STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 28 Juni 2011

ILMU HADIST LENGKAP

A. Latar Belakang Masalah

Agama islam adalah agama yang mampu mengakomodir segenap peran rasa dan rasio secara proporsional, terbukti dari beberapa pembahasan-pembahasan tentang ajaranya mampu melibatkan kedua anugerah agung ini, salah satu contoh mungkin dalam ilmu fiqh dan ushul, kolaborasi antara keimanan dan pemikiran menjadi landasan utama dalam menelorkan rumusan hukum-hukumnya, Semua paparan di atas tentunya tidak terlepas dari pengaruh dua pegangan suci umat islam, yaitu alqur’an dan hadis.
Kedua dokumen suci yang diyakini sebagai sumber utama umat islam ini haruslah bersifat universal, sifat inilah yang akan menjadikan dokumen ini akan selalu tampak tegar dan segar ketika dihadapkan pada perubahan situasi dan kondisi yang berbeda-beda, Fungsi dan peran di atas tentunya  tidak akan terealisir tanpa peran dari intelektual indifidu yang di amanati sebagaimana teguran dalam firman alloh:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Lantas sejauhnamakah peran akal (ro’yi) dalam mengawal perjalanan teks-teks suci ini?  Kalau kita melihat realita dikalangan umat islam, kita akan mendapati mayoritas ulama’ mengunakan penalaran ketika tidak ditemukan keterangan yang jelas dalam teks-teks suci. Banyak kalangan menduga bahwa keputusan tersebut berdasarkan statemen nabi dalam hadis yang diriwayat oleh beberapa kolektor hadis dari sahabat Muadz Bin Jabal yang berbunyi:­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ
Rosululloh ketika akan mengutus muadz ke yaman bersabda: bagaimanakah kamu akan mengambil keputusan ketika dihadapkan pada permasalahan?muadz menjawab: aku akan memutuskan dengan kitabulloh(jawab muadz). Jika tidak kau temukan dalam kitabulloh? Dia menjawab: dengan sunnah utusaNYA S.A.W. jika tidak kau temukan dalam sunah utusaNYA S.A.W. dan dalam kitabNYA? Dia menjawab: aku akan berusaha dengan nalarku dan tidak akan keluar dari jalan yang luru. Rosul menepuk pundak muadz seraya bersabda: segala puji milik alloh yang memberi petunjuk utusan rasulNYA terhadap perkara yang membuatnya ridho.           
Dari paparan hadis di atas penulis akan mencoba melakukan tinjauan kembali mengenai kualitas hadis tersebut, agar kita bisa mengetahui dengan benar seberapa jauh tuhan memerintahkan kepada kita untuk memfungsikan anugerah agung ini. Walaupun secara umum penulis tidak melakukan penafsiran lebih jauh tentang hadis di atas akan tetapi kita akan memperoleh sedikit jawaban atau gambaran tentang pertanyaan apakah kita bebas mengunakan akal di atas segala-galanya sehinga segala sesuatu yang tidak sesuai denganya harus kita singkirkan sebagaimana pemikiran yang berkembang disebagian umat islam? atau akal kita tidak mempunyai peran apapun dalam kehidupan ini, karena segala permasalahan telah di jawab oleh teks-teks suci dari alloh dan Nabi?  ataukah kita berada di tengah-tengah kedua arus besar pemikiran di atas?. Dengan mengetahui status hadis ini mungkin akan menjadi langkah awal bagi kita untuk menentukan sikap atau prinsip manakah yang akan kita ambil, yang selanjutnya akan menjadi penentu dalam setiap meputusan dan keyang kita ambil.  

B. Teks Hadis Lengkap Dengan Sanad Dari Beberapa Perowi
   (1)حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرِو ابْنِ أَخِي الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ. رواه أبي داود[1]
 (2)   حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرِو بْنِ أَخِي الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ نَاسٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ عَنْ مُعَاذٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَصْنَعُ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي لَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرِي ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.  رواه أحمد  [2]
(3)   حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ الثَّقَفِىِّ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَخِى الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ نَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ عَنْ مُعَاذٍ : أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ :« أَرَأَيْتَ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ كَيْفَ تَقْضِى؟ ». قَالَ : أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ :« فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِى كِتَابِ اللَّهِ؟ ». قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ :« فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ؟ ». قَالَ : أَجْتَهِدُ رَأْيِى لاَ آلُو. قَالَ : فَضَرَبَ صَدْرَهُ ثُمَّ قَالَ :« الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ »   رواه الدارمى[3]
(4)  حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي عَوْنٍ الثَّقَفِيِّ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو ابْنِ أَخٍ لِلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ عَنْ مُعَاذٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ   رواه الترمذى[4]  

C. Rumusan Masalah
  Pemahaman tentang panilaian terhadap status hadist menjadi sebuah hal yang sangat penting saat ini untuk menyehatkan kembali pembahasan-pembahasan tentang masalah keagamaan, sehinga peluang manipulasi agama bisa terdeteksi sejak awal. Berpijak dari konsep ini, penulis akan menyajikan ulasan penelitian tentang hadis nabi yang diriwayatkan oleh beberapa perowi di atas. Penelitian hadis ini meliputi pembahasan secara kualitatif, mutatir atau ahadkah hadis tersebut?, Dan secara kuantitatif, sahih atau doifkah hadis di atas?

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan penilaian dari status sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat muadz ibn jabal, sehingga  diharapkan para pembaca bisa mengetahui kualitas dan kuantitas hadis ini secara lebih detail.

E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini di ajukan dalam rangka representasi UAS semester IV mata kuliah mustolahu al hadist kepada bapak dosen.


BAB II
LANDASAN TEORI

A.     Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar
1. Pengertian Hadits
Menurut bahasa kata hadits memiliki arti;
a)      al jadid minal asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.[5]
b)      Qorib (yang dekat)
c)      Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya.[6] Dari makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw.[7]
Jamaknya adalah hudtsan, hidtsan dan ahadits. Jamak ahadits-jamak yang tidak menuruti qiyas dan jamak yang syad-inilah yang dipakai jamak hadits yang bermakna khabar dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, hadist-hadits Rasul dikatakan ahadits al Rosul bukan hudtsan al Rosul atau yang lainnya.
Ada juga yang berpendapat ahadits  bukanlah jamak dari hadits, melainkan merupakan isim jamaknya.
Dalam hal ini, Allah juga menggunakan kata hadits dengan arti khabar, dalam firman-Nya;
فليأتوا بحديث مثله إن كانوا صادقين.
"maka hendaklah mereka mendatangkan khabar yang  sepertinya jika mereka orang yang benar"  (QS. At Thur; 24).
Adapun hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik setelah dingkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.[8]
Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar'i.[9] Oleh karena itu, menurut ahli ushul sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum tidak tergolong hadits, seperti urusan pakaian.[10]
2. Pengertian sunah
Sunah menurut bahasa adalah perjalanan (jalan yang ditempuh), baik terpuji atau tidak.[11] Jamaknya adalah sunan.
Sunah menurut istilah Muhadditsin adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat, kelakuan, maupun perjalanan hidup, baik setelah diangkat ataupun sebelumnya.
Sunah menurut istilah ahli ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi-selain al Qur'an- baik berupa perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang bisa dijadikan dalil bagi hukum syar'i.
Suah menurut istilah Fuqoha adalah sesuatu yang diterima dari Nabi Muhammad saw, yang bukan  fardlu ataupun wajib.
3. Pengertian khabar
Khabar menurut bahasa adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Khabar menurut Muhadditsin adalah warta dari Nabi, Shahabat, dan Tabi'in. oleh karena itu, hadits marfu', maukuf, dan maktu' bisa dikatakan sebagai khabar. Dan menurutnya khabar murodif  dengan hadits.[12]
Sebagian ulama berpendapat bahwasannya hadits dari Rosul, sedangkan khabar dari selain Rosul. Dari pendapat ini, orang yang meriwayatkan hadits disebut Muhadditsin dan orang yang meriwayatkan sejarah dan yang lain disebut Akhbari.
Adapun secara terminologi terdapat perbedaan pendapat terkait definisi khabar, yaitu:
Ø      Kata khabar sinonim dengan hadits;
Ø      Khabar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan seseorang selain Nabi Muhammad. Sedangkan hadits adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Nabi Muhammad.
Ø      Khabar mempunyai arti yang lebih luas dari hadits. Oleh karena itu, setiap hadits dapat disebut juga dengan khabar. Namun, setiap khabar belum tentu dapat disebut dengan hadits[13].
4. Pengertian Atsar
Secara etimologi atsar berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya.[14] Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai definisi atsar ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan hadits. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Shahabat.

B.     Sejarah Penghimpunan Hadist
Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Quran. Keberadaan hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri.
Kendati demikian, keberadaan hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw. maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan, yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah[15].
Sementara itu perhatian hadist tidaklah se-istimewa al-Quran, hadist telah melewati proses sejarah yang sangat panjang. Setidaknya sampai sekarang ini, hadist telah melewati kurang lebih tujuh masa atau periode perkembangan.

1. Periode pertama

Periode pertama adalah masa wahyu dan pembentukan masyarakat. Pada masa ini Nabi SAW. hidup di tengah-tengah masyarakat pada umumnya dan di tengah sahabat pada khususnya, baik sewaktu tinggal di Makkah maupun setelah Hijrah ke Madinah. Pada masa permulaan ini jumlah umat Islam hanyalah beberapa gelintir orang saja. Mula-mula mereka tinggal di rumah al-Arqam bin Abdu Manaf, yang terletak di kota Madinah. Disitu mereka mempelajari agama Islam, mempelajari al-Quran, serta mereka melakukan dakwah yang pada awalnya mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi. Bersamaan dengan berjalannya waktu akhirnya Islampun mulai berkembang, sehingga membentuk komunitas yang lebih besar. Di era tersebut Kota Madinah masih memiliki sembilan masjid. Maka pada awal-awal perkembangan itu, Nabi memerintahkan kepada umat Islam untuk mempelajari baca tulis. Dan nabi memprioritaskan terhadap penulisan al-Quran.[16] 
Adapun hadist pada waktu itu, belum begitu diperhatikan seperti halnya al-Quran yang sejak awal mendapatkan perhatian khusus. Bahkan pada awal-awal turunnya wahyu, Nabi SAW melarang para sahabatnya untuk menulis hadist. Karena dikhawatirkan akan tercampur dengan al-Quran, dan juga supaya semua potensi ditujukan dan diarahkan pada al-Quran. Sehingga pada saat itu hadist terdokumentasikan dalam bentuk hafalan saja. Berikut ini contoh Hadist Nabi SAW yang melarang penulisan hadist.

                                  لاتكتبوا عنى شيئا غيرالقران فمن كتب عنى شيئاغيرالقران فليمحه
Artinya “ Jangan menulis apa-apa selain al-Quran dari saya, barang siapayang menulis dari saya selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya”.(HR. Muslim dari Abu Said a-Khudry)[17].
Namun ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Nabi SAW memberikan izin kepada sebagian sahabatnya untuk menulis hadist. Hal itu bertujuan untuk membantu dalam proses hafalan mereka. Namun pada ujungnya disaat periode terakhir masa-masa kehidupan Nabi mereka mengkodifikasikannya. Diantara para sahabat yang telah mendapatkan lisensi  adalah Abdulloh bin Amr bin Ash (7SH-65H), Dia memiliki kumpulan hadist  yang dikenal dengan Sahifah as-Sadiqah, sahifah ini memuat seribu hadist. Disamping itu dijumpai sebuah kitab hadist Sahifah Jabir bin Abdillah yang ditulis oleh Jabir bin Abdulloh al-Ansari (16-74H). dan yang terakhir Sahifah Sahihah yang disusun oleh Human bin Munabbih (40-131H).[18] Contoh hadist yang memperbolehkan penglodifikasian hadist adalah.

اكتبواعني فوالذى نفسى بيده ماخرج من فمى الاحق
Artinya “ Tulislah dari saya demi zat yang diriku di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang hak “.[19]
Di masa ini, dapat disebutkan beberapa cara sahabat dalam menerima hadist.[20]
Pertama hadist diterima secara langsung.
Ø      Melalui majlis pengajian nabi yang diadakan pada waktu-waktu tertentu.
Ø      Adanya perilaku umat yang disaksikan oleh nabi secara langsung dan menghendaki panjelasan dari nabi.
Ø      Pertanyaan yang diajukan oeh sahabat atau permintaan penjelasan sahabat kepada Nabi SAW.
Ø      Ada peristiwa yang langsung dialami Nabi SAW dan para sahabat menyaksikannya.
Kedua hadist diterima secara tidak langsung, yang disebabkan beberapa factor.
Ø      Kesibukan yang dialami sahabat.
Ø      Tempat tinggal sahabat yang jauh.
Ø      Persaan malu untuk bertanya langasung kepada Nabi SAW.
Jadi pada masa ini terdapat perbedaan tingkat penerimaan hadist dilkalangan sahabat. Selain karena sebab-sebab diatas factor lain adalah tingkat kemampuan termasuk tingkat kecerdasan diantara mereka yang menetukan kualitas penerimaan hadist.
2. Periode kedua

Tepatnya periode ini adalah masa kepemimpinan khulafa ar-Rasyidin, Abu Bakar as-Siddik, Umar bi Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Tholib (10H-40H). Persoalan yang menonjol serta banyak menyita perhatian para sahabat pada periode ini, disamping usaha penyebarluasan Islam adalah soal ketatanegaran dan soal kepemimpinan umat. Persoalan-persoalan tersebut menumbuhkan perpecahan dikalangan intern umat, yang merambat pada lahirnya berbagai macam fitnah dan intrik. Yang pada tataran selanjutnya Hadist pun juga tak luput dari dampak tersebut. Sehingga wajar kalau Abu Bakar dan Umar menyerukan pada umat Islam untuk berhati-hati dan cermat dalam meriwayatkan Hadist. Serta meminta para sahabat untuk secara teliti memeriksa riwayat Hadist yang mereka terima.[21]
Beberapa sumber mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar tidak akan menerima hadist kalau tidak disaksikan kebenarannya oleh saksi yang lain. Hal itupun juga diikuti sahabat-sahabat yang lainnya. Contohnya sahabat Ali, Ia tidak menerima hadist sebelum yang meriwayatkan disumpah terlebih dahulu.[22] Semua itu menunjukkan bahwa betapa ketatnya para sahabat dalam menerima hadist. Namun berkenaan dengan semakin luasnya wilayah Islam, yang tepatnya di masa pemerintahan Ali dan Ustman maka larangan terhadap periwatan hadist tidak lagi dapat dilakukan dengan tegas seperti pada masa Abu Bakar dan Umar. Karena banyak dari sahabat yang sudah berpencar ke daerah-daerah baru. Akibatnya penyebaran dan pengembangan riwayat secara lebih jauh tidak terhindarkan lagi.[23] Adapun penyeberan hadist pada masa ini menggunakan lisan, dan hanya pada saat yang diperlukan. Misalnya jika umat Islam menghadapi suatu permasalahan yang menuntut penjelasan dari hadist. Maka pada saat itulah hadist baru dipakai untuk menyelesaikan permasalahan tersebut[24]

3. Periode ketiga

Periode ini disebut periode penyebaran riwayat. Ini berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabiin besar. Penakhlukan beberapa kota diantaranya Syam dan Irak (17H), Mesir (20H), Persia (21H), Samarkand (56H), dan Spanyol (93H) menuntut para sahabat untuk berpindah ke tempat-tempat baru dengan tujuan mengajarkan agama Islam. Adapun perkembangan selanjutnya sahabat yang mendengar  riwayat (Hadist) , yang belum pernah didengarnya merasa perlu melakukan pengecekan dengan melawat ke kota di mana sahabat yang meriwayatkan hadist tersebut tinggal. Kedatangan sahabat tersebut dimanfaatkan oleh golongan tabiin untuk mendengarkan pengajaran-pengajaran daripadanya.[25] Dalam riwayat Bukhori Ahmad, at-Tabari, dan al-Baihaki disebutkan bahwa Jabir pernah pergi ke Syam menanyakan sebuah hadist kepada seorang sahabat yang tinggal disana. Hal demikian juga pernah dilakukan oleh Ayyub al-Anshari yang melawat ke Mesir hanya untuk menemui Uqbah bin Nafi.[26]
Periode ini ditandai oleh aktifnya generasi tabiin menyerap hadist dari generasi sahabat. Sehingga pada masa itu muncullah istilah “Bendaharawan Hadist”, yaitu para sahabat yang meriwayatkan hadist lebih dari seribu hadist. Diantara mereka adalah Abu Hurairah (meriwayatkan 5374 hadist), Abdullah bin Umar bin Khattab, (meriwayatkan 2630 hadist), Anas bin Malik, ,meriwayatkan (2266 hadist), Aisyah, meriwayatkan (1210 hadist), Abdullah bin Abbas, meriwayatkan (1660 hadist), Jabir bin Abdullah, meriwayatkan (1540 hadist), Abu Said al-Khudari, meriwayatkan (1170 hadist). Sedangkan dari golongan tabiin yang tercatat sebagai tokoh hadist pada periode ini adalah Said dan Urawah di Madinah, Ikrimah dan Ata bin Abi Robbah di Makkah, asy-Sya’bi dan Ibrahim an-Nakhai di Kufah, Abu Qotadah dan Muahmmad bin Sirin di Basra, Umar bin Abdul Aziz dan Qobisah bin Zuaib di Syam, Abu Khoir Marsad al-Yazini dan Yazid bin Habib di Mesirl, dan Taus bin Khoiman di al-Yamani serta Wahab bin Muanabbih di Yaman.[27]
Pada era tersebut juga terdapat beberapa sahabat yang ,menyedikitkan riwayat. Alasannya, mereka takut terjerumus dalam kedustaan, serta takut akan  banyaknya hadist yang terlupakan dikarenakan usianya yang telah lanjut. Az-Zubair dan Zaid bin Arqom adalah contoh dari sekian sahabat yang mengambil sikap seperti itu[28].
Sedangkan dari golongan tabiin yang tercatat sebagai tokoh hadist pada periode ini adalah Said dan Urawah di Madinah, Ikrimah dan Ata bin Abi Robbah di Makkah, asy-Sya’bi dan Ibrahim an-Nakhai di Kufah, Abu Qotadah dan Muahmmad bin Sirin di Basra, Umar bin Abdul Aziz dan Qobisah bin Zuaib di Syam, Abu Khoir Marsad al-Yazini dan Yazid bin Habib di Mesirl, dan Taus bin Khoiman di al-Yamani serta Wahab bin Muanabbih di Yaman.[29]
Perkembangan selanjutnya terjadi perpecahan dikalangan umat Islam, karena persoalan kholifah dan politik. Dan hal itu merembet pada perang saudara antara Ali cs, dan Muawaiyah cs. Perseteruan itu banyak membawa korban dikalangan umat Islam. Pada akhirnya situasi perpolitikan yang demikian itu memberi peluang berkembangnya pemalsuan hadist. Hadist palsu tersebut digunakan untuk menjastifikasi golongan mereka masing-masing. Contoh hadist palsu yang dibuat golongan syiah.
من مات وفى قلبه بغض لعلى فليمت يهد يااو نصرانيا
Artinya: “siapa yang mati dan dalam hatinya ada rasa benci kepada Ali, maka hendaklah mati sebagai orang Yahudi atau Nasrani.”[30]
Contoh hadist palsu yang dibuat golongan Muawiyah.
الامناء عندالله ثلا ثة : انا وجبريل ومعويه
Artinya: “ orang yang terpercaya oleh Alloh hanya tiga, yakni Aku (Nabi), Jibril, Muawiyah”.[31]

4. Periode keempat

Periode keempat berlangsung dari masa Kholifah Umar bin Abdul Aziz (99H-102H) sampai akhir abad kedua Hijriah. Kholifah Umar bin Abdul Aziz yang tumbuh dalam ikllim keilmuan, membentuk pribadi yang cinta akan ilmu pengetahuan. Selain itu beliau juga terkenal jujur. Sehingga ketika Ia menangkap kenyataan bahwa banyak dari para penghafal hadist yang wafat, serta semakin berkembangnya hadist palsu, maka tergeraklah hatinya untuk mengkodifikasikan hadist. Ia khawatir kalau tidak segera dibukukan maka hadist pasti akan berangsur-angsur hilang. Kekhawatiran itulah yang menyebabkan kholifah memerintahkan Gubernur Madinah Abu Bakar Muhammad bin Amru bi Hazm (w 117H) untuk membukukan hadist yang terdapat pada penghafal Amrah binti Abdurrahman bin Saad bin Zuhairah bin Ades (ahli fiqih murid Aisyah RA) serta hadist yang ada pada Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq. Selain itu kholifah juga memerintahkan Muhammad bin Syihab az-Zuhri (w 124 H) untuk mengumpulkan hadist yang ada pada para penghafal Hijaz dan Syuriah. Masa ini dicatat oleh sejarah sebagai masa kodifikasi resmi.[32]
Selanjutnya bertolak dari sini berkembanglah pengkodifikasian hadist, yang selanjutnya melahirkan banyak penulis dan penghimpun hadist. Para tokoh tersebut misalnya: Abdul Malik bin Abdu Aziz  bin Juraij (w 159H) di Makkah, Malik bin Anas / Imam Malik (94-179H),  dan Muhammad bin Ishak (w 151H) di Madinah, ar-Rabbi bin Sabih (w 160H), Said bin Urabah (w 167H), dan Hammad bin salamah bin Dinar al-Basri (w167H) di Basra, Sufyan as-Sauri (w161H) di Kufah, Ma’mar bin Rosyd (95-153H) di Yaman, Abdurrahman bin Amr al-Auzi (88-157H) di Syam, Abdullah bin al-Mubarak (118-181H) di Khurasan, Hasyim bin Basyr (104-183H) di Wasit, Jarir bin Abdul Hamid (110-188H) di Rayy dan Abdullah bin Wahab (125-197H) di Mesir.[33]
Sistem pembukuan hadist pada stadium ini adalah, si pengarang menghimpun semua hadist mengenai masalah-masalah yang sama dalam satu kitab karangan saja. Dan dalam kitab ini hadist masih bercampur dengan fatwa sahabat dan tabiin. Belum ada pemilahan mana hadist yang Marfu’, hadist Mauquf, ataupun hadist Maqtu’, serta antara hadist Sohih, Hasan, dan Dhoif. Beberapa buku tersebut ada yang dinamakan al-Jami, al-Musnad, al-Musannaf dan lain-lain. Misalnya Musnad as-Syafii, Musannaf al-Auzai dan al-Muwatta karya Imam Malilk yang disusun atas permintaan kholifah Abu Ja’far al-Mansur (144H).[34]
5. Periode kelima

Periode kelima disebut dengan periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan. Ini berlangsung dari awal abad ke 3 H sampai sampai akhir abad ke 3. Pada masa ini timbul pertentangan yang hebat antara ulama kalam (khususnya Mu’tazilah) dengan Ulama hadist. Pertentangan itu berkutat di sekitar apakah al-Quran itu makhluk atau Bukan?
Golongan Mu’tazilah beropini bahwa Quran adalah makhluk. Pendapat ini mendapat suport dari kholifah-kholifah pada waktu itu. Antara lain al-Makmun (218H) . Ia menginstruksikan kepada seluruh Gubernur di Bagdad untuk menindak dengan tegas kepada siapa saja yang tidak mau mengatakan bahwa Quran itu makhluk. Bahkan Ia melarang keras kepada Ulama hadist untuk berfatwa dan meriwayatkan Hadist kalau tidak mengatakan demikian. Instruksi tersebut banyak mendapat tentangan dari Ulama hadist khususnya, dan umat Islam umumnya yang mayoritas beraliran Ahlu Sunnah. Pada periode tersebut banyak dari golongan ulama yang dipenjara dan di siksa, antara lain Ahmad bin Hambal karena menentang kholifah al-Makmun dan penggantinya al-Mu’tasim (w 227 H) dan Watsiq (w 232 H). Namun ditengah-tengah kegentingan tersebut lahirlah ulama-ulama besar termasuk Ulama hadist, yang dengan sabar menjaga kemurnian dan kesucian ajaran Nabi SAW.[35]
Masa ini dapat dikatakan sebagai masa keemasan dalam sejarah kodifikasi hadist. Sebab para ulama telah berhasil memisahkan hadist-hadist Nabi SAW dari yang bukan hadist (fatwa sahabat dan Tabiin) . kegiatan-kegiatan lainnya di masa ini adalah:[36]
Ø      lawatan ke daerah-daerah yang semakin jauh guna menghimpun hadist dari para perowinya.
Ø      membuat klasfikasi hadist marfu’, mauquf, dan maqtu’.
Ø      menghimpun kritik-kritik yang diarahkan baik pada rowi maupun matan serta memberi jawabannya.
Sebagai tindak lanjut dari pengklasifikasian hadist, lahirlah buku-buku baru yang dinamakan Kitab Sahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad. Pada masa ini bangkit Imam hadist yang besar yaitu Ishaq bin Ruwaih yang merintis usaha memisahkan antara hadist Sahih dan tidak. Usaha ini dilanjutkan oleh Imam Bukhori, sehingga tersusunkah sebuah kitab yang sistematis berdasarkan bab-bab yang diberi nama Sahih Bukhori. Imam-imam hadist lainnya, seperti Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majja, mulai menyusun kitab-kitab sunan mereka. Begitu pula Imam Hambali dengan kitab musnadnya. Penyusun kitab musanad lainnya adalah Musa al-Abbasi, Musaddad al-Basri, Asad bin Musa, dan Nuaim bin Ahmad al-Kazai.[37]
6. Periode keenam
Periode keenam merupakan periode pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan hadist. Ini dimulai dari abad ke 4 sampai jatuhnya Kota Bagdad (656H). Pada masa ini lahir istilah ulama Mutakadimin dan ulama Mutaakhirin. Term-term ini jadikan sebagai pemisah antara ulama yang hidup sebelum abad ke 4 H (mutakadimin), dan ulama yang hidup sesudah abad 4 H (Muataakhirin). Perbedaan antara keduanya adalah Ulama Mutakadimin melakukan kegiatannya secara mandiri. Dalam arti mereka himpunan hadist-hadistnya tidak dengan jalan mengutipnya dari kitab-kitab hadist yang ada sebelumnya. Tapi mereka mendengar langsung hadsit-hadist itu dari guru-gurunya dan mengadakan penelitian sendiri tentang matan serta perowinya. Untuk itu mereka mengadakan lawatan-lawatan ke berbagai daerah untuk mencek kebenaran hadist-hadist yang didengarnya.[38]
Adapun Ulama Mutaakhirin pada umumnya bersandar pada karya-karya Ulama  Mutakadimin dalam arti kumpulan-kumpulan hadist mereka adalah hasil petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutakadimin. Pada stadium enam ini tumbuh sebuah asumsi bahwa sudah merasa cukup dengan hadist-hadist yang dihimpun ulama-ulama Mutakadimin. Oleh sebab itu dirasakan tidak perlu lagi melakukan lawatan ke berbegai negeri untuk mencari hadist. Semangat yang tumbuh pada masa ini adalah semangat untuk memelihara. Jadi para ulama periode ini berlomba-lomba untuk mengahafal sebanyak-banykanya hadist yang sudah terkodifikasi.[39]
Selain itu ulama dalam periode ini berusaha memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang masih berserakan dan memudahkan jalan-jalan pengumpulan hadist. Usaha-usaha perbaikan tersebut memunculkan beberapa Kitab hadist diantaranya:[40]
Ø      kitab syarh, yang mengomentari kitab hadist tertentu. Selain itu juga muncul kitab Mustakhraj, yaitu kitab hadist yang memuat hadist dari kitab hadist yang ada, dengan sanad sendiri yang berbeda dengan sanad hadist rujukannya.
Ø      kitab Atraf yang menyebut hanya sebagian dari matan atau tesk hadist, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu baik sanad dari kitab yang dikutip maupun kitab lain.
Ø      kitab Mustadrak, yang menghimpun hadist-hadist yang memiliki syarat-syarat Bukhori Muslim atau salah satu dari keduanya saja.
Ø      kitab Jam’i yang menghimpun hadist-hadist yan telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.





Berikut ini kitab-kitab masyhur karangan ulama pada abad 4[41]
Abad ke-4
Pengarang
Nama Kitab
wafat
Imam Sulaiman bin Ahmad at-Tobrani
Al-Mu’jam al-Kabir
Al-Mu’jam al-Ausat
Al-Mu’jam al-Saghir
360 H
Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Daruqutni
Sunan ad-Daruqutni
306-385 H
Abu ‘Auwanah Ya’kub bin Ishak Ibrahim al-Asfarayani
Sahih Abi ‘Auwanah
354 H
Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ishaq
Sahih Ibnu Khuzaimah
316 H


Abad ke-4-5
Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi
As-Sunnah al-Kubra
384-458 H
Majdudin al-Harrani
Muntaqaal-Akhbar
652 H
Muhammad bin Ali as-Syaukani
Nail al-Auta
1172-1250H
Imam Zakyudin Abdul’Adhim al-Munziri
At-Targhib wa at-Targhib
656 H
Muhammad bin Allan as-Sidiqi
Dalil al-Falihin
1057 H

7. Periode ketujuh
Periode ketujuh bisa dikatakan periode pensyarahan, perhimpunan, pentarjihan serta pengeluaran riwayat. Periode ini bertepatan dengan masa penghancuran Kota Bagdad sebagai pusat pemerintahan Abbasiyah oleh pasukan Hulugu Khan (656 H). Akibat dari kejadian itu maka pindahlah pemerintahan Abbasiyah ini ke Cairo Mesir, namun kholifahnya hanya simbol saja, sedangkan yang berkuasa pada hakekantnya adalah Raja Mesir dari Mamalik.[42]
Pada akhir abad ke 7 Turki menguasai daerah-daerah Islam kecuali daerah barat (Maroko dan sebagainya). Bahkan pada abad 9 Turki di bawah pemerintahan Ottoman (dinasti Ustmaniyah) merebut Kota Konstantinopel dan dijadikan ibukotanya. Kemudian menakhlukkan Mesir dan melenyapkan Kholifah Abbasiyah. Sejak itu kholifah islamiyah ini dipindahkan ke Kota Konstantinopel dan sejak itu raja Turki memakai sebutan Kholifah. Turki semakin kuat dan daerahnya makin luas, tapi sayangnya pada waktu yang sama pemerintahan Islam di Andalus hancur. Maka padamlah cahaya Islam yang pernah menerangi negeri tersebut selama kurang lebih delapan abad. Kemudian imperialisme Barat berhasil menakhlukkan negeri-negeri Islam. Dan sejak itu Islam mengalami kemunduran.[43]
Situasi dan kondisi tersebut secara otomatis juga menggeser cara penerimaan dan penyampaian hadist. Mereka kadang-kadang menggunakan jalan surat menyurat dan ijazah. Maksudnya adalah sang guru memberikan izin kepada sang murid untuk meriwayatkan hadist dari guru tersebut.[44] Pada dekade ini jarang sekali detemuakan ulama-ulama yang mampu menyampaikan periwayatan hadist beserta sanadnya secara hafalan yang sempurna. Yang umum adalah mempelajari kitab-kitab hadist yang ada, mengembngkannya, membuat pembahasan-pembahasannya atau membuat ringkasan-ringkasan.[45]

C.     Pengertian al-Quran, Hadits Qudsi, dan Hadits Nabawi
1. Pengertian al-Qur'an
Para ulama berbeda pendapat terkait dengan pengertian al-Quran dari segi etimologi. Muhammad Ali Daud dalam kitab Ulum al-Quran wa al-Hadits, menyebutkan enam pendapat berkenaan pengertian al-Quran dari segi etimologi ini, yaitu:
a)      Imam Syafi’i berpendapat bahwa al-Quran merupakan nama yang independent, tidak diderivasi dari kosakata apapun. Ia merupakan nama yang khusus digunakan untuk firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
b)      Menurut Imam al-Fara’ kata al-Quran diderivasi dari noun (kata benda) qarain, bentuk jama’ (plural) dari qarinah yang mempunyai arti indikator. Menurutnya, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad disebut dengan al-Quran karena sebagian ayatnya menyerupai sebagian ayat yang lain, sehingga seakan-akan ia menjadi indikator bagi sebagian ayat yang lain tersebut.
c)      Imam al-Asy’ari dan sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa kata al-Quran diderivasi dari masdar (abstract noun, kata benda abstrak) qiran yang mempunyai arti bersamaan atau beriringan. Menurut mereka, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad disebut dengan al-Quran karena surat, ayat, dan huruf yang ada di dalamnya saling beriringan.
d)      Imam al-Zajaj berpendapat bahwa kata al-Quran diderivasi dari noun (kata benda) qur-u yang mempunyai arti kumpulan. Menurut al-Raghib, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dinamakan dengan al-Quran karena ia mengumpulkan intisari beberapa kitab yang diturunkan sebelum al-Quran.
e)      Sebagian ulama mutaakhirin tidak sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa al-Quran bersumber dari fi’il (verb, kata kerja) qaraa yang mempunyai arti mengumpulkan dengan dalil firman Allah:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
 Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya”. (Q. S al-Qiyamah: 17).
Menurut mereka, kata kerja qaraa mempunyai arti memperlihatkan atau memperjelas. Dengan demikian, orang yang sedang membaca al-Quran berarti ia sedang memperlihatkan dan mengeluarkan al-Quran.
f)        Menurut al-Lihyani kata al-Quran diderivasi dari fi’il qaraa yang mempunyai arti membaca. Oleh karena itu, kata al-Quran merupakan masdar yang sinonim dengan kata qiraah. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling kuat[46].
Adapun definisi al-Quran secara terminologi adalah Firman Allah yang berbahasa Arab, dapat melemahkan musuh, diturunkan kepada Nabi Muhammad, ditulis di dalam mushaf, dan ditranformasikan secara tawattur[47] serta membacanya termasuk ibadah[48].Contoh wahyu al-Quran adalah:
قل هو الله احد الله الصمد لم يلد ولم يولد إلخ .سورة الاخلاص

2. Pengertian Hadits Qudsi
Secara etimologi Hadits Qudsi merupakan nisbah[49] kepada kata Quds[50] yang mempunyai arti bersih atau suci[51]. Sedangkan secara terminologis, pengertian hadits qudsi terdapat dua versi. Yang pertama hadits qudsi merupakan kalam Allah SWT (baik dalam sturiktur maupun substansi bahasanya), dan Nabi hanya sebagai penyampai Yang kedua hadits qudsi adalah perkataan dari Nabi, sedangkan isi dari perkataan tersebut berasal dari Allah SWT. Maka dalam redaksinya sering memakai قال الله تعالى. [52].
3. Pengertian Hadits Nabawi
Adapun menurut istilah, pengertian hadis nabawi ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat. Contoh hadist nabawi yang berupa perkataan (qauli) misalnya perkataan Nabi SAW,
انما الاعمال بالنية.......... . اخرجه البجخارى فى صحيحه
      Contoh hadist berupa perbuatan (fi'li) ialah 
كان النبي اذا اراد ان ينام وهو جنب غسل فرجه وتوضأ للصلاة. حديث عائشة
Contoh hadist berupa ketetapan (taqriri) ialah 
ان خالته اهدت الى رسول الله سمنا واضبا واقطا فاكل من السمن والاقط واكل على مائدته
, ولو كان حراما مااكل على مائدة رسول الله. حدبث ابن عباس
      Contoh hadist berupa sifat (wasfi) ialah 
كان رسول الله ربعة ليس بالطويل ولابالقصر حسن الجسم... الخ . حديث انس ابن مالك 
Setelah kita mengetahui masing-masing dari definisi al-Quran, Hadits Qudsi, dan Hadits Nabawi, maka ada baiknya kita juga membahas tentang perbedaan ketiga hal tersebut. Perbedaan antara al-Quran dengan Hadits Qudsi:

Ø      Al-Quran mampu mengungguli sastra Arab yang waktu itu merupakan sastra yang terbaik, sehingga orang Arab tidak mampu membuat karya sastra[53] yang seindah dan sebaik al-Quran, walaupun hanya satu surat. Tidak demikan halnya dengan Hadits Qudsi[54].
Ø      Lafadz dan arti al-Quran berasal dari Allah. Sedangkan Hadits Qudsi, artinya berasal dari Allah, akan tetapi lafadznya dari Nabi Muhammad[55].
Ø      Tidak boleh meriwayatkan al-Quran secara makna. Adapun Hadits Qudsi, boleh meriwayatkannya secara makna[56].
Ø      Al-Quran tidak boleh dipegang oleh orang yang mempunyai hadats. Al-Quran juga tidak boleh dibaca oleh orang yang mempunyai hadats besar. Dua larangan ini tidak berlaku di dalam Hadits Qudsi[57].
Ø      Al-Quran harus dibaca di dalam shalat. Sedangkan Hadits Qudsi, apabila dibaca di dalam shalat maka dapat menyebabkan shalat menjadi batal[58].
Ø      Al-Quran ditransformasikan secara tawattur. Oleh karena itu, ia berstatus qath’i al-tsubut. Adapun mayoritas Hadits Qudsi ditransformasikan secara ahad (individual), sehingga ia berstatus dhanni al-Tsubut.
Ø      Orang yang mengingkari al-Quran terkategorikan sebagai orang kafir, karena al-Quran bersifat qath’i al-Tsubut. Sedangkan orang yang mengingkari Hadits Qudsi tidak dianggap orang kafir, karena Hadits Qudsi bersifat dhanni al-Tsubut[59].
Ø      Membaca al-Quran termasuk ibadah. Satu huruf al-Quran sebanding dengan 10 kebaikan. Hal ini tidak berlaku pada Hadits Qudsi[60].
Ø      Di dalam al-Quran terdapat penamaan ayat dan surat untuk kalimat-kalimatnya. Tidak demikian dengan Hadits Qudsi[61].
Ø      Pebedaan antara Hadits Nabawi dengan Hadits Qudsi antara lain:
Ø      Hadits Nabawi dinisbahkan dan disampaikan oleh Nabi Muhammad. Adapun Hadits Qudsi dinisbahkan kepada Allah. Nabi Muhammad hanya berstatus sebagai penyambung lidah dari-Nya[62].
Ø      Bentuk Hadits Nabawi ada dua macam[63]: 1. Tauqifi, yaitu hadits yang kandungannya diterima oleh Nabi Muhammad melalui wahyu, kemudian beliau sampaikan kepada umatnya. 2. Taufiqi, yaitu hadits yang tercipta murni dari pemahaman Nabi Muhammad terhadap al-Quran, atau dari perenungan dan ijtihad beliau[64]. Adapun keseluruhan kandungan Hadits Qudsi bersumber dari Allah.
Contoh hadits Qudsi adalah
عن النبي قال, قال الله تعالى ثلاثه انا خصمهم يوم القيامه... الخ.رواه ابو هريرة

D.    Pembagian Hadits ditinjau dari aspek kualitas
1. Pengertian Matan, Sanad, dan Mukharrij
Suatu hadist tidak terlepas dari beberapa unsur yang terkandung di dalamnya. Tanpa unsur-unsur tersebut, maka status dan validitas suatu hadist patut untuk dipertanyakan. Beberapa unsur yang menjadi pertimbangan untuk menilai kesahihan sebuah hadits itu antara lain matan, sanad, isnad dan mukharrij.
Pengertian Matan secara bahasa adalah sesuatu yang tampak. Secara istilah adalah lafadz-lafadz yang menggambarkan ma’na hadits, bisa juga diartikan kalimat hadits yang mempunyai arti[65]. Menurut Ibnu Jamaah adalah sebuah kalimat yang menjadi tujuan akhir daripada sanad[66]. Lebih sederhananya  matan adalah bentuk redaksional sebuah hadits
Adapun arti sanad secara etimologi adalah tempat bersandar[67]. Sedangkan secara terminologi terdapat beberapa pendapat mengenai pengertian sanad ini, diantaranya yaitu:
a)      Menurut al-Sayyid Muhammad Ibn ‘Alawi al-Maliki sanad ialah jalur yang menghubungkan seseorang sampai kepada matan. Jalur ini tidak lain adalah para rawi yang mentransformasikan matan tersebut secara berkesinambungan. Dengan demikian, menurut beliau sanad dan rawi mempunyai arti yang sama[68].
b)      Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib mendefinisikan sanad dengan jalur matan. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan jalur matan adalah silsilah para rawi yang mentransformasikan matan dari sumber utama. Oleh karena itu, menurut beliau terdapat perbedaan antara sanad dan rawi.
c)      Kata sanad menurut al-Badru bin Jamaah adalah memberitahu jalur menuju hadits. Karena sanad menurutnya diambil dari kata al-sannad yang berarti suatu yang naik dari lembah gunung. Hal ini karena al-musnid menarik hadits sampai kepada orang yang mengucapkan hadits. Atau diambil dari ucapan fulanun sanadun (berpegangan) sehingga sanad mempunyai arti memberitahu proses menuju matan. Hal itu dikarenakan orang yang hafal hadits menjadikan sanad sebagai acuan dalam shohih dan dloif sebuah hadits.
Dari ketiga pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa terminologi sanad adalah jalannya hadist, maksudnya mata rantai (jalur) para periwayat yang menghubungkan matan mulai dari awal hingga akhir.
Secara etimologi isnad berarti menyandarkan. Adapun secara terminologi isnad didefinisikan dengan pemberitahuan dan penjelasan tentang jalur matan. Namun, terkadang kata isnad diartikan dengan sanad, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, kata isnad dan sanad mempunyai arti yang sama.
Mukhorij adalah orang yang menyebutkan perawi hadits. Istilah ini berbeda dengan al-muhdits yang artinya orang yang mempunyai keahlian tentang proses perjalanan hadits serta megetahui nama-nama perawi, redaksi, dan kelemahan hadits. Dalam hal ini ia lebih tinggi apabila dibandingkan dengan al-musnid. Orang yang sedang bergelut dengan hadits dapat digologkan menjadi beberapa tingkatan antara lain sebagai berikut:[69]
Ø      Al-Tholib adalah orang yang sedang belajar hadits.
Ø      Al-Muhaddits adalah orang yang mendalami dan menganalisis hadits dari segi riwayat dan diroyat.
Ø      Al-Hafidz adalah orang yang hafal 100.000 hadits.
Ø      Al-Hujjah adalah orang yang hafal 300.000 hadits.
Ø      Al-Hakim adalah orang yang menguasai hal-hal yang berhubungan dengan hadits secara keseluruhan baik ilmu maupun mustola al-hadits.
Ø      Amir al-hadits ( pemimipin hadits)
Menurut syeikh Fath al-din bin Syaid al-Naas, al-muhhadits pada zaman sekarang adalah orang yang sibuk mempelajari hadits baik aspek riwayat maupun diroyat, kemudian mengkaji kualitas perawinya dengan mempelajari secara mendalam para rawi yang semasa yang populer dalam hadits. Sehingga ia mampu mengetahui gurunya dan guru dari guru perawi sampai seterusnya.Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh dibawah ini:

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا أَبُو جَنَابٍ عَن يَزِيدَ بْنِ الْبَرَاءِ عَن أَبِيهِ الْبَرَاءِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
 خَطَبَ عَلَى قَوْسٍ أَوْ عَصًا * اخرجه احمد فى مسنده
Sanad adalah :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا أَبُو جَنَابٍ عَن يَزِيدَ بْنِ الْبَرَاءِ عَن أَبِيهِ الْبَرَاء

Matan adalah :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّم خَطَبَ عَلَى قَوْسٍ أَوْ عَصًا


Mukharrij adalah :
اخرجه احمد فى مسنده 

2. Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadits Shahih
Pengertian hadits shahih adalah sebuah hadits yang sanadnya bersambung dan diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah[70] Serta tidak ada cacat atau kekurangan dalam hadits tersebut.[71] Atau dalam istilah lain tidak termasuk hadits yang syadz dan mu’allal[72].
Dari pengertian ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa kriteria hadits shahih adalah
a)      Tersambung sanadnya (ittisal as-sanad) artinya setiap hadits yang yang diriwayatkan oleh rowi  kerowi di atasnya sehingga sambung dalam penerimaan haditsnya kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, akan mengecualikan hadits yang munqoti', muaddlol, mullaq dan mursal.
b)      Diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah ('adil dan dhabit)
Adil adalah sifat yang yang ada pada seseorang yang senantiasa mendorong untuk bertakwa dan menjaga kredibilitasnya. Ini terkait dengan dimensi moral spiritual.
Dlabit adalah sifat terpercaya, hafal di luar kepala, mengetahui arti hadits,dan   mampu untuk menceritakan setiap saat sesuai dengan redaksi saat ia menerima hadits. Dlabit sendiri dibagi menjadi tiga tingkatan:
Tingkat pertama ( al-darojah al-ulya) yang ada pada 'adil dan dlobid
Tingkat kedua (al-darojah al-wustho) tingkatan yang ada di bawahnya
Tingkat ketiga (al-darojah al-dunya)  bawah tingkat kedua.
c)      Hadits yang diriwayatkan bukan termasuk kategori hadits yang syadz
d)      Hadits yang diriwayatkan harus terbebas dari illat (cacat) yang dapat menyebabkan kualitas hadits menjadi turun. .
Hadits shohih terbagi menjadi dua;
                          I.      Shohih lidzatihi adalah sebuah hadits ayng mancakup semua syarat hadits shohih dan tingkatan rowi berada pada tingkatan pertama. Contoh;
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
Sehingga apabila sebuah hadits telah ditelaah dan telah memenuhi syarat di atas, akan tetapi tingkatan perowi hadits berada pada tingkatan kedua maka hadits tersebut dinamakan hadits Hasan
                       II.      Shohih lighoirihi Hadits ini dinamakan lighoirihi karena keshohihan hadits disebabkan oleh sesuatu yang lain. Dalam artian hadits yang tidak sampai pada pemenuhan syarat-syarat yang paling tinggi. Yakni dlobid seorang rowi tidak pada tingkatan pertama. Hadits jenis ini merupakan hadits hasan yang mempunyai beberapa penguat. Artinya kekurangan yang dimiliki oleh hadits ini dapat ditutupi dengan adanya bantuan hadits, dengan teks yang sama, yang diriwayatkan melalui jalur lain. Contoh hadits dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairoh bahwa Nabi bersabda
لو لا أن أشق علي أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
Letak hadits ini masuk pada kategori lighorihi. Menurut Ibnu Sholah memberi alasan  karena pada Muhammad bin Amr bin al-Qomah  termasuk orang yang lemah dalam hafalan,.kekuatan, ingatan dan juga kecerdasanya, Akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan jalur lain, yaitu oleh al A'raj bin Humuz dan sa'id al Maqbari maka bias dikategorikan shohih lighirihi.
3. Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadits Hasan
Untuk sekedar diketahui bahwasannya pada masa Imam Ahmad Ibn Hambal atau sebelum masa Imam Tirmidzi, hadits hanya diklasifikasikan menjadi dua bagian:
a)      Hadits Shahih, yaitu hadits yang memenuhi syarat keshahihan hadits;
b)      Hadits Dla’if, yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat keshahihan hadits.
Pada periode ini, istilah hadits hasan belum dikenal sehingga dalam pengklasifikasian ia masih dikelompokkan di dalam Hadits Dla’if. Hal itu karena menurut mereka Hadits Dla’if ada dua macam: yang pertama hadits yang kedla’ifannya masih bisa ditolelir, sehingga masih mungkin untuk diamalkan. Bentuk yang pertama ini menyerupai hadits hasan dalam terminologi Imam Tirmidzi. Dan yang kedua adalah hadits yang kedla’ifannya telah sangat parah, sehingga harus ditinggalkan. [73]
Menurut Ibnu Taimiyyah, orang yang pertama kali mengklasifikasikan hadits menjadi tiga bagian, yakni Shahih, Hasan, dan Dla’if, adalah Abu Isa Muhammmad Ibn Isa Ibn surah Ibn Musa Ibn Dlahak al-Silmi al-Tirmidzi atau yang lebih dikenal Abu Isa al-Tirmidzi[74].
Penamaan  Hadits Hasan dikarenakan sikap ulama hadits yang baik sangka terhadap perawinya[75].
Secara etimologi, Hasan mempunyai arti hal yang diminati atau kecenderungan hati[76]. Adapun pengertian secara terminology menurut Ibn Hajar adalah hadits yang sanadnya bersambung, tidak ditemukan adanya cacat dan juga syadz serta diriwayatkan  oleh rawi yang adil namun tingkat tsiqahnya tidak sempurna, dan hadits tersebut tidak termasuk hadits yang syadz dan mu’allal[77].
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwasannya yang membedakan antara Hadits Shahih dan Hadits Hasan terletak pada sisi kedlabithan periwayat.  Jika dalam Hadits Shahih periwayat harus seorang yang dlabith taam[78], maka dalam Hadits Hasan periwayatnya merupakan seorang yang daya ingatannya lemah.
Menurut Ibn Taimiyah hadits Hasan termasuk dalam kategori dloif. Karena beliau hanya mengklasifikasikan hadits menjadi dua, shohih dan dloif, kemudian hadits dloif dibagi menjadi dua, yakni yang bisa dijadikan hujjah dan yang tidak bisa. Hadits hasan masuk dalam kategori hadits dloif yang dapat dijadikan hujjah.
Hadits hasan sendiri juga terbagi menjadi dua:
                         I.      Hasan lidzatihi
Dinamakan hasan lidzatihi karena sifat hasannya muncul secara independen. Contohnya;
  لولا أشق علي أمتي لآمرتهم بالسواك عند كل صلاة
Hadits ini bisa dinamakan hasan lidzatihi dengan tanpa melihat jalur riwayat lainya.
                      II.      Hasan lighoirihi
Dinamakan Hasan lighoirihi karena ke-hasanannya disebabkan oleh faktor lain dari luar. Artinya hadits ini sebenarnya adalah tergolong dha'if, karena salah satu syarat untuk bisa dikategorikan hadits hasan atau shahih tidak terpenuhi namun dikuatkan oleh adanya muttabi' atau syahid. Contoh hadits hasan lighairihi adalah :
عن هشيم عن يزيد بن أبي زياد عن عبد الرحمن بن أبي ليلي عن البرأ بن عازب رضي الله عنه "أن حقا علي المسلمين لأن يغتسلوا يوم الجمعة وليمس أحدهم من طيب أهله فـإن لم يجد فالمأ له طيب
Hadits ini menurut al-Tirmidzi masuk dalam kategori Hasan lighoirihi di karenakan Hasyim termasuk golongan al-mudallis. Akan tetapi matan hadits dikuatkan oleh syahid yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abi Said dll.
4. Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadits Dhoif
Menurut al-Nawawi dan juga mayoritas ulama ahli hadits, hadits dloif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih dan hasan[79]. Hadits dloif dapat diklasifikasikan menjadi dua;
a)      Dhaif disebabkan tidak memenuhi syarat itishol al sanad.
Dhaif jenis ini di bagi lagi menjadi :
1)      Hadits Muallaq
Yaitu  hadits yang pada sanadnya telah dibuang satu atau lebih rawi baik secara berurutan maupun tidak.[80] Contoh adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori
قال مالك عن الزهرى عن أبى سلمة عن أبى هريرة عن النبى "لا تفا ضلوا بين الأنبيأ
Dikatakan Muallaq karena Imam bukhori langsung menyebut Imam Malik padahal ia dengan Imam Malik tidak pernah bertemu. Contoh lain adalah,
قال ألبخارى قالت العائشة كان النبى يذكر الله على كل أحواله
Disini Bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah
2)      Hadits Mursal
Yaitu  hadits yang sanadnya dari tabi'in meloncat langsung kepada Nabi. Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah hadits ini boleh dijadikan hujjah. Contoh hadits ini adalah:
قال مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول الله قضى باليمن والشاهد
Disini Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara antara nabi dan bapaknya.
3)      Hadits Munqothi'
Yaitu hadits yang salah satu rawinya atau lebih dihilangkan atau tidak jelas, bukan pada pada sahabat tapi bisa di tengah atau di akhir.
Contoh hadits ini adalah;
ما رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مرفوعا إن وليتموها أبا بكر فقوى أمين
Riwayat yang sebenarnya adalah Abd Rozak meriwayatkan hadits dari Nukman bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadits dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadits yang munqotiq.
4)      Hadits Mu'adlol
Yaitu hadits yang hilang dua rawinya atau lebih secara berurutan ditengah sanadnya. Contoh :
يقال للرجل يوم القيامة عملت كذا وكذا؟ فيقول لا فيحتم على فيه
Hadits ini berasal dari al-Sakbi dari Anas dari Nabi, di sini Akmas tidak menyebutkan Anas dan Nabi.
5)       Hadits Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi diatasnya. Tadlis sendiri dibagi menjadi beberapa macam;[81]
                                            I.      Tadlis Isnad, adalah hadist yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia betemu sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar hadist tersebut langsung darinya.[82]. Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia mendengar langsung hadist tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak termasuk mudallas melainkan suatu kebohongan/ kefasikan. Contoh hadist mudallas sanad adalah :
                                         II.      Tadlis qath’i : Apabila perawi menggugurkan beberapa perawi di atasnya dengan meringkas menggunakan nama gurunya atau misalnya perawi mengatakan “ telah berkata kepadaku”, kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan “al-Amasi . . .” umpamanya. Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi secara langsung padahal sebenarnya tidak. Hadist seperti itu disebut juga dengan tadlis Hadf (dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan tujuan untuk memotong)[83].  
                                       III.      Tadlis ‘Athof (merangkai dengan kata sambung semisal “Dan”). Yaitu bila perawi menjelaskan bahwa ia memperoleh hadist dari gurunya dan menyambungnya dengan guru lain padahal ia tidak mendengar hadist tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
                                      IV.      Tadlis Taswiyah : apabila perawi menggugurkan perawi di atasnya yang bukan gurunya karena dianggap lemah sehingga hadist tersebut hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya saja, agar dapat diterima sebagai hadist shahih. Tadlis taswiyah merupakan jenis tadlis yang palin buruk karena mengandung penipuan yang keterlaluan.
                                         V.      Tadlis Syuyukh: Yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada perawi dengan sifat-sifat yang lebih dari kenyataan, atau memberinya nama dengan kunyah (julukan) yang berbeda dengan yang telah masyhur dengan maksud menyamarkan masalahnya. Contoh: Seseorang mengatakan: “Orang yang sangat alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku, atau penghafal yang sangat kuat hafaleannya brkata kepadaku”.
                                      VI.      Termasuk dalam golongan tadlis suyukh adalah tadlis bilad (penyamaran nama tampat). Contoh: Haddatsana fulan fi andalus (padahal yang dimaksud adalah suatu tempat di pekuburan). Ada beberapa hal yang mendasari seorang perawi melakukan tadlis suyukh,  adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat yang belum dikenal, karena perawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak guru atau karena gurunya lebih muda usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan hadist darinya dan lain sebagainya. 
b)      Dhaif  karena hal lain diluar ittisal al sanad.
Hadits dhaif yang disebabkan faktor ini dibagi menjadi[84] :
1)      Hadits Maudhu'
Adalah hadits kontroversial yang di buat seseorang dengan tidak mempunyai dasar sama sekali.[85] Sedangkan menurut Subhi Sholih adalah khabar yang di buat oleh pembohong kemudian dinisbatkan kepada Nabi.karena disebabkan oleh faktor kepentingan.
Tanda-tanda sebuah hadits itu dapat dikatakan maudu' dapat dilihat sanadnya yaitu:
Ø      Rawi hadits terkenal sebagi pembohong.
Ø      Perawi merupakan perawi tunggal.
Ø      Perawi mengaku sendiri bahwa hadits itu adalah hadits maudu'.
Ø      Mengetahui sikap dan perilaku perawi.
Sedangkan tanda-tanda dari aspek matan antara lain:
Ø      Arti hadits itu kontra dengan hadits yang lain yang lebih tinggi.
Ø      Bertentangn dengan al-Quran, sunnah mutawatir atau ijmak.
Ø      Tidak sesuai dengan fakta sejarah.
Contohnya adalah hadits tentang keutamaan bulan rajab yang diriwayatkan Ziyad ibn Maimun dari shabat Anas r.a
قيل يارسول الله لم سمي رجب قال لأنه يترجب فيه خير كثبر لشعبنا ورمضنا.
Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn Burhan, Ziyad ibn Maimun adalah seorang pembohong dan pembuat hadiits palsu.

2)      Hadits Matruk
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang disangka suka berdusta. Contoh hadits ini adalah hadits tentang qadha' al hajat yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn Sa'id al Asdi dari dhohak dari Ibn 'Abbas.
قال النبي عليكم باصطناع المعروف فانه يمنع مصارع السوء ... الخ
Menurut an Nasa'i dan Daruqutni, Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap haditsnya.
3)      Hadits Munkar
Adalah hadits yang tidak diketahui matannya selain dari rawi itu dan perawi itu tidak memenuhi syarat bias dikatakan seorang dlobid. Atau dengan pengetian hadits yang rawinya lemah dan bertentangan dengan riwayat rawi tsiqoh. Munkar sendiri tidak hany sebatas pad sanad namun juga bis aterdapat pada matan[86].
4)      Hadits Majhul
a.       Majhul 'aini : hanya diketahui seorang saja tanpa tahu jarh dan ta'dilnya.
Contohnya hadits yang diriwayatkan oleh Qutaibah ibn Sa'ad dari Ibn Luhai'ah dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas dari Saib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn Sa'id al Kindi
ان النبي كان اذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيده. اخرجه ابي داود
Hanyalah Ibn Luhai'ah yang meriwayatkan hadits dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas tanpa diketahui jarh dan ta'dilnya.
b.      Majhul hali : diketahui lebih adari sati orang namun tidak diketahui jarh dan ta'dilnya.contoh hadits ini adalah haditsnya Qasim ibn Walid dari Yazid ibn Madkur.
ان عليا رضي الله عنه رجم لوطيا. اخرجه البيهقى
Yazid ibn Madkur dianggap majhul hali.
5)      Hadits Mubham
Yaitu hadits yang tidak menyebutkan nama dalam rangkaian sanadnya. Contohnya adalah hadits Hujaj ibn Furadhah dari seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
قال رسو ل الله المؤمن غر كريم والفاجر خب لئيمز اخرجه ابو داود
6)      Hadits Syadz
Yaitu hadits yang beretentangan dengan hadits lain yang riwayatnya lebih kuat[87].
Selain hadits diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk dha'if antara lain Hadits maqlub, matruh, mudhtharab, mudha'af , mudarraj, mu'allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih jelasnya lihat  'Abdur Rahman al Mun'im as Salim, Taisir al 'Ulum al Hadits dan juga Ujjaj al-Khotib Ushul al-hadits
5. Cara mengukur keshohihan hadits..
Untuk mengetahui suatu hadits itu apakah shahih atau tidak, kita bisa melihat dari beberapa syarat yang telah tercantum dalam sub yang menerangkan hadits shahih. Apabila dalam syarat-syarat yang ada pada hadits shahih tidak terpenuhi, maka secara otomatis tingkat hadits itu akan turun dengan sendirinya. Semisal kita meneliti sebuah hadits, kemudian kita temukan salah satu dari perawi hadits tersebut dalam kualitas intelektualnya tidak sempurna. Dalam artian tingkat dlabidnya berada pada tingkat kedua (lihat tingkatan dlabid pada bab hadits shahih), maka dengan sendirinya hadits itu masuk dalam kategori hadits shahih lighoirihi. Dan apabila ada sebuah hadits yang setelah kita teliti kita tidak menemukan satu kelemahanpun dan tingkatan para perawi hadits juga menempati posisi yang pertama , maka hadits itu dikatakan sebagai hadits shahih lidatihi.
Untuk hadits shahih lighoirihi kita bisa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pengertian dan kriteria-kriteria hadits hasan lidatihi. Apabila hadits itu terdapat beberapa jalur maka hadist itu akan naik derajatnya menjadi hadits shahih lighoirihi. Dengan kata lain kita dapat menyimpulkan apabila ada hadits hasan akan tetapi hadits itu diriwayatkan oleh beberapa rawi dan melalui beberapa jalur, maka dapat kita katakana hadits tersebut adalah hadits shahih lighoirihi.
Adapun derajat hadist hasan sama dengan hadist shahih dalam segi kehujjahannya, sekalipun dari sisi kekuatannya berada di bawah hadist shahih. Oleh karena itu mayoritas Fuqaha, Muhaditsin dan Ushuliyyin (ahli Ushul) berpendapat bahwa hadist hasan tetap dijadikan sebagai hujjah dan boleh mengamalkannya.
Pendapat berbeda datang dari kelompok ulama Al-Mutasyaddidun (garis keras) yang menyatakan bahwa hadist hasan tidak ada, serta tidak dapat dijadikan hujjah. Sementara ulama Al-Mutasahilun (moderat) seperti al-Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dll justru mancantumkannya ke dalam jenis hadist yang bisa  dijadikan sebagai hujjah walupun tingkatannya dibawah hadits sahih[88]. Sedangkan untuk hadits dhaif Ulama juga berbeda pendapat, yaitu[89] :
Ø      Mutlak tidak bisa diamalkan baik yang terkait dengan hukum maupun Fadhail al A'mal, menurut Abu Hatim, Bukhori Muslim, dan Abu Bakr ibn al 'Arabi.
Ø      Mutlak bisa di amalkan asalkan di tahrij oleh Abu dawud dan Ahmad ibn Hanbal.
Ø      Bisa diamalkan ketika terkait dengan Fadhailul a'mal, nasihat dan sebagainya.  Selain hukum.inipun harus dengan catatan apabila tidak sangat dha'if  dan harus bersamaan dengan riwayat pendukung[90].
6. Peran At-Tabi' dalam analisis kualitas Sanad
Sebelum kita mengetahui lebih jauh peran mutabi' terhadap kualitas sebuah hadits. Sebaiknya kita terlebuh dahulu mengetahui apakah pengertian at tabi'. Mutabi' merupakan isim fa'il taba'a yang berarti mengikuti. Sedangkan pengertian terminologinya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang berkapasitas sebagai al- mukhorij al- hadits. Di mana hadits itu sesuai dengan hadits yang yang diriwayatkan oleh perawinya. Sedangkan al-mukhorij itu meriwayatkan dari guru perawi pertama atau dari guru gurunya perawi[91]. Pengertian lain mutabi' adalah hadits yang rowinya itu ada kesesuaian dengan rowi lain yang berkapasitas sebagi mukharriij al hadits. Di mana rawi kedua meriwayatkan dari guru rawi pertama atau dari guru gurunya rawi pertama. Kesesuaian tadi bisa dalam ma'na, redaksi ataupun keduanya[92].
Posisi mutabi' sangat berpengaruh terhadap kualitas sebuah hadits. Karena ketika ada sebuah hadits yang kurang dari segi sanad, sehingga tidak bisa dapat  dikategorikan sebagai hadits shohih maupun hadits hasan, maka ketika ditemukan hadits yang sama dari jalur lain, posisi hadits yang pertama bisa kuat dan naik menjadi hadits shohih lighoirihi atau hasan lighoirihi.. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dari Malik dari Abdullah bin Umar dari Ibn Umar dari Nabi
ألشهر تسع وعثرون فلا تصوم حتى  تروا ألهلال ولاتفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين يوما

Hadits ini dinilai ghorib karena diduga hanya diriwayatkan oleh Syafii dari Malik. Akan tetapi ditemukan hadits lain yang sama dan diriwayatkan dari Abdullah bin Maslamah al-Qo'nabi dengan jalur sanad yang sama.

C.     Pembagian Hadits ditinjau dari segi kuantitas Sanad
1.  Pengertian, pembagian, dan contoh Hadits Mutawatir
Secara etimologi mutawatir berasal dari kata tawwara yang beraarti beruntun. Secara terminologi pengertiannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang secara logika tidak mungkin bersekongkol untuk berbohong[93]. Mulai dari perawi yang pertama  hingga terakhir memiliki kesamaan sifat, artinya sama-sama tsiqoh. Konsep ini secara definitif dikemukakan oleh al Baghdadi walupun jauh sebelumnya as syafi'i menyebutkan dengan istilah khabar 'ammah.
Ulama hadist berbeda pendapat tentang berapa jumlah bilangan rawinya untuk dapat dikatakan sebagai hadis mutawatir. Ada yang mengatakan harus empat rawi[94], sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa jumlahnya minimal lima orang, seperti tertera dalam ayat-ayat yang menerangkan mengenai mula’anah[95]. Ada yang minimal sepuluh orang, sebab di bawah sepuluh masih dianggap satuan atau mufrad, belum dinamakan jama’, ada yang minimal dua belas orang[96], ada yang dua puluh orang[97], ada juga yang mengatakan minimal empat puluh orang[98], ada yang tujuh puluh orang[99], dan yang terakhir berpendapat minimal tiga ratus tiga belas orang laki-laki dan dua orang perempuan, seperti jumlah pasukan muslim pada waktu Perang Badar. Kemudian menurut as-Syuyuti bahwa hadist yang layak disebut mutawatir yaitu paling rendah diriwayatkan oleh sepuluh orang.
Penulis sendiri lebih sependapat dengan apa yang disampaiakan ibnu Hajjar oleh Ibnu Hajar bahwa Tidak terlalu penting menentukan jumlah orang yang meriwayatkan hadist mutawatir namun faktor yang terpenting adalah diriwayatkan dari orang banyak yang menurut rasio dan kebiasaan mustahil berkomplot dusta, tanpa perlu membatasi jumlahnya. Karena jumlah-jumlah tadi hanyalahh terkait  dengan peristiwa-peristiwa tertentu. Artinya kriteria yang digunakan untuk menentukan sebuah hadist dikatergorikan mutawatir atau bukan ialah adanya kepastian bahwa hadist tersebut tidak mungkin sedikitpun dipalsukan oleh para rawinya pada semua tingkatan sanad. Misalnya, suatu hadist diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak saling kenal satu sama lain dan tempat tinggal mereka pun berjauhan, sehingga tidak ada mungkin untuk bersekongkol membuat hadist palsu.
Pada prinsipnya hadist mutawatir ini bersifat qat’i al-wurud (sesuatu yang pasti benar-benar bersumber dari Nabi). Dengan tidak diperlukan lagi kajian tentang sanad atau rijal (rawi hadist), bahkan menurut Imam Nawawi, sekalipun rawinya bukan muslim. Ulama sepakat bahwa hadist mutawatir adalah hujjah bagi kaum muslim, maka dari itu wajib hukumnya untuk mengamalkan kandungan-kandungan yang ada pada hadist mutawatir[100]. Ada atau tidak haditsMutawwatir juga masih dipertentangkan [101]:
a)      menurut Ibn Hibban dan al Hazimi tidaka ada .
b)      menurut Ibn Shalah ada namun sangat jarang.
c)      menurut Ibn Hajar dan as Syuyuthi memengang ada.
      Hadits mutawatir dibagi menjadi dua:
                          I.      Mutawatir lafdzi.
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang dengan satu bentuk redaksi yang sama. Ada yang mengatakan cukup dalam artinya saja yang sama [102].
Contoh hadits:
من كذب علي متعمدا قليتبؤا مقعده من النار
Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari duaratus perawi. Menuruit Ibnu Hajar dalam syarah al-Bukhori hadits itu diriwayatakan lebih dari empat puluh sahabat, termasuk diantaranya sepuluh sahabat yang dijamin langsung masuk surga[103].
                       II.      Mutawatir ma'nawi.
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang sama dalam artinya meskipun berbeda dalam bentuk redaksinya. Contoh hadits ini adalah hadits yang menerangkan kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini diriwayatkan oleh kurang lebih dari seratus perawi[104].
2. Pengertian, pembagian, dan contoh Hadits Ahad[105].
Hadits ahad adalah hadits yang jumlah  jalur rawi tidak mencapai batasan minimal dari hadits mutawatir. Sebagian golongan seperti Rafidhah dan Qadariah, mengatakan hadits ini tidak bisa diamalkan. Hadits ahad sendiri dibagi menjadi  tiga:
a.       Mashur.
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan tidak sampai pada batasan mutawatir. Contoh hadits:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
b.      Hadits Aziz
Dinamakan Aziz karena kelangkaan hadits ini. Sedangkan pengertiannya adalah hadits yang jumlah perwinya tidak kurang dari dua. Contoh:
لايؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari dua jalur sahabat yakni Anas dan Abi Hurairoh.
c.       Ghorib.
Adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi saja di dalam semua tingkatanya 
Hadits Ghorib terbagi menjadi tiga:
                                I.      Ghorib dalam redaksi dan jalur hadits. Contoh:
قال رسول الله "إن هذا الدين متين  فأوغل قيه برفق ولا تبخض إلانفسك عبادة الله فإن المنبت لاأرضا قطع ولاظهرا أبقى
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Syaukah  dari Jabir dari Ibn al-Munkadir.
                             II.      Ghorib dalam jalur sanad.
Hadits ini diriwayatkan oleh satu rowi dari seorang sahabat yang redaksinya berbeda dengan redaksi rawi-rawi lain dari sahabat lain.
                           III.      Ghorib dalam sebagian redaksinya. Contoh:
مارواه الترمذى عن مالك بن أنس عن نافع عن إبن عمر " فرض رسول الله زكاة الفطر على كل حر أوعبد ذكرا كان أو أنشى من المسلمين ألخ
Letak ghorib hadits ini adalah pada kalimat من المسلمين. Karena Imam Malik menambahkan kalimat itu, yang mana berbeda dengan rowi-rowi yang lain[106]. Cara mengukur kemutawatiran sebuah hadits dapat kita lakuka dengan mencari hadits pada kitab-kitab hadits yang ada. Apabila hadits yang kita maksud kita temukan dalam berbagai kitab, dan jalur hadits tersebut lebih dari 10 serta memenuhi kriteri-kriteria dalam hadits mutawatir. Maka hadits yang kita maksud dapat kita katakana sebagai hadits mutawatir.
3. Peran As-Syahid dalam analisis kuantitas Sanad
Pengertian Syahid adalah haduts yang riwayatnya diikuti perawi lain dari jalur shahabat yang berbeda. dengan matan yang menyerupai dalam segi lafadz dan ma'nanya ataupun hanya dari segi ma'nanya saja. Syahid ada dua yaitu : syahid lafdzi dan syahid maknawi. Syahid lafdzi ialah syahid yang menguatkan dalam segi lafadznya dan ma'nanya. Sedangkan syahid maknawi hanya menguatkan dalam segi ma'nanya.
Syahid sangat diperlukan dalam proses penelitian hadist, untuk menguatkan posisi suatu hadist dalam segi kuantitasnya. Sebuah hadist yang pada mulanya gharib dapat naik tingkatnya menjadi 'aziz, masyhur atau bahkan mutawatir bila ada syahid.  Seperti hadits yang diriwayatkan oleh As-Syafii dari Malik dari Abdullah bin Umar dari Ibn Umar dari Nabi:
ألشهر تسع وعثرون فلا تصوم حتى  تروا ألهلال ولاتفطروا حتى تروه  فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين يوما

Pada mulanya Imam Syafi'i dianggap sendirian di dalam meriwaytkan hadits ini. Oleh karena itu hadits ini dikatakan ghorib. Akan tetapi kemudian ditemukan hadits yang diriwayatkan oleh an Nasa'i dari Ibnu Hunain dari Ibnu Abbas, maka keghoriban hadits tersebut secara otomatis hilang.
4. Cara mengukur kemutawatiran Hadits
Sebagai dasar sebuah hadits bisa di kategorikan mutawatir ataupun tidak adalah berdasarkan jumlah perawi pada tingkat shahabat yang meriwayatkan hadist tersebut . Sebagaimana pendapat mayoritas ulama, parameter hadist mutawatir yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah jumlah perawi di tingkat shahabat sebanyak sepuluh orang. Dengan demikian, apabila suatu hadist diriwayatkan kurang dari sepuluh shahabat, maka bukan termasuk kategori hadist mutawatir.

E.     Tahammul wa ada' al-Hadits
1. Pengertian Tahammul wa ada’ul-Hadits
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu. Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan  anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi –seperti diungkapkan oleh al Karmani[107]- pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.
Ada' secara etimologis berarti sampai/melaksanakan. Adapun secara terminologis Ada' al-Hadits berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.
2.  Syarat-syarat Tahammul al-Hadits
Mayoritas ulama' ahli hadits menganggap boleh atau sah anak di bawah umur menerima riwayat hadits. Hal itu dikarenakan, bila kita amati lebih jauh tidak jarang sahabat atau tabi’in yang menerima hadits yang diriwayatkan oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas dll[108], tanpa membedakan mana hadits yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh al hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar Ulumul Hadits, bahkan beliau menambahkan bahwa tahamul hadits orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun hadits yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada') setelah masuk Islam[109]. Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus adalah factor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum baliqh[110].
3.      Syarat-syarat Ada' al-Hadits
Mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikh sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaiakan sebuah hadits harus Mempunyai  ingatan dan hafalan yang kuat (Dlabit), serta memilik integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqahi)[111] . Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi empat syarat[112] yaitu Islam[113], balig, berakal, dan takwa[114]. Sedangkan kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh perawi hadits –seperti diungkapkan al Zanjani[115]- lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat atau pranata sosial. Namun bukan berarti bahwa ia harus orang yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki banyak kekurangan. Melainkan yang menjadi tolok ukur disini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekuranganya, dan kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya.

4. Sighad Tahammul  wa Ada' al-Hadits dan implikasinya terhadap persambungan Sanad
Metode penerimaan sebuah hadits dan juga penyampaianya kembali ada delapan macam yaitu :
a.       Sima' (mendengar).
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Sima' mencakup imlak (pendektean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi)[116]. Menurut mayoritas ahli hadits sima' merupakan shigat riwayat yang paling tinggi. Ketika seorang rawi ingin meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafadz berikut سمعت , حدثنى, أخبرنى, أنبأنى, dan  قال لى فلان. Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dlamir mutakallim diganti dengan dlamir jama'  نا.
Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت, sementara pada masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafat حدثنا. Namun demikian pada dasarnya kedua lafat tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mengajarkan hadits yang didengar langsung[117]. Hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafadz diatas menunjukkan sanad bersambung.
b.      al Qira’ah (membacakan hadits pada syeikh).
Qira’ah sendiri yang juga disebut al ard[118] memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits, sementara rawi dan syeikh berada pada posisi mendengarkan. Dalam situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal hadits yang dibacakan kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada catatannya atau sebuah kitab yang kredibel[119]. Akan tetapi jika syeikh tidak hafal hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al Juwaini menganggapnya sebagai bentuk sima' yang tidak benar[120].
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya sebagian bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama yang berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan sima' dalam menerima hadits adalah al Zuhri, al Bukhari, mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam sanad yang muttasil[121].
c.       Ijazah.
Salah satu bentuk menerima hadits dan meriwyatkanya adalah dengan cara seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau mendengar langsung dari sang guru. Ibnu Hazm menentang riwayat dengan ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah[122]. Sekalipun bentuk ini banyak dikritik oleh kalangan muhadditsin, namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dengan melihat pada argumen dari kedua belah pihak, penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang  benar-benar berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadits nabawi[123]. Dengan demikian kehawatiran golongan pertama akan terjadinya pemalsuan dan tadlis tidak dapat dibenarkan.
Ijazah hadits sendiri sebenarnya memiliki beberapa variabel. Menurut Qadli Iyadl terdapat dealapan macam, dan menurut Ibnu Shalah ada tujuh macam[124]. Namun penulis tidak akan menjelaskan kesemua variabel secara panjang lebar, melainkan penulis mencukupkan diri dengan konsep dasar Ijazah sebagaimana yang telah penulis terangkan diatas.
d.      Munawalah
Yaitu tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr dalam bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi menjadi beberapa macam, :
1)      Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”.
2)      Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepada ku”.
3)      Seorang murid membawakan hadits yang kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadits ku, riwayatkanlah ia dari ku”[125].
Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan berkata “ini adalah hadits yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan[126].
e.       Mukatabah (menulis)
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadits, baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain, kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam, yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah[127]. Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان [128].
f.        Al-I’lam (memberitahukan).
I’lam adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama hadits dan usul fiqih[129] memperbolehkan bentuk ini sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya[130]. Namun demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghozali dan Ibnu Sholah dalam bukunya Al-Muqoddimah.
Namun ketika golongan kedua berasalan dengan tidak adanya izin sehingga hadits yang diriwayatkan dengan cara ini dianggap tidak sah, tentunya alasan ini juga harus mereka jadikan syarat dalam meriwayatkan hadits baik yang didengar langsung atau yang lainnya, yang nantinya berimplikasi pada banyak hadits yang diriwayatkan secara tidak sah. Karena kami yakin banyak sekali syeikh yang membacakan hadits pada muridnya tanpa disertai dengan penegasan (izin) agar hadits tersebut disampaikan ulang. Dalam hal ini al Ramahrumuzi[131] berpendapat “sekalipun syeikh melarang mereportasekan hadits darinya, namun larangan itu tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap menyampaikan hadits tersebut[132].
g.       Wasiat
Wasiat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu wasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya[133]. Sejumlah ulama memperbolehkan merriwayatkankan hadits yang diperoleh dengan cara wasiat[134]. Wasiat hadits menurut mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian, yang seolah-olah syeikh memberikan izin kepada muridnya dan memberitahukan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang ia riwayatkan.
Namun demikian mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini termasuk lemah[135], bahkan lebih lemah dari  munawalah dan I’lam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang menerima hadits dengan cara ini ingin meriwayatkan kembali maka harus sesuai dengan redaksi aslinya, dan harus menjelaskan bahwa hadits tersebut diterima dengan wasiat, serta tidak boleh menggunakan lafat حدثنا, karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Sedangkan alasan ulama lain yang tidak memperbolehkannya adalah, menerima hadits dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah[136].
h.       Wijadah
Wijadah adalah rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya. Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Ulam yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika sipenemu ingin meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت بخط فلان   atau  وجدت فى كتاب فلان بخطه. Kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber data telah dinyatakan valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode hikayah (menceritakan) seperti diatas.
Sekalipun penulis tidak menutup mata dari komentar orang-orang yang menolak metode Wijadah, namun jika orang yang mewartakannya sudah memenuhi ketentuan yang berlaku, penulis lebih setuju pada pendapat yang mengesahkannya Karena bagaimanapun juga metode ini pernah dilakukan pada masa-masa awal, walaupun masih dalam jumlah terbatas. Keterbatasan ini menurut penulis tidak lebih dari langkah untuk meminimalisir terjadinya distorsi dalam mewartakan nilai-nilai agama. Yang terpenting, rawi harus maupun data yang menjadi sumber primer harus kredibel[137].
5. Pengertian Hadits Mu'an'an dan Muanan dan implikasinya terhadap persambungan Sanad
Hadits mu’an’an adalah hadits yang dalam proses pewartaannya hanya menyebutkan lafat  عن فلان عن فلان[138]  tanpa memberi penjelasan apakah hadits tersebut diperoleh dengan mendengar langsung atau yang lain[139]. Kalimat عن bukan sengaja diletakkan oleh rawi yang namanya disebut sebelumnya, melainkan ia datang dari orang yang ada di bawahnya[140]. Seperti  hadits yang diriwayatkan oleh Himam حدثنا قتادة عن أنس, maka kalimat ‘an di situ merupakan perkataan Himam, bukan Qatadah. Karena ‘An berkesinambungan dengan حدثنا. Disamping itu kebiasan seorang guru dalam meriwayatkan hadits dengan mengatakan حدثنا, أخبرنا dll. tidak dengan kalimat عن. Dengan demikian, dalam kasus Himam di atas masih belum dapat dipastikan kalimat apa yang digunakan oleh Qotadah ketika meriwayatkan hadits dari Anas. Sehingga juga berakibat pada belum adanya kejelasan, apakah sanad Qotadah dari Anas bersambung atau tidak[141].
Sementara terkait dengan Mu’asharah (seperiode) apakah ia bisa dijadikan sebagai salah satu metode untuk menetapkan bersambungnya sanad, masih menjadi perdebatan yang sangat hangat di kalangan kritikus hadits. Imam Muslim dalam mukadimah kitab shahihnya mengatakan Mu’asharah saja sudah bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk memastikan kemuttasilan sanad, dengan catatan sanad tersebut tidak mengadung unsur tadlis, sekalipun tidak ada informasi lebih lanjut yang menjelaskan bahwa keduanya pernah bertemu. Imam Muslim tidak men-syaratkan adanya liqo’ dan simak, yang terpenting dalam pandangan beliau adalah ketsiqahan perawi yang menjadi perekam fakta kesejarahan hadits[142]. Pendapat ini juga dikemukakan oleh mayoritas kritikus hadits di antaranya al Hakim. Sementara Ali al Madini dan muridnya al Bukhari mengharuskan adanya pertemuan dan berkumpul antara perawi, walaupun hal itu hanya terjadi sekali[143].
Abu Bakar al Shairafi menjelaskan lebih lanjut bahwa seorang rawi yang telah dikenal sebagai orang yang mendengar hadits dari seorang syeikh, bila kemudian ia meriwayatkan hadits dari syeikh tersebut maka hadits yang diriwayatkan dianggap muttasil. Demikian juga orang yang diketahui bertemu dengan syeikh kemudian meriwayatkan darinya. Anggapan ini terus berlaku sampai ada kejelasan bahwa hadits yang diriwayatkannya mengandung unsur tadlis[144].
Bagaimanapun juga dalam uji ketersambungan sanad, hadits ini tidak  terlepas dari kritikan para muhaddits lain. Syu’bah misalnya menyatakan hadits yang dirwayatkan dengan ‘an tidak pantas disebut sebagai hadits, melainkan ia adalah –seperti juga diungkapkan an Nawawi- ucapan yang disepakati oleh ulama klasik untuk menolaknya. Di antara orang yang menolak kemuttasilan sistem transmisi (sanad) hadits ini adalah al Baihaqi. Beliau mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Qais sebagai sampel, yang kemudian dijadikan sebagai alasan untuk memastikan ketidak bersambungan serial mata rantainya[145]. Yang demikian ini dikarenakan hadits tersebut mengandung kemungkinan besar bahwa orang yang menjadi tangga perantara tidak mendengar langsung dari gurunya, melainkan ia mendapatkannya dari orang lain yang sengaja tidak disebutkan dalam serial mata rantainya[146].
Penulis melihat pertentangan seputar hadits mu’an’an yang terjadi di kalangan para pendahulu kita hanyalah sebatas wanaca pemikiran. Pendapat ulama yang kontra mu’an’an misalnya –menurut persepsi penulis- sebenarnya merupakan langkah protektif untuk membendung eskalasi pemalsuan hadits, sehingga mereka memilih sikap menolak segala bentuk hadits yang diriwayatkan dengan ‘an, karena pada tataran prosesnya ia dianggap tidak jelas.
Namun tidak demikian halnya dengan golongan yang setuju. Sekalipun dalam hadits ini terdapat beberapa kemungkinan tidak bersambungnya sanad, semisal tidak mendengar langsung, namun dengan adanya beberapa syarat yang dikemukakan oleh golongan kedua, maka kemungkinan-kemungkinan negative itu akan segera hilang dengan sendirinya. Dan dari sini dapat dimengerti bahwa tidak semua hadits mu’an’an dapat diterima oleh golongan ini, melainkan yang bersumber dari orang-orang tertentu.
Sama halnya dengan mu’an’an adalah hadits muannan[147]. Yaitu hadits yang dalam pola penyampainnya banyak menggunakan أنّ. Al Barmawi menyatakan sebenarnya pertentangan seputar perkataan rawi أنّ فلان قال/ عن فلان أنه قال  tidak perlu diperpajang, karena keduanya sama saja dengan rawi mengatakan [148]قال فلان. Melainkan yang perlu kita cermati disini apabila perawi yang menjadi sumber primer hadits mengatakan إن فلان قال/ فعل كذا atau lafat lain yang tidak menunjukkan adanya simak.
Oleh karenanya, al Hafidz Ibnu Rajab memberikan jalan tengah. Menurut beliau perkataan rawi berupa إن فلان قال/ فعل كذا dalam kemuttasilan sanad terdapat dua macam. Pertama, jika rawi memang mendengar atau menyaksikan langsung ucapan atau perbuatan yang diceritakan, maka ia sama dengan قال فلان/ فعل فلان كذا, yang berarti serial mata rantainya bersambung. Kedua, kemungkinan kedua ini rawi tidak mendengar atau melihat sendiri, semisal masanya berbeda[149]. Jika memang demikian, maka contoh yang disebut terahir ini bisa dipastikan tidak muttasil.

F.      Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta'dil
1. Pengertian Ilmu Al-jarh wa Al-Ta'dil
Menurut etimologi al-jarh berasal dari akar kata jaraha-yajrihu yang berarti luka atau menolak (mis: kesaksian seseorang), sedangkan secara terminologi al-jarh berarti terlihatnya karakter perawi yang berimplikasi adanya anggapan hilangnya sifat adil dan lemahnya hafalan rawi, yang berakibat cacatnya hadits yang ia riwayatkan.
Al-‘adl (adil) dalam etimologi bermakna suatu karakter yang konsisten, tidak sewenang-wenang, atau lalim yang berada dalam diri seseorang, sedangkan al-‘adl secara terminology adalah suatu karakter yang tidak nampak akan merusak citra agama ataupun harga diri seseorang. Lalu makna dari istilah al-ta’dil sendiri adalah pengakuan terhadap seorang rawi dengan sifat-sifat yang mengharumkan namanya, sehingga nampak sifat adilnya dan hadits yang ia riwayatkan dapat diterima. Jadi Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang membahas keadaan rawi dari sisi diterima atau ditolak periwayatannya.
Beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi perawi, yaitu: adil[150] dalam arti; muslim, berakal, baligh, bebas dari faktor-faktor yang menyebabkan kefasikan serta hancurnya harga diri –yang terkait dengan dimensi moral-, dlobith; kuat hafalan (bukan pelupa), hafal terhadap hadits yang ia riwayatkan, dan memahami makna yang terkandung –yang terkait dengan dimensi intelektual[151].
2. Kaidah Penerapan Al-jarh wa Al-Ta'dil
Ketika sebagian besar hukum-hukum syariat hanya bisa diketahui dengan jalan meriwayatkan hadits, maka para ulama mulai meneliti keadaan (semua sifat) para perawi hadits. Ada beberapa kaidah penting yang digunakan mereka sebagai metode penelitian  dari perawi hadits, yaitu[152]: 
a.      Al-amanah wa al-nazahah; dalam artian mereka tidak hanya menyebutkan kekurangan tetapi juga kelebihan perawi, seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Sirin: “saya telah berbuat dzalim terhadap saudaramu jika hanya  menyebutkan keburukannya dengan tanpa menyebutkan kebaikannya”.
b.      Al-diqoh fi al-bahsi wa al-hukmi; dalam artian mereka sangat mendalam dalam meneliti keadaan perawi yang diperbincangkan. Mayoritas para ulama bisa mendiskripsikan keadaan para rawi, adakalanya karena mereka pernah bergaul langsung dengan para rawi atau murni karena persangkaan mereka, dan mereka membedakan antara lemahnya rawi yang berangkat dari kelemahannya dalam beragama dan dari lemahnya hafalan.
c.       Iltizam ‘ala al-adab fi al-jarh; dalam artian para ulama jarh wa ta’dil –dalam ijtihad mereka untuk memberikan kritikan- tidak akan keluar dari etika penelitian yang bersifat ilmiah yang sahih. Kritikan yang paling tajam kepada rawi hanya memakai ungkapan “fulan adalah orang yang lemah atau pembohong”. Bahkan sebagian dari mereka tidak memakai kata “pembohong” tapi dengan ucapan “ia adalah orang yang tidak jujur”.
d.      Al-ijmal fi al-Ta'dil wa Tafsil fi al-tarjih; dalam artian, mereka  -ulama jarh wa ta’dil- selalu menjelaskan sifat adil seorang rawi secara global (tidak menjelaskan sebab-sebab keadilannya), seperti: ia bisa dipercaya, ia adil, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam menjelaskan sebab-sebab dari sifat jarh rawi selalu terperinci, seperti: pelupa, pembohong, fasik, dan lain sebagainya. 
Seseorang yang menjadi kritikus rawi haruslah mempunyai sifat-sifat alim, bertakwa, wara’, jujur, tidak memiliki aib, dan kritikan yang ditujukan pada rawi tidak berdasarkan pada fanatisme[153]. Walaupun demikian, para ulama kritikus rawi kadang kala berbeda pendapat di dalam menilai seorang rawi. Sebagian mereka ada yang menganggap adil dan sebagian yang lain mengatakan tidak, Dalam hal ini ada tiga pendapat[154] :
                                I.      Mendahulukan jarh dari ta'dil. Walaupun yang mengatakan adil itu lebih banyak daripada yang menganggap jarh, karena jarih melihat apa yang tidak dilihat oleh mu’addil, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama[155].
                             II.       Mendahulukan ta'dil dari jarh ketika mu’addil lebih banyak, karena melihat pada sisi kuantitas. Pernyataan tersebut tertolak dikarenakan para mu’addil –sekalipun banyak tidak akan mengungkapkan apa yang dinyatakan oleh para jarih.
                           III.      Tidak diunggulkan salah satunya (mauquf), kecuali ada indikasi yang bisa membuat salah satunya menjadi unggul.
3. Sighat Al-Ta'dil dan implikasinya terhadap eksistensi Hadits
Tingkatan lafadz-lafadz ta’dil[156]
a.       Lafadz yang menunjukkan arti sangat tsiqahnya perawi لمبالغة في التوثيق) atau  dengan menggunakan wazan أفعل  , dan ini merupakan tingkatan lafadz yang paling tinggi, sebagai contoh:
Ø      saya tidak pernah tahu ia memperhatikan hal-hal yang bersifat keduniawiaan لاأعرف له نظيرا في الدنيا))
Ø      ia adalah orang yang paling terpercaya (هو أوثق الخلق)
b.      Lafadz yang ditegaskan dengan satu sifat atau lebih yang menunjukkan ketsiqahan perawi, semisal: ثقة ثقة, ثقة حافظ, ثقة مأمون.
c.        Lafadz yang menunjukkan ketsiqahan perawi dengan tanpa adanya penegasan, semisal: ثقة, حجة, ثبت.
d.      Lafadz yang menunjukkan ta’dil dengan tanpa adanya verifikasi (dlobth), semisal: صدوق (si fulan adalah orang yang dipercaya), لا بأس به (menurut selain daripada Ibnu ‘Ayyan) jika lafadz tersebut diucapkan oleh Ibnu ‘Ayyan pada seorang rawi maka ia termasuk rawi yang tsiqah.
e.       Lafadz yang tidak menunjukkan pernyataan tautsiq ataupun tajrih, semisal: si fulan adalah seorang syaikh (فلان شيخ).
f.        Lafadz yang lebih mengarah pada tajrih (lebih mudah untuk dibantah), semisal: si fulan adalah orang yang kapabel dalam urusan hadits (فلان صالح الحديث), haditsnya tertulis (يكتب حديثه).
Catatan[157]:
                                      I.      Tiga tingkatan yang pertama adalah lafadz-lafadz yang bisa menjadi argumen bagi ketsiqahan seorang rawi, sekalipun sebagian lafadz lebih kuat daripada yang lain.
                                   II.      Adapun tingkatan yang ke-4 dan yang ke-5 tidak bisa dijadikan argumen bagi ketsiqahan seorang rawi, namun haditsnya tetap ditulis dan diuji[158], sekalipun perawi pada tingkatan yang ke-5 berada dibawah tingkatan ke-4.
                                 III.      Sedangkan tingkatan yang ke-6 juga tidak bisa menjadi argumen bagi ketsiqahan seorang rawi, namun haditsnya tetap ditulis sebagai bentuk prestise semata, dengan tanpa tes uji kesahihan. Hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya standarisasi (kedlobitan) sebagai seorang rawi.





4. Sighat Al-Jarh dan implikasinya terhadap eksisitensi Hadits
Tingkatan lafadz-lafadz jarh[159] :

a.       Lafadz yang menunjukkan kelemahan (تليين), ini adalah tingkatan jarh yang teringan, semisal:  فلان لين الحديث(si fulan adalah orang yang lemah dalam bidang hadits), فى حديثه ضعف (dalam haditsnya terdapat kelemahan).

b.      Lafadz yang diuraikan dengan tanpa dalih atau yang menyerupainya, semisal: rawi adalah orang yang lemah (فلان واه), para ahli hadits menganggapnya sebagai seorang yang lemah (ضعفوه).


c.       Lafadz yang diuraikan dengan tanpa adanya teks hadits yang telah ia riwayatkan atau yang semisalnya, contohnya:

d.      si fulan tidak menuliskan haditsnya (فلان لا يكتب حديثه), hadits yang ia riwayatkan tidaklah benar.

e.       Lafadz yang menunjukkan kecurigaan terhadap adanya kemungkinan kebohongan atau semisalnya pada diri si perawi, contohnya: si fulan adalah seorang yang dicurigai telah melakukan kebohongan (فلان متهم بالكذب), ia telah mencuri hadits (يسرق الحديث).
f.        lafadz yang menunjukkan perawi memiliki sifat pembohong atau semisalnya, contohnya: si fulan adalah orang yang banyak melakukan kebohongan.
g.       Lafadz yang membesar-besarkan kebohongan dari perawi atau semisalnya, ini adalah tingkatan jarh yang terburuk), contohnya: si fulan adalah manusia yang paling banyak berdusta (فلان أكذب الناس).
Catatan[160]:
                                      I.      Pada perawi tingkatan yang pertama dan yang ke-2, hadits mereka tidak bisa dianggap tsiqah, namun sebagai bentuk prestise, hadits yang diriwayatkan akan tetap dicatat, sekalipun perawi pada tingkatan yang ke-2 lebih rendah daripada yang pertama.
                                   II.      Sedangkan untuk 4 tingkatan terakhir (ke-3, 4, 5, dan 6), hadits mereka tidak bisa dianggap tsiqah, tidak layak untuk dicatat, ataupun dianggap, sebab ia ataupun selainnya tidak layak untuk menguatkan hadits yang diriwayatkan.
F.      Kajian Syudzudz dalam analisis matan Hadits
1. Pengertian syudzudz dan contohnya
Definisi syududz adalah suatu kejanggalan yang dapat menciderai derajat kualitas suatu hadist. Batasan suatu hadist dikatakan mengandung syadz masih menjadi perbedaan diantara ulama. Namun inti dari syadz adalah “penyendirian dan perlawanan”. Misalnya hadits yang diriwayatkan seorang tsiqah bertentangan dengan riwayat orang yang lebih tsiqah darinya, sehingga hadist tersebut dianggap mengandung kejanggalan. Dalam prakteknya, kajian syududz berpengaruh pada aspek penelitian sanad, karena penentuan syududz adalah berdasarkan perbandingan kualitas antara dua orang perawi.
2. Cara menentukan Syudzudz al-Hadits
Parameter yang dipergunakan dalam analisis syududz adalah dengan menggunakan dalil naql (al-Quran dan al-Hadist). Sedangkan salah satu metode menentukan ada atau tidaknya syududz dalam suatu hadist dapat dengan cara mendatangkan hadist yang satu tema atau hadist yang sama namun dari jalur lain untuk diperbandingkan.

G.    Kajian illat dalam analisis matan Hadits
1. Pengetian illat dan contohnya
Illat adalah sifat-sifat buruk yang menciderai keshahihan suatu hadist. Cacat yang tersembunyi tersebut dapat terjadi pada sanad, matan ataupun juga pada keduanya. Dari ketiga faktor tersebut, aspek sanad yang paling banyak menjadi penyebab adanya cacat hadist ini. Ibnu Hajar menyebut jenis hadist ini sebagai jenis hadist yang paling rumit dan hanya orang yang mendapatkan karunia pengetahuan yang luas dan mendalam dari Allah yang bisa memahaminya. Hal tersebut karena untuk menemukan illat (cacat) yang terkandung dalam hadist ini membutuhkan pengetahuan yang luas dan ingatan yang kuat tentang sanad, matan, urutan  dan derajat perawi hadist[161]. Contoh:
ما رواه يلى بن عبيد عن سفيان الثورى عن عمر بن دينار عن ابن عمر,قال  رسول الله ص م: البيعان بالخيار مالم يتفرقا
Matan hadist di atas shohih, tetapi sanadnya memiliki illat. Seharusnya bukan dari Amr ibn Dinar, melainkan dari Abdullah bin Dinar.
2.      Cara mengetahui Illat dalam matan Hadits
Illat dapat diketahui dengan cara mengumpulakn jalur-jalur hadist dan meneliti perbedaaan perawinya, kekuatan ingatan dan kepintaran  mereka (dhabit). Parameter yang dipergunakan dalam analisis syududz adalah dengan menggunakan dalil aql (rasio).





[1] Sunan aby dawud.juz 3 hal 1554
[2] Musnad ahmad ibn hambal syarkhuhu wa shon’a  fahaaris.juz 16 hal 164
[3] Sunan ad-darimy.juz 1 hal 58
[4] Sunan at-tirmidzy.juz 3 hal 397
[5] Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al HaditsUlumuhu wa Mushtholahuhu, Bairut; Libanon. 1992. hal. 26
[6] Abu al Faid Muhammad bin Muhammad Ali al Farisi,  Jawahir al Usul al Hadits fi IlmiHadits al Rosul Bairut; Libanon. 1992. hal. 24
[7] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, 1999. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. Hal 1
[8] Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al HaditsUlumuhu,….….hal. 27
[9] Ibid.
[10] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar,…….hal. 4.
[11] Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al HaditsUlumuhu,….….hal. 17
[12] Ibid, 27
[13] Ibid, hlm 27-28.
[14] Al-Sayyid Muhammad Ibn 'Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, hlm 51.
[15] Ainul Yakin, 2005, Sejarah Kodifikasi Hadist Nabi, www.sidogiri.com

[17] Masjfuk Zuhdi, op cit, hal 80
[18] Penyusun Ensiklipedi Islam,1999, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), cet.4,Jld.1, hal 149
[19] Masjfuk zuhdi, op. cit, 81
[20] Penyusun Ensiklipedi Islam,1999, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), cet.6,Jld.2, hal 43

[21] Ibid. 44
[22] Ibid.
[23] ibid
[24] Masjfuk Zuhdi, op cit, hal 82
[25]  Penyusun Ensiklopedi Islam, Op,cit. hal 45.
[26] Ibid
[27] Ibid
[28] Ibid
[29] Ibid
[30] Masjfuk Zuhdi, op.cit,84.
[31] Ibid
[32] Penyusun Ensiklopedi Islam, op.cit. 149
[33] Ibid
[34] Penusun Ensiklopedi Islam, op.cit.hal 46
[35] Masjfuk Zuhdi, op.cit,88-89
[36] Penyusun Ensiklopedi Islam, op.cit.hal 47
[37] Ibid
[38] Masjfuk Zuhdi, op.cit,92
[39] Penyusun Ensiklopedi Islam, loc.cit
[40] Ibid
[41] Ibid , 48
[42] Masjfuk Zuhdi, op.cit,95
[43] Ibid, 96
[44] Ibid
[45] Penyusun Ensiklopedi Islam, loc.cit
[46] Muhammad Ali Daud, Ulum al-Quran wa al-Hadits, (Oman: Dar al-Bashir, t.th), hlm 9-10.
[47] Tawattur adalah periwayatan yang dilakukan oleh minimal 10 orang.
[48] Muhammad Ali Daud, Ulum al-Quran wa al-Hadits, hlm 10.
[49] Suatu bentuk struktur kata dalam sastra Arab.
[50] Dalam pembahasan ini, penulis sengaja tidak menguraikan satu-persatu arti etimologis dari kata Hadits dan Qudsi, akan tetapi hanya menjelaskan arti etimologis dari kata Qudsi, karena dalam pembahasan sebelumnya, penulis telah menyinggung arti etimologis dari kata hadits.
[51] Al-Sayyid Muhammad Ibn 'Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, hlm 53.
[52]  Ujaj al-Khatib, Ushul al-Hadits ...., hlm 28
[53] Baik dalam bentuk syair, puisi dan karya sastra lainnya.
[54] Muhammad Ali Daud, Ulum al-Quran wa al-Hadits, hlm 19-20.
[55] Al-Sayyid Muhammad Ibn 'Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, hlm 55.
[56] Keterangan tersebut terdapat di footnote (catatan kaki) Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, hlm 29.    
[57] Muhammad Ali Daud, Ulum al-Quran wa al-Hadits, hlm 21.
[58] Keterangan tersebut terdapat di footnote (catatan kaki) Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib,  Ushul al-hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, hlm 30.
[59] Muhammad Ali Daud, Ulum al-Quran wa al-Hadits, hlm 20-21.
[60] Al-Sayyid Muhammad Ibn 'Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, hlm 54.
[61] Muhammad Ali Daud, Ulum al-Quran wa al-Hadits, hlm 21.
[62] Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, hlm 30.
[63] Ditinjau dari proses terciptanya hadits.
[64] Manna’ al-Qathan, Mabahis fi Ulum al-Quran, (tt, 1973), hlm 27.
[65] Muhammad Jamaluddin al-Qosimi, Qawaid al Tahdits min Fununi Musthalah al Hadits, Beirut Lebanon :Daar al Kutub al 'Alamiah, tt,  hlm, 202.
[66] Umar Hasyim, Qowaid al-Ushul..., hlm, 22
[67] Ali Daud, Ulum al-Quran....., hlm 166. Bandingkan dengan ‘Ujaj al-Khatib,  Ushul al-hadits..., hlm 32.
[68] 'Alawi al-Maliki al-Manhal al-Lathifi..., hlm 45. Lihat juga Ali Daud, Ulum al-Quran...., hlm 166.  
[69] Umar Hasyim, Qowaid al-Ushul ...., hlm, 22
[70] Tsiqah adalah seseorang yang  mempunyai sifat 'adil dan dlobid artinya tidak diragukan kualitas moral maupun intelektualnya.
[71] al-Qosimi, Qawaid al Tahdits...,hlm,  79, Umar Hasim, Qowaid al-Ushul.. , hlm, 39. Ujjaj al-Khotib Ushul al-hadits.., hlm, 305.
[72] Dr. Ahmad Umar Hasyim, Qawaid Ushul al-hadits, (tt: Dar al-Fikri, t.th), hlm 39.
[73] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, hlm 331 dan Dr. Ahmad Umar Hasyim, Qawaid Ushul al-hadits, hlm 70.
[74] Beliau lahir di desa Buj, salah satu desa di wilayah Tirmidz, pada tahun 209 H dan wafat pada hari Ahad malam, 13 Rajab 279 H di Tirmidz. Beliau adalah pengarang kitab Jami’ al-Tirmidzi atau Sunan al-Tirmidzi yang sangat monumental.
[75] al-Qosimi, Qawaid al Tahdits...,hlm, 102
[76] Al-Sayyid Muhammad Ibn 'Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, hlm 66. 
[77] Dr. Subkhi Shaleh, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, hlm 156.
[78] Mempunyai daya ingat yang sangat kuat.
[79] lihat syarah Shahih Muslim juz 1 hal 19, lihat juga Ujjaj al-Khotib Ushul al-hadits..337 dan qowaid al-hadits hal 86).
[80] Umar Hasyim, Qowaid al-Ushul.. hlm, 97
[81] al Mun'im as Salim, Taisir al 'Ulum.., hlm, 50-54
[82] Umar Hasyim, , Qowaid al-Ushul.. hlm. 108. Definisi tentang tadlis isnad sebenarnya sangat beragam, seperti Ali Rowad dalam bukunya Ulum al-Quran Wa al-Hadist menambahkan dengan kata-kata “ atau dari orang yang semasa dengan perawi dan ia tidak pernah bertemu dengannya namun memberi gambaran seolah-olah ia mendengar langsung darinya.
 Sedangkan Ibnu Sholah dan an-Nawawi menamakan tadlis sanad dengan mursal khofi lihat Alwi al-Maliki, al-Munhil Fi...., hlm, 108).
Dalam masalah ini penulis cenderung lebih sepakat pada pendapat Umar-yang juga didukung oleh Ibnu Hajar- yang memisahkan antara kedua definisi tersebut, yaitu bila hadist diriwayatkan dari orang yang semasa dan perawi pernah bertemu namun tidak mendengar hadist tersebut secara langsung maka disebut mudallas. Sedangkan apabila hadist diriwayatkan dari orang yang semasa namun perawi tidak pernah bertemu dan ia menggambarkan seolah-olah pernah bertemu dan mendengar hadist langsung hadist tersebut maka dinamakan dengan mursal khofi. Dengan demikian ada garis perbedaan diantara keduanya, yaitu pada permasalahan apakah perawi yang meriwayatkan dari orang yang semasa pernah bertemu atau tidak.
[83] Ahmad Muhammad Ali Rowad, Ulum al-Quran Wa Al-Hadist, Amman:Dar al-Basyir 1983 hlm, 205
[84] al Mun'im as Salim, Taisir al 'Ulum.., hlm, 61-94
[85] Umar Hasyim hlm,  Qowaid al-Ushul.. hlm, 112
[86] Untuk lebih jelas pembagian serta contohnya lihat al Mun'im as Salim, Taisir al 'Ulum.., hlm,73-79
[87] Ibid, hlm 80-83
[88]Umar Hasyim, Qowaid al-Ushul..  hlm. 77
[89] Ujjaj al-Khotib Ushul al-hadits.., hlm, 351
[90] al Mun'im as Salim, Taisir al 'Ulum.., hlm 36-37
[91] Dr. Subhi Sholih, Membahas ilmu-ilmu hadist, terj, 1997, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm, 241
[92] Umar Hasyim,  Qowaid al-Ushul...., hlm,  168
[93] al-Qosimi, Qawaid al Tahdits...,hlm,146, lihat 'Ujjaj al-khotib, Ushul al-hadits.. hlm:301, dan Subhi Sholih , Membahas ilmu-ilmu hadist, hlm,146 dan juga Umar Hasyim, Qowaid al-Ushul..., hlm, 132
[94]Hal ini berdasarkan firman Allah:”Mengapa mereka(menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?”.S.An-Nur:13
[95]Seperti S.An-Nur 6-9:”Dan orang-orang yang menuduh isterinya(berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang –orang yang berdusta. Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar”.
[96]Berdasarkan S.Al-Maidah 11:”Dan telah Kami angkat di antara mereka dua belas orang pemimpin”.
[97]Berdasarkan S.Al-Anfal 65 :”Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”.
[98]Berdasarkan S.Al-Anfal 64 :”Hai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu(menjadi penolongmu)”. Pada waktu ayat terakhir turun,  jumlah mereka mencapai empat puluh orang laki-laki disebabkan Umar telah masuk Islam.
[99]Berdasarkan S.aL-A’raf 155 :”Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk(memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan”.
[100]Umar Hasyim,  Qowaid al-Ushul...., hlm,147
[101]Ibid hlm,144
[102]Ibid.
[103]al-Qosimi,.. Qawaid al Tahdits., hlm, 146.
[104]Umar Hasyim,  Qowaid al-Ushul...., hlm,147
[105]Ibid, hlm, 153
[106]Ujjaj al- Khotib, Ushul al-hadits.., hlm , 362.
[107] Badruddin Abu Muhammad al Aini, Umdah al Qarii Syarhu Shahih Bukhari, vol 2, , Beirut : Dar al Kutub al Ilmiah, 2001, hlm, 101.
[108]Aisyah Abdurrahman, Muqadimah Ibnu Shalah Wa Mahasinu al Istilah, Kairo: al Ma’arif 1990, hlm, 312.
[109]Ahmad Muhammad Syakir, al Ba’its al Hadits , Kairo : Dar al Turats, 1979, hlm, 90.
[110] Ibid, catatan kaki, 91. lihat juga Syamsudin Moch Abdurrahman al Sakhawi, Fathul Mugits Syarhu Alfiyatul Hadits, vol 1, Beirut : Dar al Kutub al Ilmiah, 2001, hlm, 317. Syeikh Abu Muhammad al Asadi dalam statemennya menyatakan bahwa pemerhati hadits modern banyak mengikuti pendapat ini. mereka akan menerima hadits yang disampaikan oleh orang yang sudah tamyiz sekalipun belum berumur lima tahun, di samping itu mereka akan menolak hadits yang direportasekan oleh orang yang belum memiliki sifat tamyiz sekalipun sudah berumur 50 tahun. baca Aisyah Muqadimah Ibnu Shalah...., hlm 315.
[111] Aisyah, Muqadimah Ibnu Shalah...., hlm, 288. bandingkan dengan Muhammad Zainuddin al Iraqi, al Taqyid Wa al Idlah, Muassasah al Kutub al Tsaqafiyah t.t, hlm, 114.
[112] Menurut al Sakhawi ada lima syarat, dengan membagi takwa menjadi dua, yaitu menjauhi perbuatan fasik berupa melakukan dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil, dan menjaga harga diri. Lihat Abdurrahman al Sakhawi, Fathul Mugits.... hlm 315.
[113] Ia merupakan syarat terpenting dalam periwayatan hadits, sekaligus sebagai langkah protektif yang sangat menentukan apakah hadits itu diterima atau tidak. Hal itu didasarkan pada salah satu ayat al Quran yang selalu mewanti-wanti agar kita benar-benar meneliti informasi yang diberikan oleh orang fasik. Logikanya, jika kita harus berhati-hati terhadap berita yang disampaikan orang fasik, apalagi dari orang kafir yang telah dijelaskan al Quran bahwa “mereka tidak akan pernah erdiam diri, sehingga kita mengikuti agama mereka”.
[114] Al Shiddik Basyir Nashr, Dlawabith al Riwayah ‘Inda al Muhadditsin, 1992, t.t. : Thorobulus, 116.
[115] Abul Qasim saad bin al Husein.beliau adalah orang yang warak dan mempunyai pengetahuan luas dalam masalah hadits. W. 471 H dalam usia 90 tahun.
[116] Dr. Abd Halim Mahmud, al Tautsiq Wa al Tadl’if Baina al Muhadditsin Wa al Du’aat, , Maktabah Alfu Fa, 1993, 162. bandingkan dengan Qadli Iyadl, al Ilma’,  Kairo : Maktabah Dar al Turats, 197069.
[117] Hal senada juga diungkapkan oleh al Humaidi bahwa kedua lafat tersebut dimaksudkan satu. Lihat Badruddin al Aini, Umdah al Qarii ....hlm 16.
[118] Al Karmani menyebutkan bahwa Qiraah dan Ardl bermakna satu, yaitu membacakan hadits kepada guru untuk kemudian meriwayatkan hadits tersebut darinya. Baca Badruddin al Aini, Umdah al Qarii ....hlm 24.
[119] al Qasimi, Qawaid al Tahdits.., hlm, 203.
[120] Qadli Iyadl, al Ilma....,hlm,  75.
[121] Subhi Shalih, Membahas..., hlm, 90. lihat juga Ach Muhammad Daud, Ulumul Quran Wal Hadits, , Amman : Dar al Basyir, 1984, hlm, 173.  juga Badruddin al Aini, Umdah al Qarii ...hlm 25.
[122] Subhi Shalih, Membahas..., hlm, 90. lihat juga Basyir Nashr, Dlawabith al Riwayah.....,hlm, 140.
[123] Golongan yang kedua memberikan alasan, pertama, mentransfer hadits dengan ijazah hanya dilakukan setelah masa kodifikasi hadits, dimana seluruh serial mata rantainya terekam dengan rapi dan dapat dipertanggung-jawabkan (ittisal). Kedua, kebolehan ijazah hanya bagi orang yang memiliki kemahiran dan pengetahuan mendalam tentang hadits, serta kedua-duanya –orang yang memberi ijazah dan orang yang menerimanya- harus sama-sama dapat dipercaya (tsiqah).
[124] Untuk lebih jelasnya silahkan baca al Qasimi, Qawaid al Tahdits,...... hlm 203. Abd Halim Mahmud, al Tautsiq ...., hlm 173.
[125] Muhammad Syakir, al Ba’its al Hadits ....,hlm, 101.
[126] Menurut Shiddiq Basyir N. hadits yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh diriwayatkan, demikian juga menurut kaul shahih. Akan tetapi sejumlah intelektual muslim dan ahli hadits tetap memperbolehkan dan menganggapnya sebagai pewartaan yang sah. Baca Aisyah Muqadimah Ibnu Shalah...., hlm 350..
[127] Muhammad Daud, Ulumul Quran Wal Hadits....,hlm 176.
[128] Basyir Nashr, Dlawabith al Riwayah ....,hlm 146.
[129] Halim Mahmud, al Tautsiq Wa al Tadl’if......, hlm, 163.
[130] Subhi Shalih, Membahas...., hlm, 93.
[131] Beliau adalah al Hafidz Abu Muhammad al Hasan bin Abdurrahman bin al Khallad al Farisi. Beliau penulis buku  ألأمثال dan  المحدث الفاصل بين الراوى و الواعى.
[132] Aisyah Abdurrahman, Muqadimah Ibnu Shalah.... hlm, 356.
[133]Hal ini pernah dilakukan oleh Abu Qilabah Abdullah bin Zaid al Juhani al Bashri. Beliau adalah salah seorang ulama terkemuka dari kalangan tabi’in. beliau meriwayatkan hadits dengan cara wasiat kepada muridnya, al Sakhtiyani.
[134]Bentuk ini jarang terjadi. Baca Ujaj al Khatib, Ushulul Hadits ......, hlm 243.
[135]Ujaj Al Khatib Ushulul hadits,........, hlm, 243.
[136]Halim Mahmud, al Tautsiq Wa al Tadl’if......, hlm, 163.
[137] Ujaj al Khatib, Ushulul Hadits,......, hlm 247.
[138] Dalam hal ini al Khatib al Bagdadi  menyatakan bahwa “para  kritikus hadits  menganggap sah rawi mengatakan حدثنا فلان عن فلان, jika orang pertama seperiode dengan orang yang kedua, dan ada kemungkinan hahwa keduanya pernah bertemu –dengan melihat pada tahun wafat kedua rawi- dan mendengar hadits darinya.
[139] Ali Daud, Ulumul Quran Wal Hadits....., hlm, 213.
   ما رواه إبن ماجة : قال حدثنا عثمان بن أبى شيبة ثنا معاوية بن هشام ثنا سفيان عن أسامة بن زيد عن عثمان بن عروة عن عروة عن عائشة قالت : قال رسول الله : إن الله و ملائكته يصلون على ميامن الصفوف.
[140] Perlu adanya peninjauan ulang. Statemen ini penulis hanya menemukan dalam satu sumber.
[141]  Ujaj al Khatib, Ushulul Hadits,......, hlm 207.
[142]Muhammad Ismail al Shan’ani, Taudlihul Afkar.., hlm, 332.
[143] Ibid, 203.
[144]Syamsuddin al Sakhawi, Fathul Mugits, 180. Ahli hadits sepakat menerima kemuttasilan hadits mu’an’an bila telah memenuhi tiga syarat yaitu integritas keagmaan rawi (adalah), liqo’ (pernah bertemu), dan tidak mengandung unsur tadlis.
[145]   حدثنا على بن محمد ثنا وكيع ثنا محمد بن جابر قال : سمعت قيس بن طلق الحنفى عن أبيه قال : سمعت رسول الله سئل عن مس الذكر, فقال : ليس فيه وضوء إنما هو منك.
Setelah dianalisis ternyata hadits ini termasuk منقطع kerena Qois tidak menyaksikan dan mendengar langsung pertanyaan yang dilontantarkan oleh Thalaq kepada Nabi.
[146]Abd Halim Mahmud, al Tautsiq Wa al Tadl’if ....., hlm, 144.
[147]Dalam menyikapi kedua bentuk hadits ini, sejumlah intelektual muslim yang menaruh perhatian terhadap hadits nabawi, dan sejumlah pakar fikh dan ushul memasukkan keduanya dalam kategori hadits yang sanadnya muttasil, bila orang yang mereportasekannya memenuhi kreteria yang telah kami sebutkan di atas. Lihat Ulumul Quran Wal Hadits karya Ach Muhammad Ali Daud, hlm, 213.
[148]Al Shan’ani, Taudlihul Afkar,...... hlm, 337.
[149]Ujaj al Khatib, Ushulul Hadits......,hm, 208.
[150] Sifat adil dalam periwayatan hadits berbeda dengan sifat adil yang ada pada bab Syahadah (kesaksian), yaitu; dalam hal sifat merdeka (bukan budak), laki-laki, dan jumlah periwayat.

[151] Sifat ‘adalah seorang rawi bisa ditetapkan dengan 2 hal, yaitu:

  1. telah ditetapkan oleh para ulama Jarh dan Ta’dil atau salah satunya dalam kitab-kitab al-Jarh wa al-Ta’dil.
  2. kemasyhuran sifat ‘adalah para rawi di masyarakat, mungkin karena kejujurannya, keistiqamahannya, atau ketenaran namanya, contohnya: Malik bin Sufyan, al-Auza’iy, al-Laits bin Sa’d, dan lain sebagainya.
Kedlobithan seorang rawi bisa diketahui apabila hadits yang diriwayatkannya sesuai atau cocok dengan hadits yang tsiqah, dan sedikit perbedaan tidak akan berpengaruh pada ketsiqahan hadits yang ia riwayatkan.
[152] Ujaj al Khatib, Ushulul Hadits ......, hlm
[153] Ujaj al-Khatib, Ushul al hadits.....,hlm 268
[154] Ibid, hlm,
[155] Jarih adalah ulama yang menganggap seorang rawi cacat, sedangkan mu’addil adalah sebaliknya.
[158] Kualitas  seorang rawi diteliti dengan cara membandingkan hadits yang diriwayatkan dengan hadits-hadits lain yang diriwayatkan olen rawi yang tsiqah. Bila hadits tersebut sesuai dengan hadits yang tsiqah, maka haditsnya diakui. Berdasarkan hal ini, maka seorang rawi dapat dipercaya (صدوق) belum bisa diakui haditsnya sebelum melalui tes uji kesahihan.
[161] Subhi Sholih, Ulumu al-Hadist ...., hlm, 180. Lihat juga Ali Rowad, Ulum al-Quran....,hlm. 205. Dalam permasalahan ini, penulis cenderung lebih sependapat dengan Bpk Damanhuri bahwa hal tersebut sebenarnya tidak serumit yang dibayangkan. Sebab untuk meneliti hadist pada saat ini telah banyak tersedia kitab-kitab yang dapat dijadikan referensi dalam penelitian hadist, baik meliputi matan, sanad maupun kualitas perawi. Menurut kami, Ibnu Hajar dan Ulama muhadditsin berpendapat seperti di atas adalah karena memang kondisi pada waktu itu belum seperti sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar