STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Rabu, 13 Juli 2011

REALISASI IMAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

BAB  II
REALISASI IMAN DALAM
KEHIDUPAN SOSIAL
A. CINTA SESAMA MUSLIM SEBAGIAN DARI IMAN (LM. 4)
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَِخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ .(رواه البخاري ومسلم وأحمد والنسائى). البخاري: لايمان . 7.  مسلم : لايمان : 67 . احمد : ادب. النسائى : ادب.
1. Artinya
Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Yahya telah menceritakan kepada kami dari Syu’bah dari Qatadah dari Anas r.a berkata bahwa Nabi saw. telah bersabda “tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i)

2. Biografi periwayat (lihat halaman lampiran)
3. Penjelasan Singkat
Iman dan amal shaleh ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Meskipun konsep iman itu sifatnya abstrak, tapi amal shaleh yang lahir dari seseorang merupakan pantulan dari keimanan tersebut. Itulah sebabnya sehingga sejumlah ayat dalam al-Qura’n selalu menyandingkan iman dengan amal shaleh. Tingkat keberimanan seseorang akan melahirkan prilaku-prilaku kongkrit dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hubungan itu, sehingga Rasulullah saw. dalam sejumlah hadis selalu mengaitkan tingkat kesempurnaan iman seseorang dengan prilaku sehari-hari. Di antara prilaku yang dijadikan Rasulullah saw. sebagai parameter keberimanan seseorang adalah sejauhmana tingkat kepeduliaan seseorang terhadap sesamanya manusia.
Hadis di atas menegaskan bahwa di antara ciri kesempurnaan iman seseorang adalah bahwa ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Kecintaan yang dimaksudkan di sini termasuk di dalam rasa bahagia jika melihat sesamanya muslim mendapatkan kebaikan yang ia senangi, dan tidak senang jika sesamanya muslim mendapat kesulitan dan musibah yang ia sendiri membencinya. Ketiadaan sifat seperti itu menurut hadis di atas menunjukkan kurang atau lemahnya tingkat keimanan seseorang.
Sifat seperti yang disebutkan Rasullah dalam hadis tersebut hanya dapat terwujud jika seseorang terhindar dari sifat dengki dan iri hati. Oleh sebab itu, hadis tersebut dapat dipahami secara terbalik bahwa orang yang menyimpan sikap dendam, dengki dan iri terhadap sesamanya muslim termasuk orang yang tidak sempurna tingkat keimanannya. Hal tersebut mengingat bahwa sifat dengki yang dimiliki seseorang terhadap sesamanya mengandung kebencian terhadap orang yang mengunggulinya dalam hal-hal tertentu.
Seorang mukmin yang baik ialah apabila melihat kebaikan pada saudaranya, ia berharap mendapatkan kebaikan yang sama tanpa mengharapkan nikmat itu hilang dari saudaranya. Jika melihat kekurangan pada saudaranya, maka ia berusaha memperbaikinya, sebab orang mukmin dengan orang mukmin ibarat satu anggota tubuh yang saling melengkapi satu sama lain.
Hadis di atas tidaklah berarti bahwa seorang mu’min yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya berarti tidak beriman sama sekali. Pernyataan لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ pada hadis di atas mengandung makna “tidak sempurna keimanan seseorang” jika tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, harf nafi لا pada hadis tersebut bermakna ketidaksempurnaan.
Di sisi lain, hadis di atas memberikan isyarat betapa besar penghargaan Islam terhadap persaudaaraan. Demikian besarnya arti persaudaraan, maka Islam menjadikannya sebagai salah satu indikator keberimanan seseorang. Saudara yang dimaksudkan dalam hadis di atas bukan hanya saudara yang diikat hubungan nasab, tetapi lebih dari itu, persaudaran yang diikat oleh hubungan agama dan keimanan. Persaudaraan semacam ini adalah persaudaraan suci yang datang dari hati nurani, yang dasarnya keimanan bukan motif-motif lain. Persaudaraan atas dasar keimanan dan keislaman merupakan persaudaraan yang abadi dan tidak akan luntur selama keimanan dan keislaman tetap bersemayam di dalam hati dan diri seseorang.
Dalam berbagai riwayat, Rasulullah saw. menjelaskan keutamaan dan keistimewaan yang dimiliki oleh orang yang saling mencintai dan menyayangi atas dasar kecintaan kepada Allah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَعْمَرٍ عَنْ أَبِي الْحُبَابِ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلاَلِي الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّي.(رواه مسلم)
Artinya:
Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami dari Malik bin Anas sebagaimana dibacakan kepadanya dari ‘Abdillah bin ‘Abd al-Rahman bin Ma’mar dari Abi al-Hubab Sa’id bin Yasar dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. telah bersabda, “pada hari kiamat Allah swt. akan berfirman: ‘dimanakah orang yang saling berkasih sayang karena kebesaran-Ku, kini Aku naungi di bawah naungan-Ku, pada saat tiada naungan kecuali naungan-Ku. (H.R. Muslim)
Hadis di atas mengisyaratkan bahwa cinta yang mendatangkan kebahagiaan abadi adalah cinta yang dibangun atas dasar keridhaan Allah swt. Orang yang membangun kecintaannya kepada sesamanya manusia karena Allah swt. akan mendapatkan penghormatan istimewa di hari akhirat. Orang seperti ini senantiasa memandang bahwa kehidupan yang bermakna adalah kehidupan yang memberi makna kepada orang lain. Dengan demikian, ia selalu memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat, yang harus membangun suatu tatanan hidup untuk kebahagiaan bersama. Prinsip tersebut mengantarnya untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh saudaranya, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan. Sikap seperti ini  menyebabkan terjadinya keharmonisan hubungan antar individu yang akan memperkokoh persatuan dan kesatuan. Sehubungan dengan hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
حَدَّثَنَا خَلاَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ. (رواه البخاري ومسلم).
Artinya:
Khalad bin Yahya telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Sofyan telah menceritakan kepada kami dari Abi Burdah ibn ‘Abdillah ibn Abi Burdah dari kakeknya dari Abi Musa dari Nabi saw. telah bersabda: “sesungguhnya antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling melengkapi (memperkokoh) satu sama lain.” (H.R. Bukhari dan Muslim.)
Tatanan masyarakat yang penuh cinta kasih tidak hanya sebatas konsep dan motivasi dari Rasulullah saw., tapi beliau sudah terlebih dahulu mempraktekkannya dalam masyarakat Madinah pada peristiwa hijrah. Rasulullah mempersaudarakan mereka atas dasar persaudaraan agama, sehingga jiwa mereka terpaut satu sama lain melebihi hubungan persaudaraan sedarah. Kaum Anshar dengan tulus ikhlas menolong dan merasakan penderitaan yang dialami oleh kaum Muhajirin sebagai penderitaannya. Perasaan seperti itu bukan didasarkan keterkaitan darah atau keluarga, tetapi didasarkan pada keimanan yang teguh. Tak heran kalau mereka memberikan apa saja yang dimilikinya untuk menolong saudaranya dari kaum Muhajirin, bahkan ada yang menawarkan salah satu istrinya untuk dinikahkan kepada saudaranya dari kaum Muhajirin.
Persaudaraan seperti itu mencerminkan betapa kokoh dan kuatnya keimanan seseorang. Ia selalu siap menolong saudaranya seiman meskipun tanpa diminta, bahkan tidak jarang mengorbankan kepentingannya sendiri demi menolong saudaranya. Perbuatan baik seperti itulah yang akan mendapat pahala besar di sisi Allah swt
Allah swt. berfirman dalam QS. Ali Imran (3): 92:
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq™6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ ÇÒËÈ (ال عمران : ٩۲)
Terjemahnya:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Sebaliknya, orang-orang mukmin yang hanya mementingkan dirinya sendiri, dan tidak memiliki semangat ihsan terhadap sesamanya, orang seperti itulah yang masuk dalam kategori tidak sempurna keimanannya, meskipun mereka taat dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Kesalehan seseorang tidak hanya diukur dengan parameter ketaatan melaksanakan kewajiban individual terhadap al-Khaliq, tetapi juga harus dibarengi dengan hablum minan nas yang baik.
Perlu diingat kembali bahwa perintah untuk mencintai sesama muslim haruslah senantiasa berada dalam semanga ketaatan kepada Allah. Tidaklah benar jika atas alasan menolong sesama manusia sehingga mengabaikan rambu-rambu Tuhan, sebab tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam mendurhakai Allah. Oleh sebab itu, tidaklah dikategorikan berbuat baik kepada sesamanya jika pertolongan yang diberikannya membantu orang tersebut dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah, sebab dalam kondisi seperti itu berarti memposisikan makhluk pada posisi Tuhan.
4. Fiqh al-Hadis
Salah satu tanda kesempurnaan iman seorang mukmin adalah mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Hal itu direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan berusaha untuk menolong dan merasakan kesusahan maupun kebahagiaan saudaranya seiman yang didasarkan atas keimanan yang teguh kepada Allah SWT.
Dia tidak berpikir panjang untuk menolong saudaranya sekalipun sesuatu yang diperlukan saudaranya adalah benda yang paling ia cintai. Sikap ini timbul karena ia merasakan adanya persamaan antara dirinya dan saudaranya seiman.
B. CIRI SEORANG MUSLIM TIDAK MENGGANGGU ORANG  LAIN (AN: 3)
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ وَقَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا دَاوُدُ هُوَ ابْنُ أَبِي هِنْدٍ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ دَاوُدَ عَنْ عَامِرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه البخاري وأبوداودوالنسا ئى).
1. Artinya
Adam bin Abi Isa telah mengabarkan kepada kami, ia berkata bahwa Syu’bah telah mengabarkan kepada kami dari ‘Abdullah bin Abi al-Saffar dan Isma’il bin Abi Khalid dari al-Sya’biy dari ‘Abdullah bin Umar r.a. berkata bahwa Nabi SAW. telah bersabda: “orang muslim adalah orang yang orang-orang Islam (yang lain) selamat dari lisan dan tangannya dan orang yang hijrah adalah orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang Allah swt. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa’i)
  1. 2. Biografi Perawi (lihat lampiran)
  2. 3. Penjelasan Singkat
Hadis di atas tampak sangat singkat tetapi berisi pesan moral yang sangat sarat dengan makna. Inti pesan dalam hadis tersebut ada dua, yaitu: membangun hubungan antar manusia (hablum minan nas) yang harmonis, dan membina aktivitas dalam bingkai ketaatan kepada Allah (hamblum minallah).
Pesan pertama yang tekandung dalam hadis di atas adalah memberi motivasi agar umat Islam senantiasa berlaku baik terhadap sesamanya muslim dan tidak menyakitinya, baik secara fisik maupun hati. Mengingat pentingnya hubungan baik dengan sesama muslim, maka Rasulullah saw. menjadikannya sebagai ciri tingkat keislaman seseorang. Orang yang tidak memberikan rasa tenang dan nyaman terhadap sesamanya muslim dikategorikan orang muslim sejati.
Hadis di atas tidaklah bertolak belakang dengan hadis tentang rukun Islam, yang nota benenya jika telah terpenuhi maka seseorang sudah dianggap muslim. Hadis di atas lebih berorientasi moral (moral oriented) bahwa muslim yang sejati tidak hanya memenuhi rukun Islam secara formal, tetapi keislaman yang benar ialah di samping terpenuhinya rukun Islam, juga harus senantiasa tercermin dalam segala tingkah lakunya nilai-nilai moral yang islami.
Keislaman seseorang belumlah dianggap sempurna dan sejati jika hanya terpaku pada ibadah ritual sebagai kewajibannya terhadap Allah swt., lalu meremehkan hubungannya dengan sesama manusia. Ajaran Islam tidak sepenuhnya berdimensi Ilahiyah, tetapi juga berdimensi insaniyah, meskipun semuanya bermuara kepada ketaatan kepada Allah swt. Oleh sebab itu, berlaku baik kepada sesama manusia juga merupakan bagian dari ajaran Islam yang tidak dapat diabaikan.
Menyakiti sesama manusia mempunyai bentuk yang bermacam-macam. Namun dalam hadis di atas hanya menyebutkan dua anggota tubuh secara simbolik. Penggunaan tangan untuk gangguan fisik kepada secara metafora karena tanganlah yang paling banyak menyakiti manusia. Selain itu, lidah merupakan bagian dari anggota tubuh yang paling banyak menyakiti hati sesama manusia.
Oleh sebab itu, seorang muslim yang sejati harus mampu menjaga dirinya sehingga orang lain selamat dari kezaliman atau perbuatan jelek tangan dan mulutnya. Dengan kata lain, ia harus berusaha agar saudaranya sesama muslim tidak merasa disakiti oleh tangannya, baik fisik seperti dengan memukulnya, merusak harta bendanya, dan lain-lain ataupun dengan lisannya.
Adapun menyakiti orang lain dengan lisan, misalnya dengan memfitnah, mencaci, mengumpat, menghina, dan lain-lain. Perasaan sakit yang disebabkan oleh lidah lebih sulit dihilangkan daripada sakit akibat pukulan fisik. Tidak jarang terjanya perpecahan, perkelahian, bahkan peperangan di berbagai daerah akibat tidak dapat mengontrol lidah. Salah satu pepatah Arab menyatakan:
سَلاَمَةَ الإِنْسَانِ فيِ حِفْظِ اللِّسَانِ
Artinya: “Keselamatan seseorang terletak sejauhaman ia menjaga lisannya.”
Dengan demikian, seseorang harus berusaha untuk tidak menyakiti saudaranya dengan cara apapun dan kapan pun. Sebaliknya, ia selalu berusaha menolong dan menyayangi saudaranya seiman sesuai dengasn kemampuan yang dimilikinya.  Hal itu karena menjaga orang lain, baik fisik maupun perasaan sangat penting dalam Islam.
Mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh lisan, maka Allah swt. mengancam akan menggugurkan nilai pahala sedekah seseorang yang senantiasa menyakiti hati sesamanya dengan berbagai bentuknya. Sehubungan dengan hal ini. Allah swt. berfirman dalam QS. al-Baqarah (2): 264:
$yg•ƒr’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=ÏÜö7è? Nä3ÏG»s%y‰|¹ Çd`yJø9$$Î/ 3“sŒF{$#ur …
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) . . .”
Setiap muslim hendaknya berhati-hati dalam bertingkah laku. terhadap sesamanya manusia. Allah sangat mencela segala bentuk perbuatan yang tidak proporsional. Segala tindakan dan perbuatan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Allah berfirman dalam QS. al-Isra (17): 36:
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur ‘@ä. y7Í´¯»s9′ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ  ( الإ سـراء : ۳٦ )
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Sayyid Quthub dalam mengomentari ayat di atas mengatakan bahwa meskipun ayat tersebut redaksinya sangat singkat, namun mengandung metode ilmiah yang lebih unggul dari metode ilmiah yang dikenal manusia saat ini. Keunggulan metode yang terkandung dalam ayat tersebut karena dalam proses penelitian tidak hanya melibatkan indera dengan dan indera penglihatan, tetapi lebih dari itu, melibatkan hati manusia dan kontrol Tuhan dalam segala aktivitas penelitian.
Al-Qur’an menganjurkan agar dalam proses pengambilan kesimpulan terhadap semua berita dan fenomena, agar senantiasa berhati-hati dan teliti. Ketergesa-gesaan dalam mengambil kesimpulan tidak jarang mengakibatkan seseorang menyesal seumur hidup dan bahkan bisa menjadi pintu kebinasaan. Jika segala langkah dalam proses pengambilan kesimpulan didasari dengan kehati-hatian, maka kemungkinan untuk terjerumus dalam kesalahan sangat kecil, kalaupun terjadi kekeliruan maka akibatnya tidak terlalu besar.
Oleh sebab itu, dalam berbicara harus senantiasa penuh pertimbangan, sebab sejumlah hadis Rasulullah saw. mensinyalir bahwa lidah merupakan anggota tubuh yang sangat potensial memasukkan orang ke dalam neraka. Dalam sebuah riwayat, Nabi saw. bersabda:
دثنا أبو كريب محمد بن العلاء حدثنا عبد الله بن إدريس حدثني أبي عن جدي عَن أَبي هُرَيرَة َ قَالَ: سُئِلَ رَسولُ اللهِ  صلى الله عليه وسلمَ عَنْ   أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ  النَّاسَ الجَّنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ اْلخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ   أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ  النَّاسُ النَّارَ فَقاَل َالفَمُ وَاْلفَرَجُ (رواه الترموذي)
Artinya:
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. dintanya tentang hal yang banyak mengakibatkan orang masuk surga, lalu Nabi menjawab: ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang baik. Selanjutnya beliau ditanya tentang hal yang banyak mengakibatkan masuk neraka, beliau menjawab: lidah dan kemaluan. (HR. Turmudzi)
Pesan Kedua yang terkandung dalam hadis di atas adalah melakukan aktivitas dalam bingkai ketaatan kepada Allah swt. Hadis tersebut menyebutkan hijrah secara simbolik tetapi mengandung pengertian yang sangat luas. Secara tekstual hadis di atas menyebutkan bahwa hijrah yang sesungguhnya adalah meninggalkan apa yang dimurkai Allah swt. Pengertian itu pulalah yang terkandung dalam hijrah Rasulullah saw., yaitu meninggalkan tanah tumpah darahnya karena mencari daerah aman yang dapat menjamin terlaksananya ketaatan kepada Allah swt. Oleh sebab itu, orang yang meninggalkan kampung halaman dan berpindah ke daerah yang tidak ada jaminan bagi terlaksananya ketaatan kepada Allah tidak termasuk dalam pengertian hijrah dalam pengertian syariat, meskipun secara bahasa mengandung pengertian tersebut.
Hijrah juga dapat diartikan sebagai perjalanan panjang untuk meraih masa depan yang lebih cerah. Dapat juga diartikan sebagai perjalanan panjang untuk mendapatkan ridha-Nya. Untuk menempuh suatu perjalanan diperlukan bekal yang cukup. Bekal tersebut dalam Islam adalah akidah yang kuat. Orang yang kuat imannya tidak akan mudah tergelincir pada perbuatan yang menyimpang perintah-Nya. Jika tergelincir kepada perbuatan yang salah, ia segera berhijrah dari perbuatan jelek tersebut kepada perbuatan-perbuatan baik, sesuai perintah-Nya.
  1. 4. Fiqh al-Hadis
Di antara ciri kesempurnaan keislaman seseorang adalah tidak menyakiti saudaranya seiman dalam berbagai bentuknya, baik dengan kekerasan fisik maupun lisan. Selain itu, orang Islam sejati ialah orang yang berusaha keras untuk berhijrah (pindah) dari perbuatan-perbuatan yang dimurkai Allah kepada perbuatan-perbuatan yang diridhai-Nya.
C. REALISASI IMAN DALAM MENGHADAPI TAMU (AN: 47)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو الأَحْوَصِ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ. (رواه البخارى).
Artinya
Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami, Abu al-Ahwash telah menceritakan kepada kami, dari Abu Hashin, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamunya; barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berbuat baik kepada tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam” (H.R. Syaikhani dan Ibnu Majah)
2. ُBiografi Perawi
Biografi Abu Hurairah telah dibahas pada Bab 1
3. Penjelasan Singkat
Hadis di atas menyebutkan tiga di antara sekian banyak ciri dan sekaligus konsekuensi dari pengakuan keimanan seseorang kepada Allah swt. dan hari akhirat. Ketiga ciri yang dimaksudkan adalah: memuliakan tamu, menghormati tetangga, dan berbicara yang baik atau diam. Meskipun keimanan kepada Allah dan hari akhirat merupakan perbuatan yang bersifat abstrak, namun keimanan tidak berhenti sebatas pengakuan, tetapi harus diaplikasikan dalam bentuk-bentuk nyata. Hadis di atas hanya menyebutkan tiga indikator yang menggambarkan sikap seorang yang beriman, dan tidak berarti bahwa segala indikator keberimanan seseorang sudah tercakup dalam hadis tersebut.
Demikian pula, ciri-ciri orang beriman yang disebutkan dalam hadis di atas tidaklah berarti bahwa orang yang tidak memenuhi hal itu diklaim sebagai orang yang keluar dari keimanan, sehingga orang yang tidak memuliakan tamu dan tetangga, serta tidak berkata yang baik dianggap tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maksud hadis di atas bahwa ketiga sifat yang disebutkan dalam hadis termasuk aspek pelengkap keimanan kepada Allah dan hari akhir-Nya. Ketiga sifat tersebut di atas jika diwujudkan dengan baik, mempunyai arti sangat besar dalam kehidupan sosial.
Ciri orang beriman yang disebutkan dalam hadis di atas, adakalanya terkait dengan hak-hak Allah swt., yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan, seperti diam atau berkata baik, dan adakalanya terkait dengan hak-hak hamba-Nya, seperti tidak menyakiti tetangga dan memuliakan tamu.
a. Memuliakan Tamu
Yang dimaksud dengan memuliakan tamu adalah memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin. Pelayanan yang baik tentu saja dilakukan berdasarkan kemampuan dan tidak memaksakan di luar dari kemapuan. Dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut termasuk sedekah. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ أَنَّهُ قَالَ سَمِعَتْ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ عَيْنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمُهُ وَلَيْلَتُهُ وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ. (متفق عـليه)
Artinya:
Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami, Laits telah menceritakan kepada kami, dari Sa’id bin Abi Sa’id, dari Abi Syuraih al-’Adawiy, berkata, Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, ia harus menghormati tamunya dalam batas kewajibannya. Sahabat bertanya, “yang manakah yang masuk batas kewajiban itu ya Rasulullah? Nabi menjawab, batas kewajiban memuliakan tamu itu tiga hari tiga malam, sedangkan selebihnya adalah shadaqah.” (Mutafaq Alaih)
Dalam batas kewajiban tersebut, tuan rumah wajib memberikan pelayanan berupa makanan sesuai dengan kemampuannya tanpa ada unsur memaksakan diri. Pelayanan tamu termasuk kategori nafkah wajib, dan tidak wajib kecuali bagi orang yang mempunyai kelebihan nafkah keluarga. Selain itu, termasuk kategori memuliakan tamu ialah memberikan sambutan yang hangat dan senantiasa menampakkan kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang diberikannya. Sikap yang ramah terhadap tamu jauh lebih berkesan di hati mereka dari pada dijamu dengan makanan dan minuman yang mahal-mahal tetapi disertai dengan muka masam. Memuliakan tamu di samping merupakan kewajiban, ia juga mengandung aspek kemuliaan akhlak.
Sebaliknya, seorang yang bertamu juga harus senantiasa memperlihatkan sikap koperatif dan akhlak yang baik, sehingga orang yang menerimanya merasa senang melayaninya. Adapun etika bertamu yang harus diperhatikan antara lain:
1)    Masuk ke rumah orang lain atau tempat perjamuan, harus memberi salam, dan atau memberi hormat menurut adat dan tata cara masing-masing masyarakat.
2)    Masuk ke dalam rumah melalui pintu depan, dan diperjamuan melalui pintu gerbang yang sengaja disediakan untuk jalan masuk bagi tamu.
3)    Ikut berpartisipasi dalam acara yang diadakan dalam suatu perjamuan, selama kegiatan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
4)    Duduk setelah dipersilahkan, kecuali di rumah sahabat karib atau keluarga sendiri.
5)    Duduk dengan sopan.
Jika tamu yang datang bermaksud meminta bantuan atas suatu masalah yang dihadapinya, maka kita harus memberinya bantuan sesuai kemampuan. Bahkan meskipun tamu bersangkutan tidak mengadukan kesulitannya jika hal itu kita ketahui, maka kita berkewajiban memberikan bantuan dalam batas kemampuan yang kita miliki.
Jika ketentuan-ketentuan seperti disebutkan di atas dilaksanakan oleh segenap umat Islam, maka dengan sendirinya terjalin keharmonisan di kalangan umat Islam. Keharmonisan di antara umat Islam merupakan modal utama dalam menciptakan masyarakat yang aman dan damai.
b. Memuliakan Tetangga
Istilah tetangga mempunyai pengertian yang luas, mencakup tetangga yang dekat maupun jauh. Tetangga merupakan orang-orang yang terdekat yang umumnya merekalah orang pertama yang mengetahui jika kita ditimpa musibah dan paling dekat untuk dimintai pertolongan di kala kita kesulitan. Oleh karena itu, hubungan dengan tetangga harus senantiasa diperbaiki. Saling kunjung mengunjungi antara tetangga merupakan perbuatan terpuji, karena hal itu akan melahirkan kasih sayang antara satu dengan yang lainnya.
Berbuat baik kepada tetangga dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan memberikan pertolongan, memberikan pinjaman jika ia membuthkan, menengok jika ia sakit, melayat jika ada yang meninggal, dan lain-lain. Selain itu, sebagai tetangga kita juga harus senantiasa melindungi mereka dari gangguan dan bahaya, memberinya rasa tenang. Dalam hadis sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi saw. menggambarkan pentingnya memuliakan tetangga sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ.
Artinya:
Isma’il bin Abi Uways telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa’id, ia berkata Abu Bakr bin Muhammad telah mengabarkan kepadaku dari ‘Amrah, dari ‘A’isyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda: “Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk memuliakan) tetangga sehingga aku menyangka bahwa Jibril akan memberi keada tetangga hak waris”.
Perintah berbuat baik kepada tetangga juga disinyalir dalam berbagai ayat Alqur’an, antara lain firman Allah dalam QS. An-Nisa (4): 36:
… ûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) “É‹Î/ur 4’n1öà)ø9$# 4’yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Í‘$pgø:$#ur “ÏŒ 4’n1öà)ø9$# Í‘$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur È@‹Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷ƒr& 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä† `tB tb%Ÿ2 Zw$tFøƒèC #·‘qã‚sù ÇÌÏÈ
Terjemahnya:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Di antara akhlak yang terpenting kepada tetangga adalah:[1]
1)    Menyampaikan ucapan selamat ketika tetangga sedang bergembira
2)    Menjenguknya tatkala sakit
3)    Berta’ziyah ketika ada keluarganya yang meninggal
4)    Menolongnya ketika memohon pertolongan
5)    Memberikan nasehat dalam berbagai urusan dengan cara yang ma’ruf, dan lain-lain.
Kenyataan historis menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sangat menghormati hak-hak tetangga dalam perspektif Hak Asasi Manusia. Dalam hubungan ini, kehadiran Muhammad sebagai pembawa ajaran Islam merupakan pembebasan manusia dari berbagai bentuk penindasan manusia atas manusia. Dalam Piagam Madinah dinyatakan sebagai berikut:
“(40) Segala tetangga yang berdampingan rumah harus diperlakukan sebagai diri sendiri, tidak boleh diganggu ketentramannya, dan tidak diperlakukan salah. (41) Tidak seorangpun tetangga wanita boleh diganggu ketentraman atau kehormatannya, melainkan setiap kunjungan harus dengan izin suaminya”.[2]
c. Berbicara Baik atau Diam
Berbicara merupakan perbuatan yang paling mudah dilakukan tetapi mempunyai kesan yang sangat besar, baik ataupun buruk. Ucapan dapat membuat seseorang bahagia, dan dapat juga menyebabkan orang sengsara, bahkan binasa. Orang yang selalui menggunkan lidahnya untuk mengucapkan yang baik, menganjurkan kebaikan dan melarang perbuatan-perbuatan jelek, membaca al-Qur’an dan buku-buku yang bermanfaat dan sebagainya, akan mendapatkan kebaikan atas apa yang dilakukannya. Sebaliknya, orang yang menggunakan lidahnya untuk berkata-kata jelek atau menyakiti orang lain, ia akan mendapat dosa, dan bahkan tidak mustahil akan membawa bahaya dan kebinasaan bagi dirinya. Oleh sebab itulah sehingga Rasulullah memerintahkan untuk berkata baik, dan jika tidak mampu mengucapkan yang baik maka diam merupakan pilihan terbaik.
Mengingat besarnya bahaya banyak bicara, Rasulullah saw. mengemukakan nilai sikap diam. Sehubungan dengan hal ini Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ أَ نَسٍ قَالَ :قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م: اَلصُّمْتُ حِكْمَة ٌوَقَلِيْلٌ فَاعِلُهُ. (أخرجه البيهقى بسند ضعيف وصحيح أنه موقوف من قول لقمان حكيم)
Artinya:
Dari Anas, ia berkata, telah bersabda Rasulullah saw., “diam itu suatu sikpa bijaksana, tetapi sedikit orang yang melakukannya.” (H.R. oleh al-Baihaqi, dengan sanad dha’if, dan memang betul bahwa hadis tersebut mauquf sebagai ucapan Luqman Hakim).
Orang yang menahan banyak berbicara kecuali dalam hal-hal baik, lebih banyak terhindar dari dosa dan kejelekan, daripada orang yang banyak berbicara tanpa membedakan hal yang pantas dibicarakan dan yang tidak pantas dibicarakan. Bahkan, dinyatakan oleh Rasulullah saw. yang dikutip oleh Imam al-Ghazali:
مَنْ وَقَى شَرَّ قَبْقَبِهِ وَذَبْذَبهِ وَلَقْلَقِهِ فَقَدْ وَقَى الشَرَّ كُلُّهُ. (رواه أبو منصور الديلمى عن أنس بسند ضعـيف)
Artinya:
“Barangsiapa yang menjaga perut, farji, dan lisannya, maka dia telah menjaga seluruh kejelekan.” (H.R. Abu Manshur al-Dailamy dari Anas dengan sanad dha’if).
Ketiga hal yang disebutkan di atas merupakan perbuatan paling banyak mengkibatkan orang celaka yang salah satu di antaranya adalah banyak bicara. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa sikap diam itu selamanya baik, sebab hadis di atas bukanlah memerintahkan untuk diam, tetapi hanya menyarankan untuk memilih diam jika ucapan yang benar sudah tidak mampu diwujudkan. Yang paling bijaksana adalah menempatkan kedua kondisi tersebut sesuai dengan porsinya dan sejauhmana memberikan kemanfaatan. Dalam sebuah pepatah Arab dikatakan:
لِكُلِّ مَقَامٍ مَاقَالٌ وَلِكُلِّ مَقَالٍ مَقَامٌ
Artinya:
“Tiap-tiap kondisi ada perkataan yang tepat, dan tiap-tiap ucapan ada tempatnya.”
Demikian pentingnya ucapan yang baik sehingga Allah swt. mensinyalir bahwa ucapan yang baik jauh lebih berharga daripada perbuatan yang tidak didasari oleh keikhlasan. Dalam QS. Al-Baqarah (2): 163 Allah swt. berfirman:
×Aöqs% Ô$rã÷è¨B îotÏÿøótBur ׎öyz `ÏiB 7ps%y‰|¹ !$ygãèt7÷Ktƒ “]Œr& 3 ª!$#ur ;ÓÍ_xî ÒOŠÎ=ym ÇËÏÌÈ
Terjemahnya:
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.
Ayat tersebut memberikan motivasi untuk senantiasa berkata yang baik kepada orang lain, meskipun tidak mampu memberikan sesuatu yang bersifat materil kepada mereka. Ayat itu pula menuntun agar tidak menghardik orang yang meminta bantuan dan pertolongan kepada kita, sebab tidak memenuhi permintaan mereka tetapi dengan kata-kata yang baik, akan lebih menyenangkan hati mereka dari pada permintaannya dipenuhi tetap disertai dengan caci maki.
5. Fiqh al-Hadis
Untuk kesempurnaan iman dan sebagai salah satu tanda keimanan kepada Allah swt. dan hari akhir, seorang mukmin harus memuliakan tetangga, tamu, dan berkata yang baik atau memilih diam jika tidak mampu mengucapkan yang baik.

[1] Haya Binti Mubarak Al-Barik, Mausu’ah Al-Mar’atul Muslimah (penerjemah Amir Hamzah Fachruddin (Jakarta: Darul Falah, t.t), h. 129.
[2]H. Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad Saw; Konstitusi Negara Tertulis Yang Pertama di Dunia, (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar