STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 09 Agustus 2011

KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN KONFLIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Dalam Islam istilah kepemimpinan dikenal dengan kata Imamah, sedangkan kata yang terkait dengan kepemimpinan dan berkonotasi pemimpin dalam Islam ada tujuh macam, yaitu Khalifah, Malik, Wali, ‘Amir dan Ra’in, Sultan, Rais, dan Ulil ‘amri.[1] Imam dan khalifah dua istilah yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pemimpin. Kata imam diambil dari kata amma-ya’ummu, yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Kata khalifah berakar dari kata khalafa yang pada mulanya berarti “di belakang.” Kata khalifah sering diartikan “pengganti” karena yang menggatikan selalu berada di belakang, atau datang sesudah yang digantikannya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa Al-Qur’an menggunakan kedua istilah ini untuk menggambarkan ciri seorang pemimpin, ketika di depan menjadi panutan, dan ketika di belakang mendorong, sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh yang dipimpinnya.[2] A. DASAR-DASAR KEPEMIMPINAN ISLAM
Ada beberapa dasar kepemimpinan dalam Islam yang harus dijadikan landasan dalam berorganisasi, di antarnya ialah;
1) Tidak mengambil orang kafir atau orang yang tidak beriman sebagai pemimpin bagi orang-orang muslim karena bagaimanapun akan mempengaruhi terhadap kualitas keberagamaan rakyat yang dipimpinnya, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an; Surat An-Nisaa: 144;
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mangambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mu’min, apakah kamu ingin menjadikan hal itu sebagai alasan bagi Allah untuk menimpakan siksaan yang nyata”.
2) Tidak mengangkat pemimpin dari orang-orang yang mempermainkan Agama Islam, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Maidah: 57;

“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadikan orang-orang yang memperolok-olokan dan mempermainkan agama kamu dari kaum yang diberi Kitab sebelum kamu dan orang-orang kafir sebagai pemimpin, dan berbaktilah kepada Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman.”
3) Pemimpin harus mempunyai keahlian di bidangnya, pemberian tugas atau wewenang kepada yang tidak berkopenten akan mengakibatkan rusaknya pekerjaan bahkan organisasi yang menaunginya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw;
“Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya”. (H. R. Bukhari dan Muslim ).[3]
4) Pemimpin harus bisa diterima (acceptable), mencintai dan dicintai umatnya, mendoakan dan didoakan oleh umatnya. Dan apabila bawahan melakukan kesalahan -meskipun berulang-ulang- tetap ditanggapi dengan bijaksana, berhati dingin dan tidak dengan laknatan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untuk kamu. Seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknati mereka dan mereka melaknati kamu.” ( H.R. Muslim).
5) Pemimpin harus mengutamakan, membela dan mendahulukan kepentingan umat, menegakkan keadilan, melaksanakan syari’at, berjuang menghilangkan segala bentuk kemunkaran, kekufuran, kekacauan, dan fitnah, sebagaimana Firman Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, Surat Al-Maidah: 8:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan jangalah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dari hasil penelaahan para pakar yang dirangkum dari Al-Qur’an dan Hadits, dikeketemukan ada empat sifat yang harus dipenuhi oleh para Nabi, yang pada hakekatnya adalah pemimpin ummatnya, yaitu; (1) Al-Shidq, yakni kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap serta berjuang melaksanakan tugasnya. (2) Al-Amanah, atau kepercayaan yang menjadikan dia memelihara sebaik-baiknya apa yang diserahkan kepadanya, baik dari Allah maupun dari orang-orang yang dipimpinnya, sehingga tercipta rasa aman bagi semua pihak. (3) Al-Fathanah, yaitu kecerdasan yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul seketika sekalipun. (4) At-Tabligh, yaitu penyampaian yang jujur dan bertanggung jawab, atau dapat diistilahkan dengan keterbukaan.[4]
Dari empat sifat yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits tersebut para ulama (Imam Ghazali dkk) memaparkannya lagi sehingga menjadi dua struktur kriteria yang harus dimiliki pemimpin agar bawahannya taat tanpa kekerasan dan penuh dengan tanggung jawab: (1)Struktur maqam (derajat), dan (2) Struktur Ahwal (keadaan). Berikut penjelasannya:
A.1. Struktur Maqomat (derajat)
1. Taubah: Penyesalan diri terhadap segala perilaku jahat yang telah dilakukan di masa lalu (upaya mengosongkan diri dari segala tindakan yg tidak baik dan mengisinya dengan yg baik).
Dalam hal kepemimpinan, hal ini disebut dengan retrospeksi. Pemimpin meminta kepada bawahannya untuk memberikan input sebanyak-banyaknya, karena bisa jadi seorang bawahan yang melakukan kesalahan berulang-ulang adalah kesalahan pemimpin juga, mungkin kurangnya pelatihan, atau kurang jelasnya bahasa dan intruksi pimpinan terhadap bawahan.
2. Wara: Meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau belum jelas hukumnya (syubhat).
Dalam hal kepemimpinan, hal ini dipraktekkan dengan sifat pemimpin yang menjauhi sifat buruk prasangka (Su’u Zhann). Adakalanya maksud bawahan melakukan hal tersebut adalah untuk menyenangkan hati pimpinan, akan tetapi karena keterbatasan ilmu dan pengalaman yang dia punya maka dia berbuat sesuatu tidak pada koridornya.
3. Zuhud: Kosongnya tangan dari kemilikan dan kosongnya hati dari pencarian.
Dalam hal kepemimpinan, hal ini diterjemahkan dengan tidak mencari kesalahan bawahannya. Yang dicari adalah problem solving yang tepat untuk mengatasinya.
4. Faqr: Pengakuan diri tidak mempunyai apa-apa segala sesuatu milik Allah bahkan dirinyapun milik Allah
Dalam hal kepemimpinan, pemimpin diwajibkan untuk merendahkan hatinya di seluruh bawahannya. Adalah segala sesuatunya berasal dari Allah dan atas kehendak-Nya pula segala sesuatu itu terjadi.
5. Shabr: memilih untuk melakukan perintah Agama ketika datang desakan nafsu.
Pemimpin muslim yang melihat bawahannya melakukan kesalahan berulang-ulang tidaklah emosi dan penuh cinta serta kasih sayang ibarat ayah yang menasehati anaknya dikala melakukan kesalahan berulang-ulang dihadapi dengan kesabaran. Karena bersabar dengan bawahan lama lebih baik dari pada mencari bawahan baru yang belum tentu lebih baik dan berpengalaman.
6. Tawakkal : Menyerahkan dengan sepenuhnya tidak ada keraguan dan kemasygulan tentang apapun yang menjadi keputusan Allah
Pemimpin setelah ikhtiar melakukan hal nomor 1 sampai 5 terhadap pegawainya maka wajiblah ia bertawakal, artinya diserahkan sepenuhnya kepada Allah (tentunya dengan pengawasan pemimpin) segala permasalahan bawahan yang bermasalah tersebut dengan diberikan perjanjian (Surat Peringatan dll)
7. Ridla: Kondisi kejiwaan yang senantiasa menerima dengan lapang dada atas segala karunia yang diberikan atau bala yang ditimpakan kepadanya
Pemimpin harus Ridha (rela) dengan keputusan Allah tentang pegawai tersebut, apakah dia bisa berubah atau tidak dari kesalahannya, apabila dia bisa berubah maka pemimpin mendapat dua pahala, pahala pertama dari usahanya (taubah, wara’, zuhud, faqr, shabr, tawakkal, ridha) dan pahala kedua adalah keberhasilannya mengubah sikap bawahannya tersebut. Namun apabila bawahannya tidak bisa berubah maka pimpinanpun harus siap atas ujian yang diberikan Allah dengan mem PHKnya (tentunya setelah diberikan surat peringatan). PHK adalah jalan terakhir dan tersulit yang harus dilakukan Pimpinan setelah melakukan ikhtiar-ikhtiar sebelumnya.
A.2. Struktur Ahwal (keadaan)
1. Muraqabah: Kondisi kejiwaan yang sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada.
Artinya pemimpin haruslah memaksimalkan tugas supervisor yang menjadi bawahannya untuk melihat apakah ada lubang yang harus ditambal pada manajerialnya
2. Mahabbah (cinta): mengandung arti keteguhan dan kemantapan, menurut Ibnu al-’Arabi “bertemunya dua kehendak Tuhan dan kehendak manusia.
Artinya pimpinan dalam menghadapi bawahannya haruslah dipenuhi dnegan cinta dan kasih sayang. Saya yakin, sebodoh dan secerobohnya bawahan namun apabila dihadapi dengan cinta dan kasih sayang niscaya dia akan berubah.
3. Khauf (takut): Takut terhadap kejadian yang akan datang yaitu datangnya sesuatu yang dibenci dan sirnanya sesuatu yang dicintai.
Pimpinanpun harus takut salah (tidak ceroboh) dalam mengahadapi bawahan dan dalam mengambil keputusan, karena sekali pemimpin salah mengambil keputusan maka sangat fatal akibatnya.
4. Raja(harapan): keterkaitan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang.
Pimpinan dalam menghadapi bawahannya haruslah mempunyai harapan yang positif, jangan karena dia telah berapa kali melakukan kesalahan lantas pimpinan mencapnya sebagai ceroboh sehingga tidak memberikan kepercayaan sedikitpun padanya.
5. Syauq (rindu): luapan perasaan seorang individu yang mengaharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang dicintai.
Artinya seorang pemimpin haruslah ada rasa kangen terhadap bawahannya yang dengan ikhlas membantunya selama ini, hal ini bisa diungkapkan pimpinan dengan memberikan hadiah-hadiah, THR, reward, bonus gaji terhadap seluruh bawahannya, khususnya yang berprestasi.
6. Uns: kondisi kejiwaan di mana seseorang merasakan kedekatan dengan Tuhan, seorang yang ada pada kondisi uns akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan serta sukacita yang meluap-luap.
Artinya, pimpinan haruslah mengerti psikologi bawahan, apa sebab dia menjadi sukses dan gagal (mengulangi kesalahan). Apakah ada faktor keluarga, keuangan atau keduniawian? Maka hal ini sangatlah mudah untuk diatasi, yakni dengan adanya sedekah dari pimpinan yang dapat menarik segala penyakit dan kesialan (Hadits Nabawi). Namun yang sulit adalah apabila kegagalan bawahan berawal dari garis vertikal antara pegawai dan Allah, seperti meninggalkan shalat, zakat, puasa, dan lainnya. Maka adalah kewajiban pimpinan pula untuk memperhatikan psikologis ruhani bawahan yang ada di bawah managerialnya. Seperti, diadakan I’tikaf bersama pegawai dan pimpinan, shalat bersama pegawai dan pimpinan, buka puasa bersama pegawai dan pimpinan, zakat bersama pegawai dan pimpinan terhadap keluarga pegawai yang membutuhkan, hatta haji/umrah bersama pegawai dan pimpinan.
7. Tuma’ninah: Keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal dapat mempengaruhinya.
Apabila nomor 6 (uns) dilaksanakan maka niscaya antara pimpinan dan pegawai tidak ada dinding pemisah, dan tampaklah kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan serta sukacita yang meluap-luap dari para pegawai yang berefek pada kinerja pegawai, dan tentunya akan menimbulkan keteguhan dan ketentraman hati.
8. Musyahadah: kehadiran al-haqq dengan tanpa dibayangkan.
Apabila tahap/nomor 1 s/d 7 telah dilaksanakan niscaya pimpinan dan pegawai akan merasa musyahadah (kehadiran Allah), dan ini akan tampak dari kedisiplinan pimpinan dan pegawai dalam hal vertikal (hubungan makhluk dengan Allah, seperti ibadah yang baik, dll) ataupun horizontal (hubungan makhluk dengan makhluk, seperti berinteraksi sesama pekerja dan pegawai dengan cara profesional dan proporsional)
9. Yaqin: merupakan perpaduan antara ‘ilm al-yaqin, ‘ain al-yaqin dan haqq al-yaqin, yaitu kepercayaan yang kuat dan tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki.
Dan apabila tahap 1 s/d 8 telah terlewati maka akan timbul keyakinan bahwasanya segala sesuatunya (jodoh, rizki dan maut) ada di tangan Allah dan pastilah Allah akan memberikan yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya yang saleh. Amin…..
Wallahu A’lam Bish Shawab
Foot Note
—————
[1] Abdurrahman, M., Dinamika Masyarakat Islam h. 25
[2] Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h. 47
[3] Al-Kasymiri, Faydh al-Bari Syarh al-Bukhari, vol. I, h, 232. Dan Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, vol. I, h. 103 dan vol. XX, h. 149.
[4] Shihab., Loc.Cit.,h. 47-48
BIBLIOGRAFI
————-
Abdurrahman, M., Dinamika Masyarakat Islam (dalam wawasan fikih), Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Al-Kasymiri, Faydh al-Bari Syarh al-Bukhari, Beirut: Maktabah Misykah al-Islamiyah, t.t.
Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah Al-Ja’fi Abu ‘Abdillah al-Bukhari,Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar el-Qalam, 1987 M
Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar