STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Jumat, 10 Juni 2011

TANTANGAN PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI

Era pasar bebas, atau yang biasa disebut dengan era globalisasi sering didengungkan oleh para pemerhati ekonomi sejak beberapa dekade lalu hingga sekarang ini. Kata “globalisasi” secara populer dapat diartikan menyebarnya segala sesuatu secara sangat cepat ke seluruh dunia. Robertson dalam Globalization: Social Theory and Global Culture (London, Sage: 1992) mendefinisikan globalisasi sebagai “the compression of the world into a single space and the intensification of conciousness the world as a whole”. Globalisasi juga melahirkan global culture (which) is encompassing the world at the international level.
Globalisasi sebagai sebuah proses mempunyai sejarah yang panjang. Globalisasi meniscayakan terjadinya perdagangan bebas dan dinilai menjadi ajang kreasi dan perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia, serta pembangunan dengan sistem pengetahuan. Hal ini berarti bahwa terjadinya perubahan sosial yang mengubah pola komunikasi, teknologi, produksi dan konsumsi serta peningkatan paham internasionalisme merupakan sebuah nilai budaya.
Terjadinya era globalisasi memberi dampak ganda; dampak yang menguntungkan dan dampak yang merugikan. Dampak yang menguntungkan adalah memberi kesempatan kerjasama yang seluas-luasnya kepada negara-negara asing. Tetapi di sisi lain, jika kita tidak mampu bersaing dengan mereka, karena sumber daya manusia (SDM) yang lemah, maka konsekuensinya akan merugikan bangsa kita. Oleh karena itu, tantangan kita pada masa yang akan datang ialah meningkatkan daya saing dan keunggulan kompetitif di semua sektor, baik sektor riil maupun moneter, dengan mengandalkan pada kemampuan SDM, teknologi, dan manajemen tanpa mengurangi keunggulan komparatif yang telah dimiliki bangsa kita. Terjadinya perdagangan bebas harus dimanfaatkan oleh semua pihak dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek pendidikan, di mana pendidikan diharuskan mampu menghadapi perubahan yang cepat dan sangat besar dalam tentangan pasar bebas, dengan melahirkan manusia-manusia yang berdaya saing tinggi dan tangguh. Sebab diyakini, daya saing yang tinggi inilah agaknya yang akan menentukan tingkat kemajuan, efisiensi dan kualitas bangsa untuk dapat memenangi persaingan era pasar bebas yang ketat tersebut. SDM yang tangguh, menurut Muslimin Nasution (1998), adalah SDM yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Tugas pendidikan, selain mempersiapkan sumber daya manusia sebagai subjek perdagangan bebas, juga membina penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang nyatanya sangat berperan dalam membantu dunia usaha dalam upaya meningkatkan perekonomian nasional. A. Karakteristik Era Globalisasi Era globalisasi akan ditandai dengan persaingan ekonomi secara hebat berbarengan dengan terjadinya revolusi teknologi informasi, teknologi komunikasi, dan teknologi industri. Persaingan ini masih dikuasai oleh tuga raksasa ekonomi yaitu Jepang dari kawasan Asia, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Masing-masing menampilkan keunggulan yang dimiliki. Amerika misalnya unggul dalam product technology, yaitu teknologi yang menghasilkan barang-barang baru dengan tingkat teknologi yang tinggi, contoh pembuatan pesawat terbang supersonik, robot, dan lain-lain. Jerman dan Jepang mengandalkan kelebihan mereka dalam process technology yaitu teknologi yang menghasilkan proses baru dalam pembuatan suatu jenis produk yang sudah ada, misalnya CD (compact disc) pertama kali dibuat oleh Belanda kemudian terus disempurnakan oleh Jepang sehingga menghasilkan CD dengan kualitas yang lebih bagus dan harga lebih murah. Selain ketiganya, belakangan muncul Cina sebagai kekuatan baru ekonomi dunia dengan pertumbuhan ekonominya di atas 9 persen –suatu jumlah tertinggi di dunia. Kompetisi ekonomi pada era pasar bebas juga ditandai dengan adanya perjalanan lalu lintas barang, jasa, modal serta tenaga kerja yang berlangsung secara bebas, kemudian adanya tuntutan teknologi produksi yang makin lama makin tinggi tingkatannya, sehingga makin tinggi pula tingkat pendidikan yang dituntut dari para pekerjanya. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan tidak adanya jarak dan batasan antara satu orang dengan orang lain, kelompok satu dengan kelompok lain, serta antara negara satu dengan negara lain. Komunikasi antar-negara berlangsung sangat cepat dan mudah. Begitu juga perkembangan informasi lintas dunia dapat dengan mudah diakses melalui teknologi informasi seperti melalui internet. Perpindahan uang dan investasi modal oleh pengusaha asing dapat diakukan dalam hitungan detik. Kondisi kemajuan teknologi informasi dan industri di atas yang berlangsung dengan amat cepat dan ketat di era globalisasi menuntut setiap negara untuk berbenah diri dalam menghadapi persaingan tersebut. Bangsa yang yang mampu membenahi dirinya dengan meningkatkan sumber daya manusianya, kemungkinan besar akan mampu bersaing dalam kompetisi sehat tersebut. Di sinilah pendidikan -- termasuk pendidikan Islam -- diharuskan menampilkan dirinya, apakah ia mampu mendidik dan menghasilkan para siswa yang berdaya saing tinggi (qualified) atau justru mandul dalam menghadapi gempuran berbagai kemajuan dinamika globalisasi tersebut. Dengan demikian, era globalisasi adalah tantangan besar bagi dunia pendidikan. Dalam konteks ini, Khaerudin Kurniawan (1999), memerinci berbagai tantangan pendidikan menghadapi ufuk globalisasi. Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana meningkatkan produktivitas kerja nasional serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing development ). Kedua, tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif terhadap terjadinya era reformasi dan transformasi struktur masyarakat, dari masyarakat tradisional-agraris ke masyarakat modern-industrial dan informasi-komunikasi, serta bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan pengembangan kualitas kehidupan SDM. Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu meningkatkan daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Keempat, tantangan terhadap munculnya invasi dan kolonialisme baru di bidang Iptek, yang menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi. Semua tantangan tersebut menuntut adanya SDM yang berkualitas dan berdaya saing di bidang-bidang tersebut secara komprehensif dan komparatif yang berwawasan keunggulan, keahlian profesional, berpandangan jauh ke depan (visioner), rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi serta memiliki keterampilan yang memadai sesuai kebutuhan dan daya tawar pasar. Kemampuan-kemampuan itu harus dapat diwujudkan dalam proses pendidikan Islam yang berkualitas, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, unggul dan profesional, yang akhirnya dapat menjadi teladan yang dicita-citakan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Pertanyaan selanjutnya, apakah yang harus dilakukan oleh dunia pendidikan Islam? Untuk menjawabnya, agaknya kita perlu menengok kerangka pendidikan Islam dalam konteks kenasionalan. Sehingga kita bisa menyiapkan strategi yang tepat menghadapi sebuah tantangan sekaligus peluang tersebut. Secara kuantitas, perkembangan jumlah peserta didik pendidikan formal Indonesia mulai dari tingkat TK hingga jenjang perguruan tinggi (PT) mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Namun secara kualitas masih tertinggal jauh ketimbang negara-negara lain, baik negara-negara maju, maupun negara-negara anggota ASEAN sekalipun. Institusi pendidikan Islam dituntut mampu menjamin kualitas lulusannya sesuai dengan standar kompetensi global --paling tidak mampu mempersiapkan anak didiknya terjun bersaing dengan para tenaga kerja asing-- sehingga bisa mengantisipasi membludaknya pengangguran terdidik. Di sini harus diakui, lembaga-lembaga pendidikan Islam ternyata belum siap menghadapi era pasar bebas. Masih banyak yang harus dibenahi; apakah sistemnya ataukah orang yang terlibat di dalam sistem tersebut. B. Sumber-sumber Kelemahan Bersaing Pendidikan Pemerintah, sebagai pemegang kebijakan pendidikan seharusnya memberikan sumbangan yang besar dalam mensukseskan program pendidikan. Sebab di antara kelemahan-kelemahan sistem pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya politcal will pemerintah dalam menangani permasalahan pendidikan ini. Menurut Arief Rahman (2002), setidaknya ada sembilan titik lemah dalam aplikasi sistem pendidikan di Indonesia: 1. Titik berat pendidikan pada aspek kognitif 2. Pola evaluasi yang meninggalkan pola pikir kreatif, imajinatif, dan inovatif 3. Sistem pendidikan yang bergeser (tereduksi) ke pengajaran 4. Kurangnya pembinaan minat belajar pada siswa 5. Kultur mengejar gelar (title) atau budaya mengejar kertas (ijazah). 6. Praktik dan teori kurang berimbang 7. Tidak melibatkan semua stake holder, masyarakat, institusi pendidikan, dan pemerintah 8. Profesi guru/ustadz sekedar profesi ilmiah, bukan kemanusiaan 9. Problem nasional yang multidimensional dan lemahnya political will pemerintah. Untuk mengantisipasi berbagai kelemahan pendidikan tersebut, diperlukan kerjasama pelbagai pihak. Tidak hanya institusi pendidikan tetapi pemerintah juga harus serius dalam menangani permasalahan ini agar SDM Indonesia memperoleh rating kualitas pendidikan yang memadai. Untuk itu hendaknya dilakukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, orientasi pendidikan harus lebih ditekankan kepada aspek afektif dan psiko motorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik dan pembekalan keterampilan atau skill, agar setelah lulus mereka tidak mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekadar mengandalkan aspek kognitif (pengetahuan). Kedua, dalam proses belajar mengajar guru harus mengembangkan pola student oriented sehingga terbentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif dan inovatif pada diri peserta didik. Ketiga, guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak mereduksi sebatas pengajaran belaka. Artinya, proses pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya sekedar transfer of knowledge tapi pembelajaran harus meliputi transfer of value and skill, serta pembentukan karakter (caracter building). Keempat, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan motivasi belajar kepada peserta didik sehingga anak akan memiliki minat belajar yang tinggi. Kelima, harus ditanamkan pola pendidikan yang berorientasi proses (process oriented), di mana proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan di atas rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau titel di kalangan praktisi pendidikan dan pendidik hendaknya ditinggalkan. Yang harus dikedepankan dalam pembelajaran kita sekarang adalah penguasaan pengetahuan, kadar intelektualitas, dan kompetensi keilmuan dan keahlian yang dimilikinya. Keenam, sistem pembelajaran pada sekolah kejuruan mungkin bisa diterapkan pada sekolah-sekolah umum. Yaitu dengan menyeimbangkan antara teori dengan praktek dalam implementasinya. Sehingga peserta didik tidak mengalami titik kejenuhan berfikir, dan siap manakala dituntut mengaplikasikan pengetahuannya dalam masyarakat dan dunia kerja. Ketujuh, perlunya dukungan dan partisipasi komprehensif terhadap praktek pendidikan, dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap dunia pendidikan terutama masyarakat sekitar sekolah, sehingga memudahkan akses pendidikan secara lebih luas ke kalangan masyarakat. Kedelapan, profesi guru seharusnya bersifat ilmiah dan benar-benar “profesional”, bukan berdasarkan kemanusiaan. Maksudnya, guru memang pahlawan tanpa tanda jasa namun guru juga seyogianya dihargai setimpal dengan perjuangannya, karena itu gaji dan kesejahteraan guru harus diperhatikan pemerintah. Kesembilan, pemerintah harus memiliki formula kebijakan dan konsistensi untuk mengakomodasi semua kebutuhan pendidikan. Salah satunya adalah memperhatikan fasilitas pendidikan dengan cara menaikan anggaran untuk pendidikan minimal 20-25 % dari total APBN. Di sini diperlukan political will kuat dari pemerintah dalam menangani kebijakan pendidikan. Jika kita mau jujur, berbagai kelemahan pendidikan kita seperti disebutkan di atas, pada dasarnya bertitik tolak pada lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang ada. Padahal, SDM merupakan faktor utama yang menjadi indikator kemajuan suatu bangsa, di samping faktor sumber daya alam (SDA) (hayati, non hayati, buatan), serta sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberhasilan negara-negara Barat adalah didukung oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan hal itu berhubungan dengan pendidikan sebagai wahana pembentukan SDM. Jadi, permasalahan lemahnya SDM Indonesia pada dasarnya berawal dari rendahnya tingkat pendidikan, lemahnya keahlian dan manajemen serta kurangnya penguasaan teknologi. Lemahnya SDM menyebabkan Indonesia kurang mampu bersaing dengan negara-negara lain, padahal secara fisiografis Indonesia termasuk negara yang memiliki kekayaan alam melimpah tetapi sayangnya tidak dikelola dengan baik karena kualitas SDM-nya yang kurang mendukung. Sistem pendidikan sangat bergantung pada mutunya, seperti juga halnya barang dikatakan berkualitas dan mempunyai nilai jual yang tinggi karena memiliki mutu yang bagus. Ironis memang jika kita melihat nasib institusi pendidikan di Indonesia berdasarkan mutu pendidikan yang berada pada urutan terakhir di antara 12 negara Asia yang diteliti oleh The Political and Eonomic Risk Consultancy (PERC) tahun 2001, jauh di bawh Vietnam (6). Hasil survei PERC itu mengacu pada tingkat kualitas lulusan pendidikan kita, dengan argumentasi, untuk mendapatkan tenaga kerja berkualitas tentunya sistem pendidikannya pun harus berkualitas. Sistem pendidikan yang tidak berkualitas mempengaruhi rendahnya SDM yang dihasilkan, yang pada gilirannya tidak mampu membawa bangsa ini “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi” dengan bangsa lain. Lemahnya SDM pendidikan sebagai ekses sistem pendidikan yang tidak berkualitas, memunculkan fenomena masyarakat pekerja (worker society) bak jamur di musim hujan. Ini tentu berbeda dengan sistem pendidikan yang baik, yang memproduksi employee society. Dalam konteks ini, Alvin Toffler dalam buku The Future Shock (1972) mengatakan, employee dan worker itu berbeda. (1) employee memiliki ciri untuk terus meningkatkan kemampuan teknis termasuk keterampilannya, sedangkan worker menggunakan keterampilan dan pengetahuan yang tetap; (2) employee dapat mengendalikan alat (mesin), sedangkan worker relatif dikendalikan oleh mesin; (3) mesin berkhidmat kepada employee, sedangkan worker berkhidmat kepada mesin; (4) employee pada dasarnya tidak perlu diawasi hanya perlu pembagian tanggung jawab, sedangkan worker harus diawasi melalui garis organisasi; dan (5) employee memiliki sarana produksi yaitu informasi, sedangkan worker tidak memilikinya. Oleh karena itu, orientasi employee society harus dikedepankan dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja ahli di bidang penguasaan teknologi. Karena pada milenium ketiga ini kita dihadapkan pada perubahan besar di bidang ekonomi, Iptek dan sosial budaya. Kita seharusnya belajar dari Jepang dan Korea Selatan. Walaupun kedua negara tersebut miskin sumber daya alam (SDA), tetapi karena dukungan SDM yang kuat, kedua negara Asia Timur itu menjadi pioneer ekonomi dunia, khususnya di kawasan Asia. Dalam konteks ini, masyarakat Jepang menurut H.D. Sudjana (2000) memiliki lima karakteristik khusus dalam sikap dan prilaku yang dipandang sebagai akar kekuatan bangsanya, yaitu: Pertama, emulasi. Yaitu hasrat dan upaya untuk menyamai atau melebihi orang lain. Orang Jepang, baik selaku perorangan atau sebagai warga negara memiliki dorongan untuk tidak ketinggalan oleh orang, kelompok, atau bangsa lain. Kedua, consensus. Yaitu kebiasaan masyarakat Jepang untuk berkompromi, bukan konfrontasi. Budaya kompromi ini menimbulkan rasa keterlibatan masyarakat yang kuat terhadap kepentingan bersama. Budaya inilah yang menjadi pengikat kuat yang menjadi pengikat dasar (root bindting) kehidupan masyarakat Jepang. Ketiga, futurism. Yaitu mempeunyai pandangan jauh ke depan, masyarakat Jepang mempunyai keyakinan bahwa harkat individu akan naik apabila seluruh kelompok atau bangsa naik. Oleh karena itu kemajuan dan keberhasilan kelompok, masyarakat dan bangsa sangat diutamakan dalam upaya meningkatkan kemajuan individu. Keempat, kualitas. Mutu adalah jaminan kualitas. Artinya dalam setiap proses dan hasil produksi di Jepang, mutu menjadi faktor penarik (full factors). Kelima, kompetisi. Artinya sumber daya manusia dan produk bangsa Jepang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam tata kehidupan dan tata ekonomi global. C. Pendidikan dan Kemampuan Bersaing Bangsa Kemampuan bersaing pendidikan kita menghadapi era globalisasi ini sangat lemah dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini disebabkan karena masih lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang ada. Sebagai contoh kita bisa melihat Tenaga kerja Indonesia (TKI) maupun TKW yang “diekspor” adalah tenaga buruh, seperti: pembantu rumah tangga, perawat, buruh perkebunan, buruh bangunan, sopir dan pekerja kasar lainnya. Sedangkan tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia adalah kalangan pengusaha, investor dan pemilik perusahaan. Pekerja kita amat minim penguasaan pengetahuannya serta rendah kemampuan bahasa asingnya, terutama Bahasa Inggris. Untuk melacak akar kelemahan SDM Indonesia ini bisa dilihat melalui wahana pendidikan. Dari sini secara logis dimunculkan pemikiran, untuk dapat bersaing dengan bangsa lain dalam memperebutkan lapangan kerja, maka yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah sector pendidikan. Pendidikan harus benar-benar diberdayakan oleh kita semua, sehingga nantinya, pendidikanlah yang akan mampu memberdayakan masyarakat secara luas. Masyarakat yang terberdayakan oleh sistem pendidikan memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam konteks persaingan global. Konsekuensinya, pendidikan harus dikonseptualisasikan sebagai suatu usaha dan proses pemberdayaan, yang benar-benar harus disadari secara kolektif, baik oleh individu, keluarga, masyarakat, lebih-lebih oleh pemerintah sebagai investasi masa depan bangsa. Dengan demikian, pendidikan memegang peranan penting dan strategis dalam menghasilkan SDM yang akan membangun bangsa ini. Sikap ini tidak berarti mengecilkan peran sektor lain dalam pembangunan bangsa. Adanya sikap bahwa masa depan akan selalu penting dan strategis ini didasari oleh pertimbangan empirik bahwa selama ini dan juga untuk waktu yang akan datang, keberadaan sumberdaya manusia yang bermutu dalam arti seluas-luasnya akan semakin dibutuhkan bagi pembangunan bangsa. Kualitas SDM yang diiringi moralitas dan integritas kebangsaan yang kuat: tidak korup, jujur, kreatif, antisipatif dan memiliki visi ke depan diasumsikan akan mempercepat bangsa ini keluar dari krisis yang berlarut-larut. Sebagai perbandingan, dengan dukungan sumber daya manusia yang kuat, negara-negara jiran kita seperti Malaysia, Thailand dan Filipina mengalami kemajuan pesat dalam upaya keluar dari krisis seperti yang dialami bangsa kita. Bahkan untuk kasus Malaysia, negara ini mampu memulihkan (recovey) kondisi ekonominya tanpa perlu mengandalkan bantuan IMF. Selanjutnya, dalam sektor ekonomi, perkembangan perekonomian nasional, regional dan internasional yang begitu pesat seperti pasar modal, bursa efek, AFTA, NAFTA, APEC dan kesepakatan-kesepakatan ekonomi internasional yang lain, saat ini dan ke depan, semua itu akan menjadi kebutuhan bangsa kita. Tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, juga akan mengalami pergeseran. Perilaku individualistik akan tumbuh lebih subur daripada rasa kebersamaan. Sementara itu, kehidupan demokratis akan lebih diterima masyarakat ketimbang perilaku yang otoriter. Perilaku egaliter secara vertikal dan horizontal akan lebih menonjol dibanding yang feodal dan paternalistik. Keterbukaan (transparancy) akan diterima masyarakat. Di sisi lain, semangat nasionalisme dan kesemestaan harus dapat membawa kemajuan bangsa. Janganlah alasan nasionalisme menjadikan bangsa tidak bisa maju dan berkembang. Sebaliknya, semangat kesemestaan tidak dijadikan alasan bangsa ini tercabik dan terinveksi oleh virus globalisasi. Semua itu, sekali lagi, memerlukan peran signifikan dan antisipasi pendidikan, apakah pendidikan kita mampu mengakomodasi dan memberikan solusi dalam upaya memajukan dan memenangkan kompetisi global yang keras dan ketat, ataukah justru terbelenggu dan asik dalam lingkaran globalisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar