STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 09 Agustus 2011

Maqashid asy-Syariah al-Islamiyyah

Adalah Muhammad Thahir bin Asyur salah seorang intelektual Muslim kelahiran Tunisia yang sangat disegani dan dihormati. Ia lahir pada tahun 1879 dan wafat tahun 1973. Pada zamannya, Asyur dikenal sebagai seorang ulama yang progresif dalam bidang hukum Islam, terutama yang terkait dengan ilmu Maqashid asy-Syariah. Berkat pengembangannya terhadap ilmu tersebut, ia dianggap sebagai ulama penerus ide Imam Syathibi yang nota benenya adalah Bapak Maqashid asy-Syariah.

Asyur menuangkan gagasan-gagasan segarnya dalam pelbagai karya. Salah satunya adalah kitab Maqashid asy-Syariah, yaitu sebuah buku yang mencoba untuk membahas secara tuntas gagasan tentang Maqashid asy-Syariah sebagai sebuah acuan untuk meng-isthimbath hukum Islam. Dibandingkan dengan al-Muwafaqat karya Imam Syathibi, hemat saya buku lebih terfokus dan luas dalam menjelaskan konsep Maqashid asy-Syariah. Hal ini wajar, mengingat buku ini adalah pengembangan dari konsep Maqashid asy-Syariah-nya Imam Syatibi.  
Buku ini terdiri dari satu pengantar dan tiga bab. Bab pertama, penetapan Maqashid asy-Syariah, keniscayaan seorang ahli hukum Islam (faqih) untuk mengetahuinya, dan cara menetapkan serta level-levelnya. Kedua, tujuan syari'ah yang umum (Maqashid asy-Syari'ah al-Ammah). Ketiga, tujuah syariah yang khusus (Maqashid asy-Syariah al-Khashshah) yang berkait kelindan dengan pelbagai macam pembahasan muamalah atau yang disering disebut dengan bab fiqh muamalah.

Istilah tasyri’ dalam buku ini tidak dimaksudkan oleh Asyur sebagai segala sesuatu yang disyariatkan secara mutlak, sehingga tidak termasuk di dalamnya apa yang disunahkan dan dimakruhkan. Tetapi yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah aturan atau undang-undang bagi umat (qanun li al-ummah). [H: 7].

Bagi Asyur, pembahasan tentang Maqashid asy-Syariah bukanlah hanya sebagai pemuas nalar, tetapi memiliki tujuan praktis bagi iklim pemikiran dan kehidupan sosial umat Islam saat ini. Sebab, tujuannya adalah membantu umat Islam dengan memberikan aturan atau undang-undang terhadap pebagai kepentingan dan kemaslahatan yang ada ketika munculnya pelbagai kasus yang baru dan komplek, Di samping untuk memutuskan satu pendapat hukum ketika terjadi perbedaan hujjah setiap madzhab dan terjadi perdebatan sengit di antara para ulama. [H: 3].

Upaya Asyur mengangkat persoalan Maqashid asy-Syari'ah menjadi sangat penting karena persoalan ini dalam sejarah pengetahuan Islam telah diabaikan. Faktanya, hanya sedikit intektual Islam yang menaruh perhatian kepada ide tentang Maqashid asy-Syariah. Padahal kaidah-kaidah yang terkait dengan hal itu yang telah dibangun oleh para ulama banyak bertebaran tetapi tertutupi oleh hal-hal partikular (juziyyat) yang dijadikan sebagai dalil. Parahnya, kaidah-kaidah tersebut telah menjauh dari ingatan atau memori orang yang terkadang memanfaatkanya kala membutuhkan.

Dengan demikian, tujuan pembahasan tentang Maqashid asy-Syariah adalah untuk menghindari kesulitan ber-hujjah yang acap kali menimpa para ulama yang saling berselisih dalam persoalan yang terkait dengan syari'ah. Sebab, hujjah mereka tidak mencapai pada petunjuk yang pasti (al-adillah adh-dharuriyyah) atau mendekati kepastian. Berbeda dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan rasional dan para filosof, di mana dengan hujjah logis dan falsafinya mereka berhasil mencapai pada petunjuk yang pasti dan menyakinkan [H: 3].

Akan tetapi gagasan Asyur untuk menjadikan Maqashid asy-Syariah-nya sebagai acuan untuk meng-isthimbath-kan hukum masih menyisakan dua persoalan yang harus dijawab. Pertama, bukankah Ushul Fiqh telah menjelaskan tentang prinsip-prinsip ijtihad dan kaidah-kaidah pengambilan hukum (isthimbat al-ahkam) dan cara mendekati teks-teks suci?

Kedua, apakah  tidak cukup upaya pengembangan pelbagai kaidah penetapan hukum dan penetapan pelbagai masalah yang didasarkan prinsip Maqashid asy-Syariah, yang telah dilakukan oleh para imam, seperti Izzuddin Abdussalam dengan Qawaid al-Ahkam-nya dan al-Qarafi dengan al-Furuq-nya? Bahkan Imam Syathibi secara khusus telah mendidikasikan dirinya untuk menjelaskan konsep Maqashid asy-Syariah sebagai acuan untuk berijtihad melalui karyanya yang bertitel Unwan at-Ta’rif bi Ushul at-Taklif atau yang kita kenal dengan nama al-Muwafaqat? [Muhammad Thahir al-Maisawi, asy-Syeikh Muhammad ath-Thahir bin al-Asyur wa al-Masyru’ alladzi lam Yaktamil, hlm. 66-68].

Pertanyaan pertama dijawab oleh Asyur, bahwa sebagian besar pembahasan yang terdapat dalam Ushul Fiqh adalah masih dipeselisihkan oleh para pengkaji. Atau dengan kata lain, di antara mereka telah terjadi perselisihan terus menerus dalam persoalan-persoalan cabang (furu’) karena perbedaan kaidah-kaidah Ushul. Atau pada dasarnya perbedaan yang terjadi dalam Ushul Fiqh dikarenakan kaidah-kaidah Ushul tersebut telah dicabut dari persoalan-persoalan cabang-fiqh (al-furu’ al-fiqhiyyah). Hal ini mengingat karena Ushul Fiqh dikodifikasikan setelah kodifikasi fikih. [H: 3].

Selanjutnya, Asyur juga menegaskan sebagian besar masalah yang terdapat dalam Ushul Fiqh tidak memperdulikan hikmah syariah dan tujuannya, tetapi hanya sekedar berputar-putar pada wilayah pengambilan hukum dari lafadz asy-Syari melalui kaidah-kaidah kebahasaan yang jelas-jelas memungkinkan bagi orang yang menguasainya untuk melepaskan furu’ dari hikmah dan tujuan syariah. [H: 4].

Pengambilan keputusan hukum yang tidak memperdulikan aspek Maqashid asy-Syariah jelas akan berakibat pada adanya hukum yang terkesan rigid. Yang lebih fatal lagi, menyebabkan agama akan kehilangan semangat kemanusiaannya. Padahal agama diturunkan Tuhan demi kepentingan dan kebaikan manusia itu sendiri.

Sedang pertanyaan kedua dijawab oleh Asyur, bahwa harus diakui jika Imam Izzuddin Abdussalam dan al-Qarafi adalah dua orang intelektual yang selalu berusaha mendasarkan (ta’sis) konsep Maqashid asy-Syariah. Tetapi keduanya belum sampai pada tujuannya.

Sedang di mata Asyur Imam Syathibi adalah satu-satunya orang yang menulis dengan baik konsep Maqashid. Namun, dalam banyak hal Imam Syathibi terlalu jauh dalam menjelaskannya. Akibatnya, apa yang disampaikan terihat jauh dari tujuannya. Meskipun demikian, menurut Asyur, Imam Syathibi adalah orang yang telah banyak memberikan sumbangsih pemikirannya dalam bidang ilmu Maqashid. [7].

Demikianlah jawaban yang dilontarkan Asyur terjadap dua pertanyaan di atas. Jawaban tersebut juga menunjukkan sikap dan pengakuannya atas khazanah klasik. Ia tidak melupakan sumbangsih pemikiran para imam dalam bidang ilmu Maqashid, tetapi ia juga tidak begitu saja menerima semua pemikiran mereka. Ia juga tidak hanya mengkritik mereka tetapi juga mengembangkan pemikiran mereka.

Dan yang terakhir, ada hal yang penting yang dingatkan oleh Asyur, yaitu bahwa pembahasan ilmu Maqashid terkait erat dengan pembahasan lain yang sangat vital, yaitu pembasahan tentang nidzam al-ijtima’ al-islamiy (peraturan masyarakat Islam).

Ia melihat bahwa ulama yang bergelut dengan persoalan nizham tersebut sangat membutuhkan kaidah-kiadah yang lebih luas cakupannya dari pada kaidah-kaidah ahli Ushul Fiqh. Kaidah-kaidah tersebut mutlak dibutuhkan untuk mendefinisikan prinsip-prinsip yang mencakup seluruh universalitas-universalitas ajaran Islam, yang bisa memberikan petunjuk kepada para mujtahid serta menjaga mereka dalam memproses atau menetapkan hukum.   [Muhammad Thahir al-Maisawi, asy-Syeikh Muhammad ath-Thahir bin al-Asyur wa al-Masyru’ alladzi lam Yaktamil, hlm. 67-68].

Tentang Buku
Judul      : Maqashid asy-Syariah al-Islamiyyah
Penulis    : Muhammad ath-Thahir bin al-Asyur
Penerbit: Mesir-Dar as-Salam
Cet.    : Pertama, thn. 1426 H / 2005 M
Tebal      : 214 halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar