STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Jumat, 10 Juni 2011

PENGERTIAN DAN BANTAHAN INKAR AL-SUNNAH

BAB I
PENDAHULUAN
    A. Latar Belakang                                                                                       
Dalam masyarakat Islam di beberapa negara terdapat kelompok-kelompok  yang meragukan otoritas hadits sebagai sumber kedua penetapan hukum Islam. Di negara kita, ada suatu golongan yang menanamkan dirinya kaum “Inkar al-Sunnah”. Karena sikap mereka menolak perlunya kaum muslim berpegang pada sunnah, maka golongan ini menjadi sasaran kritik para ulama dan tokoh Islam.                                                                                                                    
Pada banyak kasus mungkin terjadi semacam kekacauan akibat kecenderungan masyarakat untuk menyamakan begitu saja antara sunnah dan hadits. Sudah jelas, di antara keduanya terdapat jalinan yang erat, namun sesungguhnya tidaklah identik. Yang pertama (sunnah) mengandung pengertian yang lebih luas dari pada yang kedua (hadits). Bahkan dapat dikatakan bahwa sunnah mengandung makna yang lebih prinsipil daripada  hadits. Sebab yang disebutkan sebagai sumber kedua sesudah Kitab Suci al-Qur’an ialah sunnah, bukan hadits, sebagaimana sering dituturkan tentang adanya sabda Nabi saw. “Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara, yang kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan sunnah Rasul Nya.”
Tapi sekarang ini sunnah memang tidak dapat dibedakan dari hadits, demikian pula sebaliknya. Jika seseorang menyebut “sunnah” maka dengan sendirinya akan terbayang padanya sejumlah kitab koleksi sabda Nabi. Yang paling terkenal diantaranya ialah dua kitab koleksi oleh al-Bukhari dan Muslim (disebut al-Shahihayn, “Dua Yang Sahih”), dan yang lengkapnya meliputi pula kitab-kitab koleksi oleh Ibn Majah, Abu Dawud, al-Turmudzi dan al-Nasa’i. Tapi sebelum mereka sudah ada seorang kolektor hadits yang amat kenamaan dan berpengaruh besar yaitu sarjana dan pemikir dari Madinah, Malik Ibn Anas (pendiri madzhab Maliki, wafat 179 H.) yang menghasilkan kitab hadits al-Muwaththa’.



Berdasarkan sabda Nabi tentang Kitab dan sunnah di atas, pada prinsipnya sikap ingkar pada sunnah tidak dapat dibenarkan.

Dalam beberapa literatur ilmu hadis, kelompok inkar al-sunnah berdasarkan tahun kemunculan dan karakteristiknya dibedakan atas dua periode, yakni: pertama, kelompok inkar al-sunnah abad klasik (munkir al-sunnah qadim); kedua, kelompok inkar al-sunnah abad modern (munkir al-sunnah hadis).

B. Rumusan Masalah

1.      Pengertian inkar al-sunnah
2.      Kelompok inkar al-sunnah abad klasik (munkir al-sunnah qadim)
3.      Kelompok inkar al-sunnah  abad modern (munkir al-sunnah hadis)


C. Tujuan
1.      Mengetahui dan memahami pengertian inkar al-sunnah
2.      Memahami dan menolak pada paham kelompok inkar al-sunnah abad klasik (munkir al-sunnah qadim)
3.      Memahami dan menolak pada paham kelompok inkar al-sunnah abad modern (munkir al-sunnah hadis)






BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN/DEFINISI INKAR AL-SUNNAH

kelompok yang menolak sunnah sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an.

Pada masa Rasulullah saw. dan masa Khulafaur Rosyidin, umat Islam sepakat bahwa sunnah merupakan salah satu sumber ajaran Islam disamping Al-Qur’an. Kemudian pada awal masa Abbasiyah (750-1258 M), muncul sekelompok kecil umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Mereka kemudian dikenal dengan sebutan golongan inkar al-sunnah atau munkir al-sunnah. Banyak alasan kenapa mereka menolak sunnah nabi, yaitu: Yang dijamin Allah hanya al-Qur’an, bukan Sunnah; Nabi sendiri melarang penulisan hadits; Hadits baru dibukukan pada abad kedua Hijriyah; Banyak pertentangan antara satu hadits dengan hadits yang lain; Hadits adalah buatan manusia; Hadits bertentangan dengan al-Qur’an; Hadits merupakan saduran dari umat lain; Hadits membuat umat Islam terpecah belah, mundur dan terbelakang.
Hal ini pada dasarnya dikarenakan para inkar al-Sunnah kurang memahami Islam dengan benar atau bahkan pemahamannya masih sempit. Oleh karena itu perlu adanya pemahaman yang menyeluruh terhadap Islam agar tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat mengakibatkan perpecahan umat Islam itu sendiri.

Melihat gejala ini, para ulama, mengambil langkah-langkah yang dirasa perlu untuk membuktikan bahwa pendirian kelompok inkar al-sunnah tersebut  (menolak kehujjahan hadis-hadis Nabi saw.) adalah sangat keliru.




B. KELOMPOK INKAR AL-SUNNAH ABAD KLASIK
Sejauh ini tidak ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa pada masa Nabi saw. masih hidup telah ada dari kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Karena pada masa itu tampaknya umat Islam sepakat bahwa sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang signifikan di samping al-Qur’an. Bahkan pada masa al-Khulafah al-Rasyidun (632-661 M.) dan Bani Umayyah (661-750 M.) belum terlihat secara jelas adanya kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Barulah pada  awal masa Bani Abbasiyah (750-1258 M.) muncul secara jelas sekelompok kecil umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam.  
Imam al-Syafi’i (150-204 H./767-819 M.), dalam bukunya Al-Umm, menyatakan bahwa  kelompok yang menolak sunnah sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an telah muncul di penghujung abad kedua atau awal abad ketiga hijriah. Pada saat  munculnya, kelompok tersebut telah melengkapi diri dengan sejumlah argumentasi untuk menopang pendirian mereka. Kepada mereka sesuai dengan sikap mereka yang menolak sunnah, al-Syafi’i menggunakan istilah al-thaifah allati raddat al-khabar kullaha (kelompok yang menolak hadis secara keseluruhan), yang dalam hal ini dapat diidentikkan dengan kelompok inkar al-sunnah.
Selanjutnya Abu Zahwu menjelaskan bahwa kelompok inkar al-sunnah pada masa itu berdasarkan kadar penolakan mereka terhadap sunnah, dapat dibedakan atas tiga kelompok, yaitu: kelompok pertama adalah kelompok yang menolak hadis Nabi saw. sebagai hujjah secara keseluruhan (muthlaqah), kelompok kedua adalah kelompok yang menolak hadis Nabi saw. yang kandungannnya tidak disebutkan dalam al-Qur’an, kelompok ketiga adalah kelompok yang menolak hadis Nabi saw. yang berstatus ahad dan hanya menerima hadis Nabi saw. yang berstatus mutawatir (khashshah).  Masing-masing kelompok ini mengedepankan argementasi-argumentasi untuk mendukung sikap mereka tersebut. Argumentasi-argumentasi yang sempat mereka majukan adalah:

a. Argumantasi Kelompok Pertama
Kelompok yang menolak sunnah Nabi saw. sebagai hujjah secara keseluruhan mengajukan sejumlah argumentasi, di antaranya yang terpenting adalah:
1.    Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT dalam bahasa Arab. Dengan penguasaan bahasa Arab yang baik, maka al-Qur’an dapat dipahami dengan baik, tanpa memerlukan bantuan penjelasan dari hadis-hadis Nabi saw..
2.    Al-Qur’an sebagaimana disebutkan Allah SWT adalah penjelas segala sesuatu (QS. al-Nahl (16): 89). Hal ini mengandung arti bahwa penjelasan al-Qur’an telah mencakup segala sesuatu yang diperlukan oleh umat manusia. Dengan demikian maka tidak perlu lagi penjelasan lain selain al-Qur’an.
3.    Hadis-hadis Nabi saw. sampai kepada kita melalui suatu proses periwayatan yang tidak terjamin luput dari kekeliruan, kesalahan dan bahkan kedustaan terhadap Nabi saw.. Oleh karena itu,  nilai kebenarannya tidak meyakinkan (zhanny). Karena status ke-zhanny-annya ini, maka hadis tersebut tidak dapat dijadikan sebagai penjelas (mubayyin) bagi al-Qur’an yang diyakini kebenarannya secara mutlak (qat’i).
4.    Berdasarkan atas riwayat dari Nabi saw. yang artinya: “apa-apa yang sampai kepadamu dari Saya, maka cocokkanlah dengan al-Qur’an. Jika sesuai dengan al-Qur’an maka Aku telah mengatakannya, dan jika berbeda dengan al-Qur’an maka Aku tidak mengatakannya. Bagaimanakah Aku dapat berbeda dengan al-Qur’an sedangkan dengannya Allah memberi petunjuk kepadaku”.
    Riwayat tersebut dalam pandangan mereka berisi tuntutan untuk berpegang kepada al-Qur’an, tidak kepada hadis Nabi saw.. Dengan demikian menurut riwayat tersebut, hadis tidaklah berstatus sebagai sumber ajaran Islam.


b. Argumentasi Kelompok Kedua
Kelompok yang menolak hadis Nabi saw. yang kandungannya tidak disebutkan, dalam al-Qur’an ini, menurut al-Syafi’i, pada dasarnya adalah sama kelirunya dengan inkar al-sunnah kelompok pertama, yang menolak hadis Nabi SAW secara keseluruhan.  Argumnetasi yang dikemukakan oleh kelompok kedua ini sama seperti yang dikemukakan oleh kelompok pertama, yaitu bahwa al-Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan ajaran-ajaran Islam.  Ini berarti bahwa menurut mereka hadis Nabi saw. tidak punya otoritas untuk menentukan hukum di luar ketentuan yang termaktub dalam al-Qur’an. Karenanya, dalam menghadapi suatu masalah, meskipun ada hadis yang membicarakannya atau mengaturnya, mereka tetap tidak akan berpegang pada hadis tersebut jika tidak didukung oleh ayat al-Qur’an.
c. Argumentasi Kelompok Ketiga
Kelompok yang menolak hadis-hadis Nabi saw. yang berstatus ahad dan hanya menerima hadis-hadis Nabi saw. yang berstatus Mutawatir mengajukan argumentasi utama, yaitu bahwa hadis ahad, sekalipun di antaranya memenuhi persyaratan sebagai hadis shahih, adalah bernilai zhanni al-wurud (proses penukilannya tidak meyakinkan). Dengan demikian, kebenarannya sebagai yang datang dari Nabi saw. tidak dapat diyakini sebagaiman hadis mutawatir.  Selanjutnya mereka berpendapat bahwa urusan agama haruslah didasarkan pada dalil qat’iy yang diterima dan diyakini kebenarannya oleh seluruh umat Islam. Dalam hal ini, dalil qat’iy yang diterima dan diyakini kebenarannya hanyalah al-Qur’an dan hadis-hadis Mutawatir. Oleh karena itu,  menurut mereka hanya al-Qur’an dan hadis-hadis Mutawatir sajalah yang layak dijadikan pegangan dalam urusan agama atau sebagai sumber ajaran Islam.  Di samping itu, kelompok inkar al-sunnah yang ketiga ini juga mengutip beberapa ayat-ayat al-Qur’an, yang diberi interpretasi sedemikian rupa hingga tampak sejalan dengan alasan utama mereka. Di antara ayat al-Qur’an yang mereka kutip adalah surat al-Isra’ ayat 36 dan surat an-Najm ayat 28, yang artinya: “Jangan kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuannya tentangnya (QS. Al-Isra’ (17): 36) dan “Sesungguhnya (hal yang bersifat) zanni itu tidak menghasilkan kebenaran sedikit pun juga (QS. An-Najm (53): 28).
             Menurut mereka, kedua ayat di atas memberikan pelajaran kepada umat Islam agar waspada dan hati-hati terhadap segala sesuatu yang tidak diketahui kebenarannya secara pasti (qat’i), apalagi yang sifatnya itu masih berupa dugaan (zanni). Dalam hal ini, menurut mereka lagi, hadis ahad termasuk ke dalam kelompok segala sesuatu yang masih bersifat dugaan semata. Oleh karena itu, haruslah ditinggalkan.
            Mencermati keberadaan kelompok inkar al-sunnah tersebut serta beberapa argumantasi yang mereka kemukakan, baik naqly maupun aqly, para tokoh-tokoh hadis terkemuka merasa terpanggil untuk meluruskan kembali pendirian mereka yang dinilai sudah menyimpang. Di antara tokoh-tokoh hadis tersebut adalah Ibn Hazm, al-Baihaqi, al-Syafi’i.  

Dalam hal ini, dapat disebutkan beberapa argumentasi yang telah dikemukakan oleh para tokoh hadis tersebut yang sifatnya meng-counter sekaligus melemahkan argumentasi-argumentasi kelompok inkar al-sunnah di atas. Di antara argumentasi itu adalah:
1.    Penguasan bahasa Arab dengan baik adalah diperlukan untuk memahami kandungan al-Qur’an. Namun demikian, bukanlah berarti orang lantas boleh meninggalkan sunnnah Nabi saw., sebaliknya dengan menguasai bahasa Arab seseorang justru akan mngetahui bahwa al-Qur’an sendirilah yang menyuruh umat Islam agar menerima dan mengikuti sunnah Nabi saw., yang disampaikann oleh periwayat yang dipercaya (al-sadiqun), sebagaimana mereka telah disuruh menerima dan mengikuti al-Qur’an.
2.    Kata tibyan (penjelas) yang termuat dalam al-Qur’an, surat al-Nahl (16): 89, mencakup beberapa pengertian yakni: (1) ayat-ayat al-Qur’an secara tegas menjelaskan adanya berbagai kewajiban, larangan dan teknik dalam pelaksanaan ibadah tertentu, (2) ayat-ayat al-Qur’an menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global, (3) Nabi saw. menetapkan suatu ketentuan yang tidak dikemukakan secara tegas dalam al-Qur’an. Berdasarkan al-Qur’an, surat al-Nahl (16): 89, tersebut hadis Nabi saw. merupakan sumber penjelasan ketentuan agama Islam. Ayat dimaksud sama sekali tidak menolak keberadaan hadis Nabi saw., bahkan memberikan kedudukan yang sangat penting yaitu sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an.
3.    Imam al-Syafi’i, sebagaimana ulama lainnya, mengakui bahwa memang hadis-hadis ahad nilainya adalah zanni. Karena proses periwayatannya bisa saja mengalami kekeliruan atau kesalahan. Oleh karenanya tidak semua hadis ahad dapat diterima dan dijadikan hujjah, kecuali kalau hadis ahad tersebut memenuhi persyaratan shahih  dan hasan. Sehubungan dengan itu adalah keliru dan tidak benar pandangan yang menolak otoritas kehujjahan hadis-hadis secara keseluruhan.
Alasan lain yang dikemukan al-Syafi’i adalah dengan menganalogikan hadis ahad dengan status dua orang saksi dalam membuktikan sesuatu. Jika dua orang saksi yang mengatakan bahwa seseorang telah membunuh orang lain dapat dibenarkan kesaksiannya, sedangkan kedua saksi itu masih diragukan kebenarannya atau paling tidak tingkat kebenarannya adalah zanni, berarti kita telah membenarkan pembunuhan berdasarkan sesuatu yang zanni, sedangkan larangan membunuh dinyatakan secara qat’i dalam al-Qur’an. Jika dalam kasus saksi di atas dapat dilakukan hukum qishash, maka hadis-hadis ahad yang memenuhi persyaratan hadis shahih dan hasan, yang nilainya zanni, seharusnya dapat pula diterima.
4.    Hadis yang dikemukan oleh kelompok inkar al-sunnah untuk menolak kehujjahan hadis Nabi saw., dinilai al-Syafi’i sebagai munqathi’ (terputus sanadnya). Jadi hadis yang dimajukan oleh kelompok inkar al-sunnah adalah hadis yang berkualitas dha’if, dan karenanya tidak layak dijadikan sebagai argumentasi. Perlu kiranya digarisbawahi di sini bahwa kelompok inkar al-sunnah, mengingat sikap mereka yang menolak kehujjahan hadis Nabi saw., ternyata tidak konsisten dalam mengajukan argumentasi. Ketidak konsistenan itu tampak jelas ketika mereka juga mengajukan hadis sebagai salah satu argumentasi mereka untuk menolak kehujjahan hadis, dan bahkan hadis yang dimajukan itu berstatus dha’if.
Argumentasi-argumentasi yang dimajukan oleh al-syafi’i ternyata cukup ampuh untuk membuat kelompok inkar al-sunnah abad klasik ini menyadari kekeliruan mereka, dan kemudian kembali mengakui kehujjahan hadis Nabi saw. sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, sebagaimana terlihat dalam ungkapan al-Syafi’i berikut ini:
“…argumentasi anda memang kuat (yang menunjukkan) bahwa kita wajib menerima hadis dari Rasulullah SAW dan aku pun berpihak kepada pendapat yang anda sebutkan bahwa menerima hadis adalah suatu kemestian bagi umat Islam. Oleh karena itu, adalah kewajiban pula bagiku untuk meninggalkan pandanganku selama ini, untuk selanjutnya mengikuti pandangan yang benar sebagaimana pandangan anda”.

Tidak hanya itu, al-Syafi’i bahkan berhasil membendung gerakan kelompok inkar al-sunnah ini selama hampir sebelas abad. Atas jasa-jasanya itulah para ulama hadis belakangan memberinya gelar kehormatan sebagai nashir al-sunnah (penolong sunnah) atau  multazim al-sunnah (pembela sunnah).
C. KELOMPOK INKAR AL-SUNNAH ABAD MODERN
Setelah vacumm selama hampir sebelas abad sebagai konsekuensi logis dari argumentasi-argumentasi  al-Syafi’i, maka pada sekitar peralihan abad kesembilan belas ke abad kedua puluh Masehi kelompok inkar al-sunnah kembali muncul ke permukaan sekaligus ingin menyebar luaskan pendapat mereka kepada umat Islam.  Kelompok inkar al-sunnah inilah yang lantas dianggap sebagai kelompok inkar al-sunnah abad modern (munkir al-sunnah  hadits).
Jika kelompok inkar al-sunnah abad klasik hanya terdapat di Irak, khususnya di Basrah,  maka kelompok inkar al-sunnah abad modern tersebar di beberapa wilayah Islam.
Selanjutnya berbeda dengan kelompok inkar al-sunnah klasik yang sulit untuk diidentifikasi secara pasti, kelompok inkar al-sunnah abad modern, terutama tokoh-tokohnya dapat diketahui dengan jelas dan pasti. Mengenai tokoh-tokoh kelompok inkar al-sunnah abad modern yang cukup terkenal berikut argumentasi-argumentasi yang mereka majukan dapat dilihat pada penjelasan berikut:
1. Taufik Shidqi (w. 1920 M.)
Tokoh ini berasal dari Mesir. Dia menolak hadis Nabi saw. dan menyatakan bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya sumber ajaran Islam. al-Islam huwa al-Qur’an wahdah (Islam itu adalah al-Qur’an) adalah ungkapan yang digunakannya untuk menggambarkan betapa identiknya Islam dengan al-Qur’an, begitu pula sebaliknya. Dia juga mengatakan bahwa tidak ada satu pun hadis Nabi saw. yang dicatat pada masa beliau masih hidup. Pencatatan hadis terjadi jauh setelah Nabi saw. wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadis itu,  manusia berpeluang untuk merusak dan mengada-adakan hadis, sebagaimana yang sempat terjadi. Ketika memasuki usia tua, Taufik Shidqi meninggalkan pandangan ini dan kembali menerima otoritas kehujjahan hadis Nabi saw. sebagai sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan.
2. Rasyad Khalifa
Dia adalah seorang tokoh inkar al-sunnah kelahiran Mesir yang kemudian menetap di Amerika. Dia hanya mengakui al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber ajaran Islam yang berakibat pada penolakannya terhadap hadis Nabi saw.. Lebih jauh lagi dia bahkan menilai hadis Nabi saw. sebagai buatan iblis yang dibisikkan kepada Muhammad SAW.
3. Ghulam Ahmad Parvez  (lahir 1920 M.)
Dia merupakan tokoh inkar al-sunnah yang berasal dari India. Dia merupakan pengikut setia Taufik Shidqi. Pendapatnya yang terkenal adalah bahwa bagaimana pelaksanaan shalat terserah kepada para pemimpin umat untuk menentukannnya secara musyawarah, sesuai dengan tuntunan situasi dan kondisi masyarakat. Jadi tidak perlu ada hadis Nabi saw. untuk itu.
4. Kasim Ahmad
Dia adalah tokoh inkar al-sunnah yang berasal dari Malaysia. Dia adalah  pengagum Rasyad Khalifa. Karena itu pandangannya tentang hadis-hadis Nabi saw. sejalan dengan Rasyad Khalifa. Melalui bukunya Hadis Sebagai Suatu Penilaian Semula, Kasim Ahmad menyeru umat Islam agar meninggalkan hadis-hadis Nabi saw., karena menurut penilaiannya hadis Nabi saw. tersebut adalah ajaran-ajaran palsu yang dikaitkan  dengan Rasulullah SAW. Hadis menurutnya merupakan penyebab utama terjadinya perpecahan dan kemunduran umat Islam. Selanjutnya dia menjelaskan bahwa kitab-kitab hadis yang terkenal, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim adalah kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis yang berkualitas dha’if dan maudhu’. Di samping itu, banyak matan hadis yang termuat dalam kitab hadis tersebut isinya bertentangan dengan al-Qur’an dan logika.
5. Tokoh-tokoh Inkar al-Sunnah asal Indonesia
Mereka adalah Abdul Rahman, Moh. Irham, Sutarto dan Lukman Saad. Mereka ini  adalah tokoh-tokoh yang telah berupaya menyebarkan paham inkar al- sunnah di Indonesia. Mereka sempat meresahkan masyarakat dan menimbulkan banyak reaksi atas kejadian ini, maka keluarlah Surat Keputusan Jaksa Agung No. kep.169/J.A./1983 tertanggal 30 September 1983 yang berisi larangan terhadap aliran inkar al-sunnah di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Seperti halnya kelompok inkar al-sunnah abad klasik, kelompok inkar al-sunnah abad modern juga dinilai oleh mayoritas umat Islam sebagai kelompok yang telah menyimpang. Para ulama ketika menyanggah argumentasi mereka, kelihatannya masih banyak menggunakan argumentasi-argumentasi yang sempat dikemukakan oleh al-Syafi’i. Namun demikian, terdapat pula sejumlah argumentasi yang spesifik yang ditujukan kepada kelompok inkar al-sunnah abad modern tersebut, di antaranya yaitu:
1.    Sejarah memang mencatat bahwa Islam telah mengalami kemunduran, namun hadis sama sekali tidak diidentifikasi sebagai penyebab kemunduran itu. Perpecahan internal di kalangan umat Islamlah yang menjadi penyebabnya. Bahkan bukti sejarah menunjukkan bahwa hadis, yang berkembang bersamaan dengan masa kemajuan Islam periode klasik, turut andil dalam mendorong kemajuan Islam, di antaranya dengan seruannya untuk menuntut ilmu.
2.    Argumentasi kelompok inkar al-sunnah bahwa hadis Nabi saw. lahir lama setelah Nabi saw. wafat, tepatnya pada zaman al-tabi’in dan atba’ al-tabi’in adalah sangat tidak berdasar. Sejak Islam paling awal hadis Nabi saw. telah lahir dan mendapat perhatian besar dari kalangan sahabat, sebagaimana yang diperhatikan oleh Ibn Abbas (w. 69 H./689 M.) dan Ibn’ Amr bin al-‘Ash (w.65 H./685 M.) yang dikenal sebagai sahabat yang rajin mencatat hadis Nabi saw... Meskipun pentadwinan atau pengkodifikasian hadis Nabi saw. baru dilakukan pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis (w. 101 H./720 M.), namun pencatatannya telah dilakukan jauh sebelumnya. Pernyataan bahwa hadis Nabi saw. adalah sesuatu yang diada-adakan, dalam hal ini, sama sekali tidak bisa diterima.
3.    Tentang pernyataan bahwa dalam kitab-kitab hadis standard terdapat hadis-hadis yang berkualitas dha’if atau bahkan diduga maudhu’ tidaklah dibantah. Namun, hal itu bukan berarti bahwa seluruh hadis yang ada di dalamnya berkualitas demikian sehingga harus ditolak kehujjahannya. Begitu pula dengan hadis yang secara lahir tampak bertentangan dengan al-Qur’an, logika, sejarah atau hadis-hadis lain tidak bisa dengan serta merta ditolak kehujjahannya. Karena untuk menyelesaikan itu telah ada suatu cabang ilmu hadis yang dikenal dengan ilmu mukhtalif al-hadis atau ma’rifah mukhtalif al-hadis.
Dengan bukti-bukti tersebut di atas, maka jelaslah bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok inkar al-sunnah untuk menopang pendirian mereka adalah lemah dan nyaris tidak berdasar. Hal ini sekaligus merupakan bukti bahwa mereka telah salah dengan menolak otoritas kehujjahan hadis Nabi saw. sebagai sumber ajaran Islam.


BAB IV
PENUTUP


A. Kesimpulan 
Dari beberapa uraian di atas dapat ditegaskan di sini bahwa alasan mendasar yang mereka kemukakan untuk menolak keberadaan hadis Nabi saw. sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an adalah statement al-Qur’an yang menyatakan bahwa al-Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran Islam (QS. al-Nahl [16]: 89). Di samping itu mereka juga meragukan keabsahan kitab-kitab hadis (yang memuat hadis-hadis Nabi saw.) yang kodifikasinya baru dilakukan jauh setelah Nabi saw. wafat.
Menurut para ulama, seperti al-Syafi’i, argumentasi mereka tersebut adalah keliru. Kekeliruan sikap mereka itu sejauh ini diidentifikasi sebagai akibat kedangkalan mereka dalam memahami Islam dan ajarannya secara keseluruhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar