STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Jumat, 25 November 2011

SISI GENEALOGIS ILMU MANTHIQ

Akar yang diduga menjadi latar belakang munculnya Ilmu Manthiq, ialah perdebatan antara Abu Sa'id Al-Syirafi (893-950 M) dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M), dalam khazanah Peradaban Islam, tentang kata dan makna; bahasa dan logika.

Abu Sa'id Al-Syirafi, yang ahli bahasa, berpandangan bahwa kata muncul lebih dahulu daripada makna. Kalau "kata lebih dahulu muncul daripada makna", maka berkonsekuensi logis bahwa "Setiap bahasa lebih merupakan cerminan dari budaya masyarakat masing-masing".
Abu Bisyr Matta memandang bahwa justeru makna ada lebih dahulu dibanding kata; karenanya Logika (Ilmu Manthiq) muncul lebih dahulu daripada bahasa. Manakala Logika (Ilmu Manthiq) muncul lebih dahulu daripada bahasa, maka implikasi-logisnya bahwa makna dan logika (Ilmu Manthiq) inilah yang menentukan kata dan bahasa, bukan sebaliknya.

Sisi nativistik menempatkan makna (manthiq; logika) pada posisi dasar, mengingat bahwa manusia dilahirkan dengan dibekali bakat/pembawaan (makna, manthiq, logika), yang menentukan dan menciptakan garis-garis kata (bahasa); di mana perkembangan dan pengembangan kata (bahasa) berlanjut atas ketentuan makna (manthiq, logika).

Sisi empiris justeru kata (bahasa) terlebih dahulu ada dalam dan dari lingkungan; di mana perkembangan dan pengembangan kata dan bahasa yang sarat makna (manthiq, logika) itu ditentukan oleh pengaruh yang dialimi dalam dan dari lingkungan, termasuk ajaran Ilmu Manthiq atau logika. Walhashil kata atau bahasa sebagai lingkungan yang menentukan makna.

Dasar yang berkaitan dengan sisi nativistik mengakibatkan bahwa manthiq (logika), yaitu makna telah ada sejak sebelum dan semenjak lahir, sehingga Ilmu Manthiq (logika) atau kata dan bahasa yang artifisial itu sebagai sarana perkembangan dan pengembangan manthiq (logika; makna) potesial.

Rene Descartes berpendapat bahwa dalam pertautannya dengan lingkungannya, orang menggunakan pengertian-pengertian tertentu yang tidak dapat dikatakan sebagai abstraksi dari pengalaman yang dialaminya dari lingkungan. Ia menunjuk misalnya kepada pengertian Tuhan yang tidak muncul karena pengamatan inderiah dan karenanya pengertian seperti itu harus disimpulkan didapat manusia sejak kelahirannya. (M.I. Soelaeman, 1988 p. 50).

Leibniz berpikir lebih jauh dari itu. Bagi Leibniz pengertian yang harus dikembalikan kepada idea-idea yang dibawa lahir, bukan hanya beberapa pengertian saja, melainkan semuanya harus dikembalikan kepada idea-idea yang dibawa lahir. Realita yang sehari-hari nampak secara material sebenarnya adalah idea.
Perdebatan tersebut baik langsung ataupun tidak langsung bersentuhan dengan masalah ajar dan dasar. Yang tentunya menyinggung persoalan-persoalan:
1. Apakah kata atau bahasa seseorang itu merupakan bawaan atau hasil pengaruh lingkungan (orang, ajaran, kebudayaan), termasuk kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip Ilmu Manthiq (logika) yang dibukukan dan dibakukan; dibakukan dan dibukukan secara sistematik oleh Aristoteles sebagai Guru Pertama, dan oleh Al-Farabi sebagai Guru Kedua?
2. Manakala dalam kata dan bahasa itu ada faktor bawaan dan ada faktor pengaruh dari lingkungan termasuk Ilmu Manthiq (logika) yang telah terbukukan dan terbakukan, yang manakah yang bawaan dan yang manakah yang pengaruh lingkungan?
3. Seberapa jauhkah faktor bawaan dan seberapa jauh pula faktor lingkungan dapat mempengaruhi kata dan bahasa seseorang?

Schopenhauer berpendapat bahwa "The world is my idea, the world, like man, is through and through will and  through idea...". Segala kejadian di dunia dipandangnya sebagai manifestasi dari benih yang ada padanya sejak semula. Hal ini tidak saja berlaku bagi tanaman, melainkan juga bagi segala organisme, termasuk manusia. Oleh karena itu, maka yang penting adalah prokreasinya. Perkembangan manusia hanya merupakan semacam penjabaran dari yang telah disiapkan semula, yang telah dibawakan sejak kelahirannya. (M.I. Soelaeman, 1988 p. 50).

Dengan demikian, makna dan kata, logika (manthiq) dan bahasa, manthiq (logika) potensial dan Ilmu Manthiq (Ilmu Logika) sebagai manthiq 9logika) artifisial dimulai sejak jauh sebelum kelahiran manusia (yang berlogika dan berbahasa). Manusia dalam bentuk zygote yang terbentuk melalui pertemuan sel ibu dengan sel ayah (sperma). Dalam zat hidup ini terkandung potensi bermanthiq sekaligus berbarengan berbahasa yang menimbulkan berlogika yang mengakibatkan berbahasa yang beragam itu; bahkan dimulai sejak sebelum manusia dan alam diciptakan dan berada sebagaimana sekarang adanya.

Jadi, akallah yang pertama diciptakan Allah Swt Awj sebelum diciptakan segala yang ada dan yang mungkin ada. Dan akal inilah gen dari manthiq (logika) potensial juga manthiq (logika) artifisial yang tak terpisahkan dari kata dan bahasa yang juga artifisial.

Akal sebagai gen manthiq (logika) itu menjadi zat hidup yang mengandung manthiq (logika) potensial yang berpasangan dengan manthiq (logika) artifisial yang berimbang kelak dalam eksistensial manusia di dunia, yang mengandung dan mengundang manthiq (logika) artifisial yang berpasangan dengan bahasa atau makna dengan kata.

Akal yang pertama diciptakan itu bukanlah akal yang melekat pada seseorang atau kelompok orang-orang, atau manusia yang telah, sedang, dan akan (pernah) berada di bumi ini.

Akal yang melekat pada manusia di bumi ini sepenuhnya ditentukan oleh akal yang pertama diciptakan itu; akal yang menjadi gen manthiq (logika) tadi.

Akal yang pertama diciptakan yang menjadi gen manthiq (logika) tadi pada saat menyelinap ke dalam akal yang melakat pada manusia ini, ia berubah dan mengubah dirinya menjadi akal yang utuh dan penuh. Akal yang pertama diciptakan dan penyelinapannya tidak dapat diketahui oleh manusia. Akal yang utuh penuh itu disebut genotype dari akal yang tidak diketahui tadi.

Akal yang melekat pada manusia yang menjadi wadah dari akal yang utuh penuh tadi, mengubah dirinya menjadi fenotype dari akal yang tidak diketahui tadi. Karena itu, ia merupakan atau dapat disebut akal yang telah mencerap pengaruh lingkungan di mana manusia hidup. Nah, manusia yang berakal, yang akalnya itu menjadi wadah akal yang tidak diketahui itu yang melahirkan genotype dan fenotype dari akal itu, seolah-olah tampak berakalnya bukan badannya. Akal fenomenal inilah yang disebut akal utuh (genotype dari akal)  akal sebagaimana telah berkembang dalam lingkungan tertentu.

Denagn demikian, manusia dalam kehidupan sehari-hari dapat berinteraksi secara aktif dan melakukan transformasi dengan sesamanya; hal ini tak ayal lagi karena ia memiliki akal untuk berpikir. Al-Qur'an menunjukkan bahwa manusia sangat dihargai karena peranan akalnya. Dan Al-Qur'an juga memuat seruan Allah Swt Awj kepada manusia, agar ia selalu berpikir.

Akal manusia bagi manusia merupakan suatu sarana super canggih, sebagai yang dikaruniakan oleh Allah Swt Awj kepadanya, tidak kepada makhluk lainnya.

Manusia dengan akalnya dapat mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya. Ia dapat memahami lebih mendalam bagi sesuatu yang telah diketahuinya, baik tentang dirinya maupun hakikat alam dan rahasia yang terkandung di dalamnya.

Manusia karena akalnya menjadi makhluk unik yang senantiasa terdorong untuk berpikir sepanjang hayatnya sesuai dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya.

Manusia ketika masih diberi kehidupan dan hidup dalam keadaan normal, selama itu pula manusia akan beraktivitas berpikir yang akan terlepaskan dan melapaskannya. Ia berambisi untuk mencari kebenaran dengan jalan berpikir. Pada saat mencari kebenaran dengan jalan berpikir itulah Ilmu Manthiq (logika) berperan penting dalam mencari suatu kebenaran itu. Rene Descartes menandaskan cogito ergo sum (Aku berpikir, karena itu aku ada.

Teori manthiq (logika), yang jelas menggunakan nalar, dalam pensyari'atan Hukum Islam, sama sekali tak dapat melepaskan diri dari apa yang disebut sebagai Ilmu Manthiq. Karena itu, Ahlu 'l-Ra'yi (Manthiq, Logika) dan Ahlu 'l-Qiyas (Analogi) memandang bahwa syari'at itu sebagai pengertian yang masuk akal dan dipandangnya sebagai akal yang universal yang disyari'atkan oleh Al-Qur'anu 'l-Karim. Al-Imam Al-Syafi'i, dalam teori ijtihad, ketika memahami Al-Qur'an maupun sunnah ada istilah Dilalah Ghair Mandhum (petuunjuk kalimat terhadap makna dengan menggunakan lafadl yang tidak sharih) yang tentunya dibutuhkan analisis berpikir tepat dalam memahaminya. Untuk itu, signifikansi akal teramat krusial sebagai langkah untuk memperoleh kredibilitas dan akuntabilitas dalam memecahkan dan membuat kesimpulan pada setiap persoalan hidup.

Memang perlu diakui bahwa hasil pemikiran manusia meskipun menggunakan akal tidak selalu benar. Hasil pemikirannya, kadang-kadang salah meskipun ia telah bersungguh-sungguh berupaya mencari yang benar. Kesalahan itu bisa saja terjadi tanpa unsur kesengajaan. Jika hal itu memang terjadi, maka ia telah mendapat pengetahuan yang salah meskipun ia yakin akan kebenarannya. Oleh karena itu, supaya manusia aman dari kekeliruan berpikir dan selamat dari mendapat kesimpulan yang salah, perlulah ajar berupa kaidah-kaidah berpikir atau metodologi berpikir ilmiah yang dikenal Ilmu Manthiq (logika). Peran Ilmu Manthiq (logika) seperti halnya Nahwi li 'l-Lisan (Grammar dalam pengucapan). (Sullamu 'l-Munauwraq, Syekh Abdurrahman Al-Akhdhari).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar