Pengantar
Menikmati pemandangan alam merupakan salah satu kegiatan santai yang  dapat mengendurkan ketegangan akibat tugas-tugas sekolah yang seringkali  terasa demikian berat. Tidak jarang kesantaian itu berkembang menjadi  kesenangan rutin yang lalu melahirkan kerinduan yang luar biasa pada  alam, pada keteraturan yang tiba-tiba saja diikuti dengan amukan dan  keporakporandaan yang menghilangkan monotoninya.
Keindahan visual yang begitu menawan menjadi kian lengkap apabila  kita mampu mengelupas demi lapis tampilan alam semesta untuk sampai pada  mekanisme mendasar yang melandasinya. Sarang burung di pucuk pohon  bukan sekedar tempat mengeram telur jika kita mengerti bagaimana punjung  jantan selalu saja memilih jerami terindah diselingi warna menawan  untuk memikat betinanya. Padang rumput bukan sekedar hamparan permadani  lembut yang nyaman jika kita mengerti bahwa kehijauannya memerlukan  terlebih dahulu muka bumi yang bergolak selama berjuta-juta tahun.  Ribuan bintang di langit malam bukan lagi kerlap-kerlip cantik jika kita  mengerti bagaimana selama bermilyar-milyar tahun seonggok awan raksasa  tanpa bentuk berputar dahsyat, memilin, dan mengerut, untuk menghadirkan  gemerlap malam yang tak terjamah itu. Padang itu, bintang-bintang itu,  menjadi saksi bahwa alam mampu menyelaraskan kesemrawutan.
Seringkali saya menerima pertanyaan, kenapa belajar kosmologi yang  begitu jauh dari kehidupan manusia yang masih menuntut amat banyak  perhatian? Ilmu ini seperti tidak berkaitan langsung dengan derap  langkah manusia di Bumi yang sibuk menapak di planet kecil ini demi  mengolah, membangun, dan menguasai alam. Kosmolog, dan para astronom,  mengembarakan pikiran ke wilayah senyap di antara bintang-bintang.  Adakah gunanya?
Mungkin kita bisa mendengar apa yang disampaikan seorang  astrofisikawan kenamaan William Mc.Crea, bahwa kosmologi adalah sesuatu  yang datang pada setiap orang, bukan sesuatu yang dapat dipilih untuk  dipelajari. Mengapa? Kosmologi adalah seluruh sejarah upaya manusia  untuk memahami semesta dan memahami kehadiran dirinya yang selalu  bertanya, ‘mengapa aku ada di sini?’, ‘haruskah aku hadir?’ , ‘mengapa  aku dapat hadir dalam alam semesta ini?’. Pertanyaan-pertanyaan seperti  ini sudah menggema sejak manusia tegak berdiri di muka Bumi dan  menengadah ke langit.
Apakah kosmologi?
Istilah kosmologi berasal dari bahasa Yunani kosmos yang dipakai oleh  Pythagoras (580-500 SM) untuk melukiskan keteraturan dan harmoni  pergerakan benda-benda langit. Istilah ini dipakai lagi dalam pembagian  filsafat Christian Wolff (1679-1754).
Kosmologi adalah pengetahuan tentang alam semesta. Dalam penggunaan  modern oleh para ilmuwan, kosmologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang  berupaya memahami struktur ruang-waktu dan komposisi alam semesta skala  besar dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan alam. Ini berarti  kosmologi memanfaatkan pengamatan rinci untuk memperoleh data dan  memanfaatkan teori-teori fisika untuk menafsirkan data tersebut, serta  mempergunakan penalaran matematika atau penalaran logika lainnya yang  terkandung dalam teori-teori tersebut untuk memperoleh pengetahuan  lengkap mengenai alam semesta fisik.
Kosmologi bukan astronomi yang membagi-bagi seluruh alam semesta  menjadi galaksi, bintang, planet, bulan, lalu menelaahnya satu demi  satu. Kosmologi memadukan semua cabang dan ranting pohon ilmu  pengetahuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai alam  semesta. Kosmologi menelaah ruang dan waktu, menyelidiki asal-usul semua  materi pengisi alam, mempelajari peristiwa kosmis penting, termasuk  asal mula kehidupan dan kemungkinan perkembangan kecerdasan.
Masalah yang dihadapi para kosmolog modern adalah mempersatukan  sifat-sifat alam semesta teramati untuk memperoleh model-model alam  semesta yang akan mendefinisikan struktur dan evolusinya. Model alam  semesta menjadi sarana yang dibangun manusia untuk memperoleh gambaran  mengenai alam semesta yang demikian luas. Model ini dibentuk dengan  bertumpu pada data empiris dan teori-teori fisika. Model alam semesta  pun senantiasa diujikan. Hasil-hasil amatan baru atau teori-teori baru  akan mengubah model alam semesta dari waktu ke waktu.
Apakah model yang dibangun para kosmolog merupakan cermin Alam  Semesta? Kita mungkin tidak pernah dapat memastikannya. Dalam membuat  model alam semesta, para kosmolog ibarat seorang pembuat topeng yang  harus memasangkan topeng buatannya pada seraut wajah tak dikenal, Alam  Semesta. Ia hanya mempunyai satu Alam Semesta, dan ia berada di  dalamnya. Ia tidak pernah mengetahui seperti apakah Alam Semesta  sesungguhnya. Kosmolog bukan membuat potret alam semesta, ia hanya  membuat analoginya. Upaya ini tidak sederhana, namun terbukti berhasil  melahirkan teori-teori tentang asal usul, struktur dan evolusi alam  semesta yangdari waktu ke waktu menambah pemahaman kita mengenai ruang  maha besar yang kita huni ini.
Dari Kosmos Magis ke Mitologi
Kosmologi modern didukung oleh piranti pengamatan astronomis dan  sarana penghitung yang amat canggih, sehingga bahkan wilayah-wilayah  alam semesta yang luar biasa jauh pun dapat dimasukkan ke dalam  jangkauan pengetahuannya. Namun sebetulnya, selama ribuan tahun  sebelumnya, manusia berjuang membuat model alam semestanya dengan hanya  bertumpu pada mata telanjang dan perhitungan sederhana.
Model alam semesta paling dini dalam sejarah kosmologi adalah kosmos  magis yang dipenuhi oleh emosi gaib. Kosmos ini melahirkan kisah-kisah  menakutkan yang sering kita jumpai dalam dongeng masa kecil. Tidak jelas  kapan era ini berawal, tetapi yang jelas masa ini berakhir ketika  manusia mulai membangun dan menghuni kota-kota sekitar 10.000 tahun  lalu.
Pada era ini, kekuatan magis yang bergentayangan dari pohon ke pohon,  meloncat dari satu gumpalan awan ke gumpalan lainnya, yang mendebur  dari lautan ke daratan, atau di mana pun mereka bersemayam, menjelma ke  dalam tubuh dewa dan dewi penguasa kosmos. Inilah era mitologi. Mitologi  menjadi kosmologi prailmu, karena mitologi adalah upaya tertua manusia  untuk mulai menjelaskan kosmos dengan cara yang sistematik.
Mitologi tertua mengenai alam semesta yang dapat ditelusuri sejauh  ini, berasal dari Sumeria (sekarang Irak), Babilonia, Yunani Cina, Suku  Maya dan India. Isi mitologi amat beragam, tetapi umumnya dapat ditarik  sebuah kesimpulan sederhana bahwa semua model itu bersifat  antroposentrik, yaitu menjadikan manusia sebagai pusat segala kegiatan  di dalam alam semesta. Para dewa dan dewi yang sedemikian kuasanya pun  hanya disibukkan oleh urusan manusia dari waktu ke waktu.
Awal untuk sebuah Kosmologi Modern
Mitologi merupakan upaya menjelaskan gejala yang tampil di alam  dengan cara mencari penyebabnya di luar alam, yaitu kehendak para dewa  dan dewi. Era mitologi mulai berakhir ketika manusia tidak lagi mencari  penyebab gejala di luar alam, melainkan dari dalam alam sendiri. Para  filsuf Yunani mulai memikirkan air, atau udara, atau api, sebagai  penyebab segala sesuatu di dalam. Inilah tahap filsafat alam yang  dimulai kira-kira abad ke-6 SM.
Sekalipun demikian, gagasan kosmos antroposentrik tetap melekat dalam  pemikiran Yunani kuno dan terwujudkan dalam gagasan kosmos geosentrik.  Bermacam-macam model alam semesta muncul dan tenggelam sejak itu, tetapi  ada satu kosmos geosentrik yang diyakini kebenarannya selama lebih dari  14 abad. Kosmos itu adalah kosmos geosentrik Ptolomaues yang diajukan  tahun 140. Ptolomaues yakin bahwa bukan saja Bumi itu adalah pusat tata  surya, tetapi pusat gerak seluruh alam semesta. Dengan bantuan  aturan-aturan geometri yang rumit, ia mencoba menjelaskan gerak  benda-benda langit yang tampak sepanjang tahun. Kosmos geosentrik ini  terasa nyaman untuk manusia, karena bukan saja berarti bahwa ia tetap  menjadi pusat kegiatan kosmos, tetapi juga bahwa ia adalah mahluk yang  pantas mendapat perhatian khusus.
Penggeseran posisi manusia dari tempat yang dipertahankan selama  hampir sepanjang sejarah pemikiran manusia itu berlangsung melalui  konsep heliosentris yang diajukan Copernicus. Copernicus mengatakan  bahwa gerak benda-benda langit sepanjang tahun yang seakan-akan  mengelilingi Bumi sesungguhnya adalah gerak semu akibat peredaran Bumi  mengelilingi Matahari. Semua planet dan bulan-bulannya mengedari  Matahari dalam suatu tata surya; di luar planet yang terjauh terdapat  selubung bintang-bintang yang semuanya berpusat di Matahari. Seluruh  semesta berpusat di Matahari.
Gagasan radikal Copernicus yang menggeser posisi manusia ini tidak  mudah untuk diterima; namun ketika diterima dan dilengkapi dengan hukum  gerak planet dari Kepler, tafsiran matematis atas alam oleh Galileo,  serta pemahaman mengenai gaya gravitasi oleh Newton, pemikiran  Copernicus menjadi sebuah revolusi pemikiran besar yang melandasi  perombakan hubungan manusia dengan alam. Keseluruhannya membentuk suatu  paduan pemahaman mengenai hukum-hukum mekanika yang bekerja di seluruh  alam semesta. Alam semesta pun terpahami melalui hukum-hukum mekanika  yang berlaku sama di wilayah mana pun di dalamnya. Konsepsi alam yang  terbelah antara wilayah duniawi yang fana dan wilayah langit eterial  yang kekal serta tak terjangkau oleh hukum-hukum alam, runtuh bersama  hukum-hukum yang dapat dipelajari itu.
Dari Kosmos Statik ke Kosmos Dinamik
Newton memperkenalkan konsep gaya ke dalam alam-semestanya; gaya itu  adalah gaya gravitasi yang bertindak sebagai pengatur gerak dalam alam  semesta. Sekalipun bersifat menarik, di dalam kosmos menurut konsepsi  Newton ini terjadi keseimbangan yang luar biasa sehingga alam semesta  tetap statik dan tidak bergerak mengerut oleh gravitasi. Penyebabnya  adalah alam semesta ini tidak mempunyai pusat dan terentang takhingga  sehingga gaya-gaya yang lahir dari setiap obyek di dalamnya saling  meniadakan.
Kosmos Newton dengan gravitasi universalnya yang berlaku di mana-mana  ini bertahan lebih dari dua setengah abad. Perubahan mendasar di dalam  gagasan mengenai alam semesta muncul bersama teori kenisbian khusus dan  umum yang dilahirkan Einstein pada permulaan abad ke-20. Teori ini  melandasi hampir seluruh upaya pemahaman mengenai alam semesta skala  besar di tempat-tempat teori Newton tidak bekerja lagi dengan cemat atau  bahkan mengalami kegagalan.
Einstein memperkenalkan kosmologi statik, yaitu sebuah alam semesta  yang tidak bergerak ke manapun. Berbeda dengan kosmos Newton, Kosmos  Einstein ini berhingga namun tak berbatas dan mengandung di dalamnya  sebuah gaya misterius yang ia beri lambang lambda (8). Mengapa ia  memperkenalkan gaya ini?
Di atas kertas, kosmos Einstein sebetulnya bergerak memuai. Namun  Einstein menolak temuannya sendiri itu karena tidak seorang pun pada  masa itu pernah memperkenalkan gagasan kosmos yang dinamik. Untuk  menghentikan gerak itulah ia menambahkan 8 (sesuatu yang kemudian ia  sesali sebagai ‘kesalahan bodoh terbesar’ yang pernah ia lakukan).
Selama perkembangan model-model alam semesta itu pula, para astronom  menemukan bahwa kosmos dipenuhi oleh berbagai ragam bentuk galaksi.  Pengamatan yang dilakukan sendiri-sendiri oleh Edwin Hubble dan Vesto  Slipher menunjukkan bahwa garis-garis pada spekra galaksi-galaksi itu  ternyata cenderung bergeser ke panjang gelombang yang lebih merah  daripada seharusnya. Gejala inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai  petunjuk bahwa alam semesta ruang dinamik yang bergerak dari waktu ke  waktu, galaksi-galaksi saling menjauh. Pada tahun 1929, Hubble  menghitung bahwa kian jauh galaksi kian tinggi laju menjauh galaksi  tersebut.
Tafsiran ini melahirkan perdebatan yang cukup panjang. Bayangkan  bahwa sebuah galaksi berjarak sekitar 10 milyar tahun cahaya akan  menjauh dengan laju 200.000 km/detik atau 0,6 kali laju cahaya. Laju  setinggi itu untuk benda semasif galaksi amat sukar untuk dijelaskan  melalui model-model alam semesta yang ada.
Persoalan ini menjadi jelas ketika seorang paderi dan kosmolog Belgia  LemaitrL (1931) mengajukan model kosmos yang mengembang. Menurut  LemaitrL gerak galaksi adalah bukti bahwa alam semesta memuai. Pemuaian  itu demikian rupa sehingga ruang-waktu terus membesar tetapi tanpa  menyebabkan galaksi-galaksi sendiri ikut membesar; hanya jarak di  antaranya kian membesar.
Pertanyaannya, darimana asal gerak memuai tersebut? Mengapa alam semesta membesar terus menerus?
Model Alam Semesta Ledakan Dahsyat
Jika alam semesta sekarang sedang terus menerus memuai, tentu ada  suatu waktu di masa lampau ketika ukurannya jauh lebih kecil daripada  sekarang. LemaitrL sendiri mengajukan modelnya yang menyatakan bahwa  pada awal alam semesta, ada sebuah peristiwa mirip ledakan ‘atom’ amat  dahsyat yang mengawali alam semesta. Ledakan itulah yang menyebabkan  ruang-waktu memuai dan kini terejawantahkan dalam gerak saling menjauh  galaksi.
Pada tahun 1940-an George Gamow dan rekan-rekannya melahirkan konsep Ledakan Dahsyat Panas (The Hot Big Bang Model).  Konsep ini merupakan kelanjutan dari konsep LemaitrL. Gamow menyatakan  bahwa masa dini kosmos ditandai dengan suhu dan rapatan yang amat  tinggi, namun kemudian suhu dan rapatan itu menurun seiring dengan gerak  muaian alam semesta. Bagaimanapun, sisa radiasi yang amat panas itu  tidak lenyap begitu saja. Gamow memprakirakan bahwa sisa radiasi masa  muda alam semesta itu dapat dideteksi pada kosmos masa kini dalam bentuk  radiasi bersuhu amat rendah pada riak gelombang mikro.
Pemuaian dan pendinginan kosmos menyebabkan zarah subatom mulai  terbentuk, untuk kemudian membentuk atom-atom. Atom-atom inilah yang  menjadi cikal bakal seluruh penghuni kosmos, termasuk manusia.
Gagasan Gamow pada saat diajukan belum mempunyai dukungan empiris.  Sementara itu muncul Teori Keadaan Tetap yang membantah Model Ledakan  Dahsyat. Bondi, pengaju teori itu, menyatakan bahwa alam semesta tidak  mempunyai awal dan akhir. Kosmos selalu ada dan akan selalu ada; di  dalamnya senantiasa terbentuk materi baru untuk mengganti materi lama  yang musnah. Dengan demikian alam semesta senantiasa tetap, tidak  berubah dalam skala besar sekalipun mengalami perubahan pada skala  kecilnya. Untuk ilmu pengetahuan, konsep yang diajukan Bondi ini amat  menarik karena tidak menghadapkan para ilmuwan pada pertanyaan mengenai  asal mula alam semesta yang tidak terjelaskan.
Pada tahun 1965 Arno Penzias dan Robert Wilson dari Laboratorium  Telefon Bell secara tidak sengaja mendeteksi sinyal aneh dari langit.  Sinyal ini, yang ditangkap pada riak gelombang mikro dan mempunyai suhu 3  K, ternyata bukan berasal dari sebuah obyek langit, namun dari seluruh  bagian kosmos. Sinyal itu ternyata tersebar secara merata dan dapat  dideteksi ke arah manapun antena radio pendeteksi di arahkan. Radiasi  ini lalu disebut sebagai radiasi latar belakang kosmos beriak gelombang  mikro.
Telaah oleh Robert Dicke dan rekan-rekannya dari Universitas  Princeton menunjukkan bahwa radiasi itu tidak lain adalah radiasi sisa  masa muda kosmos seperti yang diharapkan Gamow. Radiasi yang menyebar  secara serbasama dan isotropik itu sejauh ini menjadi landasan untuk  ketepatan model Ledakan Dahsyat memaparkan masa muda alam semesta. Maka  kosmologi masa kini pun bertumpu pada model Ledakan Dahsyat sebagai  paradigma utamanya.
Ketertalaan yang Amat Menakjubkan
Pemaparan singkat di atas memperlihatkan upaya para kosmolog untuk  menjadikan gejala yang tampak dalam alam semesta sebagai acuan  pembentukan model-model yang akan memberikan gambaran mengenai alam  semesta secara keseluruhan.
Di belakang pemaparan itu sendiri sebetulnya tersimpan sebuah  pertanyaan mendasar yang bermaksud mendapatkan jawaban: ‘mengapa alam  semesta seperti ini? Sebuah pertanyaan tradisional kosmologi yang terus  terbawa dalam nafas modernnya.
Pertanyaan yang semula muncul karena rasa ingin tahu kian menjadi  dorongan pencarian makna ketika para ilmuwan menyadari betapa sebetulnya  alam semesta ini mempunyai kebolehjadian yang amat kecil untuk menjadi  ada; apalagi jika kemudian kita menyadari betapa sangat rumit dan  halusnya syarat yang diperlukan untuk mendapatkan alam semesta yang  berpengamat sadar (seperti manusia). Kenyataannya, alam semesta seperti  ini dan kita ada di dalamnya.
Berbagai gaya berjalin dalam ketertalaan yang amat halus, sehingga  sedikit perubahan pada salah satu saja faktor yang berperan dalam  pengevolusian alam semesta, betapa pun tak terbayangkan kecilnya, akan  meruntuhkan keseluruhannya; membayangkan bahwa akan ada kehidupan dalam  alam semesta yang berbeda itupun menjadi hampir-hampir tidak mungkin.  Melalui penelaahan terhadap evolusi kehidupan dan seluruh struktur  pendukungnya, banyak kosmolog menyimpulkan bahwa kehidupan hanya menjadi  mungkin karena di dalam alam semesta berlangsung penggabungan yang  sangat seksama antara berbagai interaksi fisika (seperti gaya gravitasi,  elektromagneik dan gaya nuklir kuat serta gaya nuklir lemah) dan  tetapan-tetapan dasar alam (misalnya laju cahaya, muatan elektron, massa  proton).
Mengapa alam semesta seperti ini? Mengapa tetapan-tetapan dasar alam  sedemikian harganya sehingga interaksi fisika yang terkait dengannya  berhasil membangun suatu struktur yang menghadirkan, mendukung,  mengevolusikan kehidupan, dan mempertahankan kelangsungannya sejauh ini?  Mengapa alam semesta memuai dengan laju yang amat tepat, begitu rupa,  sehingga jika sedikit saja lebih cepat akan menyebabkan seluruh materi  di dalamnya cerai berai dan galaksi, bintang, planet, serta tentu saja  kita, tidak pernah ada di dalamnya; tetapi mengapa juga tidak sedikit  saja lebih lambat sehingga seluruh alam semesta akan runtuh sebelum  galaksi-galaksi, bintang-bintang, planet-planet, apalagi kita, dapat  terbentuk?
Bukan hanya ketertalaan yang ‘sangat tidak boleh jadi’ semata yang  menarik perhatian. Terlebih dahulu para ahli fisika dan kosmolog  menemukan ‘kebetulan’ pada berbagai maujud (entitas) fisika yang  membangkitkan keingintahuan. Suatu kebetulankah bahwa umur alam semesta  (suatu maujud yang mencirikan struktur skala besar alam semesta) dan  nisbah (rasio) antara gaya gravitasi dan gaya elektrik dalam atom (yang  mencirikan struktur mikroskopik alam semesta) dapat dinyatakan oleh  bilangan yang sama, 1040; padahal keduanya berasal dari wilayah yang  menerapkan hukum-hukum fisika berbeda yang sejauh ini diketahui tidak  saling berhubungan; suatu kebetulankah bahwa jumlah zarah masif dalam  alam semesta adalah pangkat dua dari bilangan itu?
Suatu kebetulankah bahwa semua bintang, terlepas dari keragaman  jenisnya, mengandung kira-kira 1060 nukleon? Suatu kebetulankah bahwa  ruji planet senantiasa merupakan kelipatan akar ukuran cakrawala alam  semesta? Suatu kebetulankah bahwa massa rata-rata untuk ukuran tubuh  manusia yang-mungkin merupakan akar nisbah massa planet terhadap massa  proton?
Persoalan menyangkut asal usul harga tetapan dasar dan interaksi  fisika yang telah memungkinkan hadirnya alam semesta tertala yang penuh  dengan ‘kebetulan’ ini, sampai sekarang belum terjawab. Sejauh ini  harga-harga itu harus diterima sebagai terberi, demikian adanya, dan  tidak dapat diketahui dari teori manapun yang selama ini berhasil  dikembangkan.
Mengapa alam semesta seperti ini? Mengapa kita mengamatinya demikian?
Inilah pertanyaan luar biasa menarik yang terus menantang kosmologi untuk berupaya keras mencari jawabannya.
Terlepas dari pertanyaan yang amat mendasar itu, mungkin tetap saja  kita bertanya, apa gunanya belajar kosmologi? Apa gunanya belajar  astronomi?
Dalam hal menjawab pertanyaan praktis ini, mungkin kita dapat menoleh  sebentar pada Matahari dan meninjau mekanisme pembangkitan energi di  dalamnya. Matahari sudah bersinar untuk waktu yang amat lama, 4,5 milyar  tahun, dan masih akan terus bersinar selama kira-kira 5,5 milyar tahun  lagi. Energi dahsyat yang memungkinkan umur yang demikian panjang itu  adalah energi nuklir. Pemahaman terhadap pembangkitan energi di  bintang-bintang telah menyumbang banyak terhadap pengetahuan mengenai  mekanisme pembangkitan energi nuklir, yang selain dapat saja berguna,  tetapi sekaligus demikian dahsyat.
Astronomi memang sangat jauh. Astrofisika demikian rumit dan seperti  tidak berbicara tentang Bumi. Kosmologi demikian luas dan seperti tidak  menapak di Bumi yang gegap gempita. Namun dari astrofisika-lah lahir  pemahaman mengenai Helium yang menyebabkan bencana balon gas Hindenburg  (1930-an) tidak terulang lagi. Dari pengamatan terhadap gerak planet-lah  berbagai satelit yang kini membantu kita mengetahui lebih dulu kondisi  cuaca, sehingga dapat melakukan antisipasi atas gejala yang mungkin  muncul, dapat sampai ke orbitnya mengedari Bumi.
Kemudian, jika kita menoleh pada Venus, kita pun melihat sebuah  planet yang pada dini hari terlihat amat mempesona sebagai Bintang  Timur, atau cemerlang menakjubkan pada senja hari sebagai Bintang Kejora  di kaki langit barat. Namun pemahaman lebih rinci mengenai kondisi  planet yang seringkali disebut sebagai kembaran Bumi ini segera saja  memperlihatkan bahwa pemanasan dahsyat akibat efek rumah kaca telah  membuat planet ini ibarat neraka bersuhu 4500 C; sebuah efek rumah kaca  yang dapat saja, bahkan sudah mulai, berlangsung di Bumi akibat ulah  manusia yang bergiat dengan industri yang tidak ramah lingkungan.
Jika menoleh pada Mars, kita berjumpa dengan planet kemerahan beralur  seperti saluran-saluran air buatan tangan mahluk cerdas. Untuk waktu  yang lama planet ini menjanjikan kemungkinan manusia Bumi akan mempunyai  teman. Namun harapan itu tetap tinggal harapan yang belum juga terbukti  sampai sekarang. Ada banyak temuan dari planet amat dingin ini. Namun  apakah ada kemungkinan kehidupan di sana?
Dengan contoh sederhana inilah kita sebetulnya dapat menarik benang  merah yang amat nyata dari upaya manusia mempelajari astronomi dan,  lebih luas lagi kosmologi: bahwa hanya ada satu Bumi yang terbentuk pada  waktu yang tepat, dalam ruang yang tepat, yang demikian nyaman untuk  kehidupan sehingga ia hadir, tumbuh, berkembang, dan menjadi sadar untuk  dapat bertanya: mengapa semua demikian?

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar