STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Rabu, 13 Juli 2011

Ikhlas Beramal

BAB III
IKHLAS BERAMAL
A. NIAT/MOTIVASI BERAMAL (RS: 1)
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. (متفق على صحته)
1. Artinya
Al-Humaidiy ‘Abdullah bin al-Zubair telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Sufyan telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Yahya bin Sa’id al-Anshariy telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Muhammad bin Ibrahim al-Taimiy telah mengabarkan kepadaku bahwa ia telah mendengar ‘Alqamah bin Waqqash al-Laytsiy berkata, aku telah mendengar ‘Umar bin Khattab r.a. berkata di atas mimbar, ia berkata bahwa dia mendengar Rasulullah SAW telah telah bersabda: “Sesungguhnya amal dinilai berdasarkan niat, dan setiap orang mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa berhijrah semata-mata karena taat kepada Allah dan Rasulullah-Nya, maka hijrah itu dinilai sebagai hijrah karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrah karena mengharapkan keuntungan dunia, atau karena perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya dinilai berdasarkan apa yang ia niatkan dalam berhijrah. (H.R. Bukhari dan Muslim)

2. Biografi Perawi (lihat halaman lampiran)
4. Penjelasan Hadis
Hadis di atas diucapkan oleh Rasulullah saw. sebagai jawaban atas pertanyaan seorang sahabat yang terkait dengan motif keikutsertaannya dalam hijrah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sabab wurud hadis ini terkait dengan hijrahnya Rasulullah saw. dari Mekah ke Madinah. Dalam peristiwa tersebut, sejumlah besar sahabat ikut serta dengan Nabi saw. untuk berpindah (hijrah) ke Madinah. Di antara para sahabat yang ikut bersama Nabi saw., ada salah seorang di antara mereka yang ikut serta, tapi niat keikutsertaannya bukan motif menyelamatkan aqidah dan memperjuangkan dakwah Islam, tapi karena ia mengikuti seorang wanita pujaan yang akan dikawinianya yang kebetulan hijrah bersama Rasulullah saw. ke Madinah. Menurut riwayat, wanita tersebut bernama Ummu Qais. Pada awalnya, laki-laki tersebut tidak berniat hijrah bersama Rasulullah saw., tapi karena wanita pujaannya bertekat hijrah dan memutuskan siap dikawini di Madina. Atas dasar tersebut maka laki-laki itu ikut serta bersama rombongan muhajirin ke Madinah, meskipun motifnya lain, yaitu menikahi wanita pujaannya. Setelah sampai di Madinah, kasus tersebut ditanyakan kepada Nabi saw. apakah orang tersebut mendapatkan pahala hijrah sebagaimana pahala yang diperoleh oleh sahabat-sahabat lain. Maka Rasulullah saw. bersabda bahwa: amal seseorang dipahalai berdasarkan niat, sebagaimana yang tercantum dalam hadis yang disebutkan di atas.
Dalam perspektif syariat, niat adalah komitmen tulus yang terlepas dari segala interest (kepentingan) materi dan duniawi. Sejalan dengan konsep tersebut, para ulama mengemukakan pengertian niat dengan redaksi yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang mendefinisikan niat sebagai berikut:
النِّيَة ُ هِيَ قَصْدُ فِعْلِ شَيْءٍ مُقْتَرَ نًا بفِعْلِهِ
Artinya:
“Niat adalah keinginan melakukan sesuatu yang diberbarengi dengan mewujudkannya”
Definisi lain:
اَ ْلإِرَادَة ُ الْمُتَوَ جِّهَة ُ نَحْوَ الْفِعْلِ لاِ بْتِغَاءِ رِضَا اللهِ وَامْتثَالِ حُكْمِهِ.
Artinya:
“Keinginan yang ditujukan untuk mengerjakan suatu perbuatan dengan mengharapkan ridha Allah swt. dan menjalankan hukum-Nya.”
Berdasarkan hadis di atas dan memperhatikan kedua definisi yang dikemukakan, tampak bahwa niat dalam ajaran Islam mempunyai arti yang sangat penting, sebab ia merupakan kunci kebermaknaan amal di sisi Allah. swt. Semua bentuk perbuatan yang orientasinya adalah mengharap pahala dari Allah swt. hanya dapat dinilai jika didasari dengan niat. Niat itulah yang menentukan nilai dan kualitas sebuah perbuatan. Pahala yang diperolehnya pun sesuai dengan yang menjadi motivasi dalam melakukan perbuatan tertentu. Dengan demikian, niat menurut syariat ialah “pengharapan semata-mata hanya kepada Allah swt. dan melepaskan segala motif duniawi dalam melakukan suatu perbuatan.”
Sesuai penjelasan di atas, maka perbuatan yang mendapatkan pahala hanyalah perbuatan yang sejalan dengan perintah Allah saw. Dengan demikian, meskipun sesuatu itu dilakukan dengan niat yang ikhlas, tetapi perbuatan tersebut bertentangan dengan perintah Allah saw. atau melanggar aturan Allah swt., maka perbuatan tersebut sudah tentu tidak termasuk dalam kategori niat yang dikehendaki dalam hadis di atas. Jadi, inti niat yang benar adalah harus sesuai dengan perintah Allah swt.
Berdasarkan definisi niat sebagaimana disebutkan di atas, maka kasus hijrah karena motif meraup keuntungan dunia atau hanya termotivasi mengawini seorang wanita dalam hijrahnya, maka ia tidak akan mendapatkan pahala dari hijrah yang dilakukan, sebab tidak didasari keikhlasan karena Allah swt. Sebaliknya, hijrah yang didasari motif mendapat keridhaan Allah swt, akan mendapatkan nilai hijrah tersebut, di samping mendapatkan keuntungan duniawi yang tidak menjadi tujuan utamanya.
Berdasarkan kronologis wurudnya hadis ini, hijrah yang dimaksud dalam hadis di atas adalah hijrah Nabi saw. secara khusus bersama kaum muslimin meninggalkan kota Mekah menuju kota Madinah. Peristiwa tersebut terjadi karena Nabi saw. dan para sahabat yang ikut bersama beliau berkeinginan untuk menyelamatkan missi dan dakwah Islam yang setiap saat mendapat ronrongan dari kaum kuffar dan bahkan berkeinginan untuk menghalanginya gerak perkembangannya. Lebih dari itu, dalam berbagai kasus, orang-orang kafir Mekah sudah sampai ke tingkat keinginan untuk membinasakan Nabi saw. Menyadari ancaman tersebut dan tekat untuk tetap menjalankan missi yang diembannya, maka Nabi saw. beserta sehijrah secara tekstual yang terkandung dalam hadis di atas, yaitu hijrah fisik dari dar al-kuffar (daerah kafir) ke dar al-islam (daerah Islam).
Namun demikian, setelah kasus hijrah Nabi saw. dan para sahabatnya sebagai mana disebutkan di atas, bukanlah berarti bahwa peluang untuk meraih pahala hijrah sudah berakhir. Tapi kasus yang sama dalam pengertian hijrah untuk menyelamatkan aqidah yang terancam oleh lingkungan yang bobrok biasa dikategorikan sebagai hijrah dalam pengertian pertama tadi. Bahkan, hijrah dalam pengertian yang luas dapat di diartikan berpindah dari perbuatan mungkar (kemaksiatan) kepada ketaatan. Namun yang jelas, dalam bentuk apa pun perwujudan hijrah itu, niat akan tetap menjadi ukuran persyaratan utama dalam melakukan hijrah tersebut. Apapun yang mendasari dilakukannya sesuatu, maka itu pulalah yang akan didapatkan orang bersangkutan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa niat mempunyai arti sangat penting dan menjadi syarat sah atau tidaknya suatu ibadah. Semua bentuk aktifitas dalam Islam yang berorientasi mencari keridhaan Allah swt., baik sifatnya ibadah khusus (ibadah mahdhah) seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain, maupun bentuk-bentuk kegiatan yang diniatkan ibadah (ibadah ghair mahdhah) menjadikan niat sebagai rukun pertama dalam segala rangkaiannya. Apapun yang mendasari dilakukannya sebuah aktifitas, maka itu pula yang menjadi penilaian di sisi Allah swt.
Ditinjau dari sisi teologi, niat mengandung arti mengesakan Allah swt. (tauhid) dalam arti menghindari segala sesuatu yang bernuansa syirik, baik yang sifatnya syirik besar (al-syirk al-akbar) mapun syirik kecil (al-syirk al-ashgar). Kedua bentuk syirik tersebut merupakan lawan dari keikhlasan. Oleh sebab itu, ulama menggolongkan perbuatan yang dilakukan dengan riya sebagai salah satu bentuk syirik kecil terhadap Allah Allah swt.  Shalat misalnya jika dilakukan disamping menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim, juga mengharapkan dari pelaksanaanya itu penghargaan dan penilaian manusia, maka hal itu termasuk merusak kemurnian niat dan termasuk syirik kecil.
Mengingat bahaya syirik dalam bentuk apapun, maka Allah swt. menegaskan dalam firman-Nya dalam QS. Al-Bayyinah (98): 5:
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#r߉ç6÷èu‹Ï9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJ‹É)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨“9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ  ( البينة : ە )
Terjemahnya :
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
Dalam kitab Islamuna Sayid Sabiq mendefinisikan istilah ikhlas sebagai berikut:
اَلإخْلاصُ : أنْ يَقْصُدَ الاْءِنْسَانُ بِقَوْلِهِ وَعَمَلِهِ وَجِهَادِهِ وَجْهَ اللهِ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِهِ مِنْ غَيِْر نَظْرٍ اِلىَ مَغْنَم أَوْجَاهٍ اَوْ لَقْبٍ اَوْمَظْهَرٍ اَوْ تَقَدُّمٍ اَوْ تَأَجٍُّر لِيَرْتَفِعَ الْمَرْءُ عَنْ نَقَائِِص اْلأَعْمَالِ وَرَذَائِِل اْلأَخْلاَقِ وَيَتَّصِلُ مُبَاشَرَةًً بِاللهِ.
Artinya:
“Ikhlas adalah bahwa manusia semata-mata mengharapkan ridha Allah swt. dari perkataan, perbuatan, dan jihadnya, tanpa mengharapkan materi, popularitas, julukan, perhatian, superioritas, atau pamrih, agar manusia terhindar dari ketidaksempurnaan amal dan akhlak tercela, sehingga langsung berhubungan dengan Allah swt.
Niat pada prinsipnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak. Niat bersemayam di dalam hati masing-masing orang. Tidak ada yang mampu mengetahui apa yang menjadi niat seseorang melakukan sesuatu kecuali Allah sendiri, sebab ia Maha Mengetahui yang tampak maupun yang tersembunyi. atau motivasi itu bertempat di dalam hati. Jika sesuatu dilakukan dengan niat yang baik, Allah pasti mengetahuinya, dan demikian pula sebaliknya. Sehubungan dengan hal ini Allah swt. befirman dalam QS. Ali Imran (3): 29:
ö@è% bÎ) (#qàÿ÷‚è? $tB ’Îû öNà2Í‘r߉߹ ÷rr& çnr߉ö6è? çmôJn=÷ètƒ ª!$#  … 3 >ÇËÒÈ
Terjemahnya:
“Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah Mengetahui…”
Meskipun niat merupakan sesuatu yang abstrak, namun Allah swt. menjadikannya sebagai prioritas penilaian. Aspek lahiriyah bisa saja direkayasa oleh manusia untuk mendapatkan penghargaan sesama manusia, tetapi aspek niat tidak bisa direkayasa. Meskipun tidak tampak bagi manusia, tapi ia tampak bagi Allah swt. Berkaitan dengan pentingnya aspek niat, Nabi saw,. bersabda dalam sebuah riwayat Imam Muslim sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ.(رواه مسلم)
Artinya:
‘Amru al-Naqid telah menceritakan kepada kami, Katsir bin Hisyam telah menceritakan kepada kami, Ja’far bin Burqan telah menceritakan kepada kami, dari Yazid bin al-Asham, dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah swt. tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi menilai niat dan keikhlasan dalam hatimu. (H.R. Muslim)
Hal-hal yang bersifat materi sering menipu pandangan orang. Adakalanya kepentingan dunia menodai hasil akhir dari segala amal ibadah manusia. Seeorang yang melakukan amal shaleh tetapi diselubungi dengan kepentingan duniawi, maka orang tersebut bisa saja mendapatkan apa yang menjadi kepentingannya di dunia, tetapi pahala akhirat tidak diperolehnya karena tidak disertai dengan ikhlas dalam perbuatannya. Fenomena seperti ini disinyalir oleh Allah swt. dalam QS. Hud (11): 15-16:
`tB tb%x. ߉ƒÌãƒ no4quŠysø9$# $u‹÷R‘‰9$# $uhtFt^ƒÎ—ur Åe$uqçR öNÍköŽs9Î) öNßgn=»yJôãr& $pkŽÏù óOèdur $pkŽÏù Ÿw tbqÝ¡y‚ö7ムÇÊÎÈ y7Í´¯»s9′ré& tûïÏ%©!$# }§øŠs9 öNçlm; ’Îû ÍotÅzFy$# žwÎ) â‘$¨Y9$# ( xÝÎ7ymur $tB (#qãèuZ|¹ $pkŽÏù ×@ÏÜ»t/ur $¨B (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÏÈ      (هُوْد : ە۱ – ۱٦)
Terjemahnya:
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan Sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang Telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.
Berdasarkan ayat di atas, tampak dengan sangat jelas bahwa seseorang yang melakukan kebajikan karena memburu kepentingan duniawi belaka, maka amalan yang diperbuatnya tidak lebih dari fatamorgana yang secara sepintas menjanjikan kebahagiaan, tapi pada hakikatnya hanya baying-bayang semua yang akan mengakibatkan kekecewaan. Oleh sebab itu, bukanlah suatu yang mustahil jika seseorang dalam hidupnya di dunia banyak melakukan kebaikan tapi tidak secara ikhlas, namun di akhirat tidak menemukan yang menjadi dambaannya. Kenyataan sepeti ini juga dipertegas Allah swt. dalam QS. Al-Furqan (25): 23:
!$uZøBωs%ur 4’n<Î) $tB (#qè=ÏJtã ô`ÏB 9@yJtã çm»oYù=yèyfsù [ä!$t6yd #·‘qèWY¨B ÇËÌÈ    (الفرقان : ۲۳)
Terjemahnya:
Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.
Sebaliknya, perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas di sisi Allah tidak pernah rugi. Bahkan amal yang dilakukannya mendapat ganjaran berlipat ganda dan kebahagiaan abadi. Janji seperti ini ditegaskan Allah swt. dalam bentuk tasybih (perumpamaan) dalam QS. Al-Baqarah (2): 265-266:
ã@sWtBur tûïÏ%©!$# šcqà)ÏÿYムãNßgs9ºuqøBr& uä!$tóÏGö/$# ÅV$|ÊötB «!$# $\GÎ7ø[s?ur ô`ÏiB öNÎgÅ¡àÿRr& È@sVyJx. ¥p¨Yy_ >ouqö/tÎ/ $ygt/$|¹r& ×@Î/#ur ôMs?$t«sù $ygn=à2é& Éú÷üxÿ÷èÅÊ bÎ*sù öN©9 $pkö:ÅÁム×@Î/#ur @@sÜsù 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÅÁt/ ÇËÏÎÈ –Šuqtƒr& öNà2߉tnr& br& šcqä3s? ¼çms9 ×p¨Yy_ `ÏiB 9@ŠÏ‚¯R 5>$oYôãr&ur “̍ôfs? `ÏB $ygÏFóss? ㍻yg÷RF{$# ¼çms9 $yg‹Ïù `ÏB Èe@à2 ÏNºtyJ¨W9$# çmt/$|¹r&ur çŽy9Å3ø9$# ¼ã&s!ur ×p­ƒÍh‘èŒ âä!$xÿyèàÊ !$ygt/$|¹r'sù Ö‘$|ÁôãÎ) Ïm‹Ïù Ö‘$tR ôMs%uŽtIôm$$sù 3 šÏ9ºx‹x. ÚúÎiüt7ムª!$# ãNà6s9 ÏM»tƒFy$# öNä3ª=yès9 šcr㍩3xÿtGs? ÇËÏÏÈ
Terjemahnya:
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya Karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran Tinggi yang disiram oleh hujan lebat, Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun memadai). dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat. Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, Kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya."
Mengakhiri pembahasan ini, ada baiknya merenungkan kata bijak ulama salaf dalam hal niat, seperti dikutip M. Yunan Nasution dalam buku Pandangan Hidup 2, sebagai berikut:
رُبَّ عَمٍَل صَغِيٍْر تُعْظِمُهُ النِّيَة
وَرَبَّ عَمٍَل كَبِيٍْرتُصْغِرُهُ النِّيَةِ.
Karena niat kerapkali amal yang kecil bernilai besar
Karena niat pula seringkali amal yang besar bernilai kecil
5. Fiqih Al-Hadis
Segala bentuk amal yang diperbuat dinilai oleh Allah swt. berdasarkan niat yang mendasari perbuatan tersebut. Dua orang yang melakukan satu perbuatan yang sama, bisa saja mendapat pahala yang berbeda sesuai tingkat keihklasan masing-masing dari kedua orang tersebut.
Hijrah sebagai salah satu bentuk amal yang mempunyai nilai perjuangan yang sangat istimewa, pelakunya bisa saja tidak mendapatkan nilai hijrah jika hal itu dilakukan dengan motif duniawi semata dan hanya ingin mendapat popularitas dan penghargaan dari manusia. Oleh sebab itu, dalam Islam, niat dan motif yang melatar belakangi dilakukannya suatu perbuatan sangat menentukan diterima atau tidaknya nya suatu perbuatan (ibadah). Allah swt. hanya menerima amal ibadah yang didasari keikhlasan dan semata-mata mengharap ridha-Nya.
B. MENJAUHI PERBUATAN YANG RIYA/SYIRIK KECIL (BM: 1512)
قَالَ عَبْد اللَّهِ وَجَدْتُ هَذَا الْحَدِيثَ فِي كِتَابِ أَبِي بِخَطِّهِ حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، قَالَ: الرِّيَاءُ. إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ يَوْمَ تُجَازَى الْعِبَادُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ بِأَعْمَالِكُمْ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً. (أخرجه أحمد بإسند حسن)
Artinya:
'Abdullah berkata, aku menemukan hadis ini dalam kitab ayahku yang ia tulis dengan tangannya sendiri, Ishaq bin 'Iysa telah menceritakan kepada kami, 'Abd al-Rahman bin Abi al-Zanadi telah menceritakan kepada kami, dari 'Amri bin Abi 'Amri, dari 'Ashim bin 'Umar bin Qatadah, dari Mahmud Bin Lubaid bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: "Sesuatu yang paling aku khawatirkan di antara kamu adalah syirik kecil. Para sahabat bertanya, apa itu syirik kecil wahai Rasulullah? Rasulullah saw. menjawab: yaitu riya'. Allah swt. berfirman pada hari amal hamba-hamba dibalas: pergilah kepada orang yang kalian pernah riya melakukan amal di dunia karena orang tersebut, lalu lihatlah apakah mereka memberi balasan?” (H.R. Ahmad dengan sanad hasan)
2. Biografi periwayat (lihat halaman lampiran)
3. Penjelasan Singkat
Riya berasal dari kata رَأَي  yang arti dasarnya adalah (melihat). Riya dalam bentuk mashdarnya berarti“ tindakan memperlihatkan atau memamerkan” sesuatu. Riya dalam pengertian istilah syariat adalah melakukan ibadah bukan dengan niat menjalankan kewajiban dan menunaikan perintah Allah swt., melainkan bertujuan untuk mendapat perhatian orang, baik untuk tujuan popularitas, mendapat pujian, atau motif-motif selain karena Allah swt.
Riya merupakan suatu kondisi yang bertolak belakang dengan ikhlas, dalam pengertian bahwa jika unsur riya ada dalam suatu perbuatan maka otomastis keikhlasan akan berkurang nilainya, dan bahkan bisa hilang sama sekali. Orang yang beribadah didasari oleh unsur riya tidak akan mendapat pahala dari Allah swt., karena motif ibadahnya tidak lagi murni karena Allah melainkan karena makhluk-Nya. Mengingat bahaya dari riya, maka Rasulullah saw. dalam hadis yang disebutkan di atas menggolongkannya dalam kelompok syirik kecil. Hal tersebut karena dia melaksanakan pengabdian kepada Allah swt. dalam ibadah yang dilakukannya, tetapi di balik pengabdian tersebut dia melibatkan makhluk Allah swt. sebagai mitivasi dalam perwujudan ibadahnya kepada Allah, sehingga pengabdiannya tidak lagi ikhlas karena Allah swt.
Sehubungan dengan pentingnya keikhlasan dalam melaksanakan ibadah, Imam Mujahid berkata bahwa: “
Amal tanpa niat adalah sia-sia
Niat tanpa didasari keikhlasan adalah riya’
Keikhlasan tanpa dibarengi dengan ilmu bagaikan debu beterbangan tanpa arah
Amalan yang dilakukan atas dasar riya tak ubahnya dengan perbuatan orang-orang munafik, yang aspek luarnya menampakkan ketaatan tapi aspek bathinnya penuh dengan penipuan dan kepalsuan. Dengan kata lain, hakikat amal mereka adalah penipuan belaka, karena ibadah yang mereka lakukan bukan karena menjalankan perintah dan mengharapkan ridha-Nya, melainkan untuk mendapatkan penilaian manusia. Sifat orang munafik seperti ini disinyalir oleh Allah swt. dalam firman-Nya:
¨bÎ) tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$# tbqããω»sƒä† ©!$# uqèdur öNßgããω»yz #sŒÎ)ur (#þqãB$s% ’n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qãB$s% 4’n<$|¡ä. tbrâä!#tãƒ }¨$¨Z9$# Ÿwur šcrãä.õ‹tƒ ©!$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÊÍËÈ
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka, dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.
Riya merupakan perbuatan yang sangat berbahaya terhadap ibadah seseorang. Bahkan dalam statusnya sebagai salah satu bentuk kemusyrikan kecil, pelakunya bukan hanya tidak dipahalai, tapi lebih dari itu akan mendapat siksa yang sangat pedih di akhirat. Hal ini disinyalir dalam sebuah hadis panjang yang riwayatkan oleh imam Muslim sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَبِيبٍ الْحَارِثِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ قَالَ تَفَرَّقَ النَّاسُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ لَهُ نَاتِلُ أَهْلِ الشَّامِ أَيُّهَا الشَّيْخُ حَدِّثْنَا حَدِيثًا سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ و حَدَّثَنَاه عَلِيُّ بْنُ خَشْرَمٍ أَخْبَرَنَا الْحَجَّاجُ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ قَالَ تَفَرَّجَ النَّاسُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ لَهُ نَاتِلٌ الشَّامِىُّ وَاقْتَصَّ الْحَدِيثَ بِمِثْلِ حَدِيثِ خَالِدِ بْنِ الْحَارِثِ.(رواه مسلم)
Artinya:
Yahya bin Hubaib al-Haritsiy telah menceritakan kepada kami, Khalid bin al-Harits telah menceritakan kepada kami, Ibn Juraij telah menceritakan kepada kami, Yunus bin Yusuf telah menceritakan kepadaku, dari Sulaiman bin Yasar berkata, setelah meninggalkan majelis Abu Hurairah, seorang penduduk Syam berkata: wahai tuan, sampaikan kepada kami sebuah hadis yang tuan dengar dari dari Rasulullah saw. Abu Hurairah r.a berkata bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, "Sesungguhnya manusia yang pertama kali diadili di hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah, maka ia didatangkan dan diperlihatkan nikmat-nikmat (sebagai pahalanya), kemudian ia melihatnya seraya dikatakan (kepadanya), "amalan apakah yang engkau telah lakukan sehingga memperoleh nikmat-nikmat itu? "Ia menjawab, 'aku berperang karena-Mu (Ya Allah), sehingga aku mati syahid. "Allah menjawab, "engkau dusta, tapi kamu berbuat (yang demikian itu) supaya kamu dikatakan sebagai pahlawan. Kemudian Allah memerintahkan malaikat lalu menyeret mukanya dan mencampakkannya ke dalam neraka; Seseorang yang diberi oleh Allah swt. harta benda yang bermacam-macam, kemudian ia di datangkan dan diperlihatkan nikmat itu (sebagai pahalanya) lalu ia melihatnya seraya dikatakan (kepadanya), "amal apakah yang engkau lakukan sehingga memperoleh nikmat itu?" Ia menjawab, "aku tidak pernah meninggalkan infak di jalan yang Engkau ridhai (Ya Allah), melainkan aku berinfak hanya karena-Mu. "Lalu Allah swt. menjawab: "engkau dusta, tapi kamu berbuat (yang demikian itu) supaya kamu dikatakan dermawan, kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeret mukanya dan mencampakkannya ke dalam neraka; dan seorang lagi menuntut ilmu dan mengajarkannya atau membaca al-Qur'an, maka ia didatangkan dan diperlihatkan nikmat-nikmat itu (sebagai pahalanya) lalu ia melihatnya seraya dikatakan (kepadanya), "amal apakah yang engkau lakukan sehingga memperoleh nikmat itu? Ia menjawab: "aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, dan membaca Al-Qur'an (hanya) untuk-Mu (Ya Allah). Kemudian Allah swt. menjawab: "engkau dusta, tapi engkau menuntut ilmu supaya dikatakan pintar dan engkau membaca (al-Qur'an) itu supaya dikatakan sebagai qari, "kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeret mukanya dan mencampakkannya ke dalam neraka. (H.R. Muslim)
Selain bahaya riya sebagaimana disinyalir dalam hadis d atas, ditemukan sejumlah ayat al-Qur'an yang menerangkan ancaman bagi orang yang melakukan sesuatu atas dasar riya. Dalam QS. Al-Maun (107): 4-7 misalnya, Allah berfirman:
×@÷ƒuqsù šú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEŸx|¹ tbqèd$y™ ÇÎÈ tûïÏ%©!$# öNèd šcrâä!#tãƒ ÇÏÈ tbqãèuZôJtƒur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ      (الماعون :٤ - ٧)
Terjemahnya:
Kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Ayat di atas dengan tegas menyatakan bahwa melaksanakan salat belumlah menjad jaminan keselamatan seseorang. Tergantung sejauhmana salat yang dilakukan berdasarkan niat keikhlasan semata-mata karena Allah swt. atau ada motif-motif lain melatar belakanginya. Bahkan dalam ayat lain disinyalir bahwa riya dapat menggugurkan pahala dari sebuah kebajikan yang dilakukan. Sehubungan dengan hal ini, Allah swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2): 264:
$yg•ƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=ÏÜö7è? Nä3ÏG»s%y‰|¹ Çd`yJø9$$Î/ 3“sŒF{$#ur “É‹©9$%x. ß,ÏÿYム¼ã&s!$tB uä!$sÍ‘ Ĩ$¨Z9$# Ÿwur ß`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ¼ã&é#sVyJsù È@sVyJx. Ab#uqøÿ|¹ Ïmø‹n=tã Ò>#tè? ¼çmt/$|¹r'sù ×@Î/#ur ¼çmŸ2uŽtIsù #V$ù#|¹ ( žw šcrâ‘ωø)tƒ 4’n?tã &äóÓx« $£JÏiB (#qç7|¡Ÿ2 3 ª!$#ur Ÿw “ωôgtƒ tPöqs)ø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$#    ÇËÏÍÈ (البقرة : ۲٦٤ )
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir"
Dalam kitab Tanbih al-Ghafilin, al-Samarqandi[1] berpendapat bahwa seseorang yang melakukan amal ibadah karena riya semata disebut munafik asli (tulen). Dengan demikian, jika pelaku riya digolongkan munafiq asli maka konsekuensinya adalah akan mendapatkan balasan seperti yang akan didapatkan oleh orang munafik. Sehubungan dengan balasan bagi orang-orang munafik, Allah swt. berfirman dalam QS. An-Nisa (4): 145:
¨bÎ) tûüÉ)Ïÿ»oYçRùQ$# ’Îû Ï8ö‘¤$!$# È@xÿó™F{$# z`ÏB Í‘$¨Z9$# `s9ur y‰ÅgrB öNßgs9 #·ŽÅÁtR ÇÊÍÎÈ
Terjemahnya:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka”.
Sebagaimana dosa-dosa yang lain, riya juga mempunyai tingkatan-tingkatan sesuai dengan kadar besarnya motif luar yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan sesuatu. Imam al-Ghazali, dalam Ihya ‘Ulum  al-Din, membagi riya menjadi beberapa tingkatan, yaitu:
  1. Tingkatan paling berat, yaitu orang yang tujuan setiap ibadahnya hanyalah untuk riya dan tidak mengharapkan pahala. Misalnya, seseorang yang hanya melakukan shalat jika berada di hadapan orang banyak, sedangkan jika sendirian ia tidak melaksanakannya, bahkan kadang-kadang shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu.
  2. Tingkatan kedua ialah orang yang beramal dengan mengharapkan pahala, tetapi unsur riya lebih dominan. Jika dilihat orang maka ia banyak melakukan amal kebajikan, tetapi jika sendirian amalnya sangat sedikit. Misalnya, seseorang yang memberikan banyak sedekah di hadapan orang, tapi jika tidak ada yang melihat, maka sedekahnya sedikit.
  3. Tingkatan ketiga, yaitu seimbang antara niat memperoleh pahala dari Allah dan riya. Sikap seperti ini menodai perbuatan baik uang dilakukannya, dalam pengertian mencampur adukkan antara pahala dan dosa.
  4. Tingkatan keempat ialah menjadikan riya (dilihat orang) hanya sebagai pendorong untuk melakukan ibadah, sehingga jika tidak dilihat orang pun, dia tetap melakukan ibadah. Hanya saja ia merasa lebih semangat kalau dilihat orang.
Imam Ali r.a mengemukakan tiga cirri-ciri orang riya sebagai berikut:[2]
  1. Malas beramal kalau sendirian
  2. Semangat beramal kalau dilihat orang banyak
  3. Amalnya bertambah banyak kalau di puji oleh orang lain, dan berkurang kalau dicela orang lain.
Ciri-ciri orang riya sebagaimana disebutkan Imam Ali di atas, hendaknya dijadikan sebagai rambu-rambu untuk berusaha maksimal membentengi segala amalan kita dari segala bentuk riya. Syaqiq bin Ibrahim sebagaimana dikutip Abu Laits Samarqandi mengemukakan tiga perkara yang dapat dijadikan benteng amal, sebaga berikut:[3]
  1. Hendaknya mengakui bahwa amal ibadahnya merupakan pertolongan Allah swt. agar penyakit ujub dalam hatinya hilang;
  2. Semata-mata hanya mencari ridha Allah swt. agar hawa nafsunya teratur
  3. Senantiasa hanya mengharap ridha Allah swt. agar tidak timbul rasa tamak atau riya
Meskipun ayat-ayat ataupun hadis-hadis di yang dikemukakan di atas mendeskripsikan bahaya perbuatan yang bercampur dengan riya, namun hal itu tidak boleh dijadikan alasan menyurutkan niat kita untuk memperbanyak amal kebajikan. Orang yang tidak melakukan suatu kebajikan karena takut melakukan kesalahan pada prinsipnya ia telah melakukan kesalahan yang baru. Demikian pula, orang yang yang tidak mau melakukan kebajikan dan beribadah karena takut dikatakan riya, maka sesungguhnya sikapnya tersebut sudah termasuk kategori riya.
Oleh sebab itu, besarnya ancaman dan bahaya bagi orang yang melakukan amalan karena riya, tidak boleh menjadi alasan dan membuat kita enggan melakukan amal ibadah. Justru hendaknya ancaman-ancaman seperti itu dijadikan sebagai motivasi untuk semakin berusaha membersihkan segala amalan kita dari segala bentuk riya, sekecil apapun bentuknya.
Sehubungan dengan hal ini, Abu Bakar al-Wasith[4], berpendapat bahwa menghilangkan riya dalam beramal sangat penting. Namun, jika belum dapat membersihkan diri dari unsur-unsur riya dalam amalan, kita tidak boleh berputus asa dan tidk boleh menjadi penghalang bagi kita untuk melakukan amal tersebut karena takut riya. Oleh sebab itu, tetaplah beramal seraya memohon ampun kepada Allah swt. atas kemungkinan riya yang ada dalam amalan yang kita lakukan, dengan harapan Allah swt. memberi taufik dalam melakukan amal-amal dengan ikhlas.
4. Fiqh al-Hadis
Riya adalah melakukan suatu ibadah atau bentk-bentuk kebajikan bukan atas dasar keikhlasan karena Allah swt. semata, tetapi ada motif-motif lain. Riya akan sangat merugikan bagi pelakunya, karena segala amal ibadahnya akan sia-sia. Itulah sebabnya riya sangat berbahaya, bahkan dikategorikan sebagai syirik kecil. Namun demikian, seseorang tidak boleh enggan untuk beramal karena takut riya. Tetapi yang bijaksana adalah tetap berpacu dalam memperbanyak ibadah dan amal kebajikan seraya memohon taufiq dari Allah swt. agar dikaruniai keikhlasan dalam segala amalannya.

[1]Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, Tanhibul Ghafilin (Pembangun Jiwa Moral Umat) penerjemah Abu Imam Taqiyuddin (Malang: Dar al-Ihya, 1986) h. 19.
[2] Syamsudin al-Dzahaby, al-Kabair (Jakarta: Dinamika Berkat Utama, t.t), h. 123.
[3] Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, Tanhib al-Ghafilin; Pembangun Jiwa Moral, penerjemah: Abu Imam Taqiyuddin, BA.m (Malang: Dar al-Ihya, 1986), h. 15.
[4] Ibid., h. 18-19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar