STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 06 Juni 2011

RESUME BUKU KARYA IBNU RUSYD

BAB I
EKSISTENSI TUHAN
Dalam Islam, syari’at terbagi menjadi dua yaitu syari’at lahir (zhahir) dan syari’at batin (muawwal). Syari’at lahir ditujukan bagi masyarakat awam, sedangkan syari’at batin dikhususkan bagi para ulama (filosof).
Dalam memahami makna syari’at, umat manusia telah mengalami kebingungan, sehingga muncul berbagai golongan yang sesat. Masing-masing golongan mengklaim dirinya yang paling benar, sedangkan golongan lain dianggap sebagai ahli bid’ah atau bahkan dianggap golongan kafir, yang kemudian darah dan harta mereka dihalalkan. Semua ini tentu telah melenceng dari maksud pembuat syari’at, karena apa yang dikemukakan kepada mereka merupakan pemahaman yang melenceng dari maksud syari’at. Oleh karena itu, perlu untuk mengkaji ulang aspek lahiriah akidah-akidah serta meneliti maksud pembuat syari’at di dalamnya. Semua itu akan dibahas dalam bab ini.

Dalam bab eksistensi Tuhan, penulis memulainya dengan menyebutkan beberapa akidah yang menempati posisi yang diwajibkan syri’at, yang iman seseorang tidak bisa sempurna kecuali dengan meyakininya. Yakni dengan mengemukakan pendapat berbagai golongan yang terkenal tentang metode untuk mengetahui adanya Sang Pencipta.
Pertama, golongan Hasyawiah. Menurut golongan ini, metode mengetahui adanya Allah dapat ditempuh melalui wahyu (sama’i), bukan melalui akal. Golongan ini telah menyimpang dari maksud syari’at. Ayat-ayat al-Qur’an mendorong manusia untuk meyakini adanya Sang Pencipta melalui argumen-argumen rasional.
Kedua, golongan Asy’ariah. Menurut Asy’ariah, iman akan adanya Allah hanya dapat dicapai melalui akal tanpa menempuh metode syari’at. Metode ini dibangun atas argumen bahwa alam adalah baru. Metode yang mereka tempuh tersebut bukanlah metode rasional-demonstratif. Bukan pula metode sima’i.
Menurut penulis, jika alam itu baru maka pasti ada yang memperbaruinya. Jika ia baru, ia pasti membutuhkan pelaku yang memperbaruinya. Dan pelaku ini juga membutuhkan pelaku yang memperbarui lainnya. Begitu seterusnya hingga tanpa batas. Hal ini mustahil. Kecuali jika mereka mengakui adanya perbuatan yang baru tersebut lahir dari pelaku yang qadim. Akan tetapi, mereka menolaknya. Mereka terkadang membolehkan adanya tiga perkara pada yang qadim, yakni kehendak yang baru dan perbuatan yang baru; kehendak yang qadim dan perbuatan yang baru; serta kehendak yang qadim dan perbuatan yang qadim. Padahal yang baru tidak mungkin lahir dari perbuatan yang qadim tanpa adanya perantara. Menyamakan kehendak dengan perbuatan yang berhubungan dengan objek yang dibuat merupakan sesuatu yang tidak rasional. Sama seperti memastikan adanya objek pekerjaan tanpa ada pelakunya. Metode-metode kaum Asy’ariah tentang kebaruan alam tidak bisa dipahami oleh masyarakat awam secara alami dan juga bukan merupakan metode rasional-demonstratif. Metode yang mereka tempuh tentang kebaruan alam ada dua.
Pertama, metode yang berdasar pada tiga premis. Premis pertama,“substansi-substansi tidak lepas dari aksiden-aksiden”. Premis kedua,“aksiden bersifat baru”. Premis ketiga,“sesuatu yang tidak lepas dari yang baru adalah baru”. Adapun pendapat mereka yang menyatakan bahwa sesuatu yang adanya terjadi setelah adanya sesuatu yang tidak terbatas berarti mustahil adanya. Dari berbagai sisi, itu adalah pendapat yang tidak benar. Sebab sesuatu yang keberadaannya sebagiannya terjadi sebelum sebagian yang lain, dapat dilihat dari dua sisi; dari sisi memutar (daur) dan dari sisi lurus (istiqamah).
Kedua, metode yang dibangun atas dua premis. Premis pertama menyatakan bahwa alam dan seluruh isinya dimungkinkan untuk mengambil bentuk lain yang bukan bentuk biasanya. Premis kedua menyatakan bahwa sesuatu yang boleh adalah baru dan mempunyai subyek yang memperbarui. Pada mulanya, premis pertama bercorak retorik. Ia terkadang menampakkan kedustaan pada sebagian alam, seperti pengakuan bahwa manusia bisa ada dengan bentuk selain bentuk ciptaan yang semestinya. Hanya saja pada sebagian yang lain, masalahnya jadi menimbulkan keraguan, seperti gerak yang dari timur bisa berasal dari barat dan sebaliknya. Premis kedua merupakan premis yang tidak jelas. Para filosof berbeda pendapat tentang masalah ini.
Premis yang menyatakan bahwa, kehendak tidak mungkin ada kecuali apa yang dikehendaki itu telah terwujud, mengandung ketidakjelasan. Karena kehendak yang telah mewujud sejatinya adalah perbuatan yang dikehendaki itu sendiri, padahal kehendak merupakan bagian dari yang disandarkan. Kehendak mewujudkan apa yang dikehendak. Kehendak merupakan contoh maujud yang belum ada ketika apa yang dikehendakinya belum mewujud. Kehendak adalah sebab kebaruan yang dikehendaki melalui perantara perbuatan. Dengan demikian, jika para ahli kalam menyusun argumen yang menyatakan bahwa kehendak adalah baru, niscaya apa yang dikehendaki itu harus baru pula.
Ketiga, golongan Sufi. Metode penalaran yang ditempuhnya bukanlah metode yang tersusun dari premis-premis dan analogi-analogi. Mereka hanya menduga bahwa pengetahuan tentang Allah dan maujud-maujud adalah pengetahuan yang masuk ke dalam jiwa ketika jiwa mengosongkan diri dari tantangan-tantangan syahwat dan menerimanya dengan pemikiran yang dianjurkan. Penulis mengakui metode kaum sufi itu tidak berlaku umum bagi semua manusia. Memang, penulis tidak mengingkari matinya syahwat sebagai syarat dalam keabsahan penalaran. Akan tetapi bukan kematian syahwat itu sendiri yang dapat mengantarkan manusia kepada pengetahuan, sekalipun ia menjadi syarat.
Selanjutnya, ada golongan Mu’tazilah. Metode golongan Mu’tazilah serupa dengan metode golongan Asy’ariah.
Akhirnya, dapat diketahui bahwa tidak satu pun dari metode-metode di atas yang dianjurkan syari’at bagi semua manusia lantaran kemampuannya yang berbeda-beda dalam mengetahui adanya Allah. Menurut penulis, berdasarkan al-Qur’an metode yang diperintahkan dan dianjurkan syari’at ada dua macam. Pertama, metode argumen pemeliharaan (‘inayah), yaitu metode yang bertumpu pada pemeliharaan manusia dan penciptaan semua maujud tersebut untuk manusia. Kedua, metode argumen penciptaan (ikhtira’), yaitu metode yang bertumpu pada penciptaan substansi semua maujud. Dua metode argumen ini merupakan metode khusus bagi ulama dan metode umum bagi masyarakat awam.
Adapun golongan Atheisme dalam hal ini, adalah golongan yang mengingkari adanya Sang Pencipta. Ibarat orang yang memperbaiki barang-barang produksi, mereka tidak mengetahui bahwa barang-barang itu adalah barang-barang yang diproduksi. Bahkan mereka selalu mengaitkan apa yang dilihatnya dengan penciptaan secara kebetulan, atau terjadi dengan sendirinya.
BAB II
KEESAAN TUHAN
Bab ini menjelaskan tentang argumen-argumen yang ditempuh syari’at dalam mengetahui keesaan Sang Pencipta. Argumen itu adalah mengetahui bahwa tidak ada Tuhan selain Dia (Laa ilaaha illallah). Negasi illallah ini merupakan makna tambahan atas afirmasi Laa ilaaha. Pembicaraan tentang afirmasi telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Selanjutnya, dalam bab ini akan dijelaskan tentang negasi illallah.
Penegasian ketuhanan selain Dia setidaknya terdapat dalam tiga ayat, Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.(Q. S. Al-Anbiya’: 22); Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.(Q. S. Al-Mukminun: 91); Katakanlah: “Jikalau ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai ‘Arsy”.(Q. S. Al-Isra’: 42).
Golongan Asy’ariah mengatakan bahwa jika ada dua Tuhan atau lebih, keduanya bisa berbeda pendapat. Jika keduanya berbeda pendapat, maka (1) terkadang kehendak keduanya terwujud secara sempurna, (2) terkadang kehendak keduanya tidak terwujud secara sempurna, dan (3) terkadang kehendak salah satu dari keduanya terwujud secara sempurna. Sebab, jika demikian, niscaya alam ini tidak ada. Mustahil pula kehendak keduanya sempurna secara bersama-sama, karena jika demikian niscaya alam ini ada dan tidak ada. Demikian seterusnya kecuali kehendak salah satu dari keduanya sempurna dan kehendak yang satunya lagi batal. Persoalannya, pihak yang kehendaknya batal berarti lemah. Bukankah yang lemah bukanlah Tuhan?
Kelemahan argumen ini terletak pada kenyataan bahwa sebagaimana di dalam hukum akal keduanya mungkin berbeda pendapat lalu keduanya mungkin saja sepakat. Kesepakatan tampaknya lebih pantas bagi Tuhan daripada perbedaan. Seharusnya yang diperselisihkan adalah perbuatan keduanya, sekalipun keduanya sepakat, niscaya saling bekerja sama untuk mendatangkan ciptaan tersebut ke dalam satu tempat. Jawaban terhadap persoalan keesaan Tuhan adalah bahwa sebenarnya pihak yang mampu mengerjakan sebagian akan mampu mengerjakan keseluruhan.
Mengenai perbuatan yang bergiliran, hal ini merupakan indikasi kekurangan masing-masing dari kedua Tuhan yang ada. Jika Tuhan ada dua, mestinya alam ini juga dua. Karena alam ini satu, pasti pelaku yang menciptakan alam ini juga satu, karena perbuatan yang satu hanya terlahir dari satu.
Timbulnya tiga persoalan karena perbedaan pendapat sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak sesuai dengan firman Allah, Dan barangkali sebagian mereka atas sebagian yang lain. Ayat ini tidak mengandung pembagian tersebut. Argumen yang mereka gunakan, oleh para ahli logika disebut dengan qiyas syarthi al-munfashil. Sedangkan argumen yang terdapat dalam ayat tersebut adalah argumen yang dalam ilmu logika dikenal dengan qiyas syarthi al-muttashil.
Demikian juga kemustahilan-kemustahilan yang dikemukakan dalam argumen mereka bukanlah kemustahilan-kemustahilan yang dikemukakan dalam argumen al-Qur’an. Kemustahilan yang dimaksud oleh argumen mereka berupa pernyataan bahwa alam ini terkadang tidak maujud, terkadang pula tidak ada, dan terkadang ada, terus tidak ada. Atau bahkan terkadang Tuhan itu lemah. Kemustahilan-kemustahilan ini bersifat selama-lamanya. Sedangkan kemustahilan yang dimaksud oleh argumen al-Qur’an bukanlah Kemustahilan yang berbentuk selama-lamanya, melainkan dikaitkan dengan waktu tertentu, yaitu bahwa alam ini akan rusak jika ada Tuhan selain Allah.
BAB III
SIFAT-SIFAT TUHAN
Sifat-sifat Tuhan meliputi tujuh sifat, yaitu ‘ilmu (Maha Mengetahui), hayat (Maha Hidup), qudrat (Maha Kuasa), iradat (Maha Berkehendak), sama’ (Maha Mendengar), bashar (Maha Melihat), dan kalam (Maha Berfirman).
Argumen tentang sifat ‘ilmu (Maha Mengetahui) Allah dalam al-Qur’an ditunjukkan dalam ayat, Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan dia Maha halus lagi Maha Mengetahui? (Q. S. Al-Mulk: 14). Ciptaan itu tidak lahir dari pembuat yang alamiah, melainkan lahir dari pembuat yang menyusun secara teratur sebelum menetapkan tujuannya, maka mestinya Sang Pembuat mengetahui apa yang dibuatnya. Pengetahuan harus mengikuti maujud. Karena maujud terkadang telah mewujud dan terkadang belum mewujud (masih berupa potensi), maka pengetahuan tentang dua maujud ini berbeda. Allah mengetahui sesuatu sebelum adanya; mengetahui bahwa sesuatu itu akan ada, telah ada, atau telah rusak; dan mengetahui bahwa sesuatu itu akan rusak pada waktu terjadinya kerusakan.
Adapun sifat hayat jelas keberadaannya merupakan bagian dari sifat ‘ilmu. Di alam nyata ini telah terbukti bahwa di antara syarat sifat ‘ilmu adalah sifat hayat.
Berkenaan dengan sifat iradat, diantara syarat munculnya sesuatu dari pelaku yang mengetahui adalah bahwa Dia berkehendak terhadap sesuatu itu. Diantara syarat lainnya adalah bahwa Dia Maha Kuasa (qudrat).
Sifat kalam ditetapkan kepada-Nya melalui sifat ‘ilmu dan sifat qudrat. Syarat lain bagi perbuatan berbicara, yaitu sarana yang berupa lafadz. Wahyu kadang disampaikan tanpa melalui sarana lafadz yang diciptakan Allah, tetapi melalui penyingkapan makna itu kepada orang tersebut. Lafadz-lafadz al-Qur’an merupakan bahasa hasil perbuatan manusia atas izin Allah dan lafadz al-Qur’an. Inilah yang disebut lafadz –lafadz ciptaan Allah.
Adapun sifat sama’ dan bashar ditetapkan bagi Allah oleh syari’at dari segi bahwa sifat sama’ dan bashar khusus dengan pengertian yang dapat dicapai (dilihat) dalam maujud-maujud yang baru. Bukan yang diketahui oleh nalar (akal). Ia harus mengetahui hal-hal yang diketahui melalui penglihatan (bashar) dan pendengaran (sama’), karena semua itu buatannya.
Diantara bid’ah yang dibahas dalam bab ini adalah pertanyaan tentang sifat-sifat Allah ini: apakah sifat-sifat itu merupakan dzat atau tambahan atas dzat? Dalam arti, apakah sifat-sifat itu merupakan sifat-sifat nafsiyah atau sifat-sifat ma’nawiyah?
Golongan Asy’ariah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah merupakan sifat-sifat ma’nawiyah, tambahan atas dzat. Sedangkan golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa dzat dan sifat adalah satu. Berkaitan dengan persoalan ini, muncullah tiga madzhab dalam akidah: madzhab yang melihat sifat sebagai dzat itu sendiri, madzhab yang menyatakan tidak ada istilah sifat berjumlah banyak, dan madzhab yang melihat bahwa sifat berjumlah banyak. Adapun madzhab yang terakhir ini ada yang menjadikan jumlah banyak itu menjadi banyak yang berdiri melalui dirinya sendiri, dan ada pula yang menjadikan jumlah banyak itu sebagai banyak yang berdiri melalui yang lain. Semua pendapat madzhab ini jauh dari maksud syari’at.
Jika demikian, yang pantas diketahui tentang sifat-sifat Allah adalah apa yang dijelaskan syari’at saja, yaitu pengakuan tentang adanya sifat-sifat Allah tanpa adanya perincian lebih lanjut.
BAB IV
TANZIH
Dalam bab ini dijelaskan pengetahuan tentang tanzih dan taqdis (penyucian Allah). Ayat yang paling jelas dan sempurna dalam menjelaskan masalah tersebut adalah firman Allah yang berbunyi, Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa) ?. Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran. (Q. S. An-Nahl: 17).
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan peniadaan keserupaan antara pencipta dan makhluk, dan dijelaskan argumentasi yang menunjukkan tentang keharusan penafian keserupaan tersebut. Dari penafian keserupaan ini dapat dipahami dua hal: pertama, tidak ada sifat-sifat makhluk pada pencipta, kedua, ada sifat-sifat makhluk pada Sang Pencipta tetapi dengan bentuk yang lebih sempurna dan lebih utama menurut ukuran akal.
Masyarakat awam dilarang menanyakan perihal ada tidaknya sifat-sifat utama bagi Allah dikarenakan beberapa hal. Pertama, masalah ini tidak mudah dipahami melalui satu, dua, atau tiga tingkatan. Hal ini tampak jelas dalam argumen yang ditempuh para ahli kalam yang berpendapat bahwa argumen yang menunjukkan Allah bukanlah jisim telah jelas karena setiap jisim adalah baru. Kedua, masyarakat awam melihat bahwa maujud adalah sesuatu yang dapat dibayangkan dan diindera. Jika mereka diberitahu bahwa ada maujud yang bukan jisim, niscaya mereka tidak dapat membayangkannya sehingga beranggapan bahwa sesuatu itu tidak ada. Ketiga, jika ada penjelasan tentang ketiadaan sifat jisim pada Allah, niscaya pemberitahuan syari’at tentang hari kebangkitan dan lain sebagainya mengandung banyak keraguan.
Syari’at tidak bermaksud menjelaskan peniadaan sifat bagi masyarakat awam, bahwa karena tidak adanya sifat jisim pada jiwa, maka syari’at tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan jiwa kepada masyarakat awam. Ada kesulitan untuk menjelaskan argumentasi rasional kepada masyarakat awam tentang adanya maujud yang berdiri melalui dirinya sendiri yang bukan jisim. Karena syari’at tidak menjelaskan kepada masyarakat awam bahwa Allah bukan jisim dan bukan selain jisim, maka jawaban yang harus diberikan kepada mereka jika menanyakan hal tersebut adalah jawaban syar’i. Katakan kepada mereka bahwa wujud Allah adalah cahaya. Sebab, itulah sifat yang Dia sifatkan untuk diri-Nya dalam al-Qur’an, dalam posisi penyifatan sesuatu dengan sifat dimana sifat itu merupakan dzatnya sendiri, Allah adalah cahaya langit dan bumi. (Q. S. Al-Nur: 350). Cahaya itu dapat diindera, namun tidak mampu dijangkau pandangan mata dan akal. Setelah diakui bahwa cahaya adalah benda-benda inderawi yang paling mulia, maka hal itu harus dijadikan perumpamaan bagi adanya maujud yang paling mulia.
Berkaitan dengan sifat arah, golongan ahli syari’at menetapkan adanya arah bagi Allah. Para filosof sepakat menyatakan bahwa Allah dan malaikat ada di langit, sebagaimana yang disepakati oleh semua syari’at. Arah bukanlah tempat. Arah terkadang berupa sisi yang mengelilingi suatu jisim itu sendiri. Akan tetapi, pendapat-pendapat golongan salaf dan agama-agama yang lalu menyatakan bahwa kekosongan adalah tempat bagi ruh-ruh, yakni Allah dan para malaikat. Artinya, kekosongan bukanlah tempat dan tidak pula memuat waktu. Sebab segala sesuatu yang memuat waktu dan tempat pasti akan rusak. Dari sini jelas bahwa penegasan adanya arah menurut syari’at dan akal adalah wajib.
Kemudian persoalan tentang melihat Allah. Golongan Mu’tazilah menolak bahwa Allah dapat dilihat. Golongan Asy’ariah berusaha memadukan antara ketiadaan jisim dan bolehnya melihat dzat yang tidak ber-jisim dengan indera. Akan tetapi mereka mengalami kesulitan dan akhirnya lari kepada argumen-argumen sophistik yang meragukan.
Sesuatu itu dapat dilihat karena ia ber-jisim, atau berwarna, atau maujud. Konsep tentang melihat Allah dikemukakan oleh syari’at sesuai dengan makna lahiriahnya, dan hal itu tidak bermaksud memberikan ke-syubhat-an. Syari’at tidak menjelaskan tentang ketiadaan jisim dan tidak pula menetapkan adanya jisim bagi Allah.
Syari’at menjelaskan sifat-sifat Allah melalui aspek lahiriahnya tanpa bermaksud menimbulkan ke-syubhat-an dan tidak pula maksud lainnya. Sebab jika diberitahukan kepada masyarakat awam bahwa Allah adalah cahaya, dan Dia mempunyai tirai (hijab) dari cahaya sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah yang tetap, kemudian mereka diberitahu bahwa orang-orang mukmin dapat melihat-Nya di akhirat kelak sebagaimana melihat matahari, niscaya hal ini tidak menimbulkan keraguan dan ke-syubhat-an baik bagi masyarakat awam maupun para filosof, sebab para filosof menganggap hal itu sebagai tambahan ilmu. Akan tetapi, ketika persoalan itu dijelaskan kepada masyarakat awam niscaya keseluruhan syari’at bagi mereka menjadi batal atau mereka mengkafirkan orang yang menjelaskan hal itu kepada mereka. Oleh karena itu, dalam mengemukakan persoalan ini jangan sampai keluar dari metode syari’at.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar