A. Pendahuluan
Seperti telah kita ketahui, di dalam hukum – hukum fiqih yang terperinci itu terdapat kesamaan alasan dan sebab, dan oleh karenanya maka seharusnya untuk kesemua itu di sususn kaidah – kaidah yang bersifat umum. Hal ini memang sudah sejak dulu menjadi perhatian yang seksama dari para ulama’ kemudian di bahas oleh beliau – beliau. Para fuqoha pada umumnya memberikan pengertian bahwa yang di maksud dengan qoidah fiqhiyyah atau qoidah –qoidah fiqih, yaitu qaidah yang bersifat umum (kulli) yang mengelompokkan masalah fiqih yang terperinci menjadi beberapa kelompok, adalah merupakan qaidah atau pedoman yang memudahkan mengistimbatkan (menyimpulkan ) hukum bagi sesuatu masalah, yaitu dengan cara menggolongkan masalah –masalah yang serupa di bawah satu qaidah, atas semua bagiannya atau cabang –cabangnya.
Barang siapa yang memelihara ushul tentulah ia akan sampai kepada maksud, dan barang siapa yang memelihara qoidah tentulah ia akan mencapai maksud hanya saja perlu mendapat perhatian, bahwa hubungan sebagian dari qoidah –qoidah terlepas dari pengecualian dan syarat seperti yang kita singgung maka perlu sikap teliti dan hati –hati dalam menerapkan qoidah – qoidah.
B. Subtansi Kajian
1. Qoidah-Qoidah Lughowiyah
Nash-nash Al-Qur’an dan As-sunnah adalah berbahasa Arab. Untuk memahami hukum-hukum dari kedua nash tersebut secara sempurna lagi benar, haruslah memperhatikan pemakaian uslub-uslub (gaya bahasa) bahasa arab dan cara penunjukan lafazh nash kepada artinya. Oleh karena itu para Ulama ahli Ushul Fiqih mengarahkan perhatian mereka kepada penelitian kepada uslub-uslub dan ibarat-ibarat bahasa Arab yang lazim dipergunakan oleh sastrawan-sasatrawan bangsa Arab dalam mengubah syair dan menyusun prosa. Dari penelitian ini mereka menyusun kaidah-kaidah dan katentuan-ketentuan yang dapat dipergunakan untuk memahami nash-nash syari’at secara benar sesuai dengan pemahaman orang Arab sendiri yang nash-nash itu diturunkan dalam bahasa mereka. Kebanyakan para Ushuliyun memulai pembahasan dalam maudu’ ini dengan membicarakan makna-makna dari suatu lafazh-lafazh itu dalam suatu bahasa adalah diciptakan untuk menyatakan makna-makna tertentu.
2. Pembagian Lafazh Ditinjau Dari Segi Makna
Para Usuliyun menetapkan bahwa perhubungan lafazh dengan makna mempunyai segi yang harus dibahas. Mereka membagi lafazh dalam hubungannya dengan makna kapada beberapa bagian.
1. Ditinjau dari segi makna yang dipakai makna yang diciptakan untuknya lafazh itu dibagi menjadi 3 bagian. Yakni :
A. Khas
Yang disebut lafazh khas ialah lafazh-lafazh yang diciptakan untuk memberi pengertian satu-satuan tertentu, baik menunjuk pribadi seseorang, seperti lafazh Muhammad, atau menunjuk macam sesuatu, seperti lafazh insanun (manusia) dan rojulan (orang laki-laki), atau menunjuk jenis sesuatu, seperti lafazh hayawanun (hewan), atau menunjuk benda kongkrit seperti contoh-contoh diatas, atau menunjuk benda yang abstrak, seperti lafazh ilmun (ilmu) dan jahlun (kebodohan) atau menunjukkan arti kepada satu kesatuan itu secara hakiki, seperti dalam contoh-contoh tersebut diatas, atau secara i’tibari (anggapan) seperti lafazh-lafazh yang diciptakan untuk memberikan pengertian banyak yang terbatas, seperti lafazh tsalatsatun (tiga), mi’ataun (seratus), jam’un (seluruhnya) dan fariqun (sekelompok).
a) Hukum lafazh khash
Lafazh khash dalam nash syara’ adalah menunjuk kepada dalalah qath’iyah terhadap ma’na khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjuknya adalah qoth’i, bukan zhanni, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada ma’na yang lain. Misalnya lafazh ”tsalasah” dalam firman Tuhan:
Suray Al-Baqarah: 196
Artinya: ....”tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji...[al-Baqarah : 196]
Adalah lafazh khash, yang tidak mungkin untuk diartikan kurang atau lebih dari ma’na yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga hari. Oleh karna itu dalalah ma’nanya adalah qath’iyah (pasti) dan dalalah hukumnya pun qoth’i.
b) Sifat-sifat lafazh khosh
Lafazh khash itu kadang-kadang datang secara mutlaq, tanpa diikuti oleh sesuatu syarat apapun, kadang-kadang muqoyyad, yakni dibatasi dengan suatu syarat, kadang-kadang datang dengan shighat (bentuk) amr, yakni tuntutan untuk dilakukan suatu perbuatan, dan kadang-kadang dengan shighat nahi, yakni melarang mengerjakan sesuatu perbuatan. Dengan demikian pembahasan tentang khash ini mencakup lafazh mutlaq, muqayyad, amr dan nahi.
B. Aam
Lafazh amm ialah suatu lafadzh yang sengaja diciptakan oleh bahasa untuk menunjukkan suatau ma’na yang dapat mencakup seluruh satuan-satauan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Misalnya lafazh ”kullu ’aqdin” dalam kaidah para fuqoha:
Setiap perikatan untuk sahnya disyaratkan adanya kecakapan dua orang yang mengadakan perikatan adalah lafazh ’aam yang menunjukan kepada apa saja yang disebut perikatan tanpa terbatas pada perikatan tertentu. Juga lafazh ”man alqa” dalam haditss yang berbunyi:
Barang siapa meletakkan senjatanya, maka ia adalah aman.
Adalah lafazh ”amm” yang menunjukkan seluruh perseorangan yang meletakkan senjata, tanpa terbatas pada perseorangan tertentu.
Atas dasar yang demikian itu, maka dapat diambil ketetapan bahwa keumuman lafazh ’amm itu didapat dari sifat lafazh itu sendiri. Suatu lafazh apabila menunjuk kepada arti satuan yang tunggal, seperti lafazh ”rojulun”(seorang laki-laki) atau menunjukka kualitas satuan yang terbatas, seperti sekelompok dan seratus bukan termasuk lafazh ’amm, tetapi termasuk lafazh khash yang mutlak. Dengan demikian dapat ditarik perbedaan antara lafazh ’amm dan lafazh khash yang mutlak sebagai berikut:
a. Lafazh ’amm itu menunjuk kepada seluruh satuan dari satuan-satuan yang ada, sedangkan lafazh khash yang mutlak menunjukkan kepada satuan itu saja, tidak seluruh satuan.
b. Lafazh ’amm dapat mencakup sekaligus seluruh satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya. Sedangkan lafazh khash mutlak tidak mencakup seluruh satuan, selain hanya satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
C. Musytarak
2. Ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuknya lafazh itu dibagi menjadi 4 bagian. Yakni :
a. Hakikat,
b. Majaz,
c. Sharih dan
d. Kinayah.
3. Ditinjau dari segi terang dan tersembunyinya makna, lafazh itu dibagi menjadi 2 bagian. Yakni :
a. Zhahir dan
b. Khafi.
4. Ditinjau dari cara-cara penunjukan (dalalah) lafazh kepada makna menurut kehendak pembicara, lafazh itu dibagi menjadi 4 bagian. Yakni :
c. Dalalah ibarat,
d. Dalalah isyarat,
e. Dalalah dalalah, dan
f. Dalalah iqtidha’.
3. Lafazh Ditinjau Dari Segi Makna yang diciptakan untuknya
Lafazh ini diciptakan adakalanya untuk memberi pengertian :
1) Sebuah satuan (orang, barang, hal) yang tertentu. Lafazh yang demikian itu disebut khas.
2) Beberapa satuan (orang, barang, hal) dengan sekali cipta. Apa bila lafazh itu dapat mencakup seluruh satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya, ia disebut amm, dan apabila tidak dapat mencakup seluruh satuan yang dapat di masukkan kedalamnya, ia disebut jama’ munakkar. Dan
3) Beberapa satuan (orang, barang, hal, dan lain-lain) dengan beberapa kali cipta. Lafazh semacam iniu disebut musytarak.
4. Qawa’id Fiqhiyah
Kata qawaid merupakan bentuk jama’ dari kata qaidah yang secara bahasa berarti asas atau dasar, baik dalam bentuk inderawi maupun maknawi. Kata qaidah yang berarti dasar dalam bentuk inderawi dapat diamati dalam ungkapan bahasa Arab, yaitu qawaid al-bait yang berarti dasar atau pondasi rumah. Sementara kata qaidah yang berarti dasar dalam bentuk maknawi dapat diamati dalam ungkapan qowa’id al-din yang berarti dasar atau asas agama. Qaidah dengan makna ini dapat ditemukan dalam firman Allah berikut:
Surat Al-Baqarah: 127
• •
Artinya :
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (QS. 2:127).
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Ibrahim dan Ismail diberi amanah oleh Allah untuk meninggikan dan membina dasar-dasar (al-qawaid) atau pondasi baitullah.
Musthafâ Ahmad Zarqa’, dengan mengutip pendapat para ahli nahwu menegaskan bahwa qawaid secara bahasa mengandung pengertian hukum yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagiannya.
Sementara kata fiqh secara etimologi berasal dari kata fiqhan (فقها) yang merupakan masdar dari fi’il madhi faqiha (فقه) dan fi’il mudhori’nya yafqahu (يفقه), berarti paham. Ada ulama yang berpendapat bahwa kata fiqh berarti paham mendalam untuk sampai kepadanya perlu mengerahkan pemikiran secara sungguh-sungguh. Kedua arti fiqh ini dipakai para ulama dan masing-masingnya mempunyai alasan yang kuat. Kata fiqh dengan arti paham atau memahami didukung firman Allah surat Hud, 11:91.
Kata fiqh juga digunakan untuk menunjukkan pemahaman terhadap sesuatu dengan baik secara lahir maupun batin. Makna ini sejalan dengan firman Allah berikut:
“Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahaminya.” (QS.6:65)
Kata fiqh yang berkembang di kalangan ulama secara khusus berarti paham secara mendalam. Orang yang memiliki pemahaman mendalam tentang fiqh disebut faqîh. Kata faqaha atau yang seakar dengannya muncul dalam Qur’an sebanyak 20 kali yang sebagian besarnya mengacu kepada makna pemahaman mendalam. Pada periode awal Islam, para ulama (kalangan sahabat dan tabi’in) memahami fiqh dengan pengetahuan atau pemahaman tentang agama Islam yang terdapat dalam Qur’an dan Hadis. Pada masa selanjutnya, para ulama memahami fiqh sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah. Dalam pengertian terakhir ini, Abd al-Wahhab al-Khallaf mendefinisikan fiqh, yaitu mengetahui tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-dalil terperinci. Definisi ini menggambarkan bahwa fiqh merupakan hasil ijtihad para ulama melalui pengkajian terhadap dalil-dalil tentang suatu persoalan hukum yang terdapat dalam Qur’an dan Sunnah. Ini mengisyaratkan fiqh bukan dihasilkan para ulama melalui taqlîd.
Dari pendekatan bahasa terhadap kata qaidah dan fiqh, dapat mempermudah dalam memahami definisi al-qawaid fiqhiyyah secara terminologi. Dalam kaitan ini, ada beberapa definisi kaidah fiqh secara terminologi yang dikemukakan para ulama. Ibn Subki mengemukakan definisi kaidah fiqh seperti dikutip al-Nadawi yaitu:
الأمر الكلي الذي ينطبق عليه جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
Suatu kaidah kulli (bersifat umum) yang sesuai dengan juz’iyyah (bagian-bagian) yang banyak, yang melaluinya diketahui hukum-hukum juz’iyyah.
Definisi ini menggambarkan ada beberapa unsur penting dalam definisi al-qawaid fiqhiyyah, yaitu kaidahnya bersifat umum, kaidah umum itu dapat diterapkan pada bagian-bagiannya, dan melalui kaidah umum itu dapat diketahui hukum-hukum juz’iyyah. Setelah mempelajari definisi al-qawaid fiqhiyyah yang dikemukakan para ahli fiqh, Zarqa’ merumuskan definisi al-qawaid fiqhiyyah, yaitu kaidah fiqh yang bersifat umum, tersusun dalam teks-teks (nash) yang singkat lagi mendasar mengandung hukum-hukum syara’ yang bersifat umum tentang sejumlah peristiwa yang masuk dalam objeknya. Melalui definisi itu Zarqa’ mengemukakan sejumlah unsur yang terdapat pada al-qawaid fiqhiyyah yaitu, kaidahnya bersifat umum, tersusun dalam teks-teks singkat dan meliputi sejumlah masalah fiqh yang menjadi objeknya atau berada di bawah lingkupnya. Dengan demikian, al-qawaid fiqhiyyah adalah suatu kaidah yang bersifat umum meliputi sejumlah masalah fiqh dan melaluinya dapat diketahui hukum sejumlah masalah yang berada dalam lingkupnya.
Signifikansi Qawaid Fiqhiyah
Sebagai suatu kajian tersendiri bagi mereka yang menekuni dan melakukan studi terhadap ilmu syariah, hukum Islam dan fiqh, keberadaan al-qawaid al-fiqhiyyah mempunyai arti penting. Betapa pentingnya ilmu ini sehingga al-Qarâfî menggambarkan bahwa al-qawaid fiqhiyyah memberikan manfaat besar terhadap fiqh. Dengan menguasai kaidah fiqh dapat menambah pengetahuan ahli fiqh sehingga ia dapat memahami fiqh dengan baik dan melalui al-qawaid fiqhiyyah akan tersingkap metode fatwa. Abdul Mudjib dengan mengutip pendapat Izzuddin bin Abd al-Salam menyatakan bahwa al-qawaid fiqhiyyah sebagai jalan untuk mendapatkan maslahah dan menolak mafsadah. Isyarat ini ditegaskan Izzuddin Abd al-Salam dalam tujuan penulisan kitabnya Qawâid al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anam. Ulama ini menjelaskan tujuan penyusunan kitab tersebut untuk menerangkan maslahat-maslahat ketaatan, muamalat dan seluruh tasyaruf untuk pedoman usaha daya-upaya hamba dalam rangka menghasilkan maslahat-maslahat tersebut, menerangkan maksud-maksud kemudharatan agar hamba berusaha untuk menolaknya, dan menerangkan maslahat-maslahat ibadah agar para hamba berada dalam kebaikan karenanya, dan menerangkan maslahat mana yang harus didahulukan dan mafsadat mana yang harus dikemudiankan, serta menerangkan apa yang termasuk dalam kemampuan usaha hamba, bukan hal-hal yang di luar kemampuannya yang tidak ada jalanya Pernyataan hampir senada ditegaskan pula oleh imam Suyuthi dalam bukunya al-Asbâh wa al-Nazhâir. Ia menegaskan bahwa ilmu al-Asbâh wa al-Nazhâir atau kaidah fiqh merupakan ilmu yang agung. Melaluinya dapat diketahui hakikat fiqh, tempat diperolehnya, tempat pengambilan dan rahasia-rahasianya. Dengan ilmu itu pula orang akan lebih menonjol dalam pemahaman dan penghayatannya terhadap fiqh dan mampu untuk menghubungkan dan mengeluarkan hukum-hukum dan mengetahui hukum masalah-masalah yang tidak tertulis, hukum peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang tidak habis-habisnya sepanjang masa. Oleh karena itu, sebagian ulama menyatakan bahwa fiqh ialah mengetahui persamaan-persamaan atau bandingan-bandingan. Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan dalam bukunya “Pengantar Hukum Islam” bahwa tidak diragukan lagi seeorang yang hendak melakukan ijtihad membutuhkan kaidah-kaidah kulli (bersifat umum) atau al-qawaid fiqhiyyah yang menjadi pedomannya dalam menetapkan hukum Islam. Selain itu, arti penting al-qawaid al-fiqhiyyah secara lebih rinci dapat diamati dalam uraian berikut:
1. Al-qawaid al-fiqhiyyah mempunyai kedudukan penting untuk mempermudah dalam mempelajari fiqh. Melaluinya furû’(cabang) fiqh yang demikian banyak dapat dipisahkan dalam kaidah fiqh tertentu. Apabila tidak ada al-qawaid al-fiqhiyyah, tentu persoalan hukum yang demikian banyak tetap berserakan di berbagai kitab fiqh sehingga sulit untuk dipelajari ahli fiqh dengan mudah dan baik.
2. Mempelajari al-qawaid al-fiqhiyyah dapat membantu untuk menguasai fiqh dengan masalah-masalahnya yang demikian banyak. Sebab, al-qawaid al-fiqhiyyah sebagai jembatan dan sarana melahirkan hukum-hukum.
3. Membantu kalangan yang melakukan studi fiqh untuk membahas bagian hukum dan mengeluarkan hukum dari topik-topik yang berbeda dan meletakkannya pada satu topik dengan tetap memelihara pengecualian (istisna’i) dari setiap kaidah. Hal ini akan menghindarkan terjadi pertentangan hukum yang kelihatan sama.
4. Dengan mengikatkan hukum-hukum yang berserakan pada satu ikatan menunjukkan bahwa hukum-hukum fiqh membawa misi untuk mewujudkan kemaslahatan yang sejalan dengannya atau mewujudkan kemaslahatan yang lebih besar.
5. Mengetahui al-qawaid al-fiqhiyyah penting untuk memperkuat jalan mengetahui furû’ fiqh yang demikian banyak. Hal ini tergambar dalam al-qawaid fiqhiyyah yang menegaskan bawa: “sesungguhnya ungkapan dalam suatu akad mengandung sejumlah makna”. Penerapan kaidah ini dapat diamati dalam sejumlah kasus muamalah yang berada dalam lingkupnya. Misalnya, akad al-bay’u atau jual beli adalah transaksi pemindahan milik suatu benda dengan membayar nilai ganti benda itu. Sementara ijarah adalah transaksi untuk mengambil manfaat suatu benda dengan disertai bayaran terhadap pengambilan manfaat tersebut. Sedangkan hibah adalah akad untuk memiliki suatu benda tanpa membayar gantinya.
Sejalan dengan itu, Zarqa’ mengakui arti penting dan manfaat al-qawaid fiqhiyyah terhadap fiqh. Dengan mengetahui dan menguasai al-qawaid al-fiqhiyyah dapat menambah kemampuan ahli fiqh dan memperjelas bagi mereka metode-metode melahirkan fatwa. Orang yang berpegang kepada furu’ fiqh tanpa memperhatikan al-qawaid al-fiqhiyyah akan menemukan pertentangan yang banyak dalam masalah furu’ fiqh. Hal ini menuntutnya untuk menguasai rincian persoalan fiqh yang banyak tersebut. Ini tentu sulit dan menghabiskan waktu yang lama bagi orang tersebut. Dari uraian di atas tampak bahwa al-qawaid fiqhiyyah mempunyai arti penting bagi fiqh dan mempunyai peranan signifikan dalam bidang tasyri’. Dengan alasan ini pula para ulama sejak dahulu dari semua mazhab fiqh memberikan perhatian besar dalam rangka merumuskan dan menyusun kaidah-kaidah fiqh sehingga tersusun kitab-kitab khusus yang membahas tentang kaidah-kaidah tersebut. Bagi mereka yang mempelajari dan mengunakan al-qawaid fiqhiyyah dalam kajian mereka perlu memperhatikan secara seksama, terutama terutama terhadap pengecualian-pengecualian dari kaidah itu. Dalam konteks ini, diperlukan sikap teliti dan hati-hati dalam penerapan kaidah fiqh tersebut. Hal ini penting agar terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam penerapan kaidah-kaidah fiqh.
5. Qoidah Fiqhiyah Kuliyah
Qaidah fiqiyyah kulliyah disebut juga dengan qaidah asasiyah. Qaidah fiqiyyah kulliyah ada lima yaitu:
1. Al-umuuru bi maqaashidiha
Artinya: setiap perkara adalah tergantung pada niatnya
2. Al-yaqiinu laa yuzaalu bisy-syakki
Artinya: keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan
3. Masyaqqatu tajlibut taysiiru
Artinya: kesulitan mendatangkan kemudahan
4. Adl-dlararu yuzaalu
Artinya: kemudlarotan harus dihilangkan
5. Al-‘aadatu muhakkamah
Artinya: adat dipertimbangkan didalam menetapkan hukum
6. Kaidah Juzziyat
a. Kaidah pertama
Maksud dari kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuannya. Dengan kata lain, bahwa setiap mukallaf dan berbagai bentuknya serta hubungannya, baik dalam ucapannya, perbuatan, dan lain sebagainya bergantung pada niatnya. Dengan kata lain, niat dan motif yang terkandung dalam sanubari seseorang sewaktu melakukan sesuatu perbuatan menjadi kriteriayang menentukan nilai dan status hukum amal yang ia lakukan
Cabang-cabangnya (Al-umuuru bi maqaashidiha )
Beberapa kaidah cabang yang brsumber dari kaidah itu, antara lain:
1) "Suatu amal yang tidak di isyaratkan untuk dijelaska, baik secaraglobal atau terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan (tidak membatalkan)."
2) "Suatu amal yang diisyaratkan penjelasannya. Maka kesalahannya membatalkan prbuatan tersebut."
3) "Suatu amal yang harus di jelaskan secara global dan tidak diisyaratkan secara terperinci, apabila disebutkan secara terperinci dan ternyata salah maka kesalahannya membahayakan."
b. Kaidah kedua
Arti dari kaidah tersebut adalah keyakinan itu tidak bisa hilang dengan keraguan. Kaidah ini, kalau diteliti secara seksamaerat kaitannya dengan masalah aqidah dan persoalan-persoalan dalil hukum dalam syariat Islam. Namun demikian, suatu yang diyakini keberadaannya tidak bisa hilang, kecuali berdasarkan dalil argument yang pasti (qath'i), bukan semata-mata oleh arguman yang hanya bernilai saksi/tidak qath'i.
Cabang-cabangnya (Al-yaqiinu laa yuzaalu bisy-syakki )
Para ulama berbeda pendapat dalam mengemukakan kaidah cabang dari kaidah ini, ada yang berpendapat tujuh kaidah cabang, ada pula yang berpendapat lebih dari tujuh, dalam buku ini ditulis kaidah cabang menurut As-Suyuthi, yaitu:
1) "Asal itu tetap sebagaimana semula, bagaimanapun keberadaannya."
2) "Asal itu bebas dari tanggungan."
3) "Asal itu tidak ada."
c. Kaidah ketiga
Arti dai kaidah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan. Maksudnya, sesuatu hukum yang mengandung kesusahandalam pelaksanaannya atau memadaratkan dalam pelaksanaanya, baik kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang muallaf, diringankan sehingga tidak memadaratkan lagi. Keringanan tersebut dalam islam dikenal dengan istilah rukhsah. Hal itu antara lain karna kemampuan seorang mukallaf itu terbatas. Kesulitan yang dianggap bisa meringankan ta'lif kepada seorang mukallaf, menurut Asy-Asyatibhi antara lain sebagai berikut:
1. karna khawatir akan terputusnya ibadah dan khawatir akan adanya kerusakan bagi dirinya, baik jiwa, badan, hartanya, maupun kedudukanya.
2. Ada rasa takut akan terkuranginya kegiata-kegiatan social yang berhubungan dengan social kemasyarakatan.karna hubungan terebut dalam islam dikategorikan sebagai ibadah juga.
Cabang-cabangnya (Masyaqqatu tajlibut taysiiru)
1) "Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika perkara itu luas, maka hukumnya menjadi sempit."
2) "Semuanya melampaui batas, maka hukumnya berbalik kepada kebalikannya."
3) "Rukhsah-rukhsah itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan."
4) "Rukhsah itu tidak dapat disangkut pautkan dengan keraguan."
C. KESIMPULAN
Dalam penerapan kaidah fiqih perlu juga diperhatikan keseimbangan antara satu kaidah yang digunakan untuk memecahkan masalah dengan kaidah lainyang lebih luas ruang lingkup dan cakupannya. Hal ini memang tidak terlalu mudah, perlu menguasai keseluruhan kaidah fikih dari mata rantai kaidah yang paling kecil sampai yang paling besar dalam suatu sistem kaidah. Kalu kaidah fikih dimisalkan pohon, maka hubungan antara akar, batang,ranting dan daunnya. Dengan demikian, kita akan tahu persis dimana letaknya kaidah fikih yang akan digunakan dalam bangunan kaidah fikih. Kitapun akan tahu persis ketetapan atau tindakannya kaidah tersebut digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.Mungkin saja terjadi daam penelusuan mata rantai kesinambungan ini ada satu mata rantai yang putus, maka disinilah salah satu tugas dari para ahli untuk mengali dan menemukan mata rantai yang putus. Hal ini wajar di dunia ilmu dan diperlukan untuk mengembangkan dan melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, AL-Qur’an dan Terjemahnya, PT Syaamil Cipta Media.
Djazuli, A. 2006. kaidah-kaidah Fikih: kaidah-kaidah hokum islam dalam menyelesaikan masalaqh-masalah yang praktis. Jakarta. kencana.
Mukhtar Yahya, Fatchurrahman, 1993. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandug: PT. Al-Ma’arif.
Syafe'I, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih untuk Uin, Stain, Ptais. Bandung. Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar