merasakan penderitaan yang dialami oleh kaum Muhajirin  sebagai penderitaannya. Perasaan seperti itu bukan didasarkan  keterkaitan daerah atau keluarga, tetapi didasarkan pada keimanan yang  teguh. Tak heran kalau mereka rela memberikan apa saja yang dimilikinya  untuk menolong saudaranya dari kaum Muhajirin, bahkan ada yang menawarkan salah satu istrinya untuk dinikahkan kepada saudaranya dari Muhajirin.
Persaudaraan  seperti itu sungguh mencerminkan betapa kokoh dan kuatnya keimanan  seseorang. Ia selalu siap menolong saudaranya seiman tanpa diminta,  bahkan tidak jarang mengorbankan kepentingannya sendiri demi menolong  saudaranya. Perbuatan baik seperti itulah yang akan mendapat pahala  besar di sisi Allah swt., yakni memberikan sesuatu yang sangat  dicintainya kepada saudaranya, tanpa membedakan antara saudaranya seiman  dengan dirinya sendiri.
Allah swt. berfirman:
لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ  (آل عمران:92)
Kamu  sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu  menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu  nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Sebaliknya,  orang-orang mukmin yang egois, yang hanya mementingkan kebahagiaan  dirinya sendiri, pada hakikatnya tidak memiliki keimanan yang  sesungguhnya. Hal ini karena perbuatan seperti itu merupakan perbuatan  orang kufur dan tidak disukai Allah swt. Tidaklah cukup dipandang mukmin  yang taat sekalipun khusyuk dalam shalat atau melaksanakan semua rukun  Islam, bila ia tidak peduli terhadap nasib saudaranya seiman.
Namun demikian, dalam mencintai seorang mukmin, sebagaimana dikatakan di atas, harus didasari lillah.  Oleh karena itu, harus tetap memperhatikan rambu-rambu syara’. Tidak  benar, dengan alasan mencintai saudaranya seiman sehingga ia mau  menolong saudaranya tersebut dalam berlaku maksiat dan dosa kepada Allah  swt.
Sebaiknya,  dalam mencintai sesama muslim, harus mengutamakan saudara-saudara  seiman yang betul-betul taat kepada Allah swt. Rasulullah saw.  memberikan contoh siapa saja yang harus terlebih dahulu dicintai, yakni  mereka yang berilmu, orang-orang terkemuka, orang-orang yang suka  berbuat kebaikan, dan lain-lain sebagaimana diceritakan dalam hadits.
عَنْ  عَبْدِ اللهِ ابنْ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ  اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِيَلِّيَنِيْ مِنْكُمْ أُوْلُوا  اْلأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ثُمَّ يَلُوْنَهُمْ ثَلاَثًا وَإِيَّاكُمْ  وَهِيْشَاتِ اْلأَسْوَاقِ. رواه مسلم
Abdullah  bin Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: hendaknya  mendekat kepadaku orang-orang dewasa dan yang pandai , ahli-ahli pikir. Kemudian berikutnya lagi. Awaslah! Janganlah berdesak-desakan seperti orang-orang pasar. (HR. Muslim)
Hal  itu tidak berarti diskriminatif karena Islam pun memerintahkan umatnya  untuk mendekati orang-orang yang suka berbuat maksiat dan memberikan  nasihat kepada mereka atau melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar.
3.      Membuang Duri di Jalan
a.      Teks dan Terjemah Hadits
عَنْ  أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الإِيْمَانُ بِضْعٌ وَّسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌُ  وَّسِتُّوْنَ شَعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لآإِلـهَ إِلاَّ اللهُ  وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ  مِّنَ اْلإِيْمَانِ. (متفق عليه) (محي الدين أبي زكريّا يحيى بن شرف النواوي " رياض الصالحين" فى باب "كثرة طروق الخير، ص، 77-78)
Dari  Abi Hurairah ra., dari Nabi saw. Beliau bersabda, ”Iman itu tujuh puluh  cabang lebih atau enam puluh cabang lebih; yang paling utama adalah  ucapan “lâ ilâha illallâhu” dan yang paling rendah adalah  menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedangkan rasa malu  itu (juga) salah satu cabang dari iman.”
b.      Penjelasan Hadits
Dalam  hadits di atas, dijelaskan bahwa cabang yang paling utama adalah  tauhid, yang wajib bagi setiap orang, yang mana tidak satu pun cabang  iman itu menjadi sah kecuali sesudah sahnya tauhid tersebut. Adapun  cabang iman yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang  mengganggu kaum muslimin, di antaranya dengan menyingkirkan duri atau  batu dari jalan mereka.
Hadits  di atas menunjukkan bahwa dalam Islam, sekecil apapun perbuatan baik  akan mendapat balasan dan memiliki kedudukan sebagai salah satu  pendukung akan kesempurnaan keimanan seseorang. 
Duri  dalam konotasi secara sekilas menunjukkan pada sebuah benda yang hina.  Akan tetapi, jika dipahami lebih luas, yang dimaksud dengan duri di sini  adalah segala sesuatu yang dapat membahayakan pejalan kaki, baik besar  maupun kecil. Hal ini semacam ini mendapat perhatian serius dari Nabi  saw. sehingga dikategorikan sebagai salah satu cabang daripada iman,  karena sikap semacam ini mengandung nilai kepedulian sosial, sedang  dalam Islam ibadah itu tidak hanya terbatas kepada ibadah ritual saja,  bahkan setiap ibadah ritual, pasti di dalamnya mengandung nilai-nilai  sosial.
Di  samping hal tersebut di atas, menghilangkan duri dari jalan mengandung  pengertian bahwa setiap muslim hendangkan jangan mencari kemudlaratan,  membuat atau membiarkan kemudlaratan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul  saw. yang dijadikan sebuah kaidah dalam Ushul Fiqh:
لاَضَرَارَ وَلاَ ضِرَارَ
Janganlah mencari kemudlaratan dan jangan pula membuat kemudlaratan.
Membiarkan  duri di jalan atau sejenisnya berarti membiarkan kemudlaratan atau  membuat kemudlaratan baru, jika adanya duri tersebut awalnya sengaja  disimpan oleh orang lain.
4.      Melapangkan Orang Lain
a.       Teks dan Terjemah Hadits
عَنْ  أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ  كُرَبِ الدُّنْيَ نَفَّسَ اللهُ عَنْ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ  الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى  الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى  الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ  فِى عَوْنِ أَخِيْهِ. (أخرجه مسلم)
“Abu  Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa melepasakan  dari seorang muslim satu kesusahan dari sebagian kesusahan dunia,  niscaya Allah akan melepasakan kesusahannya dari sebagian kesusahan hari  kiamat; dan barangsiapa memberi kelonggaran dari orang yang susah,  niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya di dunia dan akhirat; dan  barangsiapa menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi  aib dia dunia dan akhirat; Allah akan senantiasa menolong seorang hamba  selam hamba tersebut menolong saudaranya.” (Dikeluarkan oleh Imam  Muslim).
b.      Penjelasan Hadits
Hadits  di atas mengajarkan kepada kita untuk selalu memperhatikan sesama  muslim dan memberikan pertolongan jika seseorang mendapatkan kesulitan.
1)      Melepaskan kesusahan bagi orang seorang muslim
Melepaskan  kesusahan orang lain mengandung makna yang sangat luas, bergantung  kepada kesusahan yang sedang diderita oleh orang tersebut. Jika  saudara-saudaranya termasuk orang miskin sedangkan ia berkecukupan  (kaya), ia harus menolongnya dengan cara memberikan bantuan atau  memberikan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya; jika saudaranya sakit  ia berusaha menolongnya dengan cara membantu membawa ke dokter atau  meringankan biayanya; jika suadaranya dililit utang, maka ia membantu  memberikan jalan keluar, baik dengan cara memberi bantuan untuk  melunasinya atau memberi arahan yang akan membantu dalam mengatasi utang  saudaranya.
Orang  muslim membantu meringankan kesusahan saudaranya yang seiman, beriman  telah menolong hamba Allah yang disukai oleh-Nya, dan Allah swt., pun  akan memberi pertolongan-Nya serta menyelamatkannya dari berbagai  kesusahan, baik dunia maupun akhirat sebagaimana firman Allah swt.
إِنْ تَنْصُرُوْا اللهَ يَنْصُرْكُمْ .... (مـحمد : 7)
“Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Allah pun akan menolong kamu semua…” (Q.S. Muhammad : 7)
2)      Menutupi Aib Orang Mukmin serta Menjaga Orang Lain dari Berbuat Dosa
Orang  mukmin pun harus menutupi aib saudaranya, apalagi ia tahu bahwa orang  yang bersangkutan tidak akan senang apabila rahasianya diketahui oleh  orang lain. Namun, demikian juga aib tersebut berhubungan dengan  kejahatan yang telah dilakukannya, ia tidak boleh menutupinya. Jika itu  dilakukan berarti telah menolong orang lain dalam hal kejahatan,  sehingga orang tersebut terhindar dari hukuman. Menolong orang lain  dalam kejahatan berarti sama saja, ia telah melakukan kejahatan.  Perbuatan itu sangat dicelka dan tidak dibenarkan dalam Islam.  Sebagaimana firman-Nya:
... وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَاَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ... (الـمائدة : 2)
“… Janganlah kamu saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan…” (Q.S. Al-Maidah : 2)
Dengan  demikian, jika melihat seseorang akan melakukan kejahatan atau dosa,  maka setiap mukmin harus berusaha untuk mencegahnya dan menasihatinya. Jika  orang tersebut terlanjur melakukannya, maka suruhlah untuk bertaubat,  karena Allah swt. Maha Pengampun lagi Maha Penerima Taubat. Tindakan  tersebut merupakan pertolongan juga, karena berusaha menyelamatkan  seseorang dari adzab Allah swt.
Yang  paling penting dalam melakukan perbuatan yang dianjurkan syara’,  seperti menolong atau melonggarkan kesusahan orang lain, adalah tidak  mengharapkan pamrih dari orang yang ditolong, melainkan ikhlas  semata-mata didasari iman dan ingin mendapat ridla-Nya.
Beberapa  syari’at Islam seperti sahalat, puasa, zakat, dan yang lainnya, di  antaranya dimaksudkan untuk memupuk jiwa kepedulia sosial terhadap  sesama mukmin yang berada dalam kesusahan dan kemiskinan.
Orang  yang memiliki kedudukan harta yang melebih orang lain hendaknya tidak  menjadikannya sombong atau tinggi hati, sehingga tidak memperhatikan  orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan. Pada hakikatnya Allah  swt. menjadikan adanya perbedaan seseorang dengan yang lainnya adalah  untuk saling melengkapi. Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
أَهُمْ  يَقْسِمُوْنَ رَحْمَةَ رَبِّكَ، نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ  مَّعِيْشَتَهُمْ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ  بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لَّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ... (الزخرف : 32)
“Apakah  mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara  mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah  meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,  agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain…” (Q.S.  az-Zukhruf : 32)
Di  dunia ini dengan adanya orang yang senang dengan kekayaan atau  kedukannya, dan ada pula orang-orang yang susah karena kemiskinannya,  hal ini merupakan kehendak Allah swt. untuk keseimbangan kehidupan di  dunia. Dapat dibayangkan jika semua orang kaya, siapa yang akan menjadi  petani atau mengerjakan pekerjaan kasar yang biasa dikerjakan oleh  orang-orang kecil. Begitu pun sebaliknya, jika semuanya miskin,  kehidupan di dunia akan kacau.
Dengan  demikian, pada hakikatnya hidup di dunia adalah saling membantu dan  mengisis, ketentraman pun hanya akan dapat diciptakan jika masing-masing  golongan saling memperhatikan dan menolong satu sama lain, sehingga  kesejahteraan tidak  hanya berada pada satu golongan saja.
Perintah  agar kaum muslimin peka dan peduli terhadap orang lain juga dicerminkan  melalui syariat penyembelihan hewan qurban. Hal itu tergambar dari doa  yang dibaca setelah hewan qurban disembelih, yang berbeda dengan  penyembelihan hewan biasa, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari  Siti Aisyah, disunahkan membaca doa, yang artinya:
“Dengan menyebut nama Allah, ya Allah terimalah (Qurban ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad dan Ummat Nabi Muhammad saw.”
Memperbaiki  kesejahteraan merupakan salah satu di antara tiga cara dalam  memprebaiki keadaan masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh Abu Hasan  dalam kitab “Adab ad-Dunya wa ad-Din”, yakni menjadikan manusia taat;  menyatukan rasa dalam hal kesenangan dan penderitaanl dan menjaga dari  hal-hal yang akan mengganggu stabilitas kehidupan.
Sebagaimana  telah dibahas di atas, peduli terhadap sesama tidak hanya dalam masalah  materi saja, tetapi dalam berbagai hal yang menyebabkan orang lain  susah. Jika mampu, setiap muslim harus berusaha menolong sesamanya.
Sesungguhnya Allah swt. akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya menolong dan membantu sesama saudaranya.
5.      Larangan Menganiaya Kucing
a.      Teks dan Terjemah Hadits
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِى هِرَّةٍ حَبَسَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ جُوعًا فَدَخَلَتِ النَّارَ 
Dari  Ibnu Umar ra bahwa rasulullah saw bersabda,”Seorang wanita dimasukkan  ke dalam neraka karena seekor kucing yang dia ikat dan tidak diberikan  makan bahkan tidak diperkenankan makan binatang-binatang kecil yang ada  dilantai.” (HR. Bukhari)
b.      Penjelasan Hadits
Riwayat  tersebut tidak menunjukkan bahwa Rasulullah menynyayangi binatang  kucing, tetapi akibat menyia-nyiakan binatang piaraan seperti kucing pun  akan mendapatkan adzab di akhirat. Sebenarnya bukan hanya kucing,  menyia-nyiakan semua binatang peliharaan seperti burung, ikan dan  lain-lain juga bisa menyebabkan datangnya adzab Allah.
Demikian juga hadis lain yang menunjukkan bahwa jilatan kucing tidak najis;
عَنْ  أَبِي قَتَادَةَ َقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ 
Dari  Abu Qatadah bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang kucing,”Sesungguhnya  (kucing itu) tidaklah najis karena dia termasuk yang berkeliling di  antara kamu. (HR. An-Nasa’i, Abu Daud) 
Bahkan diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah berwudhu dari air yang telah diminum oleh kucing. 
عَنْ عَائِشَةَ َقَالَتْ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ بِفَضْلِهَا
Dari  Aisyah ra sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,’(Kucing) itu tidaklah  najis, dia termasuk binatang yang berkeliling di antara kalian”. Dan aku  (Aisyah) melihat Rasulullah SAW berwudhu dengan air bekas jilatan kucing’. (HR. Abu Daud).
Hadis-hadis di atas juga tidak mengindikasikan Rasulullah menyayangi kucing. Rasulullah hanya menyebutkan bahwa kucing adalah binatang jinak yang banyak bergaul (berkeliling) di antara manusia.
Tetapi  seandainya ada riwayat yang shahih tentang hal ini, kita perlu ingat  bahwa Rasulullah manusia biasa yang diberi wahyu. Sebagai manusia biasa  beliau memiliki sifat-sifat kemanusiaan, seperti menyukai sesuatu. Dalam  hal yang bukan brada di dalam wilayah syari’ah hal ini bisa ditiru dan  bisa pula tidak. Tetapi dalam masalah syari’at, apa yang dialakukan,  dikatakan dan ditetapkan oleh Rasulullah harus diikuti. 
Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Islam tidak saja memberikan aturan kerja (manual)  bagi hubungan manusia dengan Penciptanya, atau dengan sesama manusia,  namun juga dengan binatang dan tumbuhan. Dalam banyak ayat didalam Al  Quran, Allah telah banyak memberikan peringatan kepada manusia agar  senantiasa menjaga alam, menyayangi binatang dan merawat tumbuhan, serta  melarang untuk berbuat kerusakan dimuka bumi. Ayat keempat puluh satu  surat Ar Ruum, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut  disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan pada  mereka sebagian akibat perbuatannya, agar mereka kembali”, memperingatkan  para pemegang HPH yang semena-mena merusak hutan, pengusaha  pertambangan yang rakus, ataupun eksploitator laut yang melampaui batas.
Allah memerintahkan manusia untuk sayang pada hewan-hewan. Banyak nama-nama surat dalam Al Quran yang mengambil tamsil  dan pelajaran dari perilaku binatang, mulai dari yang baik hingga yang  berbuat kerusakan. Ada al Baqarah (sapi betina), al An’aam (binatang  ternak), an Nahl (lebah), an Naml (semut), al Ankabuut (laba-laba), al  ‘Aadiyaat (kuda perang) dan juga al Fiil (gajah). 
Binatang  diciptakan oleh Allah untuk dimanfaatkan oleh manusia sebagai makanan,  pembantu pekerjaan atau perjalanan manusia. Namun demikian, bukan  berarti manusia bebas memperlakukan mereka. Diriwayatkan dari Hasan  al-Bashri, bahwa pada suatu pagi Rasulullah berjalan melewati seekor  unta yang diikat. Setelah beliau menyelesaikan urusannya dan kembali  lewat jalan itu, beliau melihat unta itu masih diikat. Kemudian beliau  bertanya kepada pemilik unta itu, “Apakah kamu tidak melepas dan tidak memberi makan unta itu sepanjang hari?” Pemilik unta itu menjawab, “Tidak”. Beliau bersabda kepadanya, “Ingatlah, nanti pada hari kiamat unta itu akan mempersalahkan ini kepada Allah”.
Lebih  jauh lagi Rasulullah memberikan teguran keras pada penyiksa binatang.  Said bin Jubair mengatakan bahwa ia pernah melihat bersama Ibnu Umar  sekelompok pemuda yang memasang ayam betina untuk dijadikan sasaran  latihan memanah. Demi melihat Ibnu Umar mereka bubar dan Ibnu Umar  berkata, “Siapakah yang berbuat ini? Sesungguhnya Nabi Saw. mengutuk orang yang berbuat begini”. Sementara  itu Abu Hurairah (bapaknya kucing kecil), julukan Rasulullah bagi  seorang sahabat perawi hadits yang menyayangi dan senantiasa membawa  kucing kecil kemanapun ia pergi, berkata bahwa Nabi Saw. bersabda, ”Ada  seorang perempuan masuk neraka lantaran kucing yang ia ikat di dalam  rumah, dimana ia tidak memberinya makan dan minum dan tidak  melepaskannya agar kucing itu bisa makan dari sampah (yang ada diatas)  bumi, sehingga kucing itu mati”. 
6.      Menyantuni Anjing
a.      Teks dan Terjemah Hadits
عَنْ  أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِيْ فِى الطَّرِيْقِ  اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطْشُ فَوَجَدَ بِئْرًا، فَنَزَلَ فِيْهَا فَشَرِبَ  ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ الثَّرَى مِنَ الْعَطْشِ فَقَالَ  الرَّجُلُ: لَقَدْ بَلَغَ هذَا الْكَلْبُ مِنَ الْعَطْشِ مِثْلَ الَّذِيْ  كَانَ قَدْ بَلَغَ مِنِّيْ ، فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلأَ خُفَّهُ مَاءً  ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيْهِ حَتَّى رَقِيَ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللهُ  لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَإِنَّ لَنَا فِى  الْبَهَائِمِ أَجْرًا؟ فَقَالَ: فِى كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرًا. متفق عليه (محي الدين أبي زكريّا يحيى بن شرف النواوي " رياض الصالحين" فى باب "كثرة طروق الخير، ص، 78)
Dari  Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasullah saw. Telah bersada, ”pada suatu  saat seorang pejalan kaki yang lagi kehausan menemukan sebuah sumur,  yang kemudian ia turun ke dalamnya untuk mengambil air dan meminumnya,  kemudian ia naik lagi. Ketika itu, dia menemukan seekor anjing yang  kehausan sedang menjilati rerumputan kering saking hausnya. Orang  tersebut berkata, ”anjing ini kehausan sebagaimana yang dirasakan  olehku”. Kemudian orang tersebut turun lagi ke dalam sumur dan memenuhi  sepatunya (dengan air), kemudian dibawanya dengan gigit, lalu ia memberi  minum kepada anjing tersebut. Maka Allah menerima perbuatan orang  tersebut dan memberikan ampunan kepadanya. Para sahabat berkata, ”Apakah  bagi kami dalam (mengasihi) binatang ada pahala?” Beliau menjawab,  ”Dalam setiap hewan yang memiliki jantung basah (hidup) terdapat  pahala.” (Sepakat ulama hadits).
b.      Penjelasan Hadits
Dalam QS. Al-Anbiya, Allah swt. berfirman:
وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِّلْعَالَمِيْنَ (الأنبياء:107)
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam“ (Q.S. al-Anbiyaa’ 21:107)
Ayat ini menjadi salah satu dasar ajaran bagaimana seharusnya seorang muslim berperilaku dalam kehidupan sosialnya di masyarakat. Tak hanya memberikan manfaat yang baik bagi sesama manusia (hablumminannaas), tetapi juga flora dan fauna di alam semesta ini. Salah satu media untuk melatih sifat rahmatan lil’alamin bagi muslim adalah dengan menyayangi hewan.
Hal  ini bisa terlihat dari beberapa cuplikan hadits Nabi yang berisi seruan  untuk menyayangi hewan dan larangan berbuat dzalim terhadap  mahluk-mahluk Tuhan khususnya hewan, seperti halnya pada hadits di atas.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya “Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah wa Syaiun min Fiqhiha wa Fawaa’idiha  (Silsilah Hadits Shahih)” secara istimewa telah memberikan ruang  tersendiri berkenaan bab khusus hadits-hadits Nabi saw. tentang seruan  untuk menyayangi hewan. Dalam pengantar bab tersebut, Syaikh Nashiruddin  al-Albani mengatakan,
“…Hadits-hadits  itu menunjukkan betapa besar perhatian orang-orang terdahulu  saran-saran Nabi s.a.w. tentang kasih sayang terhadap hewan. Walaupun  hakekatnya semua itu (kumpulan hadits-hadits tersebut) masih sedikit  sekali porsinya, ibarat setetes air di lautan. Namun hal itu telah  memberikan alasan yang cukup kuat bahwa Islam mengajarkan untuk  menyayangi hewan, tidak seperti apa yang diduga oleh orang-orang yang  sedikit pengetahuannya tentang Islam…”
Dalam  kelanjutan pengantarnya, Syaikh Nashiruddin al-Albani pun menyindir  tentang kesalahpahaman non muslim yang beranggapan Islam tidak pernah  mengajarkan kasih sayang kepada hewan, hal ini diakibatkan pula karena  realitas sosial dari kalangan muslim yang tidak atau belum mengamalkan  seutuhnya seruan Nabi Muhammad saw. dalam memberikan perhatian khusus  terhadap dunia hewan.
Dalam pandangan Islam, anjing memang dinyatakan najis bahkan ada di jajaran najis mughallazhah,  akan tetapi sebagai manusia yang menganut agama rahmat, memandang  anjing jangan dilihat dari sisi najisnya, tapi dari sisi manfaat yang  dimiliki oleh hewan tersebut. Dan perlu diketahui pula bahwa menyayangi  binatang termasuk salah satu aspek akhlak Islam, yaitu akhlak terhadap  lingkungan dan hewan.

assalamu'alaikum ..
BalasHapusmaaf , kalau saya boleh ngomong , di pembahasan lain hadits-hadits kepedulian sosial itu ada yang (Pelacur memberi minum anjing yang kehausan),, Sumber: Lu’lu’ Walmarjan (1447).
dan ada juga (Menolong saudara-saudara seagama) ,, Sumber: Adabun Nabawy (23).
yang saya tanyakan ..
boleh tidak kalo anda menjelaskan tentang (Pelacur memberi minum anjing yang kehausan),, Sumber: Lu’lu’ Walmarjan (1447).
dan juga (Menolong saudara-saudara seagama) ,, Sumber: Adabun Nabawy (23)
kalau bisa pake TEKS DAN TERJEMAHAN HADITS , dan PENJELASAN HADITS .
mungkin itu yg saya tanyakan , dan sy ingin jawaban yg secepat.ny krna itu pelajaran buat saya , hehe
maaf klo ada yg salah kata :)
wassalamu'alaikum ..