STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 27 Juni 2011

PEMIMPIN DAN BUDAYA ORGANISASI

Abstract

Pada saat ini istilah budaya organisasi banyak digunakan dalam organisasi perusahaan, bahkan beberapa perusahaan memasang tulisan yang menunjukkan budaya organisasi mereka di tempat-tempat yang menarik perhatian. Misalnya di depan pintu masuk kantor, atau di dekat tempat para karyawan melayani pelanggan. Konsep budaya organisasi mulai berkembang  sejak awal tahun 1980-an. Konsep budaya organisasi diadopsi dari konsep budaya yang lebih dahulu berkembang pada disiplin ilmu antropologi (Sobirin, 2007:128-129).
Budaya organisasi menurut Schein dalam Sobirin (2007:132) adalah pola asumsi dasar yang dianut bersama oleh sekelompok orang setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pola asumsi tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asumsi dasar tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan organisasi.


Unsur-unsur Budaya Organisasi
Jocano dalam Sobirin (2007:152-153) menyatakan bahwa budaya organisasi terdiri dari unsur utama, yakni yang bersifat idealistik dan yang bersifat perilaku atau behavioral. Unsur budaya organisasi idealistik merupakan ideologi organisasi yang tidak mudah berubah meskipun di sisi lain organisasi harus berubah untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Ideologi ini bersifat terselubung, tidak nampak di permukaan dan hanya orang-orang tertentu saja yang tahu apa sesungguhnya ideologi mereka dan mengapa organisasi tersebut didirikan.
Unsur behavioral memiliki sifat kasat mata, muncul ke permukaan dalam bentuk perilaku sehari-hari para anggotanya dan bentuk-bentuk lain seperti disain arsitektur organisasi. Bagi orang luar organisasi, unsur ini sering dianggap sebagai representasi dari budaya sebuah organisasi karena lebih mudah diamati, dipahami dan diinterpretasikan meskipun seringkali interpretasi antara orang luar dan anggota organisasi berbeda. Budaya organisasi lebih baik dipahami berdasarkan pengamatan terhadap perilaku dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh para anggota organisasi.
Bagian luar organisasi tersebut oleh Schein dalam Sobirin (2007:158) disebut sebagai artefak. Artefak bisa berupa bentuk arsitektur bangunan, logo atau jargon, cara berkomunikasi, cara berpakaian, atau cara bertindak yang bisa dipahami oleh orang luar organisasi. Dalam perbankan misalnya, kita bisa melihat bahwa mereka berpakaian sangat formal, dengan perkantoran yang biasanya tertata dengan rapi, bersih dan modern. Perilaku karyawan bank juga terlihat ramah tetapi formal dan tegas, dengan moto mereka yang biasanya terpasang dengan indah di belakang pegawai-pegawai yang melayani para nasabahya. Misalnya saja bank Mandiri memiliki slogan “Prosper with us” atau Bank BRI dengan slogannya, “Melayani dengan Hati”.
Sebenarnya antara ideologi dan perilaku behavioral merupakan bagian yang tidak bisa saling terpisahkan. Digambarkan sebagai suatu yang berlapis-lapis seperti bawang, bagian yang kelihatan, bisanya paling mudah untuk diubah. Sehingga tidak mengherankan bahwa kadang-kadang visi dan misi sudah diubah tetapi unsur-unsur perilaku lainnya belum berubah. Misalnya saja berkaitan  pernyataan visi dan misi organisasi. Hampir setiap lembaga pada saat ini memiliki apa yang disebut dengan visi dan misi organisasi yang biasanya tertulis di tempat-tempat strategis di kantor mereka. Yang perlu diperhatikan adalah kesesuaian antara visi dan misi tersebut dengan perilaku para anggota organisasi. Karena kalau tidak terjadi keserasian, pasti akan terlihat lucu. Misalnya sebuah pertokoan yang memiliki slogan “Pelanggan adalah Raja” tetapi pada saat tempat parkir penuh, ternyata ada space parkir  strategis yang kosong namun ada tulisannya “khusus untuk pimpinan”.

Bagaimana Budaya Organisasi Terbentuk
Robbins (2003:729)  menyatakan bahwa proses penciptaan budaya organisasi terjadi dalam tiga cara. Pertama, para pendiri hanya memperkerjakan dan mempertahankan karyawan yang memiliki pola pikir sama dan sependapat dengan cara-cara yang mereka tempuh. Kedua, mereka mengindoktrinasikan dan mensosialisasikan para karyawan ini dengan cara berpikir dan cara berperasaan mereka. Bila organisasi berhasil, maka visi pendiri menjadi terlihat sebagai penentu utama keberhasilan. Pada titik ini, keseluruhan kepribadian pendiri menjadi tertanam ke dalam budaya organisasi.
Robbins (2003:724) membedakan budaya yang kuat dan budaya yang lemah. Budaya yang kuat mempunyai dampak yang lebih besar pada perilaku karyawan dan lebih langsung terkait dengan pengutangan turn-over karyawan. Dalam budaya yang kuat, nilai inti organisasi dipegang secara mendalam dan dianut bersama secara meluas. Makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan makin besar komitmen mereka pada nilai-nilai tersebut, maka makin kuat budaya tersebut. Budaya yang kuat juga memperlihatkan kesepakatan yang tinggi di kalangan anggota mengenai apa yang dipertahankan oleh organisasi. Kebulatan maksud tersebut selanjutnya membina keakraban, kesetiaan, dan komitmen organisasi.

Bagaimana Pemimpin Membentuk Budaya
Brown (1998:743) menyatakan bahwa para pemimpin menyampaikan budaya melalui apa yang mereka katakan dan apa yang mereka lakukan. Schein dalam Yukl (1998:300-301) mengemukakan peranan pemimpin dalam budaya organisasi, dimana para pemimpin mempunyai potensi yang paling besar dalam menanamkan budaya dan memperkuat aspek-aspek budaya dengan mekanisme sebagai berikut :

1.    Perhatian (attention)
Perhatian para pemimpin berarti para pemimpin di dalam menjalankan kepemimpinannya akan mengkomunikasikan prioritas-prioritas, nilai-nilai, perhatian mereka dengan cara menanyakan, memberi pendapat, memuji, dan menyampaikan kritik. Pemimpin yang memarahi seorang bawahan karena tidak mengetahui masalah yang terjadi di unit kerjanya, misalnya, akan memiliki efek yang kuat dalam mengkomunikasikan nilai-nilai dan perhatian. Pemimpin yang tidak menanggapi sesuatu maka hal ini menyampaikan pesan bahwa hal itu tidak penting. Sebagai contoh, restoran cepat saji McDonald dikenal kebersihannya karena secara berulang-ulang pendiri perusahaan menceritakan bagaimana dia mengejar-ngejar lalat untuk menjaga agar para pelanggan yang sedang menikmati hidangannya tidak terganggu oleh lalat tersebut. Cerita ini diterjemahkan para pegawai bahwa perusahaan sangat peduli pada kebersihan dan peduli kepada pelanggannya.

2.    Reaksi terhadap Krisis
Reaksi pemimpin dalam menghadapi krisis, merupakan potensi bagi para pegawai untuk mempelajari nilai-nilai dan asumsi-asumsi. Misalnya perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan cukup serius tetapi menghindari pemberhentian pegawai (PHK) dan membuat kebijakan untuk membuat para pegawai bekerja dengan waktu lebih pendek dan dengan demikian menerima pemotongan gaji. Pemimpin tersebut mengkomunikasikan dengan kuat bahwa ia mempertahankan pekerjaan para pegawai, dan berdasarkan perilakunya tersebut para pegawai meyakini bahwa pemimpinnya menjunjung tinggi nilai kebersamaan.

3.    Pemodelan Peran
Para pemimpin mengkomunikasikan nilai-nilai dan harapan-harapan mereka melalui tindakan mereka sendiri. Hal tersebut khususnya tindakan-tindakan yang memperlihatkan kesetiaan istimewa, pengorbanan diri, dan pelayanan yang melebihi apa yang ditugaskan. Seorang pemimpin yang membuat sebuah kebijakan atau prosedur tetapi tidak memberikan perhatian yang besar terhadap hal tersebut maka dalam hal ini pemimpin mengkomunikasikan pesan bahwa hal itu tidaklah penting atau tidak diperlukan. Seorang pemimpin yang bekerja keras dan selalu tepat waktu, misalnya, akan mengkomunikasikan bahwa bekerja keras dan tepat waktu merupakan hal yang penting dan dihargai dalam organisasi. Sebaliknya pemimpin yang selalu meminta anak buahnya untuk disiplin tetapi dia sendiri tidak disiplin maka sekeras apapun dia menyerukan kedisiplinan, karyawan tetap akan menganggap bahwa kedisiplinan bukanlah hal yang penting dalam organisasi.

4.    Alokasi Imbalan-imbalan
Kriteria-kriteria yang digunakan sebagai dasar untuk mengalokasikan imbalan-imbalan seperti peningkatan upah, atau promosi mengkomunikasikan apa yang dinilai oleh pemimpin dan organisasi tersebut. Pengakuan formal dan acara-acara seremonial dan pujian yang tidak formal mengkomunikasikan perhatian serta prioritas seorang pemimpin. Ketiadaan pengakuan terhadap kontribusi dan keberhasilan mengkomunikasikan bahwa hal tersebut bukan merupakan hal yang penting. Pemberian simbol-simbol terhadap status orang-orang tertentu juga mengkomunikasikan  tentang apa yang penting dalam perusahaan. Pembedaan status yang terlalu mencolok tentu saja menunjukkan bahwa organisasi tidak menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Misalnya saja perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat relatif menggunakan simbol-simbol perbedaan status dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan Jepang. Keistimewaan tersebut misalnya berupa ruang makan dan tempat parkir khusus.

5.     Kriteria Menseleksi dan Memberhentikan Karyawan
Para pemimpin dapat mempengaruhi budaya dengan merekrut orang yang memiliki nilai-nilai, ketrampilan-ketrampilan, atau ciri-ciri tertentu dan mempromosikan mereka ke posisi-posisi kekuasaan. Para pelamar yang tidak cocok dapat diskrining dengan prosedur-prosedur formal dan informal, dan ada juga prosedur-prosedur untuk meningkatkan seleksi diri sendiri, seperti memberi kepada pelamar informasi yang realistis tentang kriteria dan persyaratan bagi keberhasilan dalam organisasi. Kriteria serta prosedur-prosedur yang digunakan untuk mengeluarkan atau memberhentikan para anggota dari sebuah organisasi mengkomunikasikan juga nilai-nilai serta perhatian dari pemimpinnya.

Kepemimpinan dan Budaya Etis Organisasi
Apakah sebenarnya pemimpin? Leman (2008:3) mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni, kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pemimpin adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mempangaruhi dan menggerakkan orang untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Peran kepemimpinan dalam organisasi sangat esensial, dan kepemimpinan sudah menjadi kajian sejak lama. Secara tradisional telah dikenal konsep-konsep kepemimpinan seperti untuk suku Jawa serat Rama yang memuat Hastabrata dan Serat Suryaraja, Lontara Lagaligo untuk suku Bugis Makassar, Kitab Puspakerma bagi suku Sasak di Lombok, Adab Fata-A untuk suku Melayu. Bagi suku-suku yang tidak mengenal tulisan seperti suku Dayak di Kalimantan dan suku Baliem di Irian, biasanya pewarisan nilai-nilai budaya dilakukan secara lisan oleh ketua adat secara turun temurun.
Budaya etis organisasi mendapat perhatian yang semakin besar, terutama setelah terungkapnya budaya tidak etis Enron Corp. yang membawa kebangkrutan serta kepailitan besar di AS pada akhir tahun 2001. Budaya tidak etis Enron Corp. tersebut berupa penekanan yang berlebihan terhadap pertumbuhan laba perusahaan, juga penekanan imbalan kepada karyawan yang semata-mata berupa bonus uang. Bahkan salah seorang CEO-nya, Jeff Skilling, mengatakan bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan dengan uang di Enron. Termasuk loyalitas pun bisa dibeli dengan uang. Oleh karena itu berkaitan dengan etika, Robbins (2003:740) memberikan saran untuk menciptakan budaya yang etis dengan cara sebagai berikut :
1.    Menjadi model yang kelihatan; karena karyawan akan melihat perilaku manajemen puncak sebagai tolok ukur merancang perilaku yang tepat. Bila manajemen senior terlihat suka mengambil perilaku atau cara-cara yang etis, maka hal ini memberikan kesan yang kuat bahwa kaidah etis diharapkan untuk diikuti karyawan.
2.    Komunikasikan harapan etis; karena ambiguitas etis bisa diminimalisir oleh penyebaran kode etik organisasi. Kode etik tersebut harus menetapkan nilai-nilai utama organisasi dan kaidah etis yang diharapkan untuk diikuti karyawan.
3.    Berikanlah pelatihan etis; dalam bentuk lokakarya, seminar, dan program-progam pelatihan etis. Gunakanlah sesi pelatihan untuk mendorong standar perilaku organisasi, untuk mengklarifikasi praktik apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dan juga untuk mengajukan dilema etis yang mungkin dihadapi oleh para karyawan.
4.    Berikanlah imbalan terhadap perilaku etis, dan hukuman terhadap perilaku tidak etis. Penilaian kinerja karyawan haruslah mencakup sarana yang diambil untuk mencapai sasaran dan hasil, dan juga perilaku etika yang bersangkutan. Tindakan etis, masuk dalam penilaian positif kinerja sedangkan perilaku tidak etis harus mendapat hukuman secara kasat mata.
5.    Sediakanlah mekanisme yang bersifat melindungi karyawan yang melaporkan perilaku tidak etis tanpa takut ditegur. Sangat penting bagi organisasi untuk mengadakan konselor etik, obudsmen, atau pejabat etik.

Penutup
Peranan pemimpin dalam budaya organisasi sangat esensial, para pemimpin mempunyai potensi yang paling besar dalam menanamkan dan memperkuat aspek-aspek budaya organisasi baik melalui perkataan maupun perilakunya. Ada yang berpendapat lebih ekstrim, bahwa budaya organisasi bersumber dari kepemimpinan dan pemimpin, karena pemimpinlah yang pada dasarnya memiliki otoritas. Otoritas bisa dalam bentuk persetujuan, ketidaksetujuan, ataupun penghargaan atas perilaku anggota organisasi, sehingga akhirnya melembaga dan terbentuk menjadi budaya organisasi.


Daftar Pustaka :
Brown, R. 1998. Organizational Culture. Prentice Hall Inc, Toronto.

Robbins, Stephen P. 2003. Organizational Behavior. Prentice Hall. England.

Sobirin, Akhmad. 2007. Budaya Organisasi: Pengertian, Makna, dan Aplikasinya dalam Kehidupan Organisasi. Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN. Yogyakarta.

Yukl, Gary. 1998. Kepemimpinan dalam Organisasi (Edisi Bahasa Indonesia). Prenhallindo. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar