STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Minggu, 06 November 2011

Posisi Ijtihad Dalam Hukum Islam

PEMBAHASAN
  1. Pengertian
Kata ijtihad berasal dari kata (jahada), yang secara ringkas berarti sungguh – sungguh atau kerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Dalam pengertian inilah, Nabi Muhammad SAW. Menggunakan kata ijtihad: keutamaan seorang yang alim di atas orang yang bersungguh dalam ibadah (mujtahid) seratus derajat. Adapun secara istilah pada umumnya yang banyak dibicarakan dalam Ushul fiqh adalah, “Pengarahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum –hukum syara’”. Sementara Al- Ghazali membuat rumusan ijtihad itu adalah:
بذل المجتهد وسعه فى طلب العلم بأحكام الشريعة
Artinya:” Pencurahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka memperoleh hukum – hukum syar’I”.[1]
Sedangkan Harun Nasution mengartikan secara luas, bahwa ijtihad bisa dilakukan selain masalah Ushul fiqh, yaitu tasawuf , hukum, tata Negara, dan lain- lainnya.

  1. Syarat – Syarat Ijtihad
Tidak semua orang dapat berijtihad. Yang daoat menjadi mujtahid yakni orang yang berhak berijtihad adalah mereka yang memenuhi syarat- yarat berikut:
a. menguasai bahasa arab dan dari segala aspeknya
b. Mengatahui Al- Qur’an dan Ulumul qur’an
c. Mengetahui Sunnah dan Ilmu Hadits
d. Mengetahui Ushul fiqh
e. Mengenal ijma’ bagi yang beranggapan sebagai dalil syara’.[2]
f. Mengenal manusia dan alam sekelilingnya
g. Bersifat adil dan taqwa[3]
  1. Kawasan Ijtihad
Telah disepakati bahwa hukum – hukum islam yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah, harus berdasarkan nash atau dalil Al- Qur’an atau Hadits. Apabila tidak dijumpai dalam keduanya, atau kurang jelas, maka digunakanlah ijtihad untuk menentukan hukumnya.[4] Namun tidak semua urusan dalam agama dibenarkan untuk melakukan ijtihad. Ada wilayah – wilayah yang tidak boleh untuk diijtihadi. Al- Ghazali telah memberikan batasan khusus berkenaan dengan lapangan ijtihad, yaitu setiap hukum syara’ yang dalilnya tidak qath’i. yang dimaksud dengan qath’I adalah lafaz yang menunjukkan kepada hukum tertentu dan tidak mengandung makna lain atau makna tertentu yang tidak mengandung kebolehan untuk di takwil serta tidak mengandung kemungkinan untuk dipahami makna lain, selain ditunjukkan lafaz itu. Termasuk dalam ranah ini adalah hukum islam yang secara eksplisit di sebutkan dalam Al- Qur’an dan Hadits Mutawatir . Nash yang tergolong qath’I Al- Dilalah tidak terlalu banyak, menurut Abu Ishaq Al- Syatibi adalah pokok – pokok ajaran agama islam, yaitu seperti kewajiban shalat, zakat, haji, larangan menikahi wanita yang disebabkan adanya hubungan darah, tentang kadar bagian harta warisan bagi masing- masing ahli waris, dan lain sebagainya. Disamping itu, ada termasuk nash yang qath’I adalah ayat yang berbicara tentang akidah dan akhlak.
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan yang merupakan salah satu kaidah yang disepakati oleh para Ushul Fiqh :
لا مساغ لإجتهاد فى مورد النص
Artinya: “tidak diperkenankan berijtihad dalam hukum –hukum yang sudah ada ketetapan nash”.[5]
Adapun wilayah yang tidak boleh untuk diijtihadi, dalam istilah ushul fiqh disebut dengan dhanny adalah dalil yang mengandung multiinterprestasi atau kemungkinan lebih dari satu makna sehingga merupakan lapangan ijtihad para Ulama’. Oleh karena itu, inilah yang dijadikan para mujtahidin sebagai tempat penalaran, penelaahan, pemikiran kemashlahatan, serta perubahan keadaan. Sehingga timbul perbedaan paham, perbedaan perspektif.
Ayat – ayat yang bersifat dhanny al-dilalah kebanyakan berkaitan dengan bidang muamalah dan pada umumnya ditetapkan oleh syara’ dalam bentuk global. Termasuk dalam ijtihad yang lain adalah masalah – masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash Al- Qur’an atau Hadits secara jelas. Masuk dalam kategori ini masalah – masalah baru yang tidak terjadi pada masa nabi dan Al- Qur’an tidak menjelaskan secara jelas.[6] Seiman dengan para ulama’ Ushul fiqh , Al- Syaukani berpendapat bahwa hukum yang termasuk dalam kategori dhanny ini dapat berubah dengan adanya perubahan zaman, tempat, dan kebiasaan. Al –Syaukani menyebutkan bahwa seseorang mujtahid tidak boleh mengeluarkan hasil ijtihad yang berbeda menyangkut satu masalah dalam waktu yang sama, bisa dilakuakan asalkan dalam waktu yang berbeda, karena hasil ijtihad dapat menerima perubahan, baik yang muncul secara internal dari diri mujtahid maupun secara eksternal dari lingkunganya. Kendati demikian, seperti halnya di atas, hasil ijtihad yang paling dominan menerima perubahan ialah yang menyangkut bidang mumalah.[7]
  1. Posisi Ijtihad dalam Struktur Ajaran Islam
Hukum islam mengakui kehormatan manusia, dan di sisi lain mengarahkannya kepada perwujudan kemaslahatan masyarakat. Penerapan hukum islam terhadap situasi yang beraneka ragam, baik dalam arti masa maupun dalam arti tempat, membutuhkan hukum yang fleksibel. Hal ini tampaknya disadari tidak hanya oleh para Ulama’ modernis, tetapi juga oleh Ulama’ masa lalu. Karena tujuan hukum islam tidak lain adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual, dan sosial. Seperti yang dikatakan Ibn Al- Qiyyim Al – Jawjiyyah dalam sebuah kaidah, sebagaimana yang dikutip oleh A. Djauli, bahwa: “ Hukum islam itu berubah karena perubahan waktu, keadaan, adat dan niat”.[8]
Oleh karena itu ajaran islam, selain Al- Qur’an dan hadits yang menjadi sumber hukum islam, para sahabat melakukan ijtihad ketika mereka mencari ketetapan hukum dalam Al- Qur-an, bila tidak dijumpai dalam Al- Qur’an, kemudian dalam As- Sunnah, bila tidak ditemukan juga maka mereka melakukan ijtihad atau dengan berkonsultasi dengan sesama sahabat untuk menentapkan hukumnya.[9] Berdasarkan kenyataan ini, salah satu Ulama’ fiqh abad 20, seperti Dr. Ali Hasaballah, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo, berpendapat bahwa ijtihad merupakan sumber ketiga hukum islam.[10] Secara historis, ijtihad para sahabat telah tumbuh sejak masa awal Islam, yakni pada zaman Nabi Muhammad SAW, dan kemudian berkembang pada masa – masa sahabat serta masa – masa generasi selanjutnya hingga kini dan mendatang dengan mengalami pasang surut dan kerakteristik masing- masing. Bahwa ijtihad itu telah ada sejak zaman Rasul SAW., antara lain dapat dilacak dari riwayat berikut: sewaktu Rasulullah SAW., hendak mengutus Muaz bin Jabal ra untuk menjadi qadhi (hakim) di daerah yaman, belaiu sempat berdialog dengan Muaz. “bagaimana cara kamu menyelesaikan perkara jika kepadamu diajukan suatu perkara?”Muaz menjawab: “Aku akan memutuskan menurut ketentuan hukum yang ada dalam Al- Qur’an “. Kalau tidak kamu dapatkan dalam kitab Allah?” Tanya nabi selanjutnya. “ Aku kan putuskan menurut hukum yang ada dalam Sunnah Rasul,” jawab Muaz lebih jauh.”kalau tidak ada juga dalam kitab Allah dan rasulnya? “ Nabi mengakhiri pertayaanya. Muaz menjawab,” Aku akan berijtihad dengan seksama.”kemudian Rasul mengakhiri dialognya sambil menepuk – nepuk dada Muaz seraya belaiu bersabda: “Segala puji hanya untuk Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasul-Nya jalan yang telah diridhai rasul Allah”.[11]
Pendapat di atas yang mengatakan bahwa sumber hukum islam yang ketiga adalah ijtihad, selaras dengan interprestasi dari M. daud Ali,[12] bahwa sumber hukum islam ketiga adalah akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Al- Qur’an, kaidah – kaidah hukum yang bersifat umum yang terdeapat pada AS- Sunnah Nabi dan merumuskannya menjadi garis – garis hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu. Atau berusaha merumuskan garis – garis atau kaidah – kaidah hukum yang “pengaturannya” tidak terdapat di dalam kedua sumber utama hukum islam itu.
Dasar hukum untuk mempergunakan akal pikiran atau ra’yu untuk berijtihad dalam pengembangan hukum islam selain Hadits yang diriwatkan oleh Muaz bin Jabbal adalah Q. S. An- Nisa’ (4): 59, yang mewajibkan juga orang mengikuti Ulil Umri (orang yang mempunyai kekuasaan atau penguasa) mereka, dan contoh yang diberikan oleh Khalifah II Umar bin Khattab, beberapa tahun setelah nabi Muhammad wafat, dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang tumbuh dalam masyarakat, pada awal perkembangan masyarakat, oleh karena itu ijtihad telah banyak digunakan dalam sejarah pemikiran islam. Hakikat ajaran Al- Qur’an dan As- Sunnah memang telah menghendaki dipergunakannya ijtihad, karena telah tersirat kurang lebih dari 500 ayat, menurut pemikiran para Ulama’ yang berhubungan denga ibadah, akidah, dan muamalah. Ayat tersebut pada umumnya, berbentuk ajaran- ajaran dasar tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaannya, dan sebagainya. Untuk itu, ayat – ayat tersebut perlu diperjelaskan oleh orang – orang yang mengetahui Al- Qur’an dan Hadits, yaitu pada mulanya para sahabat nabi dan kemudian Ulama’. Penjelasan oleh para sahabat nabi dan para Ulama’ itu diberikan melalaui ijtihad.[13] Dan memang ijtihad merupakan suatu unsur terpenting dalam ajaran islam. Melalui ijtihad, masalah – masalah yang tidak ada penyelesaiannya dalam Al- Qur’an dan Hadits dipecahkan. Sehingga oleh pemikir klasik atau modern ijtihad merupakan sumber hukum islam yang ketiga.
Dengan demikian, pada hakekatnya ijtihadlah yang menjadi kunci dinamika islam. Sejarah menyatakan bahwa sejak pintu ijtihad dianggap tertutup oleh alama’ – ulama’ pertengahan abad empat Hijriyah- dan, memang, selama berabad – abad dalam sejarah islam tidak terdapat lagi ijtihad mutlak- pemikiran islam mengalami kemandekan, baik dalam ajaran maupun kebudayaan islam. Akibatnya, umat islam mengalami kemunduran dalam segala bidang, sedangkan orang eropa, yang megnambil alih jiwa ijtihad, mengalami kemajuan yang pesat.
Pada abad kesembilan belas masehi, ketika bagian – bagian kebudayaan. Eropa yang dihasilkan oleh jiwa ijtihad masuk ke dalam dunia islam, sehingga para ulama’ sadar bahwa pintu ijithad seharus untuk dibuka kembali, seiring sengan dibukanya kembali pintu ijtihad, bermuncullah pemimpin – pemimpin pebaharuan: Al- tahthawi, jamal Al- Din Al – Afghani, M Abduh – yang menjelaskan bahwa sebenarnya pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Dalam buku tafsirnya , Al- Manar, M. Abduh mengkritik orang- orang yang membunuh ijithad dan yang melarang orang lain berijtihad. [14]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara eksplisit tampak bahwa ijtihad adalah usaha yang hanya bisa dilakukan orang – orang tertentu dalam menggali hukum- hukum syara’, oleh karena itu para ulama memberikan syarat- syarat yang benar – benar bagi orang yang paham dalam agama islam.
Namun tidak seluruh yang ada dalam nash orang bisa berijtihad, barometer atau ukuran yang hanya bisa dilakukan oleh mujtahid hanyalah dalam batasan nash zhanny, atau yang tidak terdapat dalam nash. Sehingga perbedaan antara pencurahan akal manusia dengan nash – nash dalam Al- Qur’an dan Al- hadits bisa dibedakan, yang mana memposisikan Al- Qur’an dan As- Sunnah di atas segala dalam beristimbath. Oleh karena itu para Ulama memposisikan ijtihad sebagai sumber hukum islam yang ketiga, karena jika kita melihat isi Al- Qur’an maupun Hadits dan waktu yang terus berjalan, selayaknya pantas jika para ulama’ mencurahkan segala permasalahannya untuk beristimbath dalam hukum baru yang terus bermuculan.
DAFTAR PUSTAKA
H. Samsul Ma’arif dkk, 2003. FIQIH PROGESIF Menjawab Tantangan Modernitas, Jakarta: FKKU PReSS.
Tim penyusun studi islam IAIN Supel, 2005. Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN Supel Press.
Amir Mu’allim Yusdni, 2004Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer,Yogyakarta: UII Pers.
Jalaluddin Rahmat, 1996. Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Penerbit Mizan.
Nasrun Rusli, 1999. Konsep Ijtihad Al- Syaukani, Jakarta: PT. LOGOS.
A. Djauli, 1991. Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Cet. I, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Abdul Wahab khallaf, 2001. Khulasah Tarikh Al- tasyri’, Terj. Wajidi Sayadi, Cet. I, Jakarta: Grafindo persada.
M. Daud Ali, 2005. Hukum Islam, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada.


[1] H. Samsul Ma’arif dkk, FIQIH PROGESIF Menjawab Tantangan Modernitas, ( Jakarta: FKKU PReSS, 2003), hal. 21
[2] Tim penyusun studi islam IAIN Supel, Pengantar Studi Islam,( Surabaya: IAIN Supel Press,), hal. 64-65
[3] Amir Mu’allim Yusdni, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer,(Yogyakarta: UII Pers, 2004), hal. 60
[4] Jalaluddin Rahmat, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hal. 152
[5] H. Samsul Ma’arif dkk, FIQIH PROGESIF Menjawab Tantangan ………………………hal. 24-25
[6] H. Samsul Ma’arif dkk, FIQIH PROGESIF Menjawab Tantangan Modernitas,…………, hal. 26- 27
[7] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al- Syaukani, ( Jakarta: PT. LOGOS, 1999), hal.103
[8] A. Djauli, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Cet. I, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 256
[9] Abdul Wahab khallaf, Khulasah Tarikh Al- tasyri’, Terj. Wajidi Sayadi, Cet. I, (Jakarta: Grafindo persada, 2001), hal. 55-56
[10] Jalaluddin Rahmat, Ijtihad Dalam Sorotan,……………………………… hal. 112-113
[11] Amir Mu’allim Yusdni, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer,…………………….hal.15-16
[12] M. Daud Ali, Hukum Islam, ( Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 111
[13] Jalaluddin Rahmat, Ijtihad Dalam Sorotan……………………………., hal. 11
[14] Ibid, Hal. 113

Tidak ada komentar:

Posting Komentar