Aliran Mu’tazilah  sebagai salah satu aliran mutakallimin mempunyai peranan besar dalam  sejarah pemikiran Islam. Aliran inilah yang pertama kali mempersenjatai  Islam dengan filsafat dalam usaha mempertahankan Islam dari  serangan-serangan luar. Demikian pula, aliran Mu’tazilah yang meletakkan  dasar bagi lahirnya filsafat Islam dengan tokoh-tokohnya yang datang  kemudian seperti; Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, aliran Mu’tazilah pernah memperoleh pengaruh  dalam masyarakat Islam. Pengaruh itu mencapai puncaknya di Zaman  khalifah-khalifah Bani Abbas, al-Ma’tasim dan al-Watsiq (813 M. – 847  M.), diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara, khususnya pada masa  al-Ma’mun (827 M). Pengakuan seperti itu, karena al-Ma’mun adalah  seorang murid dari Abu al-Hudzaih al-Allaf, seorang tokoh Mu’tazilah.  Lagi pula al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah mencapai hubungan yang serasi  dalam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan keagamaan, antara lain  ajaran tentang kemakhlukan al-Quran. Kaum Mu’tazilah oleh penguasa  diserahkan untuk melaksanakan dialog-dialog seputar al-Quran. Karena itu  faham Mu’tazilah terutama ajaran tentang kemakhlukan al-Quran menjadi  isu teologis yang pemasyarakatannya dilaksanakan oleh penguasa.
Di sisi lain, para hakim dan tokoh-tokoh masyarakat baik dari  kalangan ahli fiqh maupun ahli hadis berpendirian bahwa al-Quran  bukanlah makhluk tetapi qadim. Faham ini yang banyak dianut oleh  masyarakat pada waktu itu. Faham seperti itu ditokohi oleh Ahmad ibn  Hambal dan Muhammad ibn Nuh yang pada saat diuji tetap berkeras dan  tidak mau merubah keyakinan itu. Bagi kaum Mu’tazilah, termasuk  al-Ma’mun memandang bahwa faham tersebut adalah suatu kekeliruan dan  termasuk syirik yang harus diluruskan dan pelaksanaannya akan berjalan  efektif bila dilakukan oleh penguasa melalui pemaksaan kehendak.  Pemaksaan kehendak inilah yang melahirkan gerakan al-mihnah.
Dengan gerakan al-mihnah agaknya mempunyai pengaruh besar terhadap  perkembangan aliran Mu’tazilah, yang mencapai puncak pada masa  khalifah-khalifah Abbasiyah yang telah disebutkan sebelumnya. Namun pada  masa pasca al-mihnah, pada masa al-Mutawakkil, mulailah pengaruh  Mu’tazilah mengalami kemunduran karena faham Mu’tazilah tidak lagi  menjadi mazhab negara.
Pengertian al-Mihnah
Kata Al-Mihnah diambil dari kata mhn, pecahan dari kata mahana, yahmanu, mahnan yang berarti cobaan, menguji, memeriksa.
Ahmad Amin dalam bukunya yang berjudul Dhuha al-Islam,  menyatakan bahwa al-Mihnah dalam kaitannya dengan perjalanan Mu’tazilah  dimaksudkan sebagai pemeriksaan untuk mengetahui para ulama dan pejabat  kehakiman mengenai kemakhlukan al-Quran. Bagi mereka berpendirian  keqadiman al-Quran maka siksalah yang diterima, karena keyakinan seperti  itu dianggap syirik yang harus dibetulkan dengan cara amar ma’ruf nahyi munkar, dan bila perlu dengan kekerasan.
Jadi dapat dipahami bahwa al-Mihnah adalah suatu tuduhan atau  introgasi yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap orang-orang yang  tidak sepaham dengan mereka.
Awal muncul dan Perkembangan Al-Mihnah
Al-Mihnah muncul seiring dengan adanya dukungan dan lindungan dari  khalifah al-Ma’mun, yang dikenal sebagai khalifah Abbasiyah yang condong  ke dunia ilmiah dan pemikiran saintifik terhadap kaum Mu’tazilah.  Dengan dukungan dan lindungan ini, kaum Mu’tazilah berada pada posisi  yang kuat, bahkan mazhabnya dijadikan sebagai mazhab resmi negara.  Dengan kekuasaan yang dimiliki, Mu’tazilah menghadapi lawan-lawannya  dengan cara-cara yang penuh kekerasan. Puncak kekerasan itu ialah  diadakanlah al-Mihnah, yaitu untuk menguji pendapat dan kesetiaan para  hakim, pemuka-pemuka dalam pemerintahan dan juga terhadap pemuka-pemuka  yang berpengaruh dalam masyarakat terhadap paham Mu’tazilah disertai  tindak kekerasan dan paksaan agar mereka mau menerima paham bahwa  al-Qur’an itu makhluk Tuhan.
Menurut riwayat, masalah al-Mihnah sudah muncul sebelum masa khalifah  al-Ma’mun berkuasa. Masalah ini pernah dibicarakan oleh al-Ja’ad ibn  Dirham, akan tetapi tidak berkembang karena ia segera dibunuh oleh  Khalid ibnu Abdullah, Gubernur Kufah. Hal yang sama dialami oleh al-Jahm  ibnu Safwan.
Pada masa pemerintahan al-Ma’mun, pelaksanaan al-Mihnah dibagi kepada empat macam tingkatan: Pertama, mereka yang menolak tidak dapat lagi diterima kesaksiannya di Pengadilan. Kedua, Mereka yang bekerja sebagai guru atau muballigh, diputuskan tunjangan yang diperolehnya dari Khalifah. Ketiga, Jika masih tetap menolak akan dicambuk dan dirantai kemudian dimasukkan ke dalam penjara. Keempat, Proses terakhir dari segalanya adalah hukuman mati dengan leher dipancung.
Tindak kekerasan yang ditempuh oleh Mu’tazilah dalam menyampaikan  ajarannya itu berkurang setelah al-Ma’mun meninggal tahun 833 M. Setelah  al-Ma’mun, pemerintah dijabat al-Mu’tashim. Ia adalah tokoh yang kurang  memperhatikan masalah ilmiah, teologi dan filsafat. Namun demikian, ia  tetap melaksanakan kebijakan yang pernah dilakukan oleh al-Ma’mun  sebelumnya. Ia tetap menahan dan memenjarakan Ahmad ibn Hambal selama 18  bulan. Kemudian Ahmad ibn Hambal dikeluarkan dan dibebaskan untuk  menyampaikan fatwa sampai al-Mu’tashim meninggal dunia.
Kedudukan khalifah selanjutnya dipegang oleh Watsiq putra  al-Mu’tazim. Berbeda dengan ayahnya, ia sangat menaruh perhatian  terhadap bidang ilmiah dan teologi, sehingga ada yang mengindetikkannya  dengan khalifah al-Ma’mun dan bahkan lebih besar dari al-Ma’mun. Karena  ia dalam melaksanakan tindakan al-Mihnah itu lebih ketat, bahkan  memperlakukan para penentangnya dengan sangat kasar. Ahli fiqh seperti  Yusuf ibn Yahya al-Buwaity, Ahmad ibn Nasir dan Naim ibn Hammad adalah  termasuk orang-orang yang mati dalam penganiayaan yang dilakukan oleh  al-Watsiq. Namun kepada ibn Hambal,  ia agak lunak, karena hanya  membatasinya untuk tidak bertemu dengan siapapun serta tidak boleh  tinggal di tempat al-Watsiq menetap. Akibatnya, Hambal mengurung diri  hingga ia meninggal dunia.
Namun pada perkembangan selanjutnya al-Watsiq pun menyesali segala  tindakan kekerasan yang berkaitan dengan pemaksaan paham kemakhlukan  Alquran, al-Watsiq pada akhir hayatnya berusaha menghapuskan al-Mihnah,  karena hal itu merupakan suatu perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan  pada masa Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar dan Ali bin Abi Thalib.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa al-Mihnah berkembang pada masa  khalifah-khalifah Abbasiyah, al-Ma’mun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq, yang  menggunakan tindakan pemeriksaan bahkan penyiksaan untuk menyebarkan  paham tentang kemakhlukan Alquran.
Masa Berakhirnya al-Mihnah
Dalam riwayat dijelaskan bahwa pada masa pemerintahan al-Watsiq, para  penguasa tidak lagi memberikan siksaan terhadap pihak-pihak yang  menolak paham kemakhlukan Alquran, bahkan al-Watsiq sendiri telah  bertaubat sebelum ia meninggal dunia. Diakhir pemerintahan al-Watsiq,  terdapat seorang Syekh bernama Abu Abdu al-Rahman Abdullah ibn Muhammad  ibn Ishak al-Azraniy, ketika dihadirkan di hadapan khalifah dalam  keadaan terbelenggu karena al-Mihnah, dikatakannya bahwa al-Mihnah yang  diperlakukan terhadap manusia bukan ajaran Nabi dan tidak pernah  dipraktekkan oleh Rasulullah saw., Abu Bakar, Utsman dan Ali. Mengapa  melakukan sesuatu yang tidak pernah dicontohkan Nabi? Mendengar  keterangan seperti itu, al-Watsiq terdiam. Dia bangkit dari tempat  duduknya dan merenungkan kalimat yang diucapkan syekh tadi, lalu Syekh  pun dimaafkan dan dibebaskan. Setelah kejadian itu tidak ada lagi orang  yang mendapat siksaan, dan khalifah bertaubat sebelum ia meninggal dunia  tahun 847 M.
Pada masa al-Mutawakkil, al-Mihnah tidak lagi diperlakukan, karena  aliran Mu’tazilah telah dibatalkan sebagai mazhab negara di tahun 847 M.  Dari sinilah berakhir paham al-Mihnah oleh kaum Mu’tazilah.
Pengaruh Mua’tazilah di Dunia Islam
Mu’tazilah dalam menyelesaikan berbagai masalah keagamaan selalu  menggunakan kekuatan akal pikiran. Bahkan mereka diberi nama kaum  rasionalis. Kamum Mu’tazilah sangat serius membela dan mempertahankan  akidah dari mereka yang bermaksud merusaknya.
Dalam sejarah, pada masa pemerintahan Abbasiyah, kaum muslimin  terancam dari berbagai aliran yang merupakan lawan-lawan kepercayaan  Islam. Lawan-lawan itu di antaranya, paham al-Mujassimah, al-Rafidhah, mulhid dan zindik  di samping itu juga dapat menumpas paham reinkarnasi. Karena itu dalam  sejarah umat Islam tidak mengenal pembahasan yang bercorak filsafat dan  lengkap tentang Tuhan, sifat-sifat dan perbuatannya dengan disertai  dalil-dalil akal pikiran dan alasan-alasan naql sebelum lahir aliran Mu’tazilah.
Dengan demikian, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa Mu’tazilah sangat besar pengaruhnya di dunia Islam, di antaranya:
1.   Bidang orator dan pujangga.
2.   Bidang ilmu balaghah (rethorika)
3.   Ilmu perdebatan (jadal)
4.   Bidang ilmu Kalam (Theologi Islam).
Setelah peristiwa al-mihnah seperti dibahas sebelumnya, aliran  Mu’tazilah mengalami kemunduran. Sebagai suatu golongan yang kuat,  berangsur-angsur menjadi lemah dan mengalami kemunduran, terutama  sesudah al-Asy’ari dapat mengalahkan mereka dalam bidang pemikiran. Akan  tetapi kemundurannya tidaklah menghalangi bagi simpatisan dan pengikut  yang setia yang selalu menyiarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah, antara lain  al-Khayyat pada akhir abad ketiga Hijriyah, Abu Bakar al-Zamakhsyari  (wafat 320 H./932 M.) pada sepanjang abad keempat Hijriyah,  al-Zamakhsyari dengan tafsirnya al-Kassyaf yang pengaruhnya sangat besar  dikalangan Ahlussunah waljamaah.
Kegiatan orang-orang Mu’tazilah hilang sama sekali setelah terjadi  serangan orang-orang Mongol atas dunia Islam. Tetapi paham dan ajaran  Mu’tazilah yang penting masih hidup dikalangan Syi’ah Zaidiah. Harun  Nasution mengatakan bahwa di zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan  sekarang, ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah yang bersifat rasionil itu telah  mulai timbul kembali dikalangan umat Islam, terutama dikalangan kaum  terpelajar.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar