STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 28 Juni 2011

HADITS HASAN Antara Shahih dan Dla’if

Terma hasan sebagai salah satu sifat hadits belum dikenal oleh para ‘ulama` hadits sebelum al-Imam at-Tirmidzi[1] (209-279 H.). Beliau dianggap sebagai pencetus dan orang yang mengetengahkan terma hasan kali pertama melalui karyanya as-Sunan.[2]Pada prinsipnya terma hadits hasan diperkenalkan oleh al-Tirmidzi ra. dengan dalil bahwa suatu hadits tidak dapat dikategorikan sebagai hadits shahih tetapi tidak laik pula untuk dinilai sebagai hadits dla’if,[3] sehingga perlu ada pemetaan baru dengan regulasi tertentu. Dalam kesempatan ini penulis akan menyampaikan materi tentang Hadits Hasan melalui pembahasan singkat.

A. PENGERTIAN

Secara harfiah, kata hasan (حسن) atau hasanah (حسنة) berarti bagus, baik (khair = خير) atau terpuji (mahmud = محمود) yang berlawanan dengan makna kata sayyi`ah (سيّئة) atau madzmumah (مذمومة). Dengan demikian yang dimaksud dengan hadits hasan adalah hadits yang baik, bagus, dan terpuji. Adapun secara terminologis, hadits hasan dijelaskan sebagai berikut:
هو ما اتصل سنده بنقل عدل ضابط قلّ ضبطه قلّة لاتلحقه بحال من بعد تفرده منكرا وسلم من الشذوذ والعلة القادحة[4]
(Hadits Hasan adalah hadits yang sanadnya bersambung melalui jalur orang yang adil lagi dlabith, (tetapi) sedikit sekali ke-dlabith-annya, sebagai yang tidak patut dimiliki sebagai sikap seorang diri, tetapi selamat dari keadaan syudzudz dan ‘illat yang jelek)

Definisi tersebut mengandung pemahaman bahwa hadits hasan setidaknya memiliki ciri sebagai berikut:
1. sanadnya bersambung (muttashil);
2. diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dlabith tetapi hanya sedikit kadarnya.
3. tidak syadz (ghair syudzdudz) dan tidak memiliki cacat (ghair mu‘allal).

Dengan ciri pertama hadits hasan mempunyai kesamaan ciri dengan hadits shahih. Namun dengan ciri kedua menjadikan dirinya turun satu tingkat, keluar dari derajat shahih. Oleh karena tidak ‘illah maupun syudzudz, maka jika ada hadits mempunyai kedua ciri tersebut maka derajatnya turun menjadi hadits dla’if. Dengan demikian hadits hasan sewaktu-waktu dapat naik menjadi hadits shahih dan dapat turun tingkat menjadi hadits dla’if.
Contoh hadits hasan adalah seperti riwayat at-Tirmidzi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r : لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاةٍ [5]

(Kami memperoleh hadits dari Abu Kuraib, dari Ubdah ibn Sulaiman dari Muhammad ibn ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, katanya, Rasul Allâh saw. bersabda: Sekiranya aku tidak memberatkan ummatku niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap (menjelang mendirikan) shalat)

Perhatikan bahwa hadits tersebut mempunyai sanad yang bersambung (muttaashil)[6], tetapi ia memiliki kekurangan, yakni di dalamnya terdapat nama Muhammad ibn ‘Amr. Hal mana nama tersebut di satu pihak terkenal dengan kejujurannya, tetapi tidak memperoleh kepercayaan di pihak yang lain, hingga dengan demikian sebagian masyarakat memandangnya lemah dari segi rendahnya tingkat hafalan yang dimilikinya (qillah dlabthihi = قلّة ضبطه), dan sebagian lagi menganggapnya sebagai orang yang dapat dipercaya (tsiqah = ثقة) karena kejujuran dan kebesarannya.
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh al-Imam Muslim ra. bahkan al-Bukhari ra. melalui jalur Abu Hurairah ra. sebagai berikut:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ r قَالَ: لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ، وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ عَلَى أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاةٍ [7]

(… Sekiranya aku tidak memberatkan orang-orang beriman –dan dalam riwayat Zuhair “atas ummatku”--, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap (menjelang mendirikan) shalat)

Contoh lainnya adalah riwayat al-Tirmidzi ra. berikut ini:

حدثنا جعفر ين سليمان الصبعي عن أبي عمران الجَوني عن أبي بكر بن أبي موسى الأشعري قال سمعت أبي بحضرة العدو يقول قال رسول الله r : إن أبواب الجنة تحت ظلال السيوف ... الحديث [8] (هذا حديث حسن غريب)

Hadits tersebut adalah hasan karena rijalnya ada empat orang yang masing-masing adalah tsiqah kecuali Ja’far ibn Sulaiman. Jika tidak demikian maka hadits tersebut adalah shahih.
Ibn al-Shalah mengatakan dalam hal ini, bahwa hadits hasan menurut al-Tirmidzi adalah hadits yang dalam sanadnya tidak terdapat rijal yang disangka berdusta, dan bukan pula hadits syadz.[9] Hingga dengan demikian dikatakan, bahwa jika ada hadits diriwayatkan melalui al-Tirmidzi yang bersumber dari kitabnya al-Jami’ maka bukan hadits shahih, tetapi hanya berada pada tingkat hasan, karena beliau sering menerangkan dalam banyak hadits dengan pernyataan “Ini hadits hasan lagi gharib (هذا حديث حسن غريب)”.[10]

B. KLASIFIKASI HADITH HASAN

Sebagai diketahui, munculnya hadits hasan dilatar-belakangi oleh pemikiran bahwa hadits dalam kondisi tertentu tidak dapat dinilai shahih dan tidak pula dinilai dla’if karena faktor-faktor tertentu. Maka para ‘ulama membedakan hadits hasan berdasarkan faktor dan sifatnya menjadi dua macam, yaitu Hasan li Dzatih dan Hasan li Ghairih.

1. Hasan li Dzatih
Hadits Hasan li Dzatih (الحديث الحسن لذاته) adalah hadits hasan sebagaimana yang telah dijelaskan di depan. Hadits ini dalam kondisi tertentu bisa naik ke tingkat hadits shahih, maka ia dalam posisi demikian diberikan nama hadits shahih li ghairih (الصحيح لغيره), ia menjadi shahih karena faktor lain. Contohnya adalah Hadits ibn ‘Amr (tentang siwak) di atas.
Hadits tersebut dinamakan hadits hasan li dzatih berdasar-kan riwayat al-Tirmidzi karena kesendiriannya tanpa dikaitkan dengan jalur lain.


Dalam riwayat tersebut nama-nama periwayatnya dapat diuraikan sebagai berikut:
a. at-Tirmidzi
b. Abu Kuraib
c. ‘Abdah ibn Sulaiman
d. Muhammad ibn ‘Amr
e. Abu Salamah
f. Abu Hurairah dari Rasul Allâh

Ditinjau dari jaringan sanad nama-nama tersebut bersambung dari at-Tirmidzi hingga Rasul Allâh. Mereka juga memiliki persyaratan ‘adil dan dlabith, kecuali Muhammad ibn ‘Amr.[11] Menurut ibn Hajar, ia adalah sanad yang tidak terkenal (majhul).[12] Demikian pula menurut ad-Dzahabi. Ia memunyai sifat ‘adil dan dlabith dalam kadar sedikit, atau lemah hafalannya.
Atau riwayat tersebut dinamakan hadits shahih li ghairih berdasarkan riwayatnya jika dikaitkan dengan jalur lain, yaitu jalur as-Syaikhan (al-Bukhari dan Muslim ra.). Perhatikan kembali keterangan di atas!

2. Hasan li Ghair Dzatih

Adapun Hadits Hasan li Ghairih (الحديث الحسن لغيره) adalah hadits dla’if yang dengan sebab tertentu dapat meningkat statusnya menjadi hadits hasan. Dengan kata lain, hadits dengan status hasan dikarenakan ada faktor tertentu, misalnya terdapat perawi pelupa berat (mughaffal) atau sering salah (katsir al-khatha`) dalam meriwayatkan hadits. Pada dasarnya hadits hasan li ghair dzatih adalah hadits dla’if,[13] kemudian karena ada faktor lain sebanding yang menyebabkan statusnya naik ke posisi lebih atas.[14]


C. REDAKSI HADITS HASAN

Yang dimaksud dengan sub tema ini adalah terma-terma yang dipergunakan oleh para muhadditsun untuk menyatakan sifat-sifat bagi hadits hasan dari segi keadaannya. Pernyataan sifat bagi sebuah hadits lazimnya diletakkan setelah hadits itu sendiri, sebagai pernyataan semisal komentar.


1. Hasan Shahih; contohnya dapat diperhatikan dalam hadits berikut ini:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ r نَهَى أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا فَقِيلَ الأَكْلُ قَالَ ذَاكَ أَشَدُّ (رواه الترمذي)[15] قَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Pada akhir hadits tersebut terdapat pernyataan Abu ‘Isa (at-Tirmidzi), “hadits tersebut adalah hasan shahih”.


Contoh lainnya adalah hadits berikut ini:

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r : مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ [16]
قَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ


Perhatikan pula hadits berikut ini:

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا الْمُحَارِبِيُّ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ سُمَيٍّ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r قَالَ: مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ غُفِرَتْ لَهُ ذُنُوبُهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ [17].
قَالَ أَبُو عِيسَى : هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Pernyataan (هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ) tersebut ditemukan dalam tradisi al-Tirmidzi dalam Sunannya. Sekilas, pernyataan tersebut membingungkan, karena adanya ambiguitas antara hasan dan shahih yang jelas berbeda. Maka yang dimaksud dengan ungkapan (هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ) di atas adalah bahwa jika ada sebuah hadits diriwayatkan dengan dua jalur (isnad), maka salah satunya adalah isnad hasan sedangkan lainnya adalah isnad shahih. Artinya bahwa hadits yang dimaksud adalah hasan menurut satu isnad, tetapi shahih melalui jalur isnad lainnya.

2. Hasan Gharib, contohnya sebagai tersebut dalam hadits berikut ini:

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ أَسْبَاطِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْقُرَشِيُّ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ هِشَامِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r : الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ َلا يَخُونُهُ وَلا يَكْذِبُهُ وَلا يَخْذُلُهُ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ التَّقْوَى هَا هُنَا بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْتَقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ (رواه الترمذي)[18].
قَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ

3. Gharib Hasan, seperti dalam hadits berikut ini:

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ لَهُ: يَا عَلِيُّ ثَلاثٌ لا تُؤَخِّرْهَا الصَّلاةُ إِذَا آنَتْ وَالْجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ وَالأَيِّمُ إِذَا وَجَدْتَ لَهَا كُفْئًا (رواه الترذي) [19].
قَالَ أَبُو عِيسَى : هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ حَسَن

4. Hasan Shahih Gharib, seperti sifat yang diberikan pada hadits berikut ini:

حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ لَمَّا حُمِلَتْ جَنَازَةُ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ قَالَ الْمُنَافِقُونَ مَا أَخَفَّ جَنَازَتَهُ وَذَلِكَ لِحُكْمِهِ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ r فَقَالَ: إِنَّ الْمَلائِكَةَ كَانَتْ تَحْمِلُهُ (رواه الترمذي)[20]
قَالَ أَبُو عِيسَى : هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ

Jika hadits dikatakan dengan ungkapan shahih al-isnad (صحيح الإسناد) atau hasan al-isnad (حسن الإسناد) maka maksudnya adalah bahwa hadits yang dimaksud adalah shahih atau bagus dalam hal isnadnya, bukan matan haditsnya. Jika dikatakan dengan terma hasan shahih (حسن صحيح) maka maksudnya adalah bahwa hadits tersebut memiliki dua sistem isnad, satu isnad menunjuk status shahih dan satunya menunjuk status hasan. Demikian pula jika dikatakan dengan ungkapan hasan gharib (حسن غريب) maupun gharib hasan (غريب حسن), maka suatu hadits berstatus ganda, dan seterusnya. Demikian menurut al-Tirmidzi.[21]


D. BERHUJJAH DENGAN HADITS HASAN
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah dan dapat dipraktik-kan pesannya (yu’malu bihi) sebagaimana hadits shahih. Hanya saja kadarnya tidak sekuat kualitas hadits shahih. Para tokoh seperti al-Hakim, ibn Majah, dan ibn Huzaimah mengguna-kannya sebagai alat tarjih,[22] artinya hadits hasan akan dijadikan hujjah jika tidak bertentangan dengan hadits shahih atau tidak ditemukan hadits shahih. Menurut jumhur ‘ulama, status kehujjahan hadits hasan seperti hadits shahih, namun ia berada di tengah-tengah antara hadits shahih dan hadits dla’if. Menurut al-Khathabi, hadits hasan adalah hadits yang diterima oleh mayoritas ‘ulama dan dapat dipergunakan sebagai hujjah oleh para fuqaha`. Menurut ibn as-Shalah, hadits hasan baik untuk diamal-kan. Dan apa yang dijelaskan oleh al-Tirmidzi dan al-Khatthabi adalah tidak ada batas pemisah antara hadits hasan dan hadits shahih.[23] Menurut ibn Taymiah, hadits hasan berada di bawah hadits shahih. Jika keduanya terjadi perbedaan atau bahkan bertentangan, maka harus didahulukan hadits shahih.$
[1]Nama lengkapnya: Muhammad ibn ‘Isa ibn Sawrah at-Tirmidzi, tokoh hadits yang memperoleh title al-Imam dan al-Hafidh.
[2]Asal nama kitab ini adalah al-Jami’ al-Mukhtashar min as-Sunan ‘an Rasul Allâh saw. Wa Ma’rifah as-Shahih wal-Ma’lul wama ‘alaih al-‘Amal. Nama lain kitab ini adalah Jami’ at-Tirmidzi. Lihat al-Albani dalam Muqaddimah Sunan at-Tirmidzi, edisi tahqiq, terbitan al-Ma’arif Riyadl, 1417 H., h. 8.
[3]Muhammad Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, h. 335.
[4]Mahmud Yunus, ‘Ilm Mushthalah al-Hadits, Jakarta: Sa’diyah Putera, t.th., h. 43.
[5]Lihat Sunan al-Tirmidzi, pada bab al-Siwak.
[6]Sanadnya bersambung dari al-Tirmidzi hingga nabi.
[7]Lihat Shahih Muslim, pada bab al-Siwak.
[8]Mahmud Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadith, Surabaya: al-Haramayn, t.th., h. 46-47.
[9] Lihat Abu al-Fida` Isma’il ibn Katsir al-Qurasyi al-Syafi’i, al-Ba’its al-Hatsits fi ikhtishar ‘Ulum al-Hadits, (CD Program: al-Maktabah al-Syamilah), h. 4.
[10] Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 49.
[11]Nama lengkapnya: Muhammad ibn ‘Amr ibn ‘Ali ibn Abi Thalib al-Qurasyi al-Hasyimi.
[12] Karena nama Muhammad ibn ‘Amr tidak ada dalam daftar anak-cucu Ali, yang ada adalah Muhammad ibn ‘Ali. Lihat ibn Hajar, Taqrib at-Tahdzib, h. 499.
[13] Lihat ‘Ajjaj, Op. Cit., h. 333.
[14] Lihat Muqaddimah ibn Shalah, h. 5.
[15] Sunan al-Tirmidzi, Hadits nomor 1800.
[16] Ibid., hadits nomor 2874.
[17] Ibid., hadits nomor 3388.
[18] Ibid., hadits nomor 1850.
[19] Ibid., hadits nomor 156.
[20] Ibid.i, hadits nomor 3784.
[21]Baca Ibn al-Shalah, dalam muqaddimah Ushul al-Hadits, h. 2.
[22] Lihat ‘Ajjaj, Loc. Cit.
[23] Abu al-Fida` Isma’il ibn Katsir al-Qurasyi al-Syafi’i, Loc. Cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar