STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Jumat, 02 Maret 2012

Filsafat Islam

BAB I
PENDAHULUAN
           
                Dalam kependidikan islam kita dianjurkan untuk mempelajari tentang filsafat. Dengan filsafat tersebut terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu filsafat dan sejarah awal dari filsafat.
            Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan, dalam arti bukan berarti sudah usang dan tidak dbahas lagi, namun filsuf islam lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia dan alam, karena sebagaimana kita ketahui, pembahasan Tuhan hanya menjadi sebuah pembahasan yang tak pernah ada finalnya.
            Perkembangan pemikiran filsafat sepanjang sejarah memperlihatkan sesuatu kesinambungan tertentu. Karena itu mustahil mempelajari filsafat dewasa ini tanpa mengetahui perkembangan filsafat sebelumnya. Sebab, maklumlah filsafat abad kita meneruskan problematika filosofis yang diwarisi dari zaman terdahulu. Memang tidak mudah untuk menemukan jalan dalam mengemukakan suatu filsafat secara singkat dan tepat untuk mencapai tujuan yang pertama, yakni menguraikan filsafat di abad 20 dengan mempelajari aliran-aliran para filosof dalam salah satu aliran tertentu.
            Suatu penguraian filsafat islam dalam bentuk lain yakni mempelajari pemikiran filosofis menurut berbagai tema yang dibicarakan di dalamnya. Seperti mengkaji pemikiran sofis itu dengan memakai pedoman pembagian atas cabang-cabang filsafat ; metafisika, logika, metodologi, epistemology, antropologi, estetika, dan etika. Melalui sistem ini kita akan menyodorkan deskripsi yang bercorak sistematis.
           

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Filsafat
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan, dalam arti bukan berarti sudah usang dan tidak dbahas lagi, namun filsuf islam lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia dan alam, karena sebagaimana kita ketahui, pembahasan Tuhan hanya menjadi sebuah pembahasan yang tak pernah ada finalnya.
Filsafat islam terdiri dari dua kata yaitu filsafat dan islam. Filsafat diartikan sebagai berfikir yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna. Bebas yang berarti tanpa halangan pikiran bekerja, karena kerja untuk berfikir ada pada otak yang tak ada seorangpun yang dapat menghalanginya. Sedangkan kata islam, secara semantic berasal dari akar kata salima yang berarti menyerah, tunduk, dan selamat. Yakni dalam arti luas islam artinya menyerahkan diri pada Allah untuk memperoleh keselamatan dan kedamaian-Nya. Jadi, filsafat islam atau Islamic philosophy, pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak islami. Namun, filsafat islam bukan berarti tentang islam, tetapi cara berfikir yang bebas, radikal, dan berada pada taraf makna, yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan dan memberikan kedamaian hati.[1]
Menurut cendekiawan islam, pemakaian kata filsafat dikalangan umat islam adalah kata hikmah, yang kebanyakan orang Arab menempatkan kalimat hikmah di tempat kalimat filsafat, dan menempatkan kalimat hakim di tempat kalimat failusuf atau sebaliknya. Menurut Musthofa Abdur Razik, filsafat islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri islam dan di bawah naungan Negara islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya. Jadi, filsafat islam adalah suatu ilmu yang dicelup ajaran islam dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu. [2]
Filsafat islam juga membahas tentang berbagai masalah dan problematika beserta pemecahannya dikemukakan sesuai dengan korelasi antara Allah dengan para makhluk-Nya yang diperdebatkan oleh para mutakalimin. Filsafat islam ini berupaya memadukan antara wahyu dengan akal, antara akidah dengan hikmah, antara agama dan filsafat dan berupaya menjelaskan pada manusia bahaa wahyu tidak bertentangan dengan akal, akidah jika diterangi dengan sinar filsafat akan menetap didalam jiwa, agama jika bersaudara dengan filsafat menjadi religius.[3]
Singkatnya filsafat Islam itu adalah Filsafat yang berorientasi kepada Al Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah. Jadi ciri utama filsafat Islam adalah berfikir tentang segala sesuatu, dapat berfikir teratur, tidak cepat puas dalam penemuan sesuatu,selalu bertanya dan saling menghargai pendapt orang lain.
Mengingat bahwa Islam adalah agama yang sejiwa dengan fitrah rasional manusia, maka dengan mudah diduga, bahwa islam akan dengan mudah pula tumbuh bersanding secara mesra dengan tradisi filsafat yang menyertainya. Karena itu, mewujudkan filsafat islam secara ideal bukanlah hal yang mustahil, begitu juga pada dataran realnya, setidaknya catatan sejarah merupakan bukti paling dekat untuk membuktikan keberadaan filsafat islam yang telah tertubuhkan dalam ratusan jilid kitab dan risalah filsafat para filosof muslim.

B.      Hakikat Filsafat Islam

Filsafat islam bukan filsafat yang dibangun dari tradisi filsafat Yunani yang bercorak rasionalistik, tetapi dibangun dari sunnah nabi dalam berfikir yang rasional transcendental. Rujukan filsafat islam bukan tradisi intelektual Yunani, tetapi rujikan filsafat islam adalah sunnah nabi dalam berfikir, yang akan menjadi tuntunan dan suri tauladan bagi kegiatan berfikir umatnya. Seperti yang tercantum dalam Q.S Al Ahzab ayat 21 yang artinya; sungguh pada diri Rosulullah itu teladan yang baik bagi kamu, bagi orang yang berharap kehadiran Allah, dan hari kemudian serta banyak dzikir mengingat Allah.

Filsafat islam mempunyai metode yang jelas, yaitu rasional transcendental dan berbasis pada Al-Qur’an dan akal untuk memahami realitas. Filsafat islam pada hakikatnya adalah filsafat kenabian Muhammad. Filsafat kenabian ini lahir pada periode filsafat islam, dan karenanya tidak ditemukan dalam tradisi filsafat Yunani. Konsep filsafat kenabian secara teoritis di bangun pertama kali oleh Al-Farabi, yang dikenal sebagai guru kedua setelah Aristoteles sebagai guru pertama, yang kemudian dikembangkan oleh Ibnu Sina dengan teorinya mengenai aqal suci yang dimiliki Nabi, yang memungkinkan Nabi menebus dimensi ke ghoiban dan menyatu di dalamnya.[4]

C.    Hubungan Filsafat Islam Dengan Filsafat Yunani

Dalam proses sejarah masa lalu pemikiran filsafat dalam islam telah terpengaruh oleh filsafat Yunani yang membuat para filosof muslim mengambil sebagian besar pandangannya dari Aristoteles, mereka lebih mengagumi dan mengikuti aspek-aspek dari Plato. Hal ini dikarenakan kebudayaan islam menembus berbagai macam gelombang di mana ia bergumul dan berinteraksi yang melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Walaupun kebudayaan islam terpengaruh dengan kebudayaan Yunani, namun pemikiran para filosof berhak mengambil sebagian pandangan orang lain tetapi tidak menghalanginya untuk membawa teori-teori dan filsafatnya sendiri. Filosof-filosof islam secara umum hidup di dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan filosof-filosof lain yang lebih menolong untuk mengenai dan mengetahui hakikat dari filsafat itu sendiri.[5]  

Filsafat islam telah mampu menampung dan mempertemukan berbagai aliran pikiran yang menyebabkan pertukaran dan perpindahan suatu pikiran bukan selalu dikatakan utang budi. Namun persoalan yang kadang-kadang dapat dibicarakan dan diselidiki oleh banyak orang yang menghasilkan bermacam-macam corak dan dapat pula mengemukakan teorinya sendiri.[6]

D.    Pendekatan Filsafat Islam

Terdapat berbagai pendekatan dalam filsafat islam,[7] antara lain :
1.      Pendekatan Historik
Secara historic, islam lahir oleh risalah kenabian Muhammad saw. di Mekkah pada tahun 571 M yang merupakan sejarah kemanusiaan dalam kondisi krisis untuk memberikan jalan kepada manusia merancang hari depan kehidupannya yang lebih manusiawi. Seorang filosof memiliki pemikiran dengan corak dan model yang sangat terang, yakni membaca realitas dengan kesadaran ilahiyah yang dapat membukakan mata hati manusia sehingga hakikat realitas tertangkap jelas. Dengan demikian, filsafat islam basisnya bukan dan tidak lagi pada pemikiran Yunani yang rasionalistik, tetapi di bangun di atas landasan sunnah Rosulullah dalam berfikir yang bercorak rasional transndental.
2.      Pendekatan Doktrinal
Sesuai yang tercantum dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Nabi Muhammad  saw. dibekali dengan kitab dan hikmah. QS. Al Jumu’ah ayat 2 yang maksudnya yaitu kitab suci Al-Qur’an dan hikmah merupakan filsafat. Oleh karena itu menggambarkan pribadi Muhammad saw. dari sisi kitab dan hikmah seperti termaktub dalam QS. Al Jumu’ah ayat 2. Nabi Muhammad dilihat disisi kitab adalan Rosul yang dipilih untuk menerima wahyu, kitab suci. Sedangkan dilihat dari sisi hikmah ia adalah seorang filosof yang dapat menjelaskan secara akurat dan menyeluruh tentang wahyu yang diterimanya, dengan pemahaman mendalam yang dimilikinya. Dalam kaitan ini, maka sunnah Nabi dalam berfikir yaitu rasional transcendental telah dibakukan dalam hikmah dan kitab. Hikmah yang bermuara pada cara kerja rasio bebas dan mendalam, sedangkan kitab merupakan kumpulan ayat-ayat Allah menjadi basis bagi proses transendensi rasio. Dengan demikian berarti filsafat islam mempunyai titik tolak yang jelas yaitu berfikir rasional transcendental dan berbasis pada kitab dan hikmah.                               
3.      Pendekatan Metodik

Menawarkan suatu metode berfikir dalam pemikiran filsafat yang dijalankan dan dikembangkan untuk menemukan hakikat kebenaran. Dalam metode filsafat islam dibangun berdasarkan sunnah Rosul dalam berfikir, yang artinya apa yang ditempuh dalam proses berfikirnya untuk memahami, memikirkan, dan mencari solusi dari akar masalahnya.

4.      Pendekatan Organik
Dalam metode ini pemikiran yang rasional transcendental secara organik digerakkan oleh pikiran yang bekerja di otak, yang berada di kepala dan qalb yang bekerja di hati yang halus, yang ada di rongga dan dada. Rasio atau pikiran bekerja melalui analisis terhadap fakta, sedangkan qalb bekerja melalui penyatuan dengan realitas spiritual, untuk membawa rasio akan mentransendir realitas.
Oleh karena itu, filsafat islam bertumpu pada mekanisme aqal sebagai kesatuan ornganik pikiran dan qalb tyaitu dalam kesatuan piker (rasional) dan dzikir (qalb transendensi).[8]
5.      Pendekatan Teleologik
Secara teleologik, filsafat islam mempunyai tujuan dan karenanya tidaklah netral, ia menyatakan keberpihakannya pada keselamatan dan kedamaian hidup manusia. Filsafat islam bukan sekedar hasrat intelektual, untuk mencari dan memahami hakikat kebenaran semata-mata, namun tak jauh lagi untuk mengubah dan bergerak (transformasi) kea rah transendensi, menyatu dan memasuki pengalaman kehadiran Allah. Dengan inilah, filsafat dapat memberikan makna dalam keselamatan dan kedamaian, yakni pada penyatuan dan penyerahan total kepada kehadiran Allah.
Filsafat islam dengan demikian menjadi filsafat yang terpanggil, hadir, dan melibatkan diri dari dalam kancah perubahan, untuk menjadi hikmah yang hadir untuk pembebasan dan peneguhan kemanusiaan, mencapai keselamatan dan kedamaian bersama, dalam pencerahan cahaya kebenaran Allah. Filsafat islam menetapkan tujuannya pada penemuan dan pencapaian nilai-nilai untuk mewujudkan keselamatan dan kedamaian kehidupan manusia. Namun, dalam penetapan filsafat islam tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip filsafat yang berusaha menemukan hakikat kebenaran dari sesuatu yang menjadi focus pemikirannya, karena kebenaran yang ditemukan dalam filsafat itu akan membawa konsekuensi pada kebenaran yang ditemukannya, meskipun tidak bersifat mutlak.                    
E.     Objek Kajian Filsafat Islam

Objek pembahasan filsafat islam yaitu pengetahuan (pengenal), cara-caranya, dan syarat-syarat kebenaran atau salahnya, yang kemudian keluar ilmu “logika”(mantiq) yang tidak ada kemiripannya dengan ilmu-ilmu positif. Kemudian kita dapat melihat pada “akhlak” dan apa yang harus diperbuat seseorang dalam keluarga dan masyarakatnya.[9]
Filsafat islam membahas hakikat semua yang ada sejak dari tahapan ontologism hingga menjangkau dataran yang metafisis. Selain itu, filsafat juga mengenai tentang nilai-nilai dalam dataran epistimologis, estetika, dan etika, juga membahas tema-tema fundamental dalam kehidupan manusia.
Kajian filsafat islam terhadap objeknya (objek yang material), dari waktu ke waktu, mungkin tidak berubah, tetapi corak dan sifat serta dimensi yang menjadi tekanan atau focus kajiannya (objek formal) harus berubah dan menyesuaikan dengan perubahan, serta konteks kehidupan manusia, dan semangat baru yang selalu muncul dalam setiap perkembangan zaman.[10]

F.     Tokoh-tokoh Filsafat Islam
Terdapat tokoh-tokoh yang erdapat dalam filsafat islam, antara lain ;

1.      Ibnu Sina (Avicenna)
Abu Ali Husein Ibn Abdillah Ibn Sina lahir di Afsyana yang terletak di Bukhara pada tahun 340 H/980 M.[11] Pada saat itu sedang dalam keadaan kacau, dimana khalifah Abbasiyah mengalami kemunduran dan negeri-negeri yang mulanya berada di bawah kekuasaannya mulai melepaskan diri untuk berdiri sendiri.[12]
Ibnu Sina dibesarkan di daerah kelahirannya, yang telah mempelajari tentang ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu pengetahuan seperti; astronomi, matematika, fisika, logika, kedokteran, dan ilmu fisika.            
Dalam pemikiran terpenting yang telah dihasilkan oleh Ibnu Sina yakni filsafat tentang jiwa. Ia berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat-sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin munculnya jika ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian Ibnu Sina memiliki tiga objek pemikiran, yakni Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.                                    
Dunia islam mengenal kitab-kitab ibnu Sina bukan karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang.[13] Ibnu Sina berpendapat tentang filsafat islam bahwa baginya Allah adalah sesuatu yang harus ada dengan sendirinya dan tidak ada sesuatupun yang menyekutuiNya dalam substansiNya karena Ia tidak memiliki tandingan maupun lawan genius diferensia maupun batasan. Dan Ibnu Sina wafat pada 428 H/1037 M di Hamadzan.
Terdapat beberapa karya dari Ibnu Sina, antara lain ;
·         Asy-Syifa, yang merupakan buku filsafat terbesar dan terpenting dari Ibnu Sina.
·         An-Najat, yang merupakan keringkasan dari buku asy-syifa terbit tahun 1593.
·         Al-Isyarat wat-Tanbihat, ini buku terakhir dan paling baik terbit tahun 1892 M.
·         Al-Hikmah al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang karena tidak jelasnya maksud judul buku dan naskah-naskahnya yang masih memuat bagian logika.
·         Al-Qanun, buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan juga pernah menjadi buku standar untuk universitas-universitas Eropa abad ke-17 M.

2.      Al-Farabi

Al-Farabi mempunyai nama lain yakni Abu Nasr Ibnu Audagh Ibn Thorhan Al-Farabi. Ia lahir di kota Farab pada tahun 257 H/870 M. Al-Frabi adalah seorang yang sangat faham akan filsafat islam, sebagaimana ia ahli dalam segala macam ilmu lama sebelumnya dan juga sangat senang tentang kesempurnaan agama islam. Dengan demikian Farabi menjadi seorang ahli filsafat islam terbesar. Farabi telah dianggap sebagai pembentuk filsafat islam yang pertama karena berhasil dapat menyusun dasar-dasar filsafat atau keyakinan tauhid menurut islam.[14] Al-Farabi menjelaskan bahwa manusia itu memperoleh kecerdasannya dengan menbedakan mana yang baik dan mana yang buruk, antar cantik dan lata. Dengan akal manusia akan memperoleh seni dan pengetahuan, dengan kemampuan berfikir akan mempersatukan atau memisahkan perasaan, dan hati sebagai alat pemikiran untuk memerima perasaan setelah menerima perasaan yang menghilang dari rasa.[15]Namun Farabi wafat pada tahun 337 H/950 M di usia 80 tahun.
Adapun karya-karyanya Farabi yaitu, antara lain ;
·         Al jami’u Baina Ra’yai Al Hakimain Afalatoni Al Hahy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles)
·         Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan)
·         As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan)
·         Fususu Al Taram (hakikat kebenaran)
·         As Syiasyah (ilmu politik)
·         Dll.[16]

3.      Al Kindi
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Ash-Shabbah bin ‘Imran bin Ismail bin Al asy’ats bin Qays Al Kindi. Ia dilahirkan di Kuffah pada tahun 185 H/801 M yang merupakan filosuf islam pertama dan di mendapat kedudukan yang tinggi dari al-Ma’mun al-Mu’tasim. Dan beliau wafat 246H/870 M.
Al Kindi meninjau filsafat islam dengan maksud mengikuti pendapat para filosof-filosof besar tentang arti kata filsafat dan dalam risalahnya yang khusus mengenai definisi filsafat yang bercorak plationisme. Ia menerangkan dengan tegas antara perbedaan jiwa dan akal, adanya perasaan dan adanya akal, yang dapat dimaksudkan bahwa pikiran itu pergi dari satu bentuk kepada bentuk yang lain. Al Kindi berupaya mempertemukan ajaran-ajaran islam dengan filsafat Yunani yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama islam yang diyakininya.
Beberapa karya yang dihasilkan al Kindi kebanyakan berupa risalah-risalah, namun  Al-Kindi mengarang buku-buku yang menganut keterangan Ibnu Al-Nadim buku yang ditulisnya berjumlah 241 dalam bidang filsafat, logika, arithmatika, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optika, musik, matematika dan sebagainya. Dari karangan-karangannya, dapat kita ketahui bahwa Al-Kindi termasuk penganut aliran Eklektisisme; dalam metafisika dan kosmologi mengambil pendapat Aristoteles, dalam psikologi mengambil pendapat Plato, dalam hal etika mengambil pendapat Socrates dan Plato.
4.      Ibnu Rusyd (Averroes)
Nama lengkapnya adalah Abu al Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Dilahirkan di kota cordova pada tahun 1126 M/520 H pada masa pemerintahan Almurafiah. Ia wafat 595H/1198 M di Maroko.
Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhaddap ilmu sukar dicari bandingannya karena menurut riwayat, sejak kecil sampai tuanya ia tidak pernah putus membaca dan menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan dirinya.
Karangannya meliputi berbagai ilmu seperti; fiqh, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak, dan filsafat.
5.      Suhrawardi Al-Maqtul
Suhrawardi al Maqtul adalah salah seorang generasi pertama para filosof. Nama lengkapnya yaitu Abu Al Fatuh Yahya Ibnu Amrak, dengan gelar Syihabuddin. Ia lahir di Suhraward tahun 548 H/1153 M dan meninggal tahun 587 H/1191 M.
Suhrawardi al Matqul adalah tokoh sufi filosofis yang faham tentang filsafat Plationisme, Peripatetisme, Neo-Platinisme, hikmah Persia, aliran-aliran agama Sabean, dan filsafat Hermetisisme. Dalam karya-karyanya biasanya disebut filosof Hermes.
Pemikiran filsafat dari Suhrawardi al Matquk dapat dilihat dalam karyanya yang berjudul al-Masy’ari. Sedangkan kitab hikmat Al-Isyarat dan Al-Muqawamat adalah dua buah karangan beliau yang lainnya. Sedangkan kitabnya yang lain berjudul Al-Tahwiyat adalah merupakan sebuah ringkasan mengenai tema-tema Peripatetik yang bertujuan untuk mempersiapkan dasar bagi penolak mereka.[17]
6.      Mulla Sadra
   Mulla Sadra mempunyai nama lengkap yakni Shadr Al-Din Syirazi. Dilahirkan di Syiraz tahun 979 H/1571 M, dan wafat 1050 H/1641 M.
Syirazi membagi filsafat menjadi dua bagian utama, yang pertama yaitu bersifat eoritis yang mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu sebgaimana adanya, dan yang kedua yaitu bersifat praktis yang mengacu pada pencapaian kesempurnaan-kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Untuk memperkuat argumentasinya, ia mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, hadist-hadist Nabi, dan ucapan Imam Syiah pertama yaitu Ali.
Hal menarik dalam pemikiran Syirazi adalah tentang sikapnya yang sangat hormat terhadap ibnu Sina namun darinya telah menolak dua tema utama, yaitu keabadian dunia dan kemustahilan pembangkitan jasmani. Mengenai hal tersebut ia sejalan dengan pemikiran filsafat islam Imam Al Ghazali.


BAB III
SIMPULAN

Dunia Islam telah berhasil membentuk suatu filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam sendiri.
Filsafat islam yaitu membahas tentang berbagai masalah dan problematika beserta pemecahannya dikemukakan sesuai dengan korelasi antara Allah dengan para makhluk-Nya yang diperdebatkan oleh para mutakalimin. Filsafat islam ini berupaya memadukan antara wahyu dengan akal, antara akidah dengan hikmah, antara agama dan filsafat dan berupaya menjelaskan pada manusia bahaa wahyu tidak bertentangan dengan akal, akidah jika diterangi dengan sinar filsafat akan menetap didalam jiwa, agama jika bersaudara dengan filsafat menjadi religius.
Al Kindi yang terlebih dahulu membahas tentang filsafat dalam islam daripada Farabi, yang telah hidup antara 870-950 M. Ia (al Kindi) yang berusaha mempertemukan antara filsafat dan agama. Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya. Dan agama juga merupakan ilmu mengenai kebenaran, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.


[1] Musa Asy’arie, Filsafat Islam, (Lesfi, Yogyakarta, 2002), hal 1, 6
[2] Musthofa, Filsafat Islam, (CV.Pustaka Setia, Bandung, 2000), hal 15, 17
[3] Muzairi, Filsafat Islam, (Teras, Yogyakarta, 2009), hal 105
[4] Musa Asy’arie, Filsafat Islam, (Lesfi, Yogyakarta, 2002), hal 30, 31
[5] Muzairi, Filsafat Umum, (Teras, Yogyakarta, 2009), hal 106, 107
[6] Musthofa, Filsafat Islam, (CV.Pustaka Setia, Bandung, 2000), hal 20
[7] Musa Asy’arie, Filsafat Islam, (Lesfi, Yogyakarta, 2002), hal 9
[8] Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur’an, (Lesfi, Yogyakarta, 1992), hal 98
[9] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (PT Bulan Bintang, Jakarta, 1991), hal 6
[10] Musa Asy’arie, Filsafat Islam, (Lesfi, Yogyakarta, 2002), hal 31, 32
[11] Musthofa, Filsafat Islam, (CV.Pustaka Setia, Bandung, 2000), hal 188
[12] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (PT.Bulan Bintang, Jakarta, 1991), hal 115
[13] Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam, (Bulan Bintang, Jakarta, 1976), hal 113
[14] Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, (Ramadhani, Solo, 1982), hal 48, 49
[15] Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam, (Bulan Bintang, Jakarta, 1976), hal 101

[17] Muathofa, Filsafat Islam, (CV.Pustaka Setia, Bandung, 2000), hal 247, 253

Tidak ada komentar:

Posting Komentar