”Ilmu Logika Al-Farabi memiliki  pengaruh yang besar bagi para pemikir Eropa,” ujar Carra de Vaux. Tak  heran, bila para intelektual merasa berutang budi kepada Al-Farabi atas  ilmu pengetahuan yang telah dihasilkannya. Pemikiran sang mahaguru kedua  itu juga begitu kental mempengaruhi pikiran-pikiran Ibnu Sina dan Ibnu  Rush.
Al-Farabi atau Barat mengenalnya  dengan sebutan Alpharabius memiliki nama lengkap Abu Nasr Muhammad ibn  al-Farakh al-Farabi. Tak seperti Ibnu Khaldun yang sempat menulis  autobiografi, Al-Farabi tidak menulis autobiografi dirinya.
Tak ada pula sahabatnya yang  mengabadikan latar belakang hidup sang legenda itu, sebagaimana  Al-Juzjani mencatat jejak perjalanan hidup gurunya Ibnu Sina.Tak heran,  bila muncul beragam versi mengenai asal-muasal Al-Farabi. Ahli sejarah  Arab pada abad pertengahan, Ibnu Abi Osaybe’a, menyebutkan bahwa ayah  Al-Farabi berasal dari Persia. Mohammad Ibnu Mahmud Al-Sahruzi juga  menyatakan Al-Farabi berasal dari sebuah keluarga Persia. Namun, menurut  Ibn Al-Nadim, Al-Farabi berasal dari Faryab di Khurasan.
Faryab adalah nama sebuah  provinsi di Afganistan. Keterangan itu diperoleh oleh Al-Nadim dari  temannya bernama Yahya ibn Adi yang dikenal sebagai murid terdekat  Al-Farabi. Sejumlah ahli sejarah dari Barat, salah satunya Peter J King  juga menyatakan Al-Farabi berasal dari Persia.
Berbeda dengan pendapat para  ahli di atas, ahli sejarah abad pertengahan, Ibnu Khallekan, mengklaim  bahwa Al-Farabi lahir di sebuah desa kecil bernama Wasij di dekat Farab (  sekarang Otrar berada di Kazakhstan). Konon, ayahnya berasal dari  Turki. Menurut Encyclopaedia Britannica, Al-Farabi juga berasal dari  Turki atau Turki Seljuk.
Konon, Al-Farabi lahir sekitar  tahun 870 M. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di Farab. Di kota yang  didominasi pengikut mazhab Syafi’iyah itulah Al-Farabi menempuh  pendidikan dasarnya. Sejak belia, Al-Farabi sudah dikenal berotak encer  alias sangat cerdas. Ia juga memiliki bakat yang begitu besar untuk  menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.
Setelah menyelesaikan studi  dasarnya, Al-Farabi hijrah ke Bukhara untuk mempelajari ilmu fikih dan  ilmu-ilmu lainnya. Ketika itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat  intelektual serta religius Dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya  sebagai bangsa Persia.Saat itu Bukhara dipimpin Nashr ibn Ahmad  (874-892). Pada masa itulah Al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan  budaya serta filsafat Persia. Di kota lautan pengetahuan itu pula  Al-Farabi muda mengenal dan mempelajari musik. 936. Dia sempat menjadi  seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhi-nya, Al-Farabi hijrah ke  Merv untuk mendalami logika Aristotelian serta filsafat. Guru utama  filsafatnya adalah Yuhanna ibn Hailan, seorang Kristen. Dari Ibnu  Hailan-lah dia mulai bisa membaca teks-teks dasar logika Aristotelian,  termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang  Muslim pun sebelumnya.
Beberapa tahun sebelum  kitab-kitab Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Al-Farabi  telah menguasai bahasa Syria dan Yunani. Pada 901 M, bersama sang guru,  Al-Farabi dia mengembara ke Baghdad yang saat itu menjadi kota  metropolis intelektual pada abad pertengahan. Ketika kekhalifahan  Al-Muqtadir (908-932), berkuasa, Al-Farabi sempat pula pergi ke  Konstantinopel untuk memperdalam filsafat dan singgah di Harran.
Ketika 910-920 M, Al-Farabi  kembali ke Baghdad. Di negeri 1001 malam itu, dia terus mengembangkan  ketertarikannya untuk menggali dan mempelajari alam semesta dan manusia.  Ketertarikannya pada dua hal itu membuatnya tertarik untuk menggali  filsafat kuno terutama filsafat Plato dan Aristoteles. Dengan otaknya  yang cemerlang, Al-Farabi membuat terobosan untuk menggabungkan filsafat  Platonik dan Aristotelian dengan pengetahuan mengenai Alquran serta  beragam ilmu lainnya. Beruntung Al-Farabi bisa menimba ilmu dari  sejumlah guru yang mumpuni. Ia belajar filsafat Aristoteles dan logika  langsung dari seorang filosof termasyhur Abu Bishr Matta ibnu Yunus
Dalam waktu yang tak terlalu  lama, kecemerlangan pemikiran Al-Farabi mampu mengatasi reputasi gurunya  dalam bidang logika. Sedangkan tata bahasa Arab di pelajarinya dari  seorang pakar tata bahasa dan linguistik kondang bernama Abu Bakr ibn  Saraj. Selain menguasai filsafat dan bahasa, Al-Farabi juga dikenal  sebagai ilmuwan yang berjasa dan memberi kontribusi dalam berbagai  bidang ilmu seperti, aritmatika, fisika, kimia, medis, astronomi, dan  musik. Akhir tahun 942 M, hengkang dari Baghdad ke Damaskus, karena  situasi politik yang memburuk. Selama dua tahun tinggal di Damaskus,  pada siang hari Al-Farabi bekerja sebagai penjaga kebun. Sedangkan pada  malam hari dia membaca dan menulis karya-karya filsafat. Ia sempat pula  hijrah ke Mesir dan lalu kembali lagi ke Damaskus pada 949 M.
Ketika tinggal di Damaskus untuk  yang kedua kalinya, Al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota  penguasa baru Siria, Saif al-Daulah. Saif al-Daulah sangat terkesan  dengan Al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat  musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Ratusan kitab telah  dihasilkan Al-Farabi. Kehidupan sufi yang dijalaninya membuatnya tetap  hidup sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir  filsafatnya. Ia tutup usia di Damaskus pada 970 M. Amir Sayf ad-Dawla  kemudian membawa jenazahnya dan menguburkannya di Damaskus. Ia  dimakamkan di pemakaman Bab as-Saghir yang terletak di dekat makam  Muawiyah, yang merupakan pendiri dinasti Ummayah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar