Kemajuan suatu peradaban dalam sejarah umat manusia tidak mungkin terwujud apabila peradaban tersebut menutup diri dan tidak mau berinteraksi dengan peradaban yang lain. Hadirnya islam sebagai sebuah peradaban yang jaya, juga diyakini merupakan buah dari keterbukaan islam.
Secara umum epistomologi Islam menurut Muhammad Abid al-Jabiri (1990:556), memilki tiga kecenderungan yang kuat, yaitu:
Pertama, bayani yaitu epistomologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu (teks) atau penalaran dari teks.
Kedua, ‘irfani yaitu epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak.
Ketiga, burhani yaitu epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal.
Ketiga kecenderungan epistemologis Islam diatas, secara teologis mendapatkan justifikasi dari Al-Qur’an. Di dalamnya banyak ditemukan ayat yang berbicara tentang pengetahuan, dan perintah untuk menggunakan akal. Sekalipun demikian, tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkapkan tentang pengetahuan bersumber pada intuisi.
Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana muslim padaabad keemasan Islam, antara abad IX dan XII. Semangat mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan jatuhnya kekaisaran Romawi, dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam.
Setelah masuk abad XII M, pergumulan pemikiran kaum muslimin sedikit mulai meninggalkan tradisi pelacakan dalam filsafat, khususnya filsafat sains, dan lebih mengembangkan kesadaran mistis dan asketisme atau lari dari dua materi atau kesadaran kosmis menuju pada dunia sufisme.
Dalam hal ini, fanatisme mazhab atau pemikiran tertentu sangat kental, dan sering kali tidak toleran terhadap kelompok yang lain. Adanya pluralitas mazhab pemikiran dalam Islam dianggap sebagai ‘bencana’, dan semangat klaim kebenaran menguat, bahwa kelompoknyalah yang paling benar. Islam kemudian direduksi sebatas persoalan-persoalan ritual semata, atau sekedar ajaran-ajaran moral yang melangit. Pada fase inilah umat Islam menuju gerbang awal kemunduran dan redupnya mercusuar peradabannya.
Sebenarnya Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari ketiga epistemologis yang ada dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berfikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir ‘irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio (burhani) secara optimal.
Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi burhani, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
B. Perkembangan Awal Pemikiran dalam Islam
Proses pembentukan pemikiran itu umumnya diawali dengan peristiwa-peristiwa, misalnya ada persentuhan pendapat, agama, kebudayaan atau peradaban antara satu dengan yang lainnya. Persentuhan tersebut kadangkala menimbulkan ketidaksesuaian, benturan, tapi juga sering terjadi kecocokan. Yang jelas, proses perkembangan pemikiran muslim, terdapat dalam tiga fase dan erat kaitannya dengan sejarah islam. Fase tersebut adalah :
Pertama, pemikiran/persoalan pertama muncul dalam Islam pada saat wafatnya Nabi Muhammad Saw. Pasca Rasulullah, mulailah periode Khulafa al-Rasyidun mengalami fase baru. Pada periode ini muncul persoalan baru yang diselesaikan dengan pemikiran. Anshar dari suku Khazraj sudah kumpul di Tsaqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu mereka hamper memilih Sa’ad sebagai khalifah dengan alas an, merekalah yang menolong kaum Muhajirin saat hijrah ke Madinah.
Disisi lain, golongan Muhajir yang mengklaim bahwa merekalah yang berhak untuk menduduki jabatan kekhalifahan. Mendengar berita dan kejadian di Tsaqifah Bani Sa’idah, Abu bakar dan Umar Bin Khatab segera tiba disana, yang semula berada didekat Rasulullah. Dua kelompok tersebut akhirnya memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama.
Menjelang wafatnya Abu Bakar, ditunjuklah Umar Ibn Khattab sebagai penggantinya. Setelah Umar wafat, kemudian pergolakan politik selanjutnya diwarnai dengan kegagalan Ali Bin Abi Thalib dalam pemilu. Saat itu yang memenangkan adalah Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga. Hal ini mengakibatkan adanya pergolakan politik masa kekhalifahan Ali dan pada gilirannya menimbulkan perang Jamal antara entara Ali dengan Aisyah dan perang Shiffin antara Ali dan Muawiyah.
Adanya kasus perang Siffin menjadi factor utama munculnya golongan Khawarj. Pergolakan politik itu diruncingkan oleh adanya pendapat Khawarij, bahw aorang-orang yang terlibat dalam perang Jamal dan Siffin adalah berdosa besar dan kafir.
Pernyataan kaum khawarij tidak langsung diterima kaum muslim. Lalu lahir kelompok pembela ali (syi’ah) yang menolak kesimpulan kaum khawarij. Disisi lain muncul kelompok yang berusaha netral yaitu murji’ah, mereka tidak ingin menyalahkan satu dengan lainnya. Menurut mereka, segala hukum perbuatan manusia yang belum jelas nash, ditangguhkan hukumnya sampai di akhirat kelak.
Kedua, akibat ekspansi islam keberbagai penjuru dunia. Ekspansi yang dilakukan islam, ternyata tidak berdampak pada ajaran tetapi juga semakin memperkaya khazanah kebudayaan islam. Dikarenakan akulturasi budaya arab islam dengan budaya lokal daerah yang di taklukkan.
Perembesan budaya ini, karena interaksi kaum muslim dengan orang yang mempelajari tradisi spekulatif yunani, dan penerjemahan secara besar-besaran khazanah intelektual yunani kedalam bahasa arab di masa abbasiah.
Ketiga,akibat adanya perubahan masyarakat dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, dari pandangan cakrawala berfikir yang regional menjadi yang lebih luas lagi. Kehidupan pribadi makin lama makin kompleks dan menimbulkan masalah-masalah baru yang memerlukan pemecahan .
Ketiga faktor di atas memberikan pengaruh yang kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan pemikiran dalam islam, disamping ada banyaknya sugesti berupa ayat-ayat yang menganjurkan tentang pengembangan kemampuan berpikir. Ada banyak ayat dalam al-quran yang baik secara langsung maupun tidak, mendesak manusia untuk berpikir,merenung atau bernalar. Oleh karena itu, kita perlu menghidupkan kembali tradisi intelektual yang bebas, dialogis, inovatif, dan kreatif.
C.Pluralitas pemikiran islam
Keberadaan dan perkembangan ilmu islam dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW, ilmu itu adalah al-quran dan hadis yang kemudian melahirkan berbagai cabang ilmu. Ini didukung oleh perkembangan bahasa arab yang diguanakan jauh sebelum masa Nabi Muhammad, lalu pasca khulafaul rasyidin, hingga posisi bahasa arab yang mengambil peran penting bagi perkembangan ilmu islam selanjutnya.
Ekspansi yang dilakukan islam turut memperkaya khazanah intelektual muslim. Berbagai keilmuan pun lahir sebagai bagian dari proses interaksi islam dengan budaya lain.
Dinamika beberapa varian pemikiran islam, yang merupakan khazanah islam yang harus terus dipelihara dan dijaga keberadaannya, serta dikembangkan sesuai dengan perubahan zaman.
1. Pemikiran kalam(teologi)
Kalam berarti pembicaraan. Ini merujuk pada system pemikiran spekulatif, berfungsi untuk mempertahankan islam dan tradisi islam dari ancaman dan tantangan dari luar. Mutakallimun adalah orang yang menjadikan dogma atau persoalan teologis kontroversional sebagai topik diskusi dan wacana dialektik, dengan menawarkan bukti spekulatif untuk mempertahankan pendirian mereka.
Isu pertama yang berakibat pada keretakan muslim yaitu setelah wafatnya nabi Muhammad. Tentang perkara pengganti nabi dan khalifah. Puncaknya pemberontakan antara ali ibn abi thalib yang terbunuh dan mu’awiah. Sebagian umat islam talah berani membuat analisis tantang pembunuhan usman tersebut. Diduga inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya paham jabariah dan qadariah.
Pada peristiwa arbitrase, yaitu upaya penyelesaian perselisihan ali bin abi thalib dengan aisyah pada perang jamal dan sengketa antara ali bin abi thalib dan mu’awiah bin abi sufyan pada perang shiffin.
Dalam perang shiffin terjadi tahkim antara pihak ali dan mu’awiah. Tapi perdamaian tersebut tidak dapat diterima oleh sebagian pengikut ali. Pelopornya Abdullah ibn wahab al-rasybi yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khawarij. Kelompok hawarij berfatwa bahwa orang yang terlibat dengan tahkim, baik menyetujui apalagi melaksanakannya dinyatakan berdosa besar. Alasannya karena mereka ingkar menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim.
Penentuan kafir atau tidak bukan lagi soal politik, tetapi soal teologi. Kata kafir yang ditunjukkan pada golongan diluar islam, oleh khawarij dipergunakan dengan makna yang berbeda, yaitu untuk golongan yang berada dalam islam sendiri. Sebagai reaksi atas itu sebagian umat islam yang dipelopori oleh ghailan al-damasqi, menolak tegas fatwa tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya menjadi mahzab murji’ah. Menurut mereka fatwa itu tidak didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya ditunda saja ,diserahkan kepada allah di akhirat kelak. Reaksi kelompok lain adalah pengikut faham Abdullah ibn saba’, yang sangat mengagungkan ali ibn abi tahlib , mereka dikemudian hari dikenal dengan syi’ah.
Persoalan dosa besar antara khawarij dan murji’ah berlanjut sampai masa hasan basri. Pada suatu hari ia mengajar, datanglah seorang menanyakan tentang dosa besar yang dipertentangkan diatas, apakah membawa kekafiran atau tidak. Pada saat hasan basri merenungkan jawabannya ,berdirilah salah seorang muridnya wasil ibn atho’ dan berkata:” orang itu bukan kafir dan bukan pula mukmin, tepatnya dia manzilatain dan dapat disebut fasik”. Setelah itu ,ia keluar dari kelompok belajar sambil menjelaskan kepada orang-orang yang ada sekitarnya. Sejak itu wasil dan parapengikutnya disebut dengan mu’tanzilah.
Berlanjut sampai masa khalifah al-makmun yang menetapkan bahwa paham mu’tazila sebagai faham resmi dari kekhalifahan dan rakyat harus mengikutinya. 40 tahun lamanya paham mu’tazilah berjalan pada saat itu abul hasan asy’ari dan dibantu imam maturidi. Dua ulama ini merupakan tokoh dari paham ahlus sunnah wal jamaah yang menjembatani paham-paham yang saling bertentangan itu.
Selain faktor politis yang menyebabkan munculnya perbedaan pada faham teologi, yaitu pertemuan antara ajaran islam dengan kebudayaan lain. Perkenalan umat islam dengan kebudayaan dan peradaban hal utama yang berkaitan dengan filsafat ketuhanan, ditunjang pula dengan kesenangan umat islam, sehingga mengharuskan umat islam mempelajari pengetahuan, system berpikir, dan filsafat.
Pemikiran kauam modern yang kritis cenderung memandang bahwa pemikiran kalam klasik terlalu teoritis, teosentris, elitis, dan konsepsional yang statis. Saat ini yang dibutuhkan umat islam adalah ilmu kalam yang bersifat antroposentris, praktis ,populis ,transformative dan dinamis. Misi utama islam adalah rahmatan lil’alamin. Islam datang untuk menyelamatka umat manusia dari praktik dehumanisasi yang berlangsung terus menerus disepanjang zaman. Manusia dalam islam adalah Abdullah dan sekaligus khalifatullah. Posisi ini harus dalam konstelasi yang bersamaan diwujudkan. Tuhan lewat firman-Nya hanya menghendaki manusia biasa tetap dalam koridor sebagai seorang hamba yang tidak jatuh dalam kegelapan dan kebodohan. Melalui kalamnya tuhan memberi manusia petunjuk.
2. Pemikiran fiqih
Islam dikenal agama yang ajarannya menuntut dilakukannya keadilan sosial. Sebagai salah satu langkah untuk itu, menumbuhkan seperangkat aturan untuk mengatur hidup kemasyarakatan umumnya. Ayat-ayat yang mengandung dasar hukum, baik ibadah maupun dalam kemasyarakatan ,disebut ayat ahkam.
Pada masa nabi Muhammad saw, setiap persoalan yang tidak dapat diselesaikan dengan mudah dapat diselesaikan, karena nabi merupakan pemegang otoritas yang menjadi pemutus pada setiap persoalan. Segala ketentuan hukum, bersumber pada wahyu dari tuhan.
Pada masa sahabat, daerah semenanjung arab memiliki kebudayaan tinggi dan susunan masyarakat yang lebih sederhana dibandingkan dengan masyarakat arab. Dengan demikian, persoalan kemasyarakatan yang timbul lebih sulit penyelesaiannya. Untuk mencari penyelesaian bagi soal-soal baru itu, para sahabat mengali pada al-qur’an dan sunnah. Tetapi tidak semua persoalan yang timbul dapat dikembalikan kepada al-qur’an atau sunnah nabi. Untuk itu, khalifah dan para sahabat mengadakan ijtihad.
Sejarah islam dengan ajarannya yang luhur telah mengubah masyarakat arab jahiliah menuju masyarakat islami. Perubahan tersebut didasarkan atas rumusan prinsip umum tentang iman, ibadah, kaidah dakwah, hukum keluaraga, hukum muamalah, hukum pidana dan sanksi sebagai berikut :
- keterkaitan hakim untuk menetapkan kemaslahatan umum atas dasar teks suci, yaitu al-qur’an dan sunnah;
- perintah melaksanakan keadilan, keihsanan, persaan dan ukhuwah insaniah;
- larangan perang atas dasar ofensif dan kebolehan melakukan perang berdasar pertimbangan defensive serta meningkatkan hak dan kehormatan wanita;
- terjaminnya hak milik pribadi, keharusan memenuhi janji dan perikatan serta larangan melakukan tipu daya;
- perbedaan hak adami dan hak allah swt, yakni hak pribadi dan hak allah swt dalam sanksi.
Prinsip umum di atas kemudian dijabarkan dalam cabang fiqih sebagai upaya untuk melakukan klasifikasi fiqih dalam mengatur prilaku kehidupan umat.
Mahzab
Produk hukum yg mengalami pengkristalan menjadi mahzab fiqih melalui proses yang panjang.Pendekatan fiqih:pemikiran(ra’yi) dan analogi.Tokoh-tokoh yang menjadi pusat mahzab: Abu Hanifah al-Nu’man Ibn Tsabit, Malik ibn Anas, Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, Ahmad ibn Habal.
Perkembangan Pemikiran di Bidang Fiqih
1. Pembentukan dimulai sejak masa Nabi muhammad,khalifah,hingga pertengahan awal abad hijriah.Tahap ini sumber hukum meliputi wahyu serta akal,yaitu al-qur’an,sunnah,ijmak dan qiyas.
2. Pembentukan fiqih yang dimulai paruh abad pertama sampai abad II H.Tahap ini fiqih berbentuk mahzab.
3. Pematangan bentuk yang dimulai sejak awal abad II hingga pertengahan abad IV H. Pada masa ini ijtihad dalam bentuk fiqih dikodifikasi dan dilengkapi dengan ilmu ushul fiqih.
4. Masa kemunduran fiqih yang ditandai oleh dua peristiwa penting, yakni jatuhnya baghdad ke tangan bangsa mongol dan di tutupnya pintu ijtihad oleh para ulama. Pada masa ini fuqaha hanya menempuh metode al-mutun,syarah al-hawasyi,dan taqrirat dalam menuliskan kitab fiqih.
3.Pemikiran Filsafat
Dalam perspektif falasifah,filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam disini bukan filsafat, yang dipahami sebagai sistem rasional pemahaman dan wahyu yang dirumuskan secara bebas dan agama yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Nama Filusuf-filusuf besar:Al-kindi, Al-farabi, ibn sina, al-ghazali, ibn rusyd,suhrawardi,fazlur rahman dll.
Golongan yang banyak tertarik kepada filsafat yunani adalah kaum Mu’tazilah. Abu Al-Huzail, Al-Nazzam, Al-Jahiz, Al-Juba’I, dll banyak membaca buku-buku filsafat yunani dan pengaruhnya dapat dilihat dalam pemikiran-pemikiran teologi mereka. Disamping kaum mu’tazilah, muncul pula fisuf-filsuf Islam.
Filsuf kenamaan yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’kub Ibn Ishaq. Ia lahir di kufah pada tahun 796 M dan meninggal di Baghdad pada tahun 873 M. Ini adalah merupakan Al-kindi. Buku-buku yang ditinggalkannya mencakup berbagai cabang ilmu pengetahuan
Filsuf besar kedua adalah Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn khan Ibn Uzlagh al-Farabi al- Turki. Ia lahir di Farab, transoxania pada tahun 870 M dan meninggal pada tahun 950 M di Damaskus. Ini adalah merupakan Al-farabi, dikenal dengan nama al-mu’alim al-Tsani (guru kedua ). Al-mu’amin al-Awwal (guru pertama ) adalah aristoteles. Di dunia lain ia dikenal dengan nama Alpharabius.
Filsuf lain yang melampaui al-farabi dan al-kindi dalam kemasyhuran adalah Abu ‘ Ali Husein Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Afshana, suatu tempat di dekat Bukhara dan meninggal di Isfahan pada tahun 1037 M.Ibn sina dikenal di Barat dengan nama Avicenna, sehingga ia diberi gelar “the prince of physician” . Di dunia islam ia dikenal dengan nama al-shaykh al-Ra’is, pemimpin utama.
Al-Ghazali merupakan filsuf besar terakhir di dunia islam bagian timur. Di Indonesia ia sangat terkenal dengan kitabnya Ihya ‘ Ulul al-Din. Di dunia barat al-Ghazali dikenal dangan nama Abuhamet dan Algazel. Dia diberi gelar Hujjatul-Islam.
Filsuf-filsuf besar selanjutnya muncul di Andalusia yaitu, Abu Al-Walid. Ia lahir di Cordova pada tahun 1126 M dan wafat di Marakesh 1198. Setelah kematiannya, tradisi perenungan di kalangan musli agak meredup.
Di Persia, fase kebangkitan filsafat ditandai dengan kolaborasi yang mistisime, yang dikenal dengan filsafat Persia atau isyraqi dan diresmikan oleh Suhrawadi. Filsafat sebagai satu bagian yang sah dari islam. Filsafat bukanlah saingan agama atau teologa, sebagaimana pandangan dari kelompok revivalisme atau ortodoksi islam. Tradisi berfikir yang kuat dalam islam telah manghantarkan umat islam memasuki keemasannya sebagai pusat peradaban dunia.
4. Pemikiran Tasawuf
Tasawuf adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakekat realitas dan kebahagiaan rohaniah (Abu Wafa’ al-Ghanimi, al-Taftazani,sufi dari zaman ke zaman). Dengan definisi ini, jelas tasawuf tidak bertentangan dengan islam, zuhud, tawakkal, sabar.
Tasawuf juga berarti amal dan analisis. Amal yang melandaskan pada mujahadah. Selain itu, juga mengorbankan jiwa dan harta yang Nampak ke dalam alam batin.
· Tasawuf Abad 1 Hijriah
Pada tahun 600-700 M, tasawuf belumlah memiliki seperangkat konsepsi yang runtut dan ia masih murni ajaran moral. Tanda yang menonjol adalah asketisme (zuhud).
Pertama, Aliran Madinah. Aliran ini mewarisi konsistensi kuat terhadap ajaran yang dibawa Nabi SAW. Kedua, Aliran Basrah. Terkenal dengan sifatnya yang kritis dan suka dengan hal-hal logis serta cenderung pada aliran Mutazillah dan Qadiriyah. Ketiga, Aliran Kufah. Bercorak idealistis, cenderung pada syiah dan Rajaiyyah. Tokohnya adalah Sufyan al-Tsauri, Sufyan ibn Uyainah.
· Tasawuf Abad 3-4 Hijriah
Aliran yang menonjol pada masa ini adalah tasawuf yang selalu merunjuk pada nafas islam dan yang kedua adalah tasawuf sebagai penjernihan moral. Mereka menumbuhkan sendiri hubungan manusia dengan Allah.
· Tasawuf Sunni Abad 5 Hijriah
Pada abad ini tasawuf mulai dikembalikan lagi pada al-qur’an dan Sunnah. Tokohnya adalah al-Qusyairi dan Harawi, di samping sufi besar abad ini; al-Ghazali. Dia mengkritik keras para teolog yang menjawab tantangan pemikiran tidak dengan mangkaji, namu dengan membenturkan pendapat-pendapat, berdasarkan premis-premis.
Semua jawaban Al-Ghazali terhadap filsafat dituliskannya dalam Tahafut al-Falasifah. Dalam tasawufnya, Al-Ghazali membedah semua konsep tasawuf pendahulunya, seperti maqam, fana’, hulul, mahabbah, dzauq, ma’rifah dan sebagainya, lalu didudukkan pada tempatnya. Dengan begitu, posisi tasawuf di mata para ulama salaf yang sebelumnya dianggap sesat, menjadi diterima.
· Tasawuf Filosofis
Dalam dua abad, yaitu sekitar abad VI dan VII, tasawuf filosofis ini mencapai titik kesmpurnaan. Ajaran tasawuf ini memadukan visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Tasawuf ini sangat isoteris, cenderung samar dan hanya dipahami oleh para penempuh jalannya. Tokohnya adalah Surahwardi, Ibn Masarra, Ibn ‘Arabi, dan Ibn Sab’in. Dalam konsep penyatuan makhluk dengan Tuhan ini juga tertuang dalam karya sastra para sufi, di antaranya adalah Ibn al-Faridh dan Jalalludin Rumi.
· Tasawuf Pendiri Tarekat
Tarekat diberikan sufi yang bergabung dengan seorang guru secara kolektif, yang menggelar acara tertentu dan memiliki ritual tertentu. Tokoh yang terkenal adalah Abdul Qadir Jailani, Ahmad al-Rifa’i, dan Najmuddin Kubra.
5. Pemikiran Islam Kontemporer
Tahun 1967 dianggap sebagai “penggalan” (qathi’ah) dari keseluruhan wacana Arab modern, karena masa itulah yang merubah cara pandang bangsa Arab terhadap beberapa problem social-budaya yang dihadapinya.
Langkah pertama yang dilakukan oleh para intelektual Arab adalah menjelaskan sebab-sebab kekalahan tersebut. Di antara sebab-sebab yang paling signifikan adalah masalah cara pandang orang Arab kepada budaya sendiri dan kepada capaian modernitas.
Secara implisit, topik semacam itu pernah dilontarkan oleh Muhammad ‘Abduh dan ‘Abd al-Rahman Kawakibi. Namun sebagai satu wacana epistemis masalah tersebut baru mendapat sambutan luas pada dua dekade terakhir.
Istilah “tradisi dan modernitas yang digunakan dalam diskursus pemikiran Arab kontemporer, merujuk pada terma idiomatic yang bervarian, terkadang digunakan al-Turats wa al-Hadatsah, al-Ashlah wa al-Hadatsah, al-Turats wa al-Mu’ashirah, dan dalam bentuk yang tidak konsisten digunakan juga istilah al-Qadim wa al-Jadid. Akan tetapi istilah turats paling sering digunakan dan paling sering disebut.
Secara literal, turats berarti warisan atau peninggalan, yaitu berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan atau diwariskan oleh orang-orang terdahulu.
Tidak seperti turats, hadatsah merupakan konsep pinjaman yang diambil dan ditransliterasikan dari bahasa Barat.
Turats dinilai telah menyatu dalam kesadaran bangsa Arab sejak empat belas abad lalu, sementara hadatsah baru dating tidak lebih dari dua ratus tahun lalu.
Secara umum ada tiga tipologi pemikiran yang mewarnai wacana pemikiran Arab kontemporer, yaitu:
Pertama, tipologi transformatik. Tipologi ini mewakili para pemikir Arab yang secara radikal mengajukan proses transformasi masyarakat Arab-Muslim dari budaya tradisional-patrikal kepada masyarakat rasional dan ilmiah.
Kedua, adalah tipologi reformistik. Kelompok ini lebih pesifik lagi dan dibagi kepada dua kecenderungan.
Kecenderungan Pertama, para pemikir yang memakai metode pendekatan ekonstruktif, yaitu, melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali.
Kecenderungan Kedua dari tipologi pemikiran reformistik adalah penggunaan metode dekonstruktif. Metode dekonstruksi merupakan fenomena baru untuk pemikiran Arab kontemporer.
Ketiga adalah tipologi pemikiran ideal-totalistis. Ciri utama dari tipologi ini adalah sikap dan pandangan idealis terhadap ajaran Islam yang bersifat totalistis. Kelompok ini sangat commited dengan aspek religious budaya Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar