STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 09 Agustus 2011

Al-Minhah al-Khairiyyah

Pada tulisan pertama kita telah mencoba untuk merasakan bukti kedigdayaan intelektual syeikh Mahfuzd yang tertuang dalam anotasinya atas karya as-Suyuthi dalam bidang ilmu Hadits. Selanjutnya, kita akan melangkah dan membuktikan kedigdayaannya intelektual syeikh Mahfuzh dalam bidang hadits melalui kitab al-Minhah al-Khairiyyah dan syarh-nya yaitu kitab al-Khil’ah al-Khairiyyah

Kitab al-Minhah al-Khairiyyah merupakan kitab kumpulan hadits. Setidaknya ada 40 hadits yang dihimpun dalam kitab tersebut. Menurut pengakuan Syeikh Mahfuzh, ketika mendengar 22 hadits tsalatsiyat-nya al-Bukhari, yaitu hadits yang antara perawinya dan Nabi saw hanya tiga, yaitu sahabat, tabi’in, dan tabi’ at-tabi’in, dari sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, ia pun kemudian menghimpun 18 hadits lainnya untuk menggenapkan menjadi 40 hadits. Dan semua hadits tersebut selesai dihimpun pada hari Ahad pagi tanggal 16 Ramadhan tahun 1313 H. [al-Minhah al-Khairiyyah, H. 18 dan 75]


Kemudian kitab al-Minhah al-Khairiyyah kemudian diberi anotasi (syarh) sendiri oleh Syeikh Mahfuzh dengan titel al-Khil’ah al-Khairiyyah bi syarh al-Minhah al-Khairiyyah. Syarh ini ditulis langusng setelah menghimpun 40 hadits dan selesai pada Hari Selasa Tanggal 8 Dzulqa’dah tahun 1313 H.

Upaya syeikh Mahfuzh untuk menghimpun 40 hadits sebenarnya bukan hal baru, jauh sebelum dirinya, para intelektual Muslim telah melakukannya. Sebut saja misalnya, Muhyiddin an-Nawawi yang menghimpun 40 hadits dalam satu kitab yang bertitel al-Arba’in an-Nawawiyyah. Dengan demikian apa yang dilakukan Syeikh Mahfuzh pada dasarnya mengikuti para intelektual Muslim pendahulunya.

Masuknya hadits-hadits tsalatsiyyat al-Bukhari yang jumlahnya hanya 22 hadits jelas menjadikan karya Syeikh Mahfuzh memiliki nilai plus dibanding dengan karya Muhayiddin an-Nawawi. Sebagaimana kita tahu, bahwa hadits-hadits tsalatsiyyat al-Bukhari memiliki kedudukan yang sangat tinggi dari segi validitasnya karena kedekatan sanad-nya kepada Nabi saw.

Kitab Hadits pertama yang disebutkan di dalam kitab al-Minhah al-Khairiyyah adalah hadits tentang rahmat: “Bahwa Rasulullah bersabda: “ar-rahimunan yarhamuhum ar-rahman tabaraka wa ta’ala, irahamu man fi al-ardh, yarhamukum man fi as-sama`” (Orang-orang penyayang akan diberi kasih sayang oleh dzat Yang Maha Penyayang tabaraka wa ta’ala. Sayangilah makhluk-makhluk Allah yang ada muka bumi, semoga makhluk-makhluk Allah yang ada di langit akan menyayanginya) [H.R. Ibnu ‘Uyainah]. [al-Minhah al-Khairiyyah, H. 20].

Di antara penjelasan Syeikh Mahfuzh mengenai hadits di atas: Frasa (ar-rahimuna) maksudnya adalah orang-orang yang menyayangi makhluk Allah di muka bumi, seperti sesamanya dan binatang. Frasa (yarhamuhum ar-rahman) maksudnya adalah Allah akan memberikan kebaikan dan karunia kepada mereka. [al-Khil’ah al-Kahiriyyah, H. 27]

Frasa (irahmu man fi al-ardh) maksudnya adalah sayangilah makhluk-Nya di muka bumi, yang mampu kamu sayangi dengan kasih sayangmu yang selalu berubah-rubah, baru dan diciptakan Allah swt. Frasa (yarhamukum) menurut Syeikh Al-Islam di baca rafa` adalah kalimat do’a (jumlah du`aiyyah) tidak dibaca jazm (yarhamkumi) sebagai jawab dari kata kerja perintah irhamu (jawab al-amr). Menurut sebagian ulama ada dua pendapat. Pendapat pertama dibaca rafa’ (yarhamukum), sedang pendapat kedua dibaca rafa` (yarhamkum). Tetapi pendapat pertama adalah yang lebih utama karena do`anya Nabi saw sudah pasti diterima. [al-Khila’ah al-Khairiyyah, H. 28]

Frasa (man fi as-sama`) artinya adalah rahmat seluruh penduduk langit di mana rahmatnya lebih banyak dan agung dibanding dengan penduduk bumi. Dan yang dimaksudkan dengan penduduk langit adalah para malaikat. Sedang pengertian rahmat mereka (penduduk langit) ialah mendoakannya mereka dengan kasih sayang dan memintakan ampunan kepada Allah untuk para penyayang sebagaimana firman Allah: wa yastagfiruna liman fi al-ardh “dan para mereka (para malaikat) memohonkan ampunan bagi orang-orang yang ada di muka bumi” (Q.S. asy-Syura: 5) [al-Khil’ah al-Khairiyyah, H. 28].

Hadits-hadits tsalatsiyyat-nya al-Bukahri baru kita jumpai pada urutan hadits ke sembilan sampai urutan hadits ke 30. Semuanya berjumlah 22 hadits, dan inilah yang menjadikan kelebihan 40 hadits kumpulan Syeikh Mahfuzh yang dituangkan di dalam kitab yang diberi nama al-Minhah al-Khairiyyah dan menjadi tema sentral dari kitab tersebut.

Contoh hadits tsalatsiyyat-nya al-Bukhari adalah hadits yang berbunyi: “man yaqul ‘alayya ma lam aqul, falyatabawwa` maq’adagu min an-nar” (Barang siapa yang mengatakan atasnamaku sesuatu yang tidak pernah aku katakan, maka niscaya tempatnya adalah neraka). [al-Minhah al-Kahiriyyah, H. 36].

Menurut syaikh Mahfuzh, orang tersebut tempatnya adalah neraka disebabkan kelancanganya untuk menentang syariat dan pemiliknya. Lantas, bagaimana jika seseorang yang alim menukil makna perkataan Nabi saw tetapi dengan perkataan yang bukan perkataannya? Dalam hal ini, Syeikh Mahfuzh merujuk kepada pendapat al-Qisthalani yang mengatakan: “Jika ada seorang alim menukil makna perkataan Nabi saw dengan perkataan yang tidak sama dengannya, tetapi maknanya sesuai dengan makna perkataan Nabi, maka menurut para muhaqqiq diperbolehkan”. [al-Khil’ah al-Fikriyyah, H. 134].

Sedangkan hadits terakhir atau yang ke 40 yang dihimpun syeikh Mahfuzh ialah hadits riwayat Abu Dawud yang berbunyi: “man kana akhiru kalamihi la ilaha illallah, dakhala al-jannah” (Barang siapa yang akhir perkataannya adalah la ilaha illallah, maka akan masuk surga). [al-Minhah al-Khairiyyah, H. 74].

Tulisan singkat ini jelas tidak bisa menggambarkan keseluruhan kandungan kedua kitab tersebut. Tetapi hemat saya tulisan singkat ini bisa dijadikan semacam pengantar untuk memasukinya dan merasakan kedigdayaan intelektual sang syeikh. Salam..

Tentang Kitab :
Judul : al-Minhah al-Khairiyya
Penulis : Syeikh Mahfuzh at-Termasi
Penerbit : Departemen Agama RI
Cet. : Pertama, th. 1429 H/2008 M
Tebal : 82 halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar