STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 09 Agustus 2011

ath-Thuruq al-Hukmiyyah fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah

Adalah Ibn Qayyim al-Jauziyah seorang fakih dan teolog Hanbali yang tak bisa dipandangan sebelah mata. Sebab, ia telah memberikan banyak kontribusi pada dunia pemikiran Islam. Hal ini dibuktikan dengan banyak karya yang telah lahir dari tangan sucinya. Seperti ‘Ilam al-Mauqi’în, ar-Ruh, Ahkam Ahl adz-Dzimmah, ath-Thibb an-Nabawiy, Zad al-Ma’ad fi Hady al-Khair al-‘Ibad, ath-Thuruq al-Hukmiyyah fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah, dan lain-lain.

Nama lengkap Ibn Qayyim al-Jauziyyah adalah al-Imâm Syams ad-Dîn Abû ‘Abdillah Muhammad ibn Abû Bakar al-Hanbaliy ad-Dimisyqiy. Tapi kemudian lebih dikenal dengan nama Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Ia lahir di Damaskus 691 H, dan wafat 751 H.
Pada umur enam belas tahun Ibn Qayyim belajar pada Ibn Taimiyyah, dan menjadi muridnya yang paling cerdas dan paling terkenal. Karena kecerdasanya inilah kemudian ia menjadi orang yang meneruskan pemikiran-pemikiran gurunya. Di samping ia menjadi murid Ibn Taimiyyah, ia juga pernah menjadi murid seorang ulama yang terkenal pada zamannya, yaitu Zain ad-Dîn Ibrâhîm ibn Muhammad asy-Syairazî.


Karena alasan-alasan politik Ibn Qayyim dimasukan ke dalam penjara bersama gurunya, Ibn Taimiyyah di Damaskus. Sampai Ibn Taimiyyah wafat, ia belum juga dibebaskan. Di penjara ia mengalami penyiksaan sebagaimana yang dialami gurunya. Selama dalam penjara, waktunya dihabiskan untuk membaca Al-Quran dan merenungi maknanya sehingga dari pembacaan dan perenungan terhadap Al-Quran ia memperoleh pengetahuan yang amat banyak. 

Dari sekian banyak karya Ibn Qayyim yang banyak memberikan pengaruh pada dunia pemikiran Islam pada saat itu bahkan mungkin sampai sekarang adalah dalam bidang fikih. Hal ini memang sangat wajar karena ia adalah seorang faqih dari Madzhab Hanbali. Sehingga di Damaskus ia menjadi seorang fâkih yang sangat dihormati dan segani. Dan salah satu bukunya dalam bidang fikih yang terkenal adalah ath-Thuruq al-Hukmiyyah fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah.

Buku ini sebagian besar berisi tentang hukum-hukum yang sering banyak dibicarakan oleh para hakim Islam, dan tak ketinggalan pula dalam buku ini kita akan disuguhkan sebagian keputusan-keputusan hukum yang pernah dibuat khulafâ` ar-rasyidîn, dan khalifah-khalifah setelahnya.

Dalam buku ini ada satu hal yang menarik untuk dicermati, yaitu ketika Ibn Qayyim mengutip pernyataan Imam Syafii, “la siyasata illa ma wafaqa asy-syar” (Tak dikatakan siyâsah kecuali sesuai dengan syara'). Menurut Ibn Qayyim, jika yang dimaksud dengan pernyataan Imam Syafi'i, “illa ma wafaqa asy-syara'” adalah “tidak bertentangan dengan apa yang diucapakan oleh syara maka ini adalah benar. Tetapi jika penyataan tersebut diartikan “tak ada siyâsah kecuali sebagaimana yang dikatakan secara tekstual oleh syara” (lâ siyasah illa ma nathaqa bihi asy-syara’), maka pemahaman seperti itu adalah keliru [H. 17].

Dalam konteks ini saya melihat ketidaksetujuan Ibn Qayyim atas formalisasi syariat Islam. Hal ini jelas terlihat ketika Ibn Qayyim menganggap keliru orang yang memahami bahwa tak ada siyasah kecuali apa yang dikatakan secara tekstual oleh syara. Lebih lanjut bisa dikatakan bahwa pemahaman “tak ada siyasah kecuali apa yang dikatakan secara tekstual oleh syara” sama dengan menganggap keliru para sahabat. Sebab, dalam prakteknya sering kali para sahabat itu menabrak ketentuan tekstual syara.

Misalnya, ketika Umar menolak untuk memberikan zakat pada muallafatu qulubuhum, dan pembakaran mushaf yang dilakukan khalifah Usman ibn Affan. Kedua keputusan yang diambil oleh kedua khalifah tersebut secara kasat mata menabrak ketentuan tekstual syara. Tetapi harus diingat bahwa apa yang dilakukan mereka berdua didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan umat Sedang kemaslahatan umat merupakan tujuan utama diturunkannya syari'at. Hal ini sebagaimana ditegaskan sendiri oleh Ibn Qayyim dalam kitabnya yang lain, “Bahwa syariat dibangun di atas prinsip kemaslahatan hamba…” [I’lam al-Mauqi’in, jilid, III, hlm. 14].

Jadi, pada dasarnya apa yang dilakukan kedua khalifah tersebut tidak bertentangan dengan syariat meski secara lahiriah menabrak bunyi teks yang ada. Dan kebijakan kedua khalifah tersebut dibuat dengan tidak melihat bunyi teks yang ada. Tetapi dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada di balik teks itu sendiri, yaitu kemaslahatan publik.

Dengan demikian siyâsah -sebagaimana pernyataan Ibn ‘Aqîl yang dikutip oleh Ibn Qayyim- adalah kebijakan yang lebih mengedepankan kemaslahatan dan menjauhkan kehancuran publik, meskipun kebijakan tersebut tidak pernah dibuat Rasulullah dan tak dijelaskan wahyu” (as-siyasah ma kana fi’lan yakunu ma’ahu an-nas aqrab ila al-shalah wa ab’ad ila al-fasad wa in lam yadha’hu ar-rasul wa la nazala bihi wahy). [H. 17].

Lantas, apa yang dimaksudkan dengan syariat itu sendiri? Bagi Ibn Qayyim syariat adalah keadilan. Sebab, Allah mengutus para rasul dan menurunkan wahyu-Nya untuk menegakkan keadilan di bumi dan langit. Jadi, keadilan termasuk dari inti syariat.

Karenanya, lebih lanjut Ibn Qayyim mengatakan, “Apabila tanda-tanda keadilan dan wajahnya telah tampak dengan jelas dengan jalan apapun, maka di situlah syariat Allah dan agama-Nya”. [H. 18]. Dalam kitab I’lam al-Mauqi’in, Ibn Qayyim bahwa syariat bukan hanya totalitas keadilan, tetapi juga kasih sayang, dan totalias kemaslahatan. Dan segala hal yang keluar dari nilai-nilai keadilan, kasih sayang dan kemaslahatan bukan termasuk dari syariat.

Jelas sudah bahwa penegakan keadilan merupakan inti dari syariat itu sendiri. Dan keadilan apapun alasannya harus tegakkan di bumi karena ia merupakan bagian dari misi yang diemban para rasul. Singkat kata, formalisasi syariat tidaklah penting, sebab yang terpenting adalah penegakkan nilai-nilai yang dikandung syariat itu sendiri.

Satu hal yang perlu di ingat adalah bahwa semua hukum-hukum yang dijelaskan dalam buku ini adalah merupakan hasil ijtihad. Sehingga keputusan hukum yang telah diambil bukan merupakan keputusan final. Dan yang terpenting bagi kita adalah menganbil semangat yang melatar belakangi munculnya keputusan-keputusan hukum tersebut. Yaitu, semangat keadilan, kemaslahatan, dan kasih sayang.  

Rasanya anda tak akan pernah kecewa jika membaca secara tuntas buku ini, sebab buku ini merupakan buku yang sangat bagus yang dtulis dari kalangan Hanbali dan di dasari dengan semangat keadilan, kemaslahat, dan kasih sayang. Selamat membaca…

Tentang Buku
Judul     : ath-Thuruq al-Hukmiyyah fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah
Penulis     : Ibn Qayyim al-Jauziyyah
Penerbit : Dar al-Hadîts-Kairo
Tahun       : 1423 H/ 2002 M
Tebal      : 286 hlm. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar