STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 06 Juni 2011

KONSEP WALI DALAM PERKAWINAN (TINJAUAN MENURUT ATURAN SYARI’AT ISLAM)

I. PENDAHULUAN
“Wali” adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan sesuai dengan bidang hukumnya. Perwalian dalam konteks Hukum Islam terbagi kedalam dua kategori yaitu Perwalian Umum dan Perwalian Khusus.
Perwalian Umum biasanya mencakup kepentingan bersama (bangsa atau rakyat) seperti Waliyatul Amri dalam arti Gubrenur dan sebagainya. Sedang Perwalian Khusus adalah perwalian terhadap jiwa dan harta seseorang; manusia dan harta benda seperti perwalian terhadap anak yatim dan sebagainya.
Pada pembahasan ini akan diuraikan tentang perwalian terhadap manusia yang merupakan perwalian pada kategori perwalian khusus saja, yakni perwalian terhadap jiwa seorang wanita dalam perkawinan. Sebelum kami membahas hal tersebut akan kami singgung mengenai syarat-syarat wali terlebih dahulu.

II. PEMBAHASAN
A. Syarat-Syarat Wali
Pernikahan harus dilangsungkan dengan wali. Apabila dilangsungkan tidak dengan wali atau yang menjadi wali bukan yang berhak maka pernikahan tersebut tidaklah sah dan dianggap perkawinannya tidak pernah ada (Departemen Agama RI , Pedoman Pegawai Pencatat Nikah/PPN, Jakarta, BKM Pusat, Tahun 1992/1993, hal.
32).
Apakah seorang wali disyaratkan harus adil. Seorang wali tidak disyaratkan adil, sebab seorang wali yang durhaka tidak akan kehilangan haknya menjadi wali dalam perkawinan, kecuali kalau kedurhakaannya melampaui batas-batas kesopanan yang berat. (Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Al-Ma’arif, Bandung, 1993, hal. 11). Jika ada seorang wali yang berlebihan maka haknya menjadi wali menjadi hilang.
B. Wanita menjadi Wali ?
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa wali itu tidak boleh menikahkan dirinya dan tidak pula mengawinkan wanita lainnya. (Drs. Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Jakarta, 2002, hal. 105).
Apabila ada ada wanita yang menjadi wali untuk dirinya sendiri atau wanita yang menjadi wali bagi wanita yang orang lainnya, aqad perkawinannya tidak dianggap terjadi dengan perwalian mereka itu. Dalam hal ini di dalam Hadist dari Abu Hurairah RA., Rasulallah SAW. Bersabda : لا تزوّ ج المراة ولا تووّ نفسها “Seorang wanita tidak boleh mengawinkan seorang wanita dan tidk pula mengawinkan dirinya (HR. Daruqutni).”
Dalam kitab At Tahzib fi Adillati Matni Al-Ghoyah wa At-Taqrib menyebutkan bahwa para sahabat menyatakan tidak sah wanita yang mengawinkan dirinya sendiri, bahkan mereka dianggap sebagai pezina. (Dr. Mustafa, At Tahzib fi Adillati Matni Al-Ghoyah wa At-Taqrib, Dhiyb Al-Baqo, hal. 160).
—————————————————————————————————————————————————-
Dalam kitab Kifayatul Akhyar, sebuah kitab fiqih yang lazim digunakan di dalam mazhab Syafi’i, disebutkan urutan wali nikah adalah sebagai berikut:
• Ayah kandung
• Kakek, atau ayah dari ayah
• Saudara se-ayah dan se-ibu
• Saudara se-ayah saja
• Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
• Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
• Saudara laki-laki ayah
• Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah
Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Sehingga bila ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya. Kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin dan haknya itu kepada mereka.
Penting untuk diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain, meski tidak termasuk dalam daftar para wali. Hal itu biasa sering dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta kepada tokoh ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang syah. Dan untuk itu harus ada akad antara wali dan orang yang mewakilkan.
Dalam kondisi di mana seorang ayah kandung tidak bisa hadir dalam sebuah akad nikah, maka dia bisa saja mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain yang dipercayainya, meski bukan termasuk urutan dalam daftar orang yang berhak menjadi wali.
Sehingga bila akad nikah akan dilangsungkan di luar negeri dan semua pihak sudah ada kecuali wali, karena dia tinggal di Indonesia dan kondisinya tidak memungkinkannya untuk ke luar negeri, maka dia boleh mewakilkan hak perwaliannya kepada orang yang sama-sama tinggal di luar negeri itu untuk menikahkan anak gadisnya.
Namun hak perwalian itu tidak boleh dirampas atau diambil begitu saja tanpa izin dari wali yang sesungguhnya. Bila hal itu dilakukan, maka pernikahan itu tidak syah dan harus dipisahkan saat itu juga.
Syarat Seorang Wali
Namun untuk bisa menjadi wali, seseorang harus memenuhi syarat standar minimal yang juga telah disusun oleh para ulama, berdasarkan pada ayat Al-quran dan sunnah nabawiyah. Syarat-syaratnya adalah:
• Islam, seorang ayah yang bukan beragama Islam tidak menikahkan atau menjadi wali bagi pernikahan anak gadisnya yang muslimah. Begitu juga orang yang tidak percaya kepada adanya Allah SWT . Dalil haramnya seorang kafir menikahkan anaknya yang muslimah adalah ayat Quran berikut ini: Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
• Berakal, maka seorang yang kurang waras atau idiot atau gila tidak syah bila menjadi wali bagi anak gadisnya.
• Bulugh, maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak syah bila menjadi wali bagi saudara wanitanya atau anggota keluarga lainnya.
• Merdeka, maka seorang budak tidak syah bila menikahkan anaknya atau anggota familinya, meski pun beragama ISlam, berakal, baligh.
Wallahu a’lam bishshawab wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
—————————————————————————————————————————————————-
nash tentang wali dalam perkawinan
Nash tentang wali dalam pernikahan banyak disebut dalam Al-Qur’an dan beberapa Hadits Nabi. Nash Al-Qur’an diataranya, Al-Baqarah: 230, 231, 232, 235, 240; Ali Imran: 159, An-Nisa’: 25,34, Al-Talaq: 2. Akan tetapi pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an tersebut berbeda-beda dari para fuqaha, yang akan kita bahas lebih lanjut.
Pandangan fuqaha
Imam Maliki
Imam Maliki mengharuskan izin dari wali atau wakil terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah. Akan tetapi tidak dijelaskan secara tegas apakah wali harus hadir dalam akad nikah atau cukup sekedar izinnya. Meskipun demikian imam malik tidak membolehkan wanita menikahkan diri-sendiri, baik gadis maupun janda.
Mengenai persetujuan dari wanita yang akan menikah, imam malik membedakan antara gadis dengan janda. Untuk janda, harus terlebih dahulu ada persetujuan secra tegas sebelum akad nikah. Sedangkan bagi gadis atau janda yang belum dewasa dan belum dicampuri suami, maka jika bapak sebagai wali ia memiliki hak ijbar. Sedangkan wali diluar bapak, ia tidak memilki hak ijbar.
Imam Hanafi
Abu Hanifah membolehkan perkawinan tanpa wali (menikahkan diri sendiri), atau meminta orang lain diluar wali nasab untuk menikahkan gadis atau janda. Hanya saja kalau tidak sekufu, wali berhak membatalkannya.
Dasar yang membolehkan perkawinan tanpa wali, menurut abu hanifah diantaranya Al-Baqarah: 230,232,240. serta mengartikan “al-aima” adalah”wanita yang tidak mempunyai suami” baik gadis maupun janda. Ditambah dengan hadits tentang kasus al-khansa’a yang dinikahkan secara paksa oleh bapaknya dan ternyata tidak diakui oleh Nabi..
Menurut abu hanifah persetujuan dari para calon adalah satu keharusan dalam perkawinan, baik bagi seorang gadis maupun janda. Perbedaannya, persetujuan gadis cukup dengan diamnya, sementara janda harus dinyatakan dengan tegas.
Imam Syafi’i
Menurut imam Syafi’i, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah. Bersamaan dengan ini, Syafi’i juga berpendapat wali dilarang mempersulit perkawinan wanita yang ada di bawah perwaliannya sepanjang wanita mendapat pasangan yang sekufu. Dasar yang digunakan imam Syafi’i adalah Al-Baqarah:232, An-Nisa: 25,34. serta beberapa hadits nabi.
Menurut Syafi’i bapak lebih berhak menentukan perkawinan anak gadisnya. Hal ini didasarkan pada mafhum mukhalafah dari hadits yang menyatakan “janda lebih berhak kepada dirinya”. Sehingga menurut Syafi’i izin gadis bukanlah satu keharusan tetapi hanya sekedar pilihan. Adapun perkawinan seorang janda harus ada izin secara tegas dari yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kasus al-khansa’a.
Imam Hambali
Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali menyatakan, wali harus ada dalam perkawinan (rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah. Menurutnya hadits yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang berarti berlaku untuk semua. Sedangkan hadits yang menyebutkan hanya butuh izin adalah hadits yang bersifat khusus. Sehingga yang umum harus didahulukan dari dalil khusus.
Ibnu Qudamah berpendapat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, persetujuan wanita harus ada dalam perkawinan.
konsep perundang-undangan
Sedangkan menurut konsep perundang-undangan di beberapa Negara, dapat kita buat beberapa tipologi:
1. Wali tidak lagi menjadi syarat atau rukun akad nikah, yakni di Tunisia
2. Perlu izin wali tetapi tidak menjadi rukun atau syarat, seperti di Ciprus
3. Membedakan antara gadis dengan janda, seperti di yordania, dan gadis dewasa dengan gadis belum dewasa, untuk syiria dan Somalia, dimana untuk janda atau dewasa tidak perlu persetujuan wali
4. Meskipun wali harus ada namun begitu longgar untuk diganti wali hakim kalau sudah dewasa, seperti di Lebanon dan Druze Lebanon
5. Wali menjadi rukun nikah, yakni di Brunei, Philipina, Maroko, Aljazair, Libya, Sudan, Yaman, Malaysia, dan Indonesia.
6. Harus ada persetujuan mempelai, yaitu Brunei, Philipina, Druze Lebanon, Maroko, Aljazair, Libya, Ciprus, Sudan, Malaysia, dan Indonesia.
7. Masih mengakui hak ijbar wali, yakni Maroko
8. Dihukum orang yang memaksa akad nikah, seperti Irak dan Malaysia.
Analisis
Dari kajian para fuqaha, dapat disimpulkan bahwa hanya hanafiyah yang membolehkan wanita dewasa menikahkan diri sendiri, sedangkan tiga madzhab besar lainnya yakni maliki, syafi’I, dan Hambali melarangnya. Dan hanya hanafiyah yang mengharuskan adanya persetujuan mempelai secara mutlak, sedangkan lainnya mengakui adanya hak ijbar wali dengan variasi pandangan masing-masing.
Jika kita cermati, penetapan hak ijbar didasarkan pada nash implicit (mafhum Mukhalafah) dari hadits “janda lebih berhak pada dirinya daripada wali”, sehingga paham kebalikannya adalah terhadap gadis maka wali yang lebih berhak. Padahal ada teks yang menunjukkan secara tegas tentang perlunya persetujuan dari mempelai, yakni pada kelanjutan hadits tersebut, “al-bikru yusta’dzanu”.
Dalam buku Hukum perkawinan 1, karya Prof. Dr. Khoirudin Nasution, MA. Disebutkan bahwa musyawarah adalah jalan terbaik. Sehingga wali yang mempunyai pengalaman di butuhkan untuk memberikan saran-saran dan pemikiran berdasarkan pengalamannya, sementara wanita yang akan menjalani kehidupan rumah tangga diberikan kebebasan berdasarkan pada saran-saran dan pertimbangan wali.
Alangkah lebih baik dalam pembahasan tentang wali ini jika diulas hikmah-hikmah yang dikandung serta akibat akibat yang terjadi jika wali memiliki hak ijbar atas mempelai dan jika gadis dewasa diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri tanpa persetujuan wali. Serta membenturkannya dengan kondisi daerah yang bersangkutan saat ini.
Seandainya gadis dewasa diberikan hak secara mutlak untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa persetujuan wali, bisa dimungkinkan terjadinya perkawinan yang hanya sebagai permainan belaka. Atau jika wali diberikan hak ijbar, maka bisa jadi ia menggunakan anaknya untuk mendapatkan kekayaan dengan menikahkannya dengan orang yang kaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar