STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Minggu, 06 November 2011

Jarh Wa Ta’dil

1A. Definisi Jarah Wa Ta’dil
Lafad “jarh” muhaddishin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencatatkan keadilan dan kehafalannya.Dan yang dimaksutd dengan men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang di riwayatkannya.
Dan di buku Lain menyebutkan bahwa jarah atau tahrij dalam pengertian bahasanya adalah melukai tubuh atau yang lainnya dengan menggunakan benda tajam pisau, pedang dan lain-lainnya. Dan luka yang di sebabkan pisau itu dinamakan “jarah“ Dan bisa di artikan pula dengan memaki-maki dan menistai baik di depannya maupun di belakangnya.
Dan menurut istilah ialah


Artinya: “Menyebutkan sesuatu yang menyebabkan tercacatlah si perawi“
Dan ta’dil menurut bahasa adalah:
Menyamaratakan, mengimbangi sesuatu dengan yang lain dan menegakkan keadilan atau berlaku adil.
Menurut istilah adalah:


Artinya: “Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang di pandang orang tersebut adil, yang menjadi puncak penerimaan riwayat”.
Dari beberapa definisi yang di sebutkan di atas dapat kita lihat atau simak bahwa objek bahasan ilmu jarh wa ta’dil adalah membidik dari kepribadian para perawi hadist baik itu dalam segi positifnya maupun dari segi negatifnya.


B. Tujuan Belajar dari Ilmu Jarh Wa-Ta’dil.
Tujuan mempelajari ilmu jarh wa ta’dil disini adalah untuk mengetahui dan menetapkan bahwa periwayat seorang perawi itu dapat di terima atau di tolak.Dalam artian apabila seorang perawi itu di jarh oleh para ahli maka perawi itu di catat sebagai rawi yang cacat, dan konsekqwensinya harus di tolak. Dan apabila dalam periwayatannya di terima oleh para ahli maka si perawi itu menandakan bahwa perawi itu tidak ada kecacatan dalam meriwayatkannya,tapi syarat-syarat yang lain untuk menerima hadist di penuhi.

C. Macam-Macam Keaiban Rawi.
Seorang rawi busa di katakana aib apabila memasuki beberapa faktor, dan sebenarnya seorang rawi bisa di katakan aib itu banyak sekali, yaitu :
1. Bid’ah : Melakukan tindakan tercela di luar ketentuan syari’at.
2. Mukhalafah : Berbeda dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah.
3. Ghalath : Banyak kekeliruan dalam periwayatan.
4. Jahalatu’l-Hal : Tidak di kenal identitasnya.
5. Da’wa’l-Inqitha’ : Diduga keras sanadnya tidak bersambung.
Maka dalam keaiban rawi ini apabila seseorang dikatakan
Bid’ah itu ada 2 faktor:
a. Apabila tergolong orang yang di kafirkan.
b. Apabila tergolong orang yang di fasiqkan.
Dan orang yang dianggap kafir ini golongan rafidhah, yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup pada Syaidina Ali, dan Imam-Imam yang lainnya. Dan orang yang di anggap fasiq adalah, golongan yang mempunyai i’tikad berlawanan dengan dasar syari’at.
Ikhtilaf ialah, yang dapat manimbulkan kejanggalan dan kemungkaran suatu hadist, dalam artian periwayatannya berlawanan dengan orang yang lebih setia ingatannya dan tidak dapat di jama’kan. Maka hal seperti ini di katakana syad.
Ghalat ialah, perawi yang banyak kesalahan, maka harus di adakan peninjauan pada hadist tersebut. Tapi kalau periwayat tersebut ada pada orang lain, maka hal tersebut tidak di sifati ghulath dan hadistnya dapat di pakai namun bukan menurut jalan (sanad). Maka harus di tempuh dengan jalan ditawaqufkan.
Jahalatu’l-hal, maka hadistnya tidak dapat di terima, sebab ini semua merupakan pantangan dan kalau mau di terima maka harus di kenal identitasnya.
Da’wa’l-Inqitha’ (pendakwah terputus) dalam sanad. Misalnya mendakwah rawi men-tad-lis-kan atau meng-irsal-kan suatu hadist.
D.Macam-Macam Kaidah dan Ta’dil.
a. Bersandar pada cara-cara periwayat hadist shah, periwayatan keadaan perawi dan kadar kepercayaan kepada mereka dan di sebut juga Nagdum kharijiah “kritik yang datang dari luar hadist“
b. Ada pada hadistnya sendiri, dalam artian apakah makna hadist tersebut sahih atau tidak, dan apa penyebab kesahihannya dan tidak sahihnya hadist. Dan hal ini dapat di namakan pula Nagdum Dhakhiliyah “kritik dari dalam hadist”.
E. Syarat-Syarat Bagi Orang yang Menta’dilkan dan Mentahrijkan .
Bagi orang yang men-ta’dilkan (Mu’adil) dan orang yang men-tahrijkan di perlukan syarat-syarat yaitu:
1. Berilmu pengetahuan
2. Takwa
3. Wara’ (Orang yang selalu menjauhi larangan Allah)
4. Jujur
5. Menjauhin fanatik golongan
6. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan men-tahrijkan.

F. Hukum Para Pencela Perawi.
Mencela perawi itu di bolehkan apabila ada suatu kemaslahatan, dan Al-Ghazali dalam kitabnya Ihyaul ulum, An-Nawawi, dan Riyadus-Shalihin dan lainnya berpendapat bahwa, mencela keadaan seseorang baik itu hidup atau meninggal, itu di perbolehkan. Karena itu ada sesuatu kepentingan agama.
Ada enam sebab yang memperbolehkan mencela perawi:

a. Karena teraniaya
b. Meminta tolong untuk membasmi kemungkaran
c. Untuk menerima fatwa
d. Untuk menghindarkan diri dari kejahatan
e. Orang yang di cacat itu, orang yang terang –terang berbuat bid’ah
f. Untuk memperkenalkan peribadi yag sebenanya

G. Jarh Yang Diterima Dan Yang Ditolak
Jarh dan ta’dil ada kalanya mubham, adakalanya mufassur. Yang mubham ialah yang tidak diterangkan sebab, baik mengenai jarh maupun ta’dil, sedagkan yang mufassar ialah yang diterangkan sebabnya.
Para ulama’-ulama’ berbeda pendapat atas hal tersebut diatas.
a. Diterima ta’dil karena tidak disebut sebab. Karena sebab ta’dil terlalu banyak sehingga tidak perlu disebut satu persatu, mengenai jarh tidak dapat diterima, kecuali yang telah diterangkan sebabnya.
b. Kebalikan dari yang pertama, yaitu wajib diterangkan sebabnya, karena suatu keadilan itu tidak boleh di terangkan dengan cacat. Karena kedilan itu banyak yang berpura-pura shahih, maka perlu diterangkan keadaan sebenarnya.
c. Harus diterangkan sebab jarh dan sebab keadilan.
d. Tidak wajib diterangkan sebab-sebabnya jika yang mencelah dan yang memuji adalah orang yag mengetahui benar-benar sebab pencelaa dan sebab pujian itu.

H. Mendahulukan Jarh Atau Ta’dil
Para ulama’ sepeti yag diterangkan oleh Al-Iraqy berbeda pendapat. Boleh tidaknya berpegang pada pendapat seorang saja dan atas beberapa pendapat tersebut ialah.
a. Tidak diterima dalam menta’dilkan seseorang baik dalam shahadah mupun dalam bidang riwayat, kecuali perkataan dua orang.
b. Mencukupkan denga seorang saja dala bidang shahadah dan riwayat.
c. Membedakan antara kesaksian dan riwayat.

I. Lafadz-Lafadz Dan Muratib Dan Jarh Wat Ta’dil
lafadz-lafadz yag di gunakan untuk menta’dilkan dan menjarhkan rokwi-rowi itu bertingka-tingkat. Menurut Ibn Abi Hatim, Ibn Al-Salah da Ibn Al-Nawawi lafadz-lafadz itu ada 4, menurut Al-Dhahabi dan Al-Iraqy ada 5, dan menurut Ibn Hajar itu ada 6. yaitu
a. Segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan sighat, af’al al-tafdil dan sejenisnya.
Seperti:
b. Memperkuat ketiqhahan perawi denga satu atau dua sifat ketqhahan.
Seperti:
c. Dengan menungkapkan sifat yang menunjukkan ketiqhahan dengan tanpa menguatkan. Seperti:
d. Sesuatau yang menunjukkan keadilan perawi, tetapi tidak pahan adnya kedabitan. Seperti:
e. Sesuatau yang menunjukkan arti dekat dengan tajrih.
Seperti:
Adapun ta’dil dan lafadz-lafadznya yaitu:
a. Sesuatau yang tidak dapat dibuat hujjah da ang serupa dengan itu.
Seperti:
b. Sesuatu yang menunjukkan kelemahan perawi.
Seperti:
c. Sesuatu yang menunjukkan tidak dapatnya hadis perawi yag bersangkutan untuk ditulis dan semacamnya.
Seperti:
d. Menunjukka pada tuduhan dusta atau semacamnya.
Seperti:
e. Sesuatu yag menunjukkan persifatan perawi dengan dusta atau semacmnya. Seperti:
f. Sesuatu yang menunjukkan kepada ketertaluan perawi tentang dustanya.
Seperti:

PENUTUP
KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas mengenai jarh wat ta’dil ini dapat diambil kesimpulan bahwa, mencela atas perawi karena cacat itu diperbolehkan, dengan adanya sebab atau sesuatu yang maslahat. Seperti yang telah dikatakan oleh Al-Ghazali dan Imam Nawawi dalam kitabnya yaitu Ihya ul ulumuddin dan kitab Rioyadhatussolihin, tapi dengan syarat, bahwa orang-orang yang bisa mencela dari perawi hadis disini harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam, khususnya bai pelajaran ilmu hadis.
Dan selam pencelaan tersebut tidak diikuti unsure-unsur kepentingan pribadi dalam artian tidak ada dendam individu diantara pencela perawi hadis terhadap perawi hadis. Karena pencelaan ini diperbolehkan dengan tujuan demi kepentingan agama dan bukan untuk kepentingan individu atau kelompok.


DAFTAR PUSTAKA

Teungku Muhammad Hasbi Ash Siddiqy. Prof. Dr. “Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis”. Semarang. PT. Pusataka Rizki Putra. 2005

Fatchur Rahman. Drs. “Ihktisar mushthalahul hadits”. Bandung, PT. Al-Ma’arif. 1974

Arif Jamaluddin S.Ag. “Ulumul hadis”. Surabaya, Biro Penerbitan Dan Pengambangan Perpustakaan Fak. Syari’ah IAIN Sunan Ampel. Surabaya. 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar