STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Kamis, 22 Desember 2011

PARADIGMA PENDIDIKAN UNIVERSAL DI ERA MODERN DAN POST-MODERN Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita

BAB I
GELOMBANG MODERNISME PENDIDIKAN
KEMUNCULAN ILMU PENGETAHUAN MODERN
Kemunculan ilmu pengetahuan modern pada abad XIX,mempunyai karakteristik lebih kompleks dari perkembangan intelektual abad sebelumnya,dipengaruhi oleh beberapa hal.Pertama,daerah perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin luas,dimana Amerika dan Rusia telah memberikan kontribusiyang penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan,serta adanya kesadaran bangsa Eropa tentang filsafat India.Kedua,ilmu pengetahuan yang telah menjadi kekuatan utama sejak abad XVII mengalami perluasan,khususnya di bidang geologi,biologi dan kimia.Ketiga,mesin produksiyang secara pasti merubah struktur social,sekaligus memberikan konsep-konsep baru dalam hubungannya dengan lingkungan fisik.Keempat,adanya perubahan yang cepat (revolusi),baik di bidang filsafat,politik yang telah merubah system pemikiran tradisional.
Di dunia modern,ilmu pengetahuan dan segala atributnya telah menjadi lambang supremasi modernisme.Primordialisme ilmu pengetahuan dalam alam modern tersebut mengandung beberapa makna.Pertama,ilmu pengetahuan mengimplikasikan adanya suatu prestise dan mendapatkan tempat di masyarakat.Kedua,saksi ahli,yaitu orang yang telah mempunyai reputasi dalam hal ilmu pengetahuan,sehingga mereka yang belum mempunyai reputasi maka tidak dianggap ilmiah.Ketiga,kita boleh berbicara tentang penelitian ilmiah bagi mereka yang telah mendapatkan otoritas legitimate untuk melakukan observasi.
Ilmu pengetahuan merupakan aktifitas trans nasional yang tidak terbatas oleh suku,ras ataupun wilayah tertentu.Ia merupakan proses kontinyu yang tidak terbatas pada perbedaan bahasa dan kebangsaan.Perkembangan ilmu pengetahuan modern di Eropa abad XVI dan XVII yang lebih banyak dipengaruhi oleh bahasa Latin sebagai alat komunikasi utamanya-tampaknya hal itu sangat paradoks dengan semangat ilmiah yang telah menjadi kesepakatan dunia.
Menurut Stevens(1951) pengetahuan ilmiah atau science adalah suatu usaha untuk mengadakan generalisasi atas preposisi-preposisi dengan cara mencocokkan antar system symbol formal seperti bahasa,matematika,logika kedalam observasi empiris.
Thomas Khun dalam The Structure of Scientific Revolution berpendapat,bahwa dalam pengetahuan ilmiah yang terpenting adalah penggunaan term paradigma.Paradigma,sebagaimana yang ditegaskan oleh Kuntowijoyo adalah sebuah cara dalam merumuskan kerangka teori yang dibangun berdasarkan mode of thougt atau mode of inquiry agar menghasilkan mode of knowing.Immanuel Kant menyebutnya sebagai skema konseptual,Marx menyebut dengan ideology dan Wittgenstein menyebut sebagai cagar bahasa.
Kosekuensi dari pendidikan ilmu pengetahuan adalah sebuah penghematan,sebab paradigma,membimbing penelitian secara langsung sebaik aturan-aturan yang bersifat abstrak.Normal science dapat diproses tanpa menggunakan aturan-aturan tertentu,kecuali mereka yang telah menerima aturan dalam memecahkan masalah khusus.Paradigma biasanya dibentuk oleh frekuensi dan kedalaman sebuah perdebatan dalam mencari legitimasi metodologis,problem dan standar problem solving.
Etika secara tradisonal mengandung dua hal.Pertama,etika dibentuk oleh aturan-aturan moral.Kedua,adalah sesuatu yang sudah memiliki pertimbangan yang baik,seperti makan yang tidak boleh terlalu banyak.

AWAL MODERNISME PENDIDIKAN
Modern adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu era baru (New Age),yang berfungsi untuk membedakan dengan masa lalu (the ancient) dan suatu era yang mencoba keluar dari romantisme spiritual dan mengganti dengan sebuah kesadaran,bahwa setiap manusia bebas dari tekanan sejarah tertentu,yang pada decade terakhir ini lebih dikenal sebagai zaman pembeda antar masa lalu dan masa sekarang.
Peralihan dari abad pertengahan kea bad modern ditandai oleh suatu era yang yang disebut dengan “renaissance”.Renaissance adalah suatu zaman yang sangat menaruh perhatian dalam bidang lukis,patung,arsitektur,musik,sastra,filsafat,ilmu pengetahuan dan teknologi dan zaman atau gerakan yang didukung oleh cita-cita lahirnya kembali manusia yang bebas.
Filsafat barat modern memiliki corak yang berbeda dengan periode filsafat Abad Pertengahan.Jika pada Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya,maka pada zaman Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri.Manusia pada zaman Modern tidak mau diikat oleh kekuasaan yang mengikat itu ialah agama dan Gerejanya,serta Raja dan kekuasaan politiknya yang bersifat absolute.
Para filosof modern pertama-tama menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau dogma-dogma Gereja,juga tidak berasal dari kekuasaan feudal,melainkan dari diri manusia sendiri.Sebagai ahli waris zaman renaissance,filsafat zaman modern itu bercorak “antroposentris”,artinya manusia menjadipusat perhatian penyelidikan filsafat.

Rasionalisme
Metode yang diterapkan oleh para filusuf rasionalisme ialah metode deduktif,seperti yang berlaku pada ilmu pasti.
Dua hal pokok cirri dari setiap bentuk rasionalisme.Pertama,kebenaran-kebenaran yang hakiki itu secara langsung dapat diperoleh dengan menngunakan akal sebagai sarananya.Kedua,adanya suatu penjabaran secara logis atau deduktif.

Realisme Empirik
Menurut empirisme metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a-priori,tetapi”post teriori.Artinya dengan metode post-teriori maka pengetahuan akan terbentuk oleh sesuatu yang sudah terjadi.
Sumber pengetahuan adalah pengamatan.Melalui pengamatan ini manusia memperoleh dua hal,yakni kesan (impression) dan pengertian (idea).Kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman.Kesan ini menampakkan diri dengan jelas dan kuat terhadap pengamat.Sedangkan pengertian merupakan gambaran tentang keagamaan yang redup,kabur dan samara-samar yang diperoleh dengan merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesadaran
.Kritisme
Kritisme adalah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsure dalam filsafat rasionalisme dan empirisme dalam suatu hubungan yang seimbang,yang satu tidak terpisahkan dari yang lain.
Pengetahuan rasional (analitis-a priori) adalah pengetahuan yang bersifat universal tapi tidak memberikan informasi baru.Sebaliknya pengetahuan empiris (sintetis-a posteriori) dapat memberikan informasi baru,tetapi kebenarannya tidak universal.
Kant mengemukakan bahwa pengetahuan itu seharusnya sintetis-a priori.Yang dimaksud dengan pengetahuan sintetis-a priori ialah pengetahuan yang bersumber dari rasio dan empiri yang sekaligus bersifat a priori dan a posteriori.Di sini akal budi dan pengalaman inderawi dibutuhkan serentak.Selanjutnya Kant mengatakan bahwa pengetahuan selalu bersifat sintesis.Pengetahuan indrawi misalnya merupakan sintesis hal-hal dari luar dan dari bentuk-bentuk ruang dan waktu.Sedangkan pengetahuan dari akal merupakan sintesis dari data indrawi dan sumbangan dari kategori-kategori.

Idealisme
Secara umum penganut idealisme sepakat bahwa pendidikan tidak hanya menekankan pengembangan akal fikiran tetapi juga bagaimana mendorong siswa untuk lebih memfokuskan segala sesuatu yang mengandung nilai-nilai tertentu.Sejalan dengan Plato,para idealis percaya bahwa tujuan pendidikan adalah mengarahkan anak didik untuk mencari ide-ide tentang kebenaran sebagai cara untuk menjadikan anak didik mempunyai tingkat kedisiplinan tertentu.

Positivisme
Filsafat Positivisme Comte disebut juga faham empirisme-kritis,bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring.Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara”terisolasi”,dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.Metode positif Auguste Comte juga menekankan pandangannya pada hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain.Baginya persoalan filsafat yang penting bukan masalah hakekat atau asal mula pertama dan tujuan akhir gejala-gejala.melainkan bagaimana hubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lain.

Marxisme
Kalangan Marxisme menjadikan pendidikan sebagai sebuah proses dalam merubah masyarakat kapitalis menjadi masyarakat sosialis dan bahkan komunis.Dasar pandangan dari pendidikan marxisme adalah adanya gerakan dialektis dan tujuan pendidikannya adalah membentuk kesadaran sosialis dan masyarakat sosialis.Sebab itu Marx kurang setuju dengan pengasingan manusia,dimana hal itu disebabkan oleh adanya private property serta control produksi oleh kalangan elite.Tujuan dari Marx adalah untuk membebaskan manusia dari alienasi kalangan elite,serta menjadikan pekerja lebih menyadari aktifitas kemanusiannya dengan meletakkan kembali control individu.Kontrol individu tersebut pada akhirnya akan menjadi tujuan umum (public aims),kebebasan spiritual dirubah menjadi independensi alami.

Abad Kontemporer(Abad ke-20)
Tema yang menguasai filosof dalam abad ke-20 adalah pemikiran tentang bahasa.Tugas filsafat bukanlah membuat pertanyaan-pertanyaan tentang sesuatu yang khusus,sebagaimana yang diperbuat para filosof sebelumnya,melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakpahaman terhadap bahasa logika.Tujuan filsafat adalah penjelasan logis terhadap pemikiran.Filsafat bukanlah doktrin,melainkan aktivitas,sebab sebuah karya filsafat pada hakikatnya terdiri atas penjelasan.
Pada abad ke-20 ada aliran filsafat yang pengaruhnya didalam dunia praktis cukup besar yaitu aliran filsafat pragmatisme.Pragmatisme merupakan gerakan filsafat Amerika yang menjadi terkenal selama satu abad terakhir.Aliran filsafat ini merupakan suatu sikap,metode dan filsafat yang memekai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran.

DESCARTES DAN JOHN LOCKE:PENGGAGASAN PENDIDIKAN MODERN.
John Locke adalah seorang tokoh realisme yang menganggap bahwa pada dasarnya segala pengetahuan berasal dari pengalaman.Pengalaman-pengalaman tersebut pada dasarnya menjadi entry point dalam membentuk paradigma pengetahuan setiap manusia.Oleh sebab itu Locke menggambarkan bahwa pengetahuan manusia selalu dikaitkan dengan “hukum alam” yang menjadi awal eksistensi manusia.Hukum alam tersebut bukan merupakan hasil dari karya manusia akan tetapi hal itu merupakan hukum alam yang berasal dari Tuhan yang tidak bisa dibebankan kepada manusia,kecuali manusia mengambil fenomena hukum alam tersebut sebagai dasar konstruksi pengetahuan manusia.
Meski demikian,hal diatas tidak dapat dikatakan bahwa Locke telah meninggalkan rasionalisme.Locke ditempatkan sebagai seorang yang rasionalis,yang mengakui bahwa kebenaran sejati tentang dunia dapat diambil dari latihan berfikir itu sendiri.
Dalam anjuran Descartes,orang yang mengadakan kajian tentang alam haruslah membuang pra-konsepsi yang meragukan dan merekonstruksi intelektualnya dari ide-ide yang jelas.Anjuran Descartes untuk memutuskan hubungan dengan masa lampau ini dalam tiga hal.Pertama,ia memutuskan untuk memulai dari awal,seolah-olah dengan tanpa mempercayai otoritas filsafat sebelumnya.Maka ia mengkritik pengikut aristoteles,bahkan mereka gagal memahaminya dengan tepat. Kedua, ia memutuskan untuk menghindari pengacauan tentang pernyataan yang jelas dan tegas, dengan sesuatu yang debatable atau pernyataan yang possibility. Ketiga, ia memutuskan untuk mecapai dan bekerja dengan ide yang jelas dan tegas, bukan menggunakan istilah-istilah tanpa makna sebagai mana yang dilakukan oleh kaum skolastik.
Maka untuk memulai penelitian dalam memperoleh pengetahuan, Descartes menawarkan fondasi yang disebut dengan keragu-raguan (skeptis). Artinya semua pendapat dari manapun datangnya termasuk dari otoritas indera harus diraguan. Skeptis adalah bagian dari berfikir. Sehingga ketika seseorang berada dalam scope keragu-raguan maka hakekatnya seseorang tersebut sedang melakukan proses berfikir dan Karena proses berfikir tersebut maka seseorang akan eksis. Keragu-raguan merupakan salah satu cara untuk menentukan sesuatu yang pasti. Dengan jalan ini, pertama-tama yang harus dilakukan adalah meragukan segala sesuatu yang berada diluar kesadaran, termasuk di dalamnya mengenai Tuhan.

AUGUST COMTE: POSITIVISME MODERN
Positivisme berasal dari kata positive, yang semakna dengan factual yaitu sesuatu bersifat nyata dapat diamati oleh kekuatan panca indera. Menurut Comte perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis kedua, tahap metafisik, ketiga tahap positif. Dijelaskan bahwa dinamika tersebut meliputi perkembangan pemikiran perorangan (individu) ataupun perkembangan pemikiran seluruh umat. Sehingga bisa dikatakan dinamika individu tidak ubahnya merupakan dinamika masyarakat. Sebaliknya, dinamika masyarakat adalah cerminan dari dinamika individu.
Tahap Teologis, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia.
Pada tahap metafisika, hanya mewujudkan suatu perubahan dari tahap teologis, sebab kekuatan –kekuatan adikodrati atau dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umumyang disebut alam.
Pada tahap positif, orang tahu bahwa tida gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari segala sesuatu yang berada dibelakang segala sesuatu. Ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tapi juga berlaku bagi tiap orang sendiri-sendiri.

JOHN DEWEY: ANTARA KEBEBASAN DAN DEMOKRASI
John dewey adalah seorang tokoh pragmatisme, dimana pragmatisme adalah suatu aliran filsafat yang dilatarbelakangi oleh adanya pemisahan antara teori dan praktek.
Menurut ajaran pragmatisme, criteria kebenaran suatu pernyataan dan kebaikan suatu kaidah terletak pada kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan moral menurut Dewey mengandung tiga unsure penting . Pertama, perhatian dan masyarakat, artinya masyarakat bagi Dewey juga merupakan agen pendidikan yang bernilai strategis oleh karena itu perhatian terhadap dinamika anak didik sangat diperlukan. Kedua, memberikan pengertian kepada anak didik tentang kehidupan masyarakat, ini berarti bahwa anak diberi pengarahan untuk belajar hidup dan bagaimana belajar dari kehidupan. Ketiga, keterampilan praktis, artinya anak didik harus dibekali keterampilan praktis, karena moral sebenarnya tidak saja menjadi suatu kegiatan yang abstrak akan tetapi harus dipahami bahwa moral adalah tingkah laku yang dihasilkan dari pengertian abstrak serta didukung dengan akumulasi pengalaman dia dapat sebelumnya.

BAB II
POSTMODERNISME PENDIDIKAN

POSTMODERNIME: KONSEP DAN PEMIKIRANNYA
Postmodernisme merupakan suatu terma yang mulai menggejala pada abad XX. Kemunculannya merupakan suatu tanda bahwa ada semacam ketidakpuasan atas prestasi-prestasi yang telah dicapai pada masa modern. Begitu juga postmodernisme merupakan suatu reaksi atas modernisme yang mempunyai karakteristik positivistic dan scientis (ilmiah), yang selama ini telah mengalami kejumudan dan stagnasi.
Secara histories postmodernisme telah muncul sejak tahun 1870, dimana istilah ini digunakan oleh seorang seniman Inggris Matkins Chapihan di bidang arsitektur. Penggunaan term “post” pada tahun 1914 -1922 digunakan untuk merespon gerakan industrialisasi yang disebut dengan “post-industrialisme” yang banyak didengungkan oleh Michael Foucault. Dari sinilah kemudian penggunaan “post” mulai menggejala dan menyebar diseluruh lini kehidupan tidak tekecuali dibidang pendidikan.
Postmodernisme diawali dengan ketidak percayaan terhadap segala bentuk narasi besar, penolakan akan filsafat mistisisme, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi, seperti filsafat hegellianisme, liberalisme, marxisme dan sebagainya. Postmodernisme selain menolak pemikiran yang totaliter, juga menghaluskan sensitivitas kita terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi kita terhadap realitas yang terukur. Prisipnya bukanlah homologi akan tetapi paralogi. Hal ini sesuai dengan dictum filsafat postmodernisme “all is difference”
Secara filosofis trend postmodernisme ditandai dengan munculnya filsafat fenomenologis yang dipelopori oleh Husserl.
Ilmu pengetahuan dalam alam postmodernisme adalah suatu komoditas dunia yang signifikan dan mungkin akan menjadi sumber konflik berbagai pemikiran dimasa mendatang. Ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang dikomunikasikan oleh makna narasi yang disebut grand narasi. Untuk menggambarkan postmodernisme sebagai gerakan filsafat adalah moment kemunculan skeptisisme. Skeptisisme secara essential merupakan bentuk filsafat negative dan pesimistik, yaitu skeptis terhadap otoritas, kebenaran dan norma-norma politik maupun cultural. Postmodernisme merupakan suatu jalan untuk mengambil alih tradisi pemikiran barat dengan mengembangkan kembali tradisi filsafat yunani klasik.
Postmodernisme dalam beberapa tahun terakhir telah merefleksikan perjalanan budaya tradisional, termasuk arsitektur, seni dan teater. Ini ditunjukkan dengan munculnya generasi baru yang tidak lagi meyakini kesulitan dalam mengahadapi kehidupan. Konsepsi postmodernisme tentang kesadaran juga melibatkan kehidupan religius dan spiritual. Oleh karena itu postmodernisme menegaskan bahwa keberadaan seseorang mungkin akan berlangsung dalam konteks realitas ketuhanan.

POSTMODERNISME DAN KRITIK
Menurut Freire mengandung, sekaligus harus membawa implikasi dinamis dan positif akan makna keadilan dan humanisme. Dikatakan adil karena tidak ada treatment diskriminatif dikatakan humanis karena tidak ada unsure pemaksaan, tetapi lebih menekankan poses pembebasan, sehingga pendidikan yang benar adalah pendidikan yang direncanakan sebagai proses perubahan, dalam rangka merubahstruktur-struktur social yang tidak adil menjadi lebih adil dan manusiawi.
Kesadaran kritis merupakan kesadaran tinggi, artinya masih ada tingkat kesadaran dibawah kesadaran kritis, yakni yang disebut dengan kesadaran naïf dan kesadaran magis. Kesadaran magis ialah suatu fase kesadaran dimana orang mengadaptasi atau menyesuaikan diri secara fatalistic dengan system yang ada. Sedangkan kesadaran naïf mempunyai karakteristik dimana seseorang terlalu menyederhanakan dan meromantisasikan realitas, dia berusaha mereformasi individu-individu yang tidak adil dengan asumsi bahwa system yang mewadahinya bisa bekerj secara tepat.
Implikasi dari pendekaatan pembelajaran kritis adalah munculnya dua pemahaman pendidikan : pemahaman pendidikan tersebut pada hakikatnya mempunyai perbedaan diametral baik dari sisi metode dan fungsi pelaksanaanya, yaitu yang disebut dengan pendadogi dan apa yang disebut sebagai andragogi. Pendadogi adalah suatu seni mengajar yang menempatkan subyek sebagai anak didik, meskipun dilihat dari realitas biologis subyek sudah menunjukkan tingkat kedewasaan. Sedangkan andragogi menempatkan peserta belajar sebagai subyek yang dianggap dewasa, meski secara biologis belum mengindikasikan adanya tingkat kedewasaan tertentu.
Kedua pemahaman tersebut kemudian sering digunakan sebagai pendekatan dalam paradigma magis, naïf dan kritis. Pendekatan andragogi sering sekali digunakan dalam proses pendidikan magis dan naïf yang pada hakikatnya kolaborasi tesebut membawa konsekuensi kontradiktif. Seharusnya pendekatan andragogis digunakan dalam pendidikan kritis daripada menggunkan pendekatan andragogis.Berbeda dengan liberalisme pendidikan yang bersifat blaming the victis, meskipun mereka menggunakan pendekatan andargogi, namun yang tejadi adalah proses penjinakan. Sebaliknya banyak juga model pendidikan yang menggunkan kesadaran kritis namun dilakukan dengan cara pedagogi maka yang terjadi adalah proses indoktrinasi.
Secara diametral pendektana pedagogi dan andragogi dalam kesadaran magis, naïf dan kritis tidak campuraduk, sekaligus mengantisipasi kesalahan-kesalahan prosedur, maka seorang konseptor ataupun praktisi pendidikan harus mengetahui karakter dari masing-masing kesadaran tersebut.
Fatalisme kesadaran magis menyebabkan manusia memasuki ruang kemustahilan sekaligus menyebabkan kebisuan politik. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah kesadaran yang menyebabkan peserta didik sebagai subyek yang pasif,tidak memiliki komentar kontradiktif. Orientasi dasar dari pemikiran magis adalah menyerahkan seluruh fakta kepada orang yang capable atau seorang penguasa untuk menjelaskan mengapa timbul suatu masalah dan menyederhanakan hubungan kausalitas. Kondisi ini sebenarnya lebih berbahaya ketimbang orang yang mempunyai ketergantungan kepada kekuatan metafisik.
Modernitas yang ditandai dengan pencarian unifikasi kebenaran tertentu, dengan menjadikan wacana sebagai sebuah bentuk definitive discourse, yang menghubungkan dunia dengan individu sebagai sebuah hubungan yang koheren, penuh arti dan dapat dikuasai. Di dunia modern, meskipun secara constant seorang pribadi dilatih dalam bentuk dicountinyuitas dan terfragmenkan, namun hal itu dianggap sebagai kondisi yang tidak alami sebagai sumber kecemasan sebab individu dibentuk oleh perencanaan kehidupan, terapi dan konseling hal itu menyebabkan individu tidak pernah menemukan otentitasnya.

DEKONSTRUKSI DAN REKONSTRUKSI PENDIDIKAN
Isu berakhirnya filsafat modernisme yang terlalu mentotalisasi kehidupan manusia mempunyai korelasi yang signifikan dengan apa yang disebuut sebagai proses dekonstrusi.
Dekonstrusi Jacques Derrida pada perkembangannya, menjadi kekuatan utama dari etos post-strukturalisme. Dekonstruksi ditujukan untuk menentang system konstruksi strukturalisme beranggapan bahwa fenomena adalah suatu entitas yang reducible bagi suatu system operasi yang membawa implikasi dunia dapat dikuasai secara penuh.
Metode dekonstruksi jika direkonstruksikan secara sistematis, terdiri dari pertama, mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks, dimana biasaya telihat terminology mana yang dispesialkan secara sistematis. Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik, misalnya dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan diantara yang berlawanan itu, atau dengan mengusulkan privatisasi secara tebalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah teminologi atau gagasan baru, yang tidak bisa dimasukan kedalam kategori oposisi.
Dekonstruksi pendidikan lebih mefokuskan diri pada bagaimana membongkar hegemoni institusi, yang selama ini telah dijadikan media dalam mempertahankan status quo. Tidak itu saja dekonstruksi juga dimasukkan untuk menentang ideology-ideologi pendidikan yang dominant, praktek-praktek pengajaran yang kaku dan tidak manusiawi, mengacaukan otoritas institusi dan para pendidik dan akhirnya menyadari adanya kekeliruan sistematias yang memang sengaja dibuat menjadi regulasi dan aturan-aturan yang membelegu.
Derrida menginginkan adanya pembebasan naskah atas sebuah teks/naskah.Hal ini dipahami sebagai suatu upaya dalam membebaskan naskah dari makna tunggal resmi yang mungkin diberikan oleh kultur yang dominant atau oleh struktur-struktur institusional yang menetapkan bentuk-bentuk wacana.
Oleh sebab itu,tugas dekonstruksi adalah membebaskan naskah, mengembangkan ambiguitasnya, mengungkap ambiguitas terpendamnya, memunculkan kontradiksi internalnya dan mengenali kekurangannya yang terakhir ini merupakan kondisi yang selalu mungkin dalam setiap naskah.Kekurangan tersebut oleh Derrida dinamakan “aporia”,bukanlah kontradiksi yang eksplisit,melainkan semacam paradoks atau kesenjangan dalam pemahaman yang didapati dalam suatu naskah.Tujuan Derrida bukanlah menunjukkan bagaimana dengan kekurangan itu bisa dihasilkan naskah yang terpadu dan logis,karena ia berpandangan bahwa ambiguitas,metaforis,pergeseran makna dan kesenjangan semantic,merupakan karakteristik dari semua teks atau naskah.

PARADIGMA PENDIDIKAN POSTMODERNISME
Proses pendidikan dan peran pendidik selama ini dibangun di atas ide-ide humanisme.Dalam proses pendidikan humanis,subyek dilatih untuk menjadi agen individual.Subyek yang tidak lagi dependen terhadap episteme dan materi ilmu pengetahuan bahkan lebih dari sebuah dependensi subyek dilatih untuk dapat semaksimal mungkin merealisasikan potensi individualnya.
Pendidikan post-modernisme lebih apresiatif terhadap toleransi pluralistic dan perbedaan meskipun hal itu terkesan ambivalen.Hal itu yang menjadikan anak didik dalam post-modernisme sebagai subyek yang harus diisi.Anak didik dikonstruk oleh system wacana yang signifikan,dengan cara mendesentralisasikan anak didik melalui bahasa,kehidupan sosial dan ketidaksadaran.Tujuan pendidikan modern yang paling mutakhir adalah menjadikan manusia sebagaimana manusia,manusia dalam arti natural.Artinya lebih mengedepankan hak-hak asasi sehingga kemanusiaanya menjadi lebih manusiawi.Konsep anak didik sebagai pebelajar dalam post-modernisme lebih dibentuk untuk menentang adanya struktur dan ilmu pengetahuan.Pendidikan sebagai sebuah bentuk aktifitas dan struktur sosio-kultural mempunyai hubungan yang sangat erat dengan produksi dan penyebaran dasar ilmu pengetahuan.
Dalam konteks post-modernisme,problematisasi struktur dan hirarki epistimologis ternyata memberikan kekuatan konseptual pemikiran baru bagi lapangan pendidikan,baik ditingkat structural maupun personal,sehingga pendidikan sendiri mengalami perubahan-perubahan mendasar tentang tujuan,isi dan metode.Kondisi tersebut semakin menambah keyakinan kalangan post-modernisme bahwa ilmu pengetahuan harus melegitimasi dirinya sendiri.Dengan kata lain pengetahuan ilmiah jika tidak melegitimasi dirinya sendiri maka hal itu bukan pengetahuan ilmiah sebenarnya,melainkan hanya sebuah bentuk pra-scientific ilmu pengetahuan.
Berbeda dengan pandangan kaum modernis seperti humanis liberal yang mengatakan bahwa pengetahuan selalu berlawanan dengan kekuasaan.Pengetahuuan adalah sebuah seperangkat metode sistematis yang digunakan hanya untuk mencari kebenaran,sedangkan kuasa justru tidak membangun kebenaran namun kuasa dapat mendistorsi kebenaran.Implikasinya adalah bahwa kebenaran dan pengetahuan akan berjalan jika kekuasaan tidak dijalankan.Sebaliknya kalangan postmodern melihat ada hubungan yang signifikan antara kuasa dan ilmu pengetahuan.Pengetahuan muncul dengan adanya kekuasaan ketika hal itu direpresentasikan secara penuh didunia nyata.Kuasa dan pengetahuan secara langsung telah mempengaruhi yang lainnya,sehingga tidak ada kuasa tanpa ada hubungannya dengan lapangan pengetahuan.Sebaliknya tidak ada pengetahuan yang terbentuk selain oleh kekuasaan.
Dalam pendidikan post modernisme,arkeologi dianggap sebagai bahan inti dari pelajaran,sebab dengan arkeologi anak didik dituntut untuk lebih mempunyai perspektif yang membumi.Mereka diberi pengetahuan tentang sejarah masa lalu,sejak nenek moyang mereka,pengetahuan itu menyangkut tentang bagaimana merawat dan memelihara bumi sebagai satu ekosistem yang kompleks.
Untuk mengimplementasikan pendekatan arkeologis,seorang pendidik harus bisa membedakan wilayah pengetahuan ilmiah dan territory arkeologis,sebab artikulasi dan prinsip organisasi sangat berbeda.Proposisi-proposisi yang mengikuti konstruksi hukum tertentu masuk dalam wilayah pengetahuan ilmiah,sebaliknya yang tiadak mengikuti sistematika konstruksi hukum tertentu berada di luar wilayah pengetahuan ilmiah.
Pendidikan post modernisme harus mendapatkan legitimasi performatif,artinya pendidikan post modernisme harus mempunyai criteria performatif yang mempunyai dua fungsi.Pertama,ia berfungsi sebagai desain kompetitif,artinya dengan adanya spesialis tertentu institusi pendidikan dapat memasarkan dipasaran dunia.Kedua,pendidikan tinggi akan menyuplai bagi perkembangan system sosial dengan keahlian-keahlian yang dibutuhkan masyarakat.
Quantum learning didefinisikan sebagai interaksi-interaksi yang mungubah energi menjadi Cahaya.Ini berangkat dari teori Einstein yang mengatakan semua kehidupan adalah energi.Model pembelajaran terbuka memungkinkan siswa untuk mengekpresikan kebebasannya dalam belajar serta dapat mengakses materi-materi yang dia sukai.Hal ini membawa penilaian bahwa pembelajaran terbuka sangat berpengaruh bagi efisiensi mekanisme sosial yang telah diatur oleh pembuat kebijakan.
Pendidikan post modernisme mempuyai keinginan untuk mengembangkan hasrat peserta didik melalui pengalaman,sebagai respon atas kondisi ekonomi dan fragmentasi sosial yang diinspirasikan oleh dasar ilmu pengetahuan yang tidak menentu,serta membatasi teknik rasional dan sebagai media antisipatif dari konsekuensi kegagalan proyekmodernisme pendidikan.Ada tiga alasan mengapa pembelajaran eksperimensial sangat penting dalam dalam kontks post modernisme.Pertama,model pembelajaran ternyata mempuyai bentuk paling valid dibanding dengan model pembelajaran yang lainnya.Kedua,adanya eksplorasi bagaimana seseorang belajar dari pengalaman-pengalamannya.Ketiga,dalam proses persiapan model pembelajaran ini lebih dapat difasilitasi secara lebih baik.Dengan ni diharapkan pendidikan dapat mewujudkan transformasi gerakan sosial baru,memberikan keleluasaan kepada setiap person untuk membentuk kelas menengah baru dan secara praktis dapat menemukan kebenaran baru yang didukung dengan langkah-langkah eksplorasi.

FENOMENOLOGI PENDIDIKAN
Fenomenologi adalah aliran filsafat yang banyak digagas oleh Edmund Husserl.Fenomenologi berasal dari kata fenomena sebuah bahasa Yunani yang berarti sesuatu yang bersifat nyata.Fenomenologi didefinisikan sebagai sebuah studi ilmiah yang mempelajari tentang esensi struktur kesadaran dan filsafat radikal yang didasarkan pada insight dan diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah yang lebih tepat.
Ego sendiri mempunyai spectrum yang sangat luas,diantaranya,Pertama,ego merupakan tiang perilaku yang dihasilkan dari adanya radiasi ego itu sendiri.Kedua,ego merupakan entitas yang dapat menunjukan identitas.Ketiga,ego merupakan unity yang bersifatun prespektif.Keempat,ego merupakan substrata dari perilaku/habitat.Kelima,ego dapat kita temukan dalam pengalaman fenomenologis.Keenam,ego merupakan unitas yang konkret.Ketujuh,ego merupakan satu hal yang bersifat subyektifyang dibentuk olehobyek yang actual.Dari sini dapat dilihat bahwa ego yang tercemin dari ketujuh spectrum diatas identik dengan ego transcendental dan ego merupakan dasar kesadaran manusia.
Ego bukan merupakan suatu tindakan kesadaran yang dapat berubah,sebab ego berperan dalam menentukan “self identity”.Pengertian ini harus dibedakan dengan “realitas”.yaitu kesadaran yang dapat berubah.Self identity merupakan proses permanent dari kesatuan ego untuk lebih mengenali diri sendiri dengan tidak bergantung pada fenomena yang berada diluar kesadaran dirinya,dengan kata lain bahwa ego tidak dapat dipengaruhi oleh satu hal yang bersifat eksternal dan realistis.Sebagaimana yang sudah kita jelaskan bahwa realitas merupakan tindakan kesadaran yang selalu berubah dan selalu menyesuaikan dengan ruang dan waktu.
Kesadaran Emosi adalah suatu kesadaran yang bukan berasal dari kontemplasi intelektual,namun kesadaran emosi adalah kesadaran yang muncul dari hati manusia yang merupakan sumber enegi yang menjadikan kita nyata dan yang memotivasi kita untuk mengenali dan mengejar potensi serta tujuan hidup kita yang unik.Kesadaran inilah yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan oleh kalangan konseptor ataupun praktisi pendidikan yaitu yang dikenal dengan Emosional Question (EQ).
Kecerdasan emosional merupakan pusat kebenaran dan kebijaksanaan intuitif.Emosi menawarkan kepada kita neologisme intuitif,yang masih murni dan dapat dibawa ke luar dari kontemplas,dan emosi merupakan energi untuk mendorong kepada kehidupan yang lebih baik.
Neologisme intuitif adalah fondasi paling urgenbagi pemahamankita atas etika.Dalam beberapa disiplin keilmuan dan kehidupan praktis,sudah sangat dipahami bahwa estetika dan penilaian moral didasarkan pada perasaan yang sangat subyekti,bukan pada kontemplasi kognitif yang absurd.Nalar adalah system sempit yang membengkak ke dalam ideology,bersamaan dengan waktu dan kekuasaan,nalar menjadi sebuah dogma yang sama sekali tidak mempunyai arah dan tersamar dalam bentuk aturan-aturan tidak berfihak.
Emosi dalam operasionalnya mempunyai energi yang dapat menimbulkan kecenderungan-kecenderungan dalam mewujudkan simtom-simtom emosinya.Menurut Thayer,sebagaimanayang direlease oleh Cooper dan Sawaf,terdapat empat energi utama sebagai generator emosi manusia.Dua diantaranya mengimplikasikan penyimpangan kecerdasan emosional,dua energi tersebut adalah tense-energy dan tense tiredness.Sedangkan dua energi yang lain,yaitu calm-energy dan calm-tiredness dapat berfungsi sebagai penjernih dan dapat meningkatkan kecerdasan emosional.Tense-energy ketegangan tinggi dan energi tinggi adalah suasana hati yang disebabkan oleh steress yang berkarakteristik gairah dan kekuatan yang menyenangkan,serta tingginya enegi fisik.Dalam kondisi ini seseorang cenderung mempunyai semangat yang berlebihan untuk mencapai tujuan,tanpa istirahat dan tidak ada waktu untuk merenung.Konsekuensinya,ketajaman kemampuan justru hilang karena kurang memperhatikan kebutuhan diri sendiri secara mendalam dan tulus.Tense-tiredness ketegangan tinggi dan energi rendah adalah suasana hati yang menunjukan suatu kelelahan yang menyeluruh.Konsekuensi dari kondisi ini adalah depresi,inferior dan prasangka buruk tentang segala hal.Calm-energy ketegangan rendah dan energi tinggi adalah suatu keadaan yang sangat tentram dan terkendali.Kondisi ini dapat mengganti tense-energy menjadi fikiran yang waspada,optimis,damai,comfortable serta stamina fisik yang terbaik,yaitu suatu kondisi mental and emotional overdrive.Energi terakhir adalah calm-tiredness ketegangan rendah dan energi rendah adalah keadaan yang menyenangkandengan rasa pasrahdan bebas.Kondisi ini sangat baik untuk membebaskan diri dari desakan batas waktu atau ketegangan di hati.
Karakteristik dari kecerdasan emosional antara lain,mampu memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi,mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan,mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir,berempati dan berdoa.Ciri-ciri tersebut tampaknya juga berfungsi sebagai senjata yang ampuh dalam mengontrol hawa nafsu.Seorang fenomenologis adalah mereka yang ingin mengetahui atau mencari pengalaman-pengalaman yang masih original atau fenomena kesadaran primordial yaitu kembali ke dirinya sendiri,artinya kembali kepada kesadaran murni dan data awal dimana belum ada intervensi dari luar untuk menginterprestasikan data awal dan kesadaran murni tersebut.
Kalangan fenomenologi ataupun eksistensialis percaya bahwa pendidikan yang baik adalah yang dapat mencerminkan sisi-sisi individualitas dalam arti dapat dan mampu melihat diri sendiri atas ketakutan-ketakutan,frustasidan harapan mereka sebaik apa yang telah mereka lakukan dengan cara yang rasional.Kalangan eksistensialis menyebutkan bahwa sisi kehidupan yang kurang jelas (absurd) membutuhkan eksplorasi yang serius.Hal ini disebabkan adanya perasaan bahwa bagian terpenting dari pendidikan seseorang adalah untuk mengkaji sisi jelek kehidupan sebagaimana seseorang yang mengkaji sisi baik dari kehidupan.Eksistensialis percaya bahwa bagian pendidikan yang benar adalah tidak menutup diri,artinya anak didik belajar mengenai beberapa kehidupan nyata,kehidupan baik dan buruk atau rasional dan irasional.

PENDIDIKAN DAN STABILITAS POLITIK
Jargon neutralisasi pendidikan justru membawa peran antagonistic antara pendidikan humanis dan dehumanisasi pendidikan,artinya proses humanisasi dan dehumanisasi selalu menjalankan tugas-tugas yang saling bertentangan.Pendidikan yang humanis dan liberal telah mereduksi dehumanisasi dan dengan demikian dalam prakteknya akan bias menghargai hubungan dialektis antar kesadaran manusia dan dunia atau antara manusia dan dunianya.Pada dasarnya,salah satu perbedaan utama antara pendidikan sebagai sebuah kewajiban humanis dan liberal di satu sisi,dengan dominasi dan dehumanisasi di sisi lain,adalah bahwa dehumanisasi di sisi lain,adalah bahwa dehumanisasi merupakan proses pemindahan ilmu pengetahuan,sedangkan humanisasi merupakan proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan.Memang keduanya saling berlawanan yang secara otomatis juga menciptakan prosedur yang berbeda yang berkisar pada hubungan kesadaran manusia dan dunia.
Dalam mengkritisi praktek pendidikan baik tingkat dasar,menengah atau perguruan tinggi perlu kejelasan apakah guru yang berasal dari kalangan borjuis dapat menghindar dari cara memperlakukan siswa sebagai obyek.Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pendidikan yang benar-benar netral.Kesadaran yang cerdas mungkin menginterprestasikan pernyataan ini dengan menunjuk pada kurangnya kadar netralitas praktek pendidikan,dimana gurunya tidak menghargai kebebasan siswa.Inilah yang menjadi karakteristik model pendidikan yang membelenggu.
Pendidikan yang membebaskan merupakan proses dimana pendidik mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkap kehidupan secara kritis.Pendidikan yang membelenggu berusaha untuk menanamkan kesadaran yang keliru kepada siswa sehingga mereka mengikuti saja alur kehidupan ini sedangkan pendidikan yang membebaskan tidak dapat direduksi menjadi sekedar usaha guru untuk memaksakan kebebasan kepada siswa.
Kebijakan-kebijakan akademis yang ditelurkan membawa dua implikasi yang berbeda.Pertama,kebijakan akademis mencerminkan adanya kekuatan otonomi baru untuk mendiskusikan sekaligus menentukan frame of mode dari sebuah institusi pendidikan.Kedua,kebijakan akademis justru menunjukkan posisi dan ideology dalam pemahaman akademis itu sendiri.Ini artinya institusi pendidikan bukan wadah yang ideal jika institusi didominasi kelas-kelas tertentu atau agen-agen tertentu yang ingin melanggengkan status quo dengan melancarkan ide-ide dan gagasan-gagasan ideologisnya.Hal itu bias dilakukan ole pendidik atau penentu kebijakan.

BAB III
REKONFIGURASI PARADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN

REPARADIGMATISASI KONSEP PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan institusi yang menuntut untuk selalu diperbarui secara terus-menerus.Zamroni (2000),menjelaskan dua paradigma berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan.Pertama,paradigma fungsional dan paradigma sosialisasi.Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan lebih disebabkan karena masyarakat tidak cukup memiliki ilmu pengetahuan,kemampuan,dan sikap modern.Paradigma sosialisasi,memendang peranan pendidikan adalah: (1) mengembangkan kompetensi individu,(2) meningkatkan produktivitas,(3) meningkatkan kemampuan warga masyarakat dalam upaya memajukan kehidupan masyarakatnya secara keseluruhan.
Dri dua paradigma tersebut,Zamroni menganalisis ekses-ekses negative yang muncul dalam praktek pendidikan di Indonesia.Pertama,telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analitis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistikKedua,para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth,penggerak dan lokomotif pembangunan
1). Paradigma Sistematik-Organik
Paradigma ini dibangun dari teori ekspansionisme dan teleologis.Ekspansionisme merupakan teori yang menekankan bahwa segala obyek,peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh.Teleologis,pendidikan harus menghasilkan manfaat bagi perkembangan dan dinamika masyarakatnya.
Paradigma pendidikan system-organik menekankan bahwa proses pendidikan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran daripada mengajar,(2) pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel,(3) pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri dan (4) pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan
Dengan demikian,paradigma system-organik mencoba untuk memecahkan problem di masyarakat tentang munculnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
2).Paradigma Holistik-Integralistik
Paradigma pendidikan holistic-integralistik memandang pendidikan sebagai sarana untuk mengembangkan potensi manusia secara utuh.
Paradigma holistic-integralistik menekankan proses pendidikan sebagai berikut: (1) Tujuan pendidikan holistic-integralistik mengintrodusir terbentuknya manusia seutuhnya dan masyarakat seutuhnya,(2) materi pendidikan holistic-integralistik mengandung kesatuan pendidikan jasmani-rohani,mengasah kecerdasan intelektual-spiritual (emosional)-keterampilan,kesatuan materi pendidikan teoritis-praktis,kesatuan materi pendidikan pribadi-sosial-ketuhanan dan kesatuan materi pendidikan keagamaan-filsafat-etika-estetika,(3) proses pendidikan holistic-integralistik mengutamakan kesatuan kepentingan politik-anak didik-masyarakat dan (4) evaluasi pendidikan holistic-integralistik mementingkan tercapainya perkembangan anak didik dalam bidang penguasaan ilmu-sikap-tingkah laku-keterampilan.

3).Paradigma Humanistik
Paradigma pendidikan humanistic memandang manusia sebagai”manusia”,yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu.
Pendidikan humanistic mengorientasikan proses pendidikannya sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan humanistic adalah “membudayakan manusia” atau ”memanusiakan manusia” dan “membudayakan masyarakat” atau “memanusiakan masyarakat”, (2) materi pendidikan humanistic memuat ilmu-ilmu kemanusiaan yang berupa filsafat tentang manusia,ilmu-ilmu agama yang menerangkan hubungan manusia dengan Tuhan,ilmu etika yang mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ilmu estetika yang mengajarkan nilai-nilai keindahan, (3) metode pendidikan humanistic,menghargai harkat,martabat dan derajat manusia yang menghargai hak-hak asasi manusia yang sesuai dengan fitrahnya, (4) proses pendidikan humanistic,menciptakan suasana pendidikan yang manusiawi,menciptakan hubungan dengan manusia antara anak didik,pendidik,dan masyarakat,(5) evaluasi pendidikan humanistic,mengevaluasi pekembangan anak didik sebagai anak manusia yang sedang berkembang,dengan memakai dasar criteria kemanusian
4)Paradigma Idealistik-Transformatif
Pendidikan idealistic memendang manusia sebagai “makhluk semulia-mulia makhluk”.Adapun proses pendidikannya adalah: (1) Tujuan pendidikan idealistic membentuk ”manusia yang berguna”,yakni manusia yang bias menunaikan misi sucinya,manusia yang berguna bagi orang lain,dan manusia yang mempunyai sifat-sifat sempurna.(2) kurikulum pendidikan idealistic yang dapat mengembangkan aspek piker,zikir dan keterampilan.(3) Metode pendidikan idealistic adalah metode pendidikan yang dapat mengembangkan ketiga aspek tersebut.(4) evaluasi pendidikan idealistic adalah evaluasi yang mengukur kemampuan anak didik dari berbagai aspek kecakapan.
Dengan demikian paradigma idealistic-transformatif ini dapat mencegah terjadinya krisis akhlak yang menyebabkan bangsa kita terpuruk dalam bentuk krisis multidimensional akibat dari ilmu,nilai,dan moral yang hanya hadir dalam pikiran tetapi tidak hadir menjadi tindakan.


5).Paradigma Multikulturalisme
Pendidikan berparadigma multikulturalisme mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif.
Pendidikan yang berwawasan multikulturalisme,mempunyai: (a) tujuan pendidikan membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat manusia berbudaya”. (b) Materinya adalah yang mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan,nilai-nilai bangsa,dan nilai-nilai kelompok etnis.(c) Metode yang diterapkan adalah metode yang demokratis,yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis. (d) Evaluasinya adalah yang bersifat mengevaluasi tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi,apresiasi dan tindakan anak didik terhadap budaya lainnya.
Apabila digunakan konsep UNESCO(Declors,dkk.1999),maka hasil pendidikan didasarkan pada pengalaman belajar anak,yang berarti,keberhasilan pendidikan diukur dari hasil empat pilar pengalaman belajar anak,yaitu (1) belajar mengetahui,(2) belajar berbuat,(3) belajar hidup bersama dan (4) belajar menjadi seseorang.

REDEFINISI LINGKUNGAN KECERDASAN: PERGESERAN DARI IQ KE EQ DAN SQ
Kecerdasan intelektual (IQ)sedikit saja kaitannya dengan kehidupan emosional.Inilah argument epitemologi Goleman untuk menggeser paradigma “intelligence quotient”(IQ) ke arah paradigma “emotional intelligence”(EQ).Goleman menegaskan bahwa EQ dapat sama ampuhnya dan terkadang lebih ampuh daripada IQ.Bahkan,dengan memanfaatkan penelitian yang menggemparkan tentang otak dan perilaku,Goleman memperlihatkan factor-faktor yang terkait mengapa orang yang ber-IQ tinggi gagal dan orang yang ber-IQ sedang-sedang menjadi sukses.Faktor-faktor ini mengacu pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas.Cara yang disebutnya”kecerdasan emosional”(EQ).
Apa itu kecerdasan emosional(EQ)? EQ menunjuk kepada suatu kemampuan untuk mengendalikan,mengorganisir dan mempergunakan emosi ke arah kegiatan yang mendatangkan hasil optimal.

Adapun ciri-ciri kecerdasan emosi ada lima,yaitu:
1.Kesadaran diri: Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri,memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat
2.Pengaturan diri: Menangani emosi diri sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas,peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran,mampu segera pulih kembali dari tekanan emosi.
3.Motivasi: Menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menunun menuju sasaran,membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif,serta bertahan untuk menghadapi kegagalan dan frustasi.
4.Empati: Merasakan yang dirasakan orang lain,mampu memahami perspektif mereka,menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.
5.Ketrampilan sosial: Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial,berinteraksi dengan lancer,menggunakan ketrampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin,bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan,serta untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim.
Tanda-tanda dari SQ yang telah berkembang dengan baik,menurut Zohar dan Marshall,mencakup hal-hal berikut:
1.Kemampuan bersikap fleksibel
2.Tingkat kesadaran diri yang tinggi
3.Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
4.Kemampuan untuk menghadapi dan melalui rasa sakit
5.Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
6.Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
7.Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan “holistic”).
8.Kecenderungan nyata untuk bertanya “Mengapa?” atau “Bagaimana jika?” untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar.

TEKSTUALISASI DAN PENDIDIKAN.
Pendidikan selalu diwujudkan dalam dua wajah yang saling bertentangan.Pertama,pendidikan selalu dijadikan sebagai alat control sosial untuk memelihara serta mereproduksi tatanan sosial.Kedua,pendidikan bias juga dianggap sebagai usaha untuk mewujudkan peran dan otonomi agen (individu) melalui pengembangan kapasitas intelektual.
Pemikiran Derrida tentang dekonstruksi tulisan dan perkataan menunjukkan bahwa tidak ada ruang mediasi bagi praktek-praktek represi dan kekuasaan.Dalam pandangan arche writing,pemikiran tentang ke-alami-an harus mendasari budaya yang ada.
Dari dekonstruksi yang dilakukan Derrida dapat kita ambil beberapa hal penting.Pertama,oposisi antara ke-alami-an dan budaya merupakan bagian dari oposisi antara perkataan dan tulisan.Kedua,tidak menutup kemungkinan perkataan merupakan dasar budaya tulis-dalam arti arche-writing.Ketiga,budaya tulis membutuhkan kondisi sosial sebagai mediasi penciptaan pengalaman yang sesuai dengan realitas.Keempat,proses pemecahan oposisi tersebut di atas membutuhkan ketiga terma tersebut yang diaplikasikan dalam setiap komponen yang bersebrangan.
Pemikiran Derrida dipusatkan pada otentitas,kehadiran diri dan subyektifitas yang terpusat.Sebagaimana kritik Derrida terdapat teks-teks Rousseau,ia menunjukkan bagaimana teks Rousseau telah menggambarkan otentitas diri yang kontradiktif.Kontradiksi yang terjadi antara tulisan dan subyek,dimana ternyata subyek telah kehilangan struktur imperative dari teks.Tulisan sebagai media,ternyata telah menghalangi proses rekonstruksi dan representasi diri.Apa yang kemudian dimunculkan adalah bukan lagi otentitas diri,namun “diri” yang bersifat fiktif belaka.Makna dari menghilangkan keterbukaan bukan berarti tidak ada proses dialektis,namun subyektifitas tentunya menjadi pertimbangan akhir dari sebuah kisah.

MASTERY DAN SUBYEKTIFITAS:
UPAYA MENGETAHUI DAN MENGHADIRKAN DIRI DALAM PENDIDIKAN
Kesadaran anak didik tidak akan menjadi jelas bagi dirinya sendiri,begitu juga kesadaran tidak akan pernah identik dengan dirinya sendiri,begitu juga kesadaran tidak akan pernah identik dengan dirinya sendiri,jika kemudian para-anggapan tersebut dikondisikan secara histories ke dalam kondisi yang secara kontinyu terus berubah.
Dari sini mengimplikasikan bahwa seberapa pun besarnya kesadaran anak didik agar menjadi tahu,disana selalu ada sesuatu yang tidak dapat diketahui,sebab anak didik tidak pernah menemukan jati dirinya,juga tidak dapat menunjukkan dirinya sendiri sesuai dengan identitas diri sesungguhnya.
Keinginan penguasaan (mastery) pengetahuan membutuhkan subyek yang tahu dan dapat mengontrol dirinya sendiri.Inilah yang dimaksud sebagai ”aku berfikir maka aku ada (cogito ergo sum).Berfikir tidak hanya sebagai aktifitas penyadaran diri,tetapi melibatkan rasio,logika,pemikiran tentang esensi,bahkan pada tingkatan tertentu sesuai dengan perkembangan subyek kritikal approach dan human properties sangat dibutuhkan,yaitu dapat berfikir secara universal sekaligus partikuler.
Keinginan untuk mengetahui merupakan usaha untuk mengisi kekurangan dengan sebuah kehadiran.Tetapi penguasaan(mastery) tidak sama dengan pemadaman ataupun pemenuhan keinginan.Subyek yang memikirkan keinginannya berarti telah mencapai penguasaan melalui kehadiran yang diteruskan menjadi garis horizontal keinginan lainnya.
Berlawanan dengan pendapat bahwa subyektifitas dibentuk oleh adnya kesadaran,Freud dan Lacan justru berargumen bahwa subyektifitas lebih banyak dibentuk oleh ketidaksadaran.Lacan menekankan pentingnya ketidaksadaran tentang keinginan sebagai penggerak tingkah laku manusia (human action).Lebih jauh Lacan mengatakan bahwa keinginan berfungsi sebagai kekuatan atau penekan,tetapi tidak direduksi kepada kepentingan biologis an-sich.Keinginan merupakan kekhususan manusia dan tidak bias diteorisasikan secara natural.
Freud juga menjelaskan bahwa subyek tidak dapat direduksi menjadi sebuah kesadaran saja.Tingkah laku manusia hanya dapat dijelaskan melalui penemuan sebab-sebab yang mendasari ketidaksadaran.Freud juga menyakinkan bahwa setiap tingkah laku manusia mempunyai makna,tetapi makna tersebut terkubur,bersifat ambigu dan sulit untuk ditemukan.Dengan pendekatan hermeneutiknya,Freud tampaknya lebih menekankan pada interpretasi dan makna,ketimbang manifestasi yang ditimbulkan dari efek human action.
SPIRITUALISME DAN SOSIALISME PSIKOLOGI FREUDIAN
Secara fisik,perkembangan manusia menurut Freud dipengaruhi oleh kekuatan libido.Suatu konsep yang dapat membantu kita dalam memahami sisi kemanusiaan secara seksual.Libido didefinisikan sebagai variable kekuatan kuantitatif yang berfungsi sebagai pengukur trnsformasi dan proses rangsangan seksualitas.
Di sisi lain,ternyata psikoanalisa dapat memberikan sebuah paradigma tentang bagaimana menerapkan pendidikan spiritual.Signifikansi pendidikan spiritual bukan berarti mengajak subyek kembali kepada irrasionalitas diri sehingga dapat menenggelamkan kemampuan kesadaran subyek.
Dalam bahasa psikoanalisa,neurosis dapat dianggap sebagai “a private form of religion”,yaitu suatu bentuk agama pribadi.Kita dapat melihat neurosis tersebut dari dua aspek.Pertama,bertitik tolak dari fenomena neurosis itu sendiri,gejalanya dalam kehidupan dan juga kesulitan yang dihasilkan oleh neurosis tersebut.Kedua,neurosis yang banyak terkait dengan gejala-gejala negative.
Dalam psikoanalisa,penerimaan agama yang benar tidak boleh mengandung unsure keterpaksaan.Baik keterpaksaan yang disadari maupun tidak disadari.Agama harus diterima sebagai lanjutan atau konsistensi hakekat kemanusiaan itu sendiri.Dengan kata lain,beragama yang benar harus merupakan kewajaran manusiawi.Agama atau kepercayaan tidak dapat dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat bertentangan dengan naluri kemanusiaan yang suci.Inilah yang dikatakan bahwa kecenderungan alami manusia kepada kebenaran sesuai dengan kejadian asalnya yang suci merupakan ajaran yang benar,yang kebanyakan manusia tidak menyadari (unconsiousness).Mereka yang masuk kedalam ketidaksadaran dan terjerembab ke dalam ekses neurotic harys segera disembuhkan atau disadarkan.
Oleh karena itu,pengajaran hendaknya menanamkan kedalam jiwa anak didik kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam hidup dan Tuhan akan selalu mengawasi segala tingkah laku manusia (human actions).Pada tingkat eksoteris,pengajaran yang mungkin dikembangkan adalah memulihkan kembali ketegangan-ketegangan neurosis tentang keberadaan agama dengan menjadikan ritual-ritual wajib sebagai indikasi ketenangan dan penyatuan gejala-gejala tersebut.Penyatuan ini meliputi kesadaran pragmatis tentang signifikansi ritual bagi keberlangsungan keberagamaan.
BAB IV
TITIK BALIK PENDIDIKAN: MENCARI VISI ATAS REALITAS BARU

Saat ini pendidikan dihadapkan pada persoalan yang sangat kompleks dan sangat luar biasa sulit,namun semua negara tanpa kecuali mengakui pendidikan sebagai tugas Negara yang paling penting.Paradoks-paradoks global,seperti persoalan moralitas,keadilan,kejujuran,kesenjangan dan kebebasan menjadi barang yang mahal dan sulit didapatkan.Disini,masyarakat dunia menyaksikan betapa nilai-nilai yang luhur yang dijunjung tinggi oleh dunia pendidikan dibalik dan dilanggar oleh Negara-negara yang memproklamirkan diri sebagai paling demokratis,paling bermoral,paling beradab,dean paling adil.

GELOMBANG PENDIDIKAN YANG BERBALIK
Pada dua dasawarsa terakhir dari abad 20 dan awal abad abad 21 ini,kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius,yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan sosial,politik,ekonomi,kesehatan,ekologi,teknologi,peradaban dan juga agama.
Rincian fenomena dunia modern yang didukung oleh kecanggihan teknologi yang otomat yang penggunaannya telah mengabaikan etika,estetika dan keseimbangan alam.Pertama,pengembangan senjata nuklir.Kita telah menimbun puluhan ribu senjata nuklir,yang cukup untuk menghancurkan seluruh dunia dan perlombaan senjata itu pun berlanjut dengan kecepatan yang melaju.
Kedua,kerusakan ekosistem global dan evolusi kehidupan.Sementara kekuatan militer meningkatkan persediaan senjata nuklir mereka,dunia industri sibuk membangun pembangkit-pembangkit tenaga nuklir yang sama-sama berbahaya,yang bias mengancam keseimbangan ekologi dan punahnya kehidupan.
Ketiga,krisis ekonomi global,Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa ekonomi global telah mengalami krisis yang luar biasa hebatnya.Krisis moneter,inflasi,pengangguran dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang tidak merata telah mewarnai perkembangan ekonomi global.Akibat dari krisis ekonomi ini maka terjadi peningkatan yang signifikan terhadap angka kejahatan dan kekerasan.
Akar-akar persoalan dari krisis yang berdimensi kosmis ini,disebabkan oleh beberapa hal:
Pertama,munculnya pandangan dualistic yang membagi seluruh kenyataan menjadi subyek dan obyek,spiritual dan material,manusia dan dunia dan sebagainya,telah mengakibatkan obyektifikasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena.Hal ini telah mengakibatkan krisis ekologi.
Kedua,pandangan modern yang bersifat obyektivistis dan positivistis akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah obyek juga dan masyarakat pun direkayasa menjadi mesin.Akibat dari hal ini adalah bahwa masyarakat menjadi tidak manusiawi.
Ketiga,dalam modernisme ilmu-ilmu positif empiris mau tak mau menjadi standar tertinggi.Akibat dari hal ini adalah bahwa nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya.
Kempat,adalah materialisme.Bila kenyataan terdasar tak lagi ditemukan dalam religi,maka materilah yang mudah dianggap sebagai kenyataan terdasar.Materialisme ontologis didampingi dengan materialisme praktis,yaitu bahwa hidup pun menjadi keinginan yang tak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material.
Kelima,adalah militerisme.Oleh sebab norma-norma religius dan moral tak lagi berdaya bagi perilaku manusia,maka norma umum objektif pun cenderung hilang juga.Akibatnya,kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mengatur manusia.Jadi,bila religi dihayati secara demikian,memang ia justru menjadi alat legitimasi militerisme.
Keenam,adalah bangkitnya kembali tribalisme,atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri.Sebetulnya secara teoritis religi-religi telah berusaha untuk mengatasi tribalisme dan menggantikannya dengan universalisme.
Filsafat empiricisme-logical positivisme.Pertama, pandangan contruktivisme sangat percaya bahwa anak didik dapat mempelajari proses ilmiah dengan cara yang langsung, dengan mengobservasi pola-pola dan kemudian membuat prediksi –prediksi. Cirri khas filsafat ini dalam dunia pendidikan dan pengajaran ialah bahwa anak diberikan pengalaman dan percobaan sebanyak-baanyaknya. Kedua, empiricisme-logical-positivism. Filasafat ini, walaupun ada dalam paradigma yang sama dengan contructivism, pada dasarnya bertentangan satu sama lain. Empiricisme-logical-positivisme memegang teguh satu prinsip bahwa pengetahuan harus didasarkan pada buakti-bukti yang dapat dipersepsi. Pada kenyataan yang ekstrim, aliran ini menolak semua realitas yang tak disadarkan oleh bukti-bukti yang bisa diindera oleh alat persepsi manusia yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan panca indera.

Visi Baru Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Oleh karenanya kemajuan suatu bangsa dapat di ukur dari kemajuan pendidikannya. Namun pada kenyataanya, system pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan yang diharapkan. Pendidikan masih belum berhasil menciptakan sumber daya menusia yang andal apalagi menciptakan kualitas bangsa. Krisis multidimensi yang berkepanjangan ini, diyakini banyak kalangan, akibat gagalnya system pendidikan Indonesia. Begitu juga merosotnya Indeks Pembangunan Manusia(IPM) atau Human Development Index (HDI) Indonesia tidak terlepas dari rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini. Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu UNDP (Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan catatan penilaian bahwa tahun 2003 IPM Indonesia merosot dari 0,684 menjadi 0,682. hal ini menyebabkan peringkat Indonesia diantara 175 negara juga merosot dari posisi 110 menjadi 112.
Bangsa Indonesia sebenarnya, telah memiliki nilai-nilai filosofis dan nilai edukatif yang mendasar perilaku kehidupannya, namun demikian formulasi dari nilai filosofis tersebut yang dijadikan sebagai filsafat pendidikan nasional hingga sekarang masih terus dicari untuk ditemukan. Meskipun sangat sukar merumuskan filsafat pendidikan nasional Indonesia yang tepat, namun dasar-dasarnya dapat kita temukan dari tiga aspek dasar, yaitu: konsep manusia, nilai dasar manusia Indonesia, dan visi pendidikan Indonesia.
Pertama, konsep manusia. Pertanyaan “siapakah manusia itu?”, telah menjadi tema sentral sepanjang zaman dan tidak pernah bisa dijawab secara final. Para teolog, filosof, psikolog,dan saintis lainnya terus mencari jawab atas pertanyaan tersebut, tetapi semakin banyak pertanyaan diajukan tentang “siapa manusia itu?”, maka semakin kelihatan bertapa luasnya pengetahuan yang masih terpendam tentang diri manusia itu sendiri. Makanya Alexis Carrel dalam bukunya Man, the Unknown, menjuluki manusia sebagai sebuah misteri.”
Kedua, nilai dasar manusia Indonesia. Bangsa Indonesia yang sering dikategorikan bangsa timur mewarisi nilai-niali ketimuran seperti sopan santun, jujur, ramah, berani, cakap, dan tegas. Pada dasarnya manusia Indonesia adalah manusia yang jujur dan tidak sombong, bahkan kejujurannya dalam banyak hal digunakan oleh orang atau bangsa lain untuk memperlemah posisi manusia Indonesia sendiri. Manusia Indonesia juga memiliki sifat sopan santun terhadap orang lain, ramah akepada sesame, berani membela kebenaran, cakap menghadapi kehidupan dan tegas menghadapi segala bentuk persoalan kehidupan.
Ketiga, visi pendidikan Indonesia. UUD1945 mengamanatkan bahwa hakikat visi pendidikan nasional adalah “untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya”. Manusia seutuhnya menyangkut keunggulan dalam bidang ilmu pengetahuan, spiritual, ketrampilan, produktivitas dan daya saingnya.

Pendidikan Dan Kultur Good Governance
Berakhrinya orde baru ditandai dengan jatuhnya rezim soeharto dari kekuasaan pada mei 1998, kemudian disusul dengan krisis moneter, ekonomi, politik, bangsa Indonesia diharapkan pada keharusan menata kembali system sossial, politik, ekonomi dan kenegaraan yang sejalan dengan semangat baru yang berkembang kuat ditengah –tengah masyarakat. Semangat baru ini, yang kemudian dirumuskan dalam istilah “reformasi” mengacu pada penciptaan tatanan yang demokratis di semua aspek kehidupan.
Pada dasarnya konsep” good governance” bertumpu pada konsep “ system pemerintahan yang demokratis”.tegasnya, “good governance” adalah pemerintahan demokratis seperti yang dipraktekkan dalam Negara –negara demokrasi maju seperti amerika dan Negara-negara eropa barat. Demokrasi sebagai suatu system pemerintahan dianggap sebagai system pemerintahan yang baik karena paling merefleksikan sifat-sifat “ good governance” yang secara normative dituntut kehadirannya bagi suksesnya suatu bantuan badan-badan dunia di Negara sasaran.
Ketika good governance diletakkan dalam perspektif demokrasi, maka good governance pada dasarnya merupakan hasil dari masyarakat atau setidaknya cerminan dari masyarakat. Baik atau buruknya masyarakat akan menetukan baik tidaknya kinerja pemerintahan. Kalau pemerintahan kita korup, tidak efisien, misalnya, harus diletakkan dalam konteks masyarakat, bahwa itu semua merupakan cerminan dari masyarakat iti sendiri. Factor penting yang menghubungkan antara masyarakat dan pemerintahan adalah “ kultur politik” masyarakat pada umunya. Kultur politik adalah orientasi individu dalam system politik terhadap obyek politik dalam system tersebut. Pemerintahan yang baik, yakni pemerintahan demokrasi, membutuhkannn kultur demokrasi atau civic culture untuk membuatnya performed.
Adapun nilai-nilai yang perlu dikembangkan dalam rangka menciptakan “good governance” adalah: pertama, demokrasi. Dalam pengembangan dan pengiplikasian ide good governance, demokrasi merupakan slah satu nilai –nilai budaya yang sangat penting dan mendasar, karena dengan kultur demokrasi, maka good governance dapat tumbuh, berkembang, dan hidup dengan subur. Pada orde reformasi sekarang ini, demiokrasi mulai disadari oleh segenap lapisan masyarakat. Namun sayang sekali, nilai-nilai demokrasi masih dipahami sebagai tuntutan hak-hak semata den mengesampingkan penghormatan terhadap nilai kemanusiaan dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Dalam konteks ini pendidikan dapat mengemban misi menanamkan nilai –nilai, dan hendaknya demokrasi tidak ditanamkan tidak hanya pada penguasaaan kognitif saja, tetapi juga menjadi jiwa bagi pendidikan itu sendiri.
Kedua, moral. Good governance tidak akan dapat dicapai bila sumber daya yang menjalankannya tidak memiliki moral yang baik. Karena moral merupakan landasan yang penting bagi seseorang untuk bersikap, bertindak dan berbuat sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai moral seperti kejujuran dan tanggung jawab merupakan nilai –nilai yang mutlak harus dimiliki oleh setiap pemimpin karena nilai-nilai tersebut seorang pemimpin tidak bertindak hanya berdasarkan nafsu untuk menguasai tetapi menganggap bahwa kekuasaan itu merupakan sebuah amanah yang dipertanggungjawabkan dihadapan tuhan. Pendidikan nasional yang bertujuan membentuk manusia seutuhnya sangat berperan penting dalam pengembangan nilai-nilai moral, dan seyogyanya pendidikan moral tidak hanya sekedar pengetahuan moral saja tetapi lebih jauh dari itu nilai-nilai moral dapat ditanamkan menjadi kepribadian setiap anak.
Ketiga, berfikir kreativ-kritis. Kebudayaan di Negara kita mengenal system hierarki pada masyarakat, sehinggga hal ini baik langsung maupun tidak membentuk masyarakat feudal. Masyarakat feudal kurang memperhatikan pada kemampuan berpikir kreativ dan kritis. Terlebih lagi, bangsa kita mempunyai pengalaman buruk pada masa penjajahan belanda dan jepang yang membunuh segala bentuk berpikir kreativ dan kritis. Idealnya pendidikan sebagai wadah pendewasaan manusia dapat mengembangkan kemampuan kreativ dan kritis.

PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME
Gambaran umum bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang sangat majemuk dan pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia secara umum dapat dilihat dari sudut horizontal seperti terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa, nilai dan agama atau keyakinan berbeda-beda.
Safri Sairin (1992), menyebut tiga sumber konflik dalam masyarakat. Pertama, perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi. Pertarungan dibidang ini biasanya dimenangkan oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuatan dan kemampuan lebih unggul apabila dilihat dari sumber daya manusia maupun teknologi yang digunakan.
Kedua, perluasan batas-batas budaya. Model konflik ini dapat muncul dalam kehidupan majemuk, terutama di perkotaan. Perbedaan tradisi, bahsa, hokum dan identitas sosial dapat menyatu dalam kepentingan politik, kecemburuan dan berbagai prasangka sosial dalam masyarakat.
Ketiga, benturan kepentingan politik, ideology, dan agama. Konflik jenis ini merupakan benturan antara struktur yang mapan terhadap kebudayaan, system nilai, ideology dan agama yang berkembang. Konflik karena benturan kepentingan politik, ideology dan agama akan menjurus kepada perubahan-perubahan structural dalam masyrakat, seperti konflik yang tejadi daalam peristiwa pemberontakan di berbagai daerah.
Ketiga sumber konflik tersebut dapat ditemukan dalam setiap masyarakat (besar dan kecil). Tetapi dalam masyarakat majemuk (plural) dan heterogen intensitas dan frekuensi benturannya akan lebih banyak jika dibandingkan dengan masyarakat sederhana dan homogen. Ketiga sumber konflik tersebut juga dapat bersatu secara simultan dan melahirkan benturan yang keras dalam masyarakat sehingga menyulitkan kita untuk menyelusuri dan memisahkannya. Dengan demikian intensitas potensi konfik harus dapat diantisipasi dan dieliminir sedini mungkin.
Ada prinsip-prinsip dalam kehidupan bernegara agar sendi-sendi pluralisme menjadi kokoh dan menjadi kekuatan bangsa, prinsip tersebut adalah:
Pertama, prinsip humanitas. Manusia memiliki nuilai-nilai kemanusiaan seperti makhluk yang bebas-bebas memilih dan berbuat merdeka, dan bertanggung jawab.
Kedua, prinsip unitas. Kemajemukan dan keanekaragaman aspek kemanusiaan, etnis, dan agama mengisyaratkan perlunya kerja sama antara semua elemen anak bengsa.
Ketiga, prinsip kontekstualitas. Kesadaran multikulturalisme mengisyratkan perlunya pemahaman secara khusus berdasarkan nilai-nilai cultural masyrakat setempat.


BAB V
REORIENTASI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

MENCARI FORMULASI PENDIDIKAN ISLAM: SINTESIS IDEALISME,PRAGMATISME DAN ISLAM
1.pendidikan dalam Perspektif Idealisme
Dalam sejarah filsafat barat, idealisme selalu identik dengan plato. Seperti dikatakan Sidi Gazabla, Plato adalah bapak filsafat Idealisme. Menurut Plato, hakekat segala suatu tidak teletak pada yang bersifat materi atau bendawi, tetapi sesuatu yang ada dibalik materi itu, yakni ide. Ide bersifat kekal, immaterial, dan tidak berubah, walaupun materi hancur ide tidak ikut musnah.
Plato membagi pengetahuan manusia ke dalam dua bentuk : pengetahuan umum dan pengetahuan khusus. Pengetahuan umum bersifat universal dan mengandung ide, yang dikenal dengan budi, sementara pengetahuan khusus bersifat terbatas dan individu yang berasal dari dunia pengamatan dan pengalaman.
Pandangan idealisme memberikan dua argumentasi bahwa hakekat terdalam dari kenyataan adalah hakekat yang bersifat akal.
Pertama, pengalaman dan pengetahuan tergantung pada akal yang mengetahuinya.Apapun yang diketahui pada akhirnya berupa ide,artinya sesuatu yang berhakekat akal.
Kedua, di alam semesta ini kita jumpai watak yang logis, hubungan sebab-akibat, ketertiban, ketaatan pada hokum, keteraturan.Menurut penganut idealisme,semuanya itu merupakan cirri-ciri khas yang dijumpai oleh akal.
Paham idealisme terbagi dalam tiga aliran,yaitu:Pertama,idealisme subyektif,yang berpandangan bahwa kenyataan merupakan hasil pembuatan pola yang dilakukan oleh akal yang terbatas kemampuannya.Kedua,idealisme objektif,berpandangan bahwa alam merupakan akal yang tidak tergantung pada pengetahuannya.Ketiga,idealisme personalistik,kenyataan berhakekat kepribadian yang sadar.
Adapun pemikiran pendidikan idealisme adalah sebagai berikut:
1.Hakekat Pendidikan
Bagi aliran idealisme,hakekat pendidikan adalah semangat ingin kembali kepada warisan budaya masa silam yang agung dan ideal.Sehingga pendidikan adalah sebagai “education as cultural conservation”,pendidikan sebagai pemelihara kebudayaan.
2.Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan idealisme adalah membentuk anak didik agar menjadi manusia yang sempurna,yang berguna bagi masyarakatnya.
3.Tugas pendidikan
Tugas pendidikan,menurut idealisme adalah proses melatih jiwa,seperti pikiran,ingatan,perasaan,dalam kerangka memahami realita,nilai-nilai,kebenaran,baik sebagai warisan sosial (kebudayaan),maupun sebagai makrokosmos(alam semesta).Dengan demikian,tugas pendidikan pada hakekatnya adalah melatih jiwa dan akal yang kreatif.


4.Kurikulum pendidikan.
Kurikulum idealisme mendasarkan pada prinsip:Pertama,kurikulum yang kaya,berurutan,dan sistematis yang didasarkan pada target tertentu yang tidak dapat dikurangi sebagai satu kesatuan pengetahuan,kecakapan-kecakapan dan sikap yang berlaku didalam kebudayaan yang demokratis.Kedua,kurikulum menekankan penguasaan yang tepat atas isi atau materi kurikulum itu.

2.Pendidikan dalam Prespektif Pragmatisme.
Pragmatisme dipandang telah berhasil mendorong berpikir liberal,bebas dan selalu menyangsikan segala yang ada,pragmatisme telah memberi semangat kepada kehidupan manusia untuk berlomba-lomba berkarya yang terbaik dan bermanfaat.Tetapi prgmatisme juga tidak luput dari kelemahan-kelemahan,yaitu:Pertama,tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran absolute dan hanya mengakui kebenaran yang bersifat ilmiah dan langsung dapat dirasakan dalam kehidupan praktis.Kedua,karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuat yang nyata,praktis dan empiris,maka pragmatisme telah menciptakan gaya hidup materialisme.
Pemikiran-pemikiran pragmatisme tentang pendidikan adalah sebagai berikut:
1.Hakekat pendidikan
Hakekat pendidikan menurut pragmatisme adalah menyiapkan anak didik dengan membekali seperangkat keahlian dan keterampilan teknis agar mampu hidup di duni yang selalu berubah.Pragmatisme berkeyakinan bahwa pendidikan dapat menolong manusia menghadapi periode transisi antara pola piker trdisional dengan pola piker progresif (modern) yang selalu berubah.
2.Tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan pragmatisme adalah menyiapkan peserta didik menghadapi masa depannya.Untuk mencapai tujuan dimaksud maka perlu ditanamkan disiplain dan membekalinya dengan berbagai keahlian dan keterampilan.
3.Tujuan pendidikan
Menurut Dewey,proses pendidikan berdimensi psikologis dan sosiologis.Dimensi psikologis menuntut pendidikan dapat memahami potensi yang dimiliki setiap peserta didik untuk dikembangkan dan mengetahui kemana harus dikeluarkan.Dimensi sosiologis menuntut pendidikan dapat mengetahui kemana harus dibimbing potensi yang dimiliki peserta didik.
4.Kurikulum pendidikan
Dalam mengembangkan kurikulum,pragmatisme berpedoman pada lima struktur kurikulum,yaitu:Pertama,reorganisasi di dalam subyek khusus pendidikan sebagai langkah pertama mencari pola dan desain baru.Kedua,korelasi dan kedekatan antara dua atau lebih materi pelajaran.Ketiga,pengelompokan dan hubungan integrative dalam satu bidang pengetahuan.Keempat,”corecurriculum”,suatu kelompok mata pelajaran yang memberi pengalaman dasar dan sebagai kebutuhan umum yang utama.Kelima,”experience-centered curriculum”,yakni kurikulum yang mengutamakan pengalaman dengan menekankan pada unit-unit tertentu.

3.Pendidikan dalam Perspektif Islam
1.Islam sebagai Aliran Filsafat.
Periode pemikiran filsafat kaum Muslimin dapat dibagi menjadi empat masa,yaitu:
a.Periode Kalam Pertama
Periode ini melahirkan kelompokmutakalimin/aliran dalam ilmu kalam,yakni: Khawarij,Murji’ah,Qadariyah,Jabariyah,Mu’tazilah,dan Ahl Sunnah.Dalam kaitannya dengan filsafat yang paling menonjol adalah aliran Mu’tazialh yang dimotori oleh Wasil ibn Atha dan dianggap sebagai rasionalisme islam.
b.Peiode Filsafat Pertama
Periode ini adalah periode munculnya para filosof Muslim di dunia Timur,seperti Al-Kindi (806-873 M),Al-Razi (865-925 M),Al-Farabi (870-950 M) dan Ibnu Sina (980-1037 M)
c.Periode Kalam Kedua.
Pada periode ini tokoh kalam penting dan besar pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu kalam adalah:Pertama,Al-Asy’ari (873-957 M).Kedua,al-Ghazali (1065-1111 M).

d.Periode Filsafat Kedua.
Periode ini ditandai dengan tampilnya sarjana dan ahli dalam berbagai bidang dan juga meminati filsafat. Mereka adalah Ibnu Bajjah (m.1138M) Ibnu Tufail (1110-1185M) dan Ibnu Rusyed(1126-1198M).
e. Periode Kebangkitan
Periode ini ditandai lahirnya kesadaran dan kebangkitan kembali dunia islam setelah mengalami kemerosotan sejak abad XV-XIX. Oleh karena itu, periode ini ada yang menyebutnya sebagai renaissance dunia islam. Diantara tokoh yang berpengaruh adalah Jamauddin al-Afgani, M Abduh, M Iqbal.

2. Pendidikan dalam perspektif filsafat islam.
a. Hakikat pendidikan
Hakikat pendidikan islam tidak boleh dilepaskan begitu saja dqari ajaran islam yang tertuang dalam Al-quran dan Al-sunnah, karena kedua sumber tersebut merupakan pedoman otentik dalam penggalian khazanah keilmuan apapun dalam islam.
b. Tujuan Pendidikan
Abdurrahman Saleh Abdullah menyatakan tujaun pendidikan islam diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu: pertama , tujuan pendidikan jasmani. Kedua, tujuan pendidikan rohani. Ketiga, tujuan pendidikan akal. Keempat, tujuan pendidikan sosial.
Sedangkan menurut Ali Asraf, tujuan pendidikan islam adalah : pertama, mengembangkan wawasan spiritual yang semakin mendalam dan mengembangkan pemahaman rasional mengenai islam dalam konteks kehidupan modern. Kedua, membekali anak didik dengan berbagai kemampuan pengetahuan dan kebajikan, baik pengetahuan praktis, kesejahteraan, lingkungan sosial dan pembangunan nasional.Ketiga mengembangkan kemampuan pada diri anak didik untuk menghargai dan membenarkan superioritas komparatif kebudayaan dan peradaban islami diatas semua kebudayaan lain. Keempat, memperbaiki dorongan emosi melalui pengalaman imajinatif. Kelima, membantu anak yang sdang tumbuh untuk berfikir secara logis. Keenam, mengembangkan, menghaluskan, dan memperdalam kemampuan berkomunikasi dalam bahasa tulis dan bahasa latin.
c.Tugas Pendidikan
Tugas pendidikan islam, dapat dilihat dari tiga pendekatan. Pertama, pendidikan sebagai pengembangan potensi. Kedua, pewarisan budaya. Ketiga, interaksi antara potensi dan budaya.
d. Kurikulum Pendidikan.
Landasan pokok penyusunan kurikulum islami harus memuat prinsip :a. mengandung nilai kesatuan, b. mengandung nilai kesatuan dari persamaan kepentingan dalam mengembangkan visi ajaran islam, c. mengandung materi yang bermuatan pengembangan spiritual, intelektual dan jasmani

4. Sintesis Pemikiran Pendidikan Islam.
1. Persamaan Konsep.
Pertama, ketiga aliran filsafat memandang hakekat pendidikan adalah membina, membimbing, dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak didik agar menjadi manusia dewasa. Kedua, tujuan pendidikan adalah menanamkan kesadaran diri pada anak didik. Ketiga, tugas pendidikan adalah secara individual dipahami sebagai upaya pengembangan potensi yang dimiliki peserta didik, secara sosial sebagai sarana peralihan budaya masyarakat pada anak didik. Keempat, kurikulum pendidikan perlunya diadakan langkah-langkah kreativ dan inovatif dalam materi pendidikan agar tidak ketinggalan zaman dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.
2. Perbedaan Konsep
Pertama, hakekat pendidikan idealisme lebih menekankan pada masa lampau walaupun tidak sepenuhnya menolak perubahan zaman. Kedua, idealisme berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menanamkan kesadaran pada anak didik tentang peradaban modern yang telah menimbulkan kerancauan nilai-nilai kehidupan dan menjauhkan manusia dari hal-hal yang bersifat etis dan spiritual..Ketiga,tugas pendidkan idealisme adalah mewariskan ajaran-ajaran yang dianggap luhur dan mulia kepada generasi muda.Keempat,idealisme memandang kurikulum yang baik adalah yang mampu mengembangkan intelektulitas (akal) anak didik serta yang mampu membekali dengan keunggulan moral,yang tidak perlu tergantung dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi.
VISI BARU PENDIDIKAN ISLAM:REFLEKSI FILSAFAT,TEORI DAN KURIKULUM
Secara umum pergaulan global yang tejadi saat ini dan yang akan datang dapat dirumuskan ciri-cirinya sebagai berikut: pertama, tejdainya pergeseran dari konflik ideology dan politik kearah persaingan perdagangan, investasi dan informasi. Kedua, hubungan antara Negara atau bangsa secara structural berubah dari sifat ketergantungan kearah saling ketergantungan, hubungan yang bersifat primordial berubah menjadi sifat tergantung kepada posisi tawar menawar. Ketiga, batas-batas geografis hampir kehilangan arti operasionalnya. Keempat, persaingan antar Negara sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Kelima, terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik, efisien, tidak menghargai nilai dan norma yang secara ekonomi tidak efisien.
Filsafat merupakan dasar perilaku seseorang dan juga merupakan dasar perilaku suatu bangsa kalau bangsa Indonesia melakukan suatu pendidikan, maka hal itu juga didsarkan kepada suatu filsafat, yaitu filsafat pendidikan.
Berpijak dari filsafat dan teori pendidikan yang telah dirumuskan, target pendidikan yang diidealkan akan mudah tercapai. Dengan demikian, tanpa mengesampingkan sasaran-sasaran yang bersifat teknik dan jangka pendek, filsafat dan teori pendidikan akan mengantarkan pada cakupan yang lebih komplit dan menyeluruh.
Agar umat islam dapat berkiprah dalam masyarakat global, maka pendidikan islam diharapkan tampil dengan nuansanya sebagai berikut:
Pertama, menampilkan islam yang lebih ramah dan sejuk, sekaligus menjadi pelipurlara bagi kegerahan hidup manusia modern. Tawaran ini mengharuskan umat islam menghayati nilai-nilai universal yang diajarkan islam dan teologi yang inklusif yang diperankan oleh nabi Muhammad SAW.
Kedua, islam yang toleran terhadap manusia secara keseluruhan agama apapun dianutnya. Sebab islam adalah agama rahmatan lil-alamin, mendatangkan kebaikan dan kedamaian untuk semua.
Ketiga, menampilkan visi islam yang dinamis, kreativ dan inovativ, sehingga bisa membebaskan umat islam dari belenggu-belenggu dan penjara taqlid, status quo, menyukai kemapaman dan alergi terhadap pembaruan, harus ditinggalkan. Karena sikap-sikap tersebut menyebabkan kreatifitas dan dinamisnya sebagai manusia menjadi hilang.
Keempat, menampilkan islam yang mampu mengembangkan etos kerja, etos politik, etos ekonomi, etos ilmu pengetahuan, dan etos pembangunan. Karena sepanjang sejarah, kelima etos itulah yang dapat mendatangkan kejayaan umat islam.
Kelima, menampilkan revivalitas islam, dalam bentuk intensifikasi keislaman lebih berorientasi “ke dalam” (inward oriented), yakni membangun kesalehan intrisktik dan esoteris, daripada intensifikasi “ke luar” (outward oriented) yang bersifat ekstrinsik dan eksoteris, yakni kesalehan formalitas.

REORIENTASI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan islam tidak hanya sekedar ciri khas dari ragam pendidikan yang berlatarbelakang keagamaan. Tetapi lebih merupakan pemahaman “pendidikan islam” menceritakan karakteristik berikut: pertama, dasar filosofis. Penyelenggaraan dan pendirian pendidikan islam didorong oleh hasrat dan semangat untuk mentransformasikan nilai-nilai dan misi keislaman. Kedua, program pendidikan akan memberikan perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran islam sebagai pengetahuan untuk materi pengajaran, objek kajian dan diperlakukan sebagai mana ilmu-ilmu yang lain. Ketiga, penggagas dan pemrakarsa. Adalah orang-orang islam yang memiliki kepedulian besar terhadap kelangsungan dan kebenaran islam. Keempat, segi institusional atau kelembagaan. Biasanya nama kelembagaan selalu memakai symbol-simbol ke islaman baik secara formal “islam” dipakai untuk lembaga atau mengambil tokoh-tokoh ilmuan, ulama atau pejuang islam, atau mengambil nama organisasi islam sebagai nama lembaga. Untuk menuju kepada pendekatan integralistik dan dalam upaya memadukan keunggulan warisan klasik islam dengan kemajuan system modern maka langkah-langkah berikut perlu dipikirkan kembali.
1.Arti dan makna pendidikan
Pendidikan dalam konsep islam, mengimplikasikan bukan sekedar pengajaran dan menyampaikan pengetahuan tetapi juga pelatihan seluruh diri anak didik.
2.Sistem Pendidikan
System pendidikan islam, tidak pernah memisahkan pelatihan pikiran dari pelatihan jiwa dan keseluruhan pribadi secara utuh. Pendidikan islam tidak pernah memandang alih pengetahuan dan cara memperolehnya absah tanpa dibarengi dengan kualitas moral dan spiritual.
3.Jenjang Pendidikan,
Islam memberikan konsep tentang jenjang-jenjang pendidikan sebagai berikut:
Pertama, pendidikan prenatal(sebelum individu dilahirkan), pendidikan ini bisa berwujud dalam dua bentuk: a. sewaktu seorang lelaki atau perempuan memilih calon pasangannya akan mempengaruhi anak yang akan dilahirkan, b. sewaktu anak masih dalam kandungan, apa yang diperbuat oleh orangtuanya akan berpengaruh secara psikologis pada anak tersebut.
Kedua, pendidikan post-natal(mulai anak dilahirkan) yang merupakan fase awal atau pendidikan primer. Pendidikan ini harus diperoleh anak dalam keluarga.
Ketiga, fase pendidikan dasar: taman kanak-kanak(tk), sekolah dasar (sd ) dan sekolah menengah pertama(sltp). Pada fase-fase ini anak harus dimasukan kesekolah agama.
Keempat, fase sekolah menengah atas. Pada fase ini anak didik mulai dilatih penalaran dan diperkenalkan pada berbagai macam ilmu pengetahuan.
Kelima, fase jamiah atau perguruan tingg. Di tingkat ini, mahasiswa diajarkan berbagai macam sains dan filsafat dengan pendekatan dialogis, ilmiah, rasional dan filosofis.
4.Restrukturisasi Kurikulum.
Kurikulum dipandang penting dalam proses pendidikan, karena ia akan memberikan arahan dan patokan keahlian apa yang ahrus dipunyai oleh anak didik. Para ilmuan muslim mengklasifikasikan gradasi sains. Pertama sains keagamaan dan ilahi, prinsip-prinsipnya dan juris prudensi. Kedua sainses intelektual yang meliputi, misalnya matematika dan sains kealaman lainnya, filsafat, dan logika.
5.Tujuan dan Tugas Pendidikan.
Tujuan pendidikan adalah untuk mempersiapkan manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia, sedangkan tujuan utimatenya adalah tercapainya kebahagiaan hidup yang permanent di alam baka (akhirat). 
 
 Pengarang: Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar