Abstrak
Keberadaan seorang pemimpin pada suatu organisasi mempunyai peran yang sangat penting terlebih dalam situasi dimana terjadi ambiguitas peran. Fungsi pemimpin tidak hanya sekedar membimbing dan mengarahkan bawahannya, namun yang terpenting adalah bagaimana pemimpin mampu memberikan visi dan misi atau arah yang jelas kemana organisasi akan dibawa. Dalam era dimana terjadi pergeseran budaya , maka tidak bisa dipungkiri lagi bahwa organisasi membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kepekaan dan intuisi yang tajam sehingga dapat mengarahkan bawahannya kearah tujuan yang ingin dicapai.
Kata Kunci: Pemimpin dan Budaya Organisasi
Abstract
Existence of a leader at one particular organization have very important role particularly in situation of where happened by ambiguitas role. function of Leader do not just guiding and instructing its subordinate, is all important but is how leader able to give vision and clear direction or mission where organization will be brought. In era of where happened by the cultural friction , hence cannot be denied again that organization require a leader owning intuition and sensitivity sharply so that can instruct its subordinate toward the target which wish reached
Keyword: Organizational Culture And Leader
1. PENDAHULUAN
Dengan semakin majunya pembangunan yang telah berjalan sedemikian pesat dan hal ini tanpa dapat dipungkiri telah membawa pada sejumlah dampak, sehingga mempunyai danpak baik yang bersifat positif maupun negatif. Salah satu bukti yang menunjukkan pesatnya kemajuan itu adalah perdagangan dunia yang kini telah membawa perubahan-perubahan pada sistem pasar. Globalisasi yang dulu seIing didengung-dengungkan dan diyakini belum akan berpengaruh dalam waktu dekat, kini telah menunjukkan pengaruhnya yang sangat kuat. Faktor lain yang pada akhirnya tidak dapat dihindarkan adalah batas-batas negara menjadi kabur sehingga setiap negara tidak bisa lagi secara kaku memperhatikan sistemyang mereka ambil. Budaya yang mendasari sistem yang ada pada akhirnya juga turut memegang pengaruh yang sangat besar. Hal ini terlihat pada budaya yang berkembang di negara Indonesia sendiri. Jika pada masa lalu budaya gotong royong -yang terlihat sangat jelas pada masa perjuangan- masih sangat kuat melekat dalam diri orang-orang Indonesia, hal itu nampaknya kini harus dipertanyakan lagi. Gempuran yang sangat kuat terhadap nilai mata uang Indonesia mendorong orang-orang dari satu golongan tertentu untuk menyelamatkan diri sendiri tanpa memperhitungkan pihak lain. Hal ini menimbulkan suatu tanda tanya adakah nilai-nilai individual yang pada dasarnya bukan nilai-nilai bangsa telah merasuki bangsa yang terkenal akan semangat gotong-royongnya. Budaya yang pada dasarnya merupakan nilai-nilai, ebiasaan, ritual, mitos maupun praktek-praktek yang terus berlanjut dalam kehidupan bermasyarakat merupakan nafas yang menjiwai dan mengarahkan perilaku para anggota (Robbins, 1996 ). semestinya mendasari setiap gerak kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini budaya tidak hanya sekedar sebagai dasar, namun yang terpenting adalah budaya tersebut memiliki peran sebagai pemberi identitas dan ‘normative glue’. Pemimpin dalam konteks ini memiliki andil yang sangat besar terhadap bagaimana budaya tersebut dapat dihayati dengan sungguh-sungguh oleh para anggotanya. Namun kenyataan justru menunjukkan bahwa peran pemimpin dalam hal ini menjadi sangat tidak jelas sehingga anggota-anggotanya menjadi kehilangan kepercayaan dan pada akhirnya kehidupan organsasi menjadi kehilangan keseimbangan. Jika kepercayaan telah menipis, maka akibat yang timbul adalah nilai-nilai kebersamaan hilang dan masing-masing individu berusaha menyelamatkan diri masing-masing dalam situasi yang sangat rumit dan ambiguitas.
1.1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi masalah dalam pemimpin dan budaya organisasi adalah ” Bagaimana peran pemimpin dalam hubungannya dengan budaya organisasi”
1.2. Tujuan.
Berdasarkan masalah diatas maka yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran pemimpin dalam hubungannya dengan budaya organisasi.
2.TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemimpin dan Kepemimpinan
Kepemimpinan Menurut Stoner (Handoko:1984) adalah sebagai suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya. Kepemimpinan tidak lagi dipandang sebagai penunjuk jalan namun sebagai partner yang bersama-sama dengan anggota lain berusaha mencapai tujuan.
Menurut Kennedy,(1996) menyatakan bahwa jumlah definisi tentang kepemimpinan dapat dikatakan sama dengan jumlah orang yang telah berusaha mendefinisikannya. Ia sendiri mengartikan kepemimpinan sebagai proses atau tindakan untuk mempengaruhi aktivitas suatu kelompok organisasi dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Fiedler (1967) adalah salah satu ahli lain yang banyak meneliti mengenai kepemimpinan menyatakan bahwa kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap sekelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan. Dari dua definisi yang telah diajukan tersebut secara jelas menunjukkan bagaimana kepemimpinan tersebut diartikan, yaitu berkaitan usaha mempengaruhi dan menggunakan wewenang. Pengertian tersebut memberi suatu pemikiran bahwa pemimpin dipandang sebagai orang yang memiliki kecakapan lebih dalam usaha untuk memotivasi orang melakukan sesuatu seperti yang diharapkan pemimpin.
Kepemimpinan yang absolut menurut (Crosby : 1996) adalah kepemimpinan yang memiliki
- Clear agenda, seorang pemimpin idealnya memiliki dua agenda : satu agenda bagi dirinya sendiri, dan yang kedua adalah agenda bagi organisasinya. Tujuan dari agenda organisasi adalah untuk menentukan kerangka kerja dari semua pekerjaan yang dilakukan; sedangkan personal agenda berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pimpinan pribadi sesuai dengan apa yang memang sungguh-sungguh ia inginkan bagi dirinya sendiri, dan hanya dia pribadi yang mengetahui. Dalam hal ini agenda tersebut harus dapat diungkapkan dalam kalimat yang dapat dengan jelas diterima dan tujuan yang dtentukan dapat diukur.
- Personal Philosophy, seorang pemimpin hendaknya memiliki philosophi pelaksanaan yang bersifat pragmatis dan dapat dipahami. Kerangka kerja dari pelaksanaan philosophi tersebut diciptakan dari belajar, inovasi dan keputusan
- Enduring Relationship, kehidupan organisasi pada dasarnya terdiri dari sejumlah transaksi dan hubungan. Kunci untuk menjaga suatu hubungan adalah adanya penghargaan terhadap orang lain, memandang orang lain dengan cara yang positif dan keinginan untuk bekerja sama. Orang lain dalam hal ini tidak hanya terbatas pada anggota-anggota saja tetapi termasuk di dalamnya adalah customers, peers, coworkers, maupun suppliers.
- Worldly, mendunia (being ‘worldly’) berkaitan dengan udaya lain, tekhnologi, dan pengumpulan informasi. Hal ini berarti pula bagaimana pemimpin mampu menfaatkan tekhnologi-tekhnologi baru, memahami pasar global, penghargaan terhadap orang lain, budaya, kondisi dan praktek-praktek bisnis yang berlangsung. Berarti pula mengetahui apa yang sedang terjadi dan mengumulkan informasi yang bersifat up-to-date. Dengan demikian jelaslah bagaimana pandangan Crosby mengenai kepemimpinan.
Stoner (Handoko :1984) menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah :
- Proses untuk mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja secara antusias dalam pencapaian tujuan
- Kepemimpinan yang berhasil bergantung pada perilaku, ketrampilan, tindakan yang tepat, bukan pada ciri pribadi.
Peter F. Drucker (1996) dalam bukunya mengenai the Leader of the Future lebih menekankan mengenai bagaimana hendaknya seorang pemimpin hendaknya bersikap dalam menghadapi dunia di masa yang akan datang. Dia mengatakan bahwa pemimpin yang efektif tidak hanya sekedar mendelegasikan tugas, tetapi mereka pun melakukan apa yang mereka delegasikan kepada anak buahnya. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa ‘kepemimpinan harus dipelajari dan dapat dipelajari’.
Pemimpin dalam hal ini menentukan dimana bisnis hendak berlangsung, sasran-sasaran yang hendak dicapai baik intenal maupun eksternal, aset dan skill yang diperlukan, kesempatan dan resiko-resiko yng dihadapi. Pemimpin dalam hal ini adalah ahli strategi yang memastikan bahwa sasaran organisasi akan dapat tercapai.
2.2. Budaya Organisasi
Menurut Taliziduhu Ndraha, (2005).Budaya Organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah ekternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan kepada angota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait seperti di atas.
Edgar Schein (Robin :2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu :
- Dimensi external environments; yang terdapat lima hal esensial yaitu:
- a. mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction.
- Dimensi internal integration yang terdapat enam aspek utama, yaitu :
- a. common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dam (f) explaining and explainable : ideology and religion.
(1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu;
(2) norms; yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan;
(3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi;
(4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan
(5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi
(6) organization climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain
2.3.Fungsi Budaya Organisasi,
Edgar Schein (Stepen Robin : 2002) menjelaskan bahwa budaya organisasi mempunyai fungsi sebagai berikut :
- Peran pembeda yang jelas antara satu organisasi dengan yang lain.
- Membawa suatu rasa identitas bagi anggota organisasi.
- Mempermudah timbulnya pertumbuhan komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual.
- Meningkatkan sistem social.
- Mekanisme pembuat makna dan kendali untuk memadukan dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
2.4. Pembentukan Budaya organisasi.
Menurut Taliziduhu Ndraha, (2005).menyatakan pembentukan budaya organisasi melalui tahap-tahap berikut:
- Penyusunan nilai-nilai, Nilai-nilai yang berlaku dalam organisasi disurvei, ditampung dan disaring sehingga diperoleh nilai-nilai utama yang berlaku dalam organisasi tersebut. Nilai-nilai utama yang telah diperoleh merupakan titik tolak dalammengembangkan budaya kerja organisasi
- Internalisasi nilai-nilai Nilai-nilai organisasi yang ada diinternalisasikan pada seluruh anggota organisasi dengan cara sosialisasi atau simulasi.
- Pembentukan change agentUntuk mengefektifkan transformasi budaya organisasi perlu dibentuk change agents, yang bertugas untuk menularkan nilai-nilai degan model pembiakan-sel.
- Menyusun sistemMembuat sistem dan prosedur untuk menjaga dan memelihara kesinambungan dan kemajuan perusahaan, dengan selalu mengacu pada referensi budaya organisasi.
Stephen P.Robbins, (2002) memaparkan pula tentang tiga konsep budaya organisasi yaitu,
(1) Budaya yang kuat;
(2) Budaya yang secara strategis cocok; dan
(3) Budaya adaptif.
3. PEMBAHASAN
3.1. PERAN PEMIMPIN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN BUDAYA ORGANIASI
Para ahli perilaku telah berusaha untuk mengembangkan apa sifat, perilaku, sumber kekuasaan, atau aspek-aspek situasi yang menentukan bagaimana sebaiknya pemimpin dapat mempengaruhi pengikut dan agar mereka mencapai sasaran kelompoknya. Jadi pada intinya, teori-teori terdahulu lebih meninjau kepemimpinan pada siapa yang memiliki keahlian untuk mempengaruhi, dan dalam konteks dimana pengaruh itu digunakan. Perbedaannya terutamaterletak pada ketidaksetujuan mengenai identifikasi mengenai pemimpin dan proses kepemimpinan. Yukl (Robin : 2002) menjelaskan bahwa pada dasarnya fokus perhatian dalam berbagai penelitian mengenai kepemimpinan adalah mencoba mendalami determinan-determinan kepemimpinan yang efektif. Lebih lanjut Yukl menguraikan, beberapa teori meyakini bahwa kepemimpinan tidak berbeda pada proses sosial yang terjadi diantara semua anggota kelompok dan kepemimpinan dipandang sebagai proses kolektif yang terbagi diantara para anggotanya. Pandangan yang lain berpendapat bahwa pada dasarnya semua anggota kelompok memiliki peran tertentu yang mencakup peran kepemimpinan khusus. Intinya bahwa pemimpin dan kepemimpinan tidak bisa hanya dipandang sebagai proses mempengaruhi dengan kekuasaan yang dimiliki tetapi yang terpenting adalah bagaimana pemimpin menjadi partner bagi anggotanya guna mencapai tujuan bersama. Jadi efektif tidaknya pemimpin tergantung pada bagaimana anggota dilibatkan dalam pencapai sasaran organisasi. Salah satu teori mengenai kepemimpinan paling awal yaitu teori sifat memandang bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan, yaitu : memiliki inteligensi yang tinggi, berkharisma, mampu membuat keputusan, antusias, memiliki kekuatan, berani, memiliki integritas, dan percaya diri.
Masalah budaya organisasi (Organization Culture) akhir-akhir ini telah menjadi suatu tinjauan yang sangat menarik terlebih dalam kondisi kerja yang tidak menentu. Budaya organisasi kembali digali guna menggali kekuatan-kekuatan diri yang telah dimiliki namun cenderung diabaikan. Pada saat lingkungan eksternal dianggap kurang mampu mengatasi masalah yang timbul, maka orang kembali menengok kekuatan yang ada meskipun hal itu diyakini pula tidak dapat menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Namun dengan menggali kultur yang ada, maka diharapkan dapat menggali kekuatan yang dimiliki. Gambar 1 dibawah menjelaskan bagaiman proses terbentuknya suatu budaya organisasi (Taliziduhu Ndraha, 2005).
Gambar 1. Proses pembentukan budaya Organisasi
Pemilik Organisasi |
Sumber Daya Manusia |
Budaya Organisasi |
Pendiri organisasi |
Stake holder |
Luar Organisasi |
Masyarakat |
Budaya pada hakekatnya merupakan pondasi bagi suatu organisasi. Jika pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh, maka betapapun bagusnya suatu bangunan, ia tidak akan cukup kokoh untuk menopangnya. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bagiamana budaya itu seharusnya dibentuk. Dari berbagai pendapat tersebut yang tidak bisa dipungkiri adalah peran pimpinan. Ada sejumlah tahapan bila suatu perusahaan ingin membntuk kulturnya. Pertama-tama perusahaan tadi harus melihat ke depan mengenai apa visinya, kemudian sistem nilai apa yang dimiliki, selanjutnya bagaimana nilai-nilai itu diterapkan dalamorganisasi itu sendiri, dan akhirnya melihat bagaimana sumber dayanya.
Menurut Susanto (1997) bahwa budaya organisasi dapat dihidupkan pertama-tama melalui seleksi, yaitu memperoleh anggota yang setidak-tidaknya memiliki nilai-nilai yang sama dengan budaya organisasi yang ada; manajemen atas, dalam hal ini pemimpin mempunyai peran yang sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui tindakan-tindakannya; sosialisasi, budaya yang ada hendaknya terus-menerus disosialisasi baik anggota baru maupun anggota lama, prosesnya dapat berupa orientasi dan pelatihan melalui cerita-cerita tentang pendiri, ritual-rital yang ada, simbol-simbol, dan sebagainya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pendiri memiliki peran yang sangat besar, karena bagaimana visi dan misi organisai yang bersangkutan tidak terlepas pada bagaimana nilai-nilai pendiri tersebut. Pada akhirnya nilai-nilai tersebut harus diaktualisasikan dan menjadi nafas bagi organisasi yang ada. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana pemimpin memiliki pengaruh besar karena harus dapat bertindak sebagai model bagi terciptanya nilai-nilai yang ada. Dalam tabel 1 dibawah ini menjelaskan bagaimana seorang pemimpin dapat mempengaruhi budaya organisasi, artinya suatu budaya yang tertanam pada orgnasasi menjadikan para bawahan untuk menjalankan apa yang telah dibentuk oleh seorang pemimpin.
Tabel 1.
Pengaruh Pemimpin Dalam Proses Terbentuknya Budaya Organisasi
Faktor | Budaya Organisasi |
Pemimpin | Pemimpin mengambil dan mempertahankan bawahan-bawahan (anggota-anggota) yang berpikir dan merasakan cara yang mereka lakukan, |
Pemimpin | mengindoktrinasi dan mensosialisasikan cara berpikir dan cara merasakan mereka, |
Pemimpin | perilaku pemimpin sendiri adalah model peran yang mendorong anggota untuk mengidentifikasi dan menginternalisasi keyakinan, nilai-nilai, dan asumsi-asumsi mereka. |
Budaya yang dimiliki oleh suatu organisasi memiliki peran yang tidak kecil. Heskett dan Schlesinger (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) mengatakan bahwa pemimpin turut berperan dalam menciptakan kondisi budya yang menjamin penciptaan prestasi kerja. Hal ini disebabkan anggota dengan jelas mampu membaca apa yang dikehendaki dari mereka sehingga mereka tahu dengan tepat apa yang harus mereka lakukan dan sadar dalam membawakan peran mereka. Steere, Jr. (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) berpendapat bahwa budaya memiliki peran dalam memberi identifikasi dan prinsip-prinsip yang mengarahkan perilaku organisasi dan dalam membuat keputusan, mengembangkan suatu metode sehingga individu dapat menerima feedback atas prestasi mereka, menjaga sistem reward dan reinforcement yang diberlakukan dalam organisasi. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana budaya mampu memberi uatu identitas dan arah bagi keberlangsungan hidup organisasi.Kondisi yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia yang terlihat oleh betapa rentannya masyarakat terhadap berbagai macam isu menunjukkan betapa lemahnya kohesivitas yang ada dan betapa lemahnya peran pemimpin sebagai sumber inspirasi bagi kehidupan berbangsa. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bersifat paternalistik, sehingga dalam hal ini peran pemimpin adalah sebagai bapak yang mengayomi dan membina anak buahnya. Figur inilah yang pada akhirnya menjadi panutan bagi seluruh anggotanya. Istilah ing ngarso sung tuladha nampaknya tepat guna mengambarkan bagaimana pola hubungan antara pimpinan dengan anak buah. Efek yang timbul adalah jika panutan ini hilang atau kabur fungsinya, maka yang timbul adalah kegelisahan karena orang menjadi kehilangan pegangannya. Sejak awal ditegaskan bagaimana peran pemimpin dalam menciptakan budaya yang kondusif dalam organisasinya. Dalam hal ini peran pemimpin sangat besar karena dialah yang harus mensosialisasikan nilai-nilai yang ada atau menyatukan nilai-nilai yang berbeda keran didasari oleh kepentingan yang berbeda sehingga akan tercipta nilai-nilai yang dihayati bersama. Mampu tidaknya seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas pada filsafat hidup yang dimiliki serta komitmen yang jelas terhadap orang lain. Hal ini sejak awal telah diantisipasi oleh Crosby (1996). Ia menekankan perlunya seorang pemimpin untuk memiliki agenda yang jelas yang menyangkut diri dan organisasis sehingga ia tahu kemana arah yang dituju. Agenda tersebut seyogyanya menyangkut tujuan jangka panjang dan strtaegi jangka pendek yang hendak dicapai dengan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika situasi menjadi rancu dan ambigu. Justru dalam kondisi inilah akan nampak bagaimana peran pemimpin tersebut.
Pendapat di atas sesuai dengan Steere, Jr. (dalam Hesselbein, Goldsmith, Beckhard, 1996), ia mengatakan bahwa bagian terpenting dari tugas seorang pemimpin adalah bertanggung jawab dalam pembentukan dan pengembangan budaya perusahaan, yang dilakukan dengan jalan: mengidentifikasi dan mengkomunikasikan nilai-nilai dan prinsip dasar yang memandu jalannya perusahaan dan pembentukan keputusan organisasi, menetapkan perilaku yang menjadi contoh dari nilai-nilai dan prinsip organisasi dengan memberi teladan, serta menguasai budaya perusahaan secara keseluruhan, mengenal dengan baik segi positif dan negatifnya dan memperkuat nilai-nilai pada hal-hal yang diharapkan oleh organisasi. Oleh karena itu seorang pemimpin hendaknya memiliki visi yang jelas, wawasan yang luas, pandangan yang jernih terhadap situasi yang dihadapi, dengan demikian ia dapat membuat suatu keputusan yang didasari oleh keinginan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Dengan visi yang jelas, ia dapat mempengaruhi orang lain agar dapat memaksimalkan pengembangan pribadi dan organisasi. Kesemua ini tidak terlepas dari personal mastering yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang akan tercantum dengan jelas dalam agenda pribadinya (Steere, Jr.,Bornstein dan Smith, Weber, Schein, Pinchot, dalamHesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996).
Pemimpin yang dapat menjadi pemimpin adalah seseorang yang memiliki personal philosophy yang teguh. Ia tidak akan mudah terpengaruh oleh situasi yang ada di sekitarnya. Meskipun lingkungannya berubah demikian cepat, namun ia tetap punya komitmen dan konsisten tanpa kehilangan arah yang hendak dituju. Personal philisophy ini tidak begitu saja dimiliki oleh seorang pemimpin, namun tumbuh melalui proses belajar, memiliki kemauan melakukan inovasi, dan paling akhir adalah keberanian untuk mengambil keputusan yang didasari oleh kedua hal di atas. Hal-hal di atas hanya dapat dilaksanakan jika ia memiliki kesabaran, konsisten terhadap prinsip-prinsip yang dimiliki, serta memiliki motivasi intrinsik (Crosby, 1996). Dengan falsafah hidup inilah, maka anggota-anggota akan dapat menilai kekuatan karakter yang dimiliki pemimpinnya sehingga mereka tidak akan segan-segan mengikuti pemimpinnya. Pendapat di atas diteguhkan oleh Pinchot, Schein, Covey, Bolt, Steere, Jr., Bornstein dan Smith, Weber (dalam Hesselbein. Goldsmith dan Beckhard, 1996) yang berpendapat bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki kepribadian yang menonjol, komitmen yang jelas, bobot dalam skala efektivitas: tidak mengenal lelah, kreatif, kredibilitas, ketenangan, kompetensi, kepedulian, karakter, harga diri, semangat serta integritas yang tinggi. Kompetensi-kompetensi tersebut sangat penting mengingat hal mendasar yang melekat
dalam peran pemimpin adalah dirinya sebagai arsitek budaya, tanggung jawabnya terhadap budaya yang tidak dapat didelegasikan kepada orang lain. Oleh karena itu seberapa besar nilai-nilai yang pada akhirnya tercipta pada budaya yang dimiliki organisasi akan diinternalisasi oleh anggota-anggotanya dan terejawantah dalam kehidupan organisasi. Dengan dasar inilah maka organisasi akan tetap hidup meskipun lingkungan berubah karena ia menjadi pondasi bagi bangunan organisasi. Kehidupan organisasi tidak terlepas dari interaksi antara satu orang dengan orang lain. Interaksi tersebut tidak hanya terbatas pada anggota dengan anggota, anggota dengan pimpinan, tetapi dalam arti luas interaksi tersebut melibatkan orang-orang dengan siapa organisasi melakukan transaksinya yaitu dengan klien atau customer, supplier, peers, dan sebagainya. Interaksi tersebut tentu saja tidak akan berlangsung lama jika tidak didasari oleh adanya penghargaan antara satu dengan yang lainnya. Seberapa besar nilai-nilai pelayanan dan sikap positif mendasari para anggotanya akan terbaca dalam konteks hubungan yang terjalin. Dalam hal inilah pemimpin menjadi suatu model bagi para anggotanya. Bagaimana ia bersikap tehadap orang lain, tidak hanya sekedar sebagai pimpinan yang memberi perintah tetapi yang terpenting adalah kemampuannya untuk menjalin secara harmonis dengan tidak hanya mengandalkan rasio semata tetapi mampu menempatkan emosi pada tempat yang semestinya (Crosby, 1996).
Agar hubungan yang terjalin tetap terjaga dengan harmonis, Weber (dalam
Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) memberikan suatu saran yaitu bahwa pemimpin harus memberi peluang yang lebih banyak bagi orang lain untuk mencoba dan melakukan sendiri tanggung jawabnya. Ia juga harus memberi dorongan dan semangat sehingga terbangkit motivasinya, menegakkan kerja sama dan melakukan pemberdayaan pada orang lain. Dalam Developing Three-Dimensional Leaders, James F. Bolt (dalamHesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) berpendapat bahwa pemimpin perlu mengembangkan tiga dimensi kepemimpinan yaitu dimensi bisnis, kepemimpinan dan personal. Ketiga-tiganya memiliki kaitan yang sangat erat. Salah satu dimensi tersebut yaitu personal, seorang pemimpin diharapkan memiliki kemampuan self-empowered dan integration of work and life yang berarti ia harus selalu memperhatikan baik kehidupan pribadi dan kehidupan kerjanya sehingga diperoleh keseimbangan kerja dan sosial.
Disamping ketiga point di atas perlu dimiliki oleh seorang pemimpin, maka yang
tak kalah pentingnya adalah bahwa pemimpin harus being “worldly”, dengan kata lain
pemimpin dapat memanfaatkan pengembangan tekhnologi baru, memahami budaya yang ada dan budaya yang lain, serta selalu tidak pernah berhenti untuk mengumpulkan informasi-informasi yang penting (Crosby, 1996). Hal ini berarti pula bahwa bahwa pemimpin diharapkan memiliki orientasi ke masa depan, mengingat masa depan memiliki kompleksitasnya sendiri yang terkadang justru tak terbayangkan sebelumnya (Bornstein, dalam Hesselbein, Goldsmith, dan Beckhard, 1996). Di atas semua itu, pada dasarnya yang sangat dituntut pada diri seorang pemimpin adalah self-leadership (Leider, dalamHesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996). Lebih lanjut dikatakan, bahwa tanpa self-leadership tidak mungkin seorang pemimpin dapat memimpin orang lain. Seorang pemimpin diharapkan dapat menjadi model peran bagi anggotanya karena tanpa dapat dipungkiri dialah yang mengkoordinasi orang lain agar bersama-sama mencapai tujuan bersama. Landasan utama bagi nilai-nilai kebersamaan itu adalah kepercayaan penuh kepada pemimpin. Ketika kepercayaan itu menipis atau bahkan hilang sama sekali, maka
yang timbul adalah keresahan dan pada akhirnya akan timbul kekacauan.
Pada dasarnya seorang pemimpin menurut Myers (Handoko :1984) adalah seseorang yang berfungsi : membantu mendefiniskan dan mencapai tujuan kelompok, dalam hal ini pemimpin membuat kebijakan dan merumuskan tujuan; memantapkan kelompok terutamaketika timbul ketegangan, dalam hal ini andil pemimpin sangat besar dalam upaya mengurangi adanya perbedaan dan mengajak kelompok bekerja sama; memberikan simbol identifikasi, dalam hal ini pemimpin bertindak sebagi simbol sehingga kelompok dapat dimantapkan dalam suatu kesatuan. Berdasar pada hal itu, maka cukup jelas bagaimana sebenarnya peran pemimpin dalam penciptaan stabilitas sistem sosial. Ketika terjadi krisis nilai-nilai kebersamaan, maka pemimpin diharapkan mampu mengambil sikap sehingga arah tujuan yang hendak oyang akan dapat kembali diluruskan.
Gambar 3.
Hubungan Pemimpin dengan Budaya Organisasi
PimpinanSeorang pemimpin atau manajer puncak dalam organisasi yang masih baru atau muda mengembangkan dan berusaha untuk mengimplementasikan suatu visi, filosofi dan atau strategi |
Perilaku OrganisasiKarya-karya implementasi. Orang berperilaku melalui cara yang dipandu oleh visi, filosofi dan strategi |
HasilDipandang dari berbagai segi, organisasi itu berhasil dan keberhasilan itu terus berkesinambungan selama bertahun-tahun |
Suatu budaya organisasi muncul, mencerminkan visi dan strategi serta pengalaman yang dimiliki orang dalam mengimplementasikannya. |
KESIMPULAN .
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan :
- Pemimpin turut berperan dalam menciptakan kondisi budaya yang menjamin penciptaan prestasi kerja. Hal ini disebabkan anggota dengan jelas mampu membaca apa yang dikehendaki dari mereka sehingga mereka tahu dengan tepat apa yang harus mereka lakukan dan sadar dalam membawakan peran mereka. Tanpa dapat dipungkiri peran ini membawa sejumlah tantangan yang harus diatasi karena di pundak mereka tujuan kelompok diletakkan. Meskipun demikian keberhasilan dan kegagalan organisasi tidak semata-mata tergantung pada pemimpin, dalam hal ini partisipasi dan keinginan berkorban dari anggota memiliki andil yang tidak sedikit.
- Dalam hal ini peran pemimpin tidak kecil dalam mensosialisasikan budaya yang dimiliki. Sejauh budaya tersebut tidak terlalu melenceng dari nilai-nilai yang dimiliki, maka peranan pemimpin tidak akan berjalan begitu sulit. Karena peranannya seorang pemimpin dalam budaya bukanlah proses yang pasif. Namun ia melibatkan peran proaktif dari orang-orang yang terkait. Hal ini memiliki arti bahwa orang dengan sadar menerima budaya yang ada dan menjadi suatu dasar bagi perilaku kesehriannya.
- Kuat lemahnya suatu budaya dalam organisasi akan terlihat pada sejauh mana oganisasi mampu bertahan dalam situasi yang sulit. Disamping itu, kuat lemahnya budaya organisasi juga terletak pada sejauh mana anggota meletakkan kepercayaannya pada pemimpin mereka. Ketika dalam situasi yang turbulance, kepercayaan anggota lemah, maka hal itu merupakan indikasi bahwa peran pemimpin dipertanyakan dan budaya yang diinternalisasi mengalami suatu tantangan. Kini yang terpenting dalam melihat teori-teori kepemimpin tidak lagi didasarkan pada gaya pemimpin semata-mata, namun yang terpenting adalah mampukan pemimpin menggunakan emosinya dan tidak semata-mata mengandalkan rasio karena hal ini berarti dengan komitmen yang tinggi didasarkan pada hati nurani, pemimpin menjalankan perannya.
Daftar Pustaka
Drucker Foundation.
Fiedler, F.E. 1967. A Theory f Leadership Effectiveness. New York. McGraw-Hill.
Hesselbein, F., Goldsmith, M., dan Beckhard, R. 1996. The Leader of The Future. New
York. The Drucker Foundation.
Kennedy, D.L. 1996. Understanding Personal Power. Diambil dari Dynamics of
Leadership. Bombay. Jaico Publ. House
Keith Davis, John W. Newstrom, Perilaku Organisasi, Terjemahan Oleh
Agus Dharma,SH,M,Ed.PT.Gelora Aksara Pratama, Jakarta,1995
Stepen Robin, Perilaku Organisasi, Edisi Bahasa Indonesia (Alih Bahasa Oleh.
Dr.Hadyana Pujaatmaka) Jilid II, PT.Prenhallindo, Jakarta, 2002
T,Hani Handoko, Manajemen Edisi kedua, Penerbit BPFE, Yogyakarta, 1984.
Taliziduhu Ndraha, Teori Budaya Organisasi, Rineka Cipta,Jakarta, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar