STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Jumat, 02 Maret 2012

HATI DAN JIWA DALAM PERSPEKTIF PARA AHLI TASAWUF

BAB I
PENDAHULUAN

Sebagaimana ilmu yang lain, tasawufpun mempunyai objek atau lapangan dan sasaran pembahasannya sendiri. Yang menjadi objek pembahasan tasawuf  ialah  jiwa manusia. Tasawuf  membahas tentang sikap jiwa manusia dalam berhubungan dengan Allah dan sikapnya dalam berhubungan dengan sesama makhluk. Dalam hal ini tasawuf  ingin membersihkan hati itu dari sifat-sifat buruk dan tercela dalam rangka hubungan tersebut. Bila hati sudah suci dan bersih dari noda kotoran, niscaya akan baiklah kehidupan manusia itu, seperti sabda Rasulullah SAW yang artinya: “ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia itu ada segumpal darah, bila segumpal darah itu baik, baiklah tubuh seluruhnya dan apabila segumpal darah itu buruk, buruk pulalah tubuh seluruhnya. Segumpal darah itu ialah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
­­­­­­­­­­­­­­Al Ghazali menyatakan bahwa dimensi rohani manusia mempunyai empat kekuatan, yakni qalb, ruh, nafs, dan akal. Keempat unsur ini ditinjau oleh al Ghazali secara pisik dan psikis. Mengenai pendapat tentang hati dan jiwa menurut pandangan para sufi akan dibahas dalam makalah ini.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hati Dan Jiwa

1.      Hati
Hati dalam bahasa arabnya disebut “ qalb”. Menurut ilmu biologi qalbu adalah segumpal darah yang terletak di dalam rongga dada, agak sebelah kiri, warnanya agak kecoklatan dan berbentuk segi tiga. [1] Hati  (materi) menjadi objek pembahasan Biologi, sedangkan hati (immateri) menjadi objek bahasan ilmu tasawuf.
 Tentang hati yang imateri ini dikatakan oleh imam Al-Ghozali di dalam kitab Ihya Ulumiddin : “yakni suatu kurnia Tuhan yang halus dan indah bersifat immateri, yang ada hubungannya dengan hati materi. Yang halus dan indah itulah yang menjadi hakekat kemanusiaan dan yang mengenal dan mengetahui segala sesuatu, hati juga yang menjadi sasaran perintah, sasaran cela, sasaran hukuman dan tuntutan dari Tuhan. Ia mempunyai hubungan dengan materi. Hubungan ini sangat menakjubkan akal tentang caranya. Perhubungan ini penaka hubungan gaya dengan jizim dan hubungan sifat dengan tempat lekatnya atau seperti hubungan pemakai alat dengan alatnya, atau bagai hubungan benda dengan ruang.”[2]
Hati adalah hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengertian, pengetahuan dan arif, yaitu manusia yang menjadi sasaran dari segala perintah dan larangan Tuhan, yang akan disiksa, dicela dan dituntut segala amal perbuatannya.
Abdul Qasim Al-Qusyairy dalam membicarakan tentang alat mema’rifati Tuhan membagi alat itu menjadi tiga:[3]
1.      Qalb untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan
2.      Ruh untuk mencintai Tuhan
3.      Sir untuk melihat Tuhan
Sir lebih halus dari ruh. Ruh lebih halus dari qalb. Al-Ghozali membedakan antara Nafs, ruh, hati, dan akal. Nafs mempunyai dua arti. Pertama ialah himpunan kekuatan marah dan syahwat dalam diri insan. Kedua ialah sesuatu yang indah dan halus yang menjadi hakikat manusia.
Ruh juga mempunyai dua arti. Pertama sejenis barang halus yang bersumber dari ruang hati meteri dan tersebar melalui syaraf keseluruh tubuh. Mengalirnya didalam tubuh sambil melancarkan cahaya kehidupan, dan memberikan indera pandangan, pendengaran, penciuman, perabaan dan persaan lidah artinya kedua ialah bahwa ruh itu merupakan suatu yang ghaib.
Akal mempunyai dua arti. Pertama ialah yang digunakan dengan arti ilmu tentang hakikat suatu hal. Arti kedua ialah suatu alat untuk mengetahui ilmu tadi yakni sama dengan pengertian hati immateri.
Selain arti diatas ada sebagian para sufi yang membagi hati menjadi hati sanubari dan nurani bersifat immateri.
Pembicaraan tentang masalah hati banyak menyangkut ilmu jiwa (psychology). Psycholog-psycholog modern pun banyak membicarakan masalah jiwa (ruh) ini. Namun kalau kita selidiki secara mendalam, ternyata tidak satu pun definisi yang mencapai pengertian tentang hakekah jiwa (ruh) itu yang sebenarnya. Firman allah Q.S Al-Isra’ : 85
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَآأُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً {85}
“katakanlah (ya Muhammad) soal ruh itu adalah termasuk Tuhanku.”
Ruh yang halus dan indah itu langsung datang dari Tuhan tanpa melalui proses seperti kejadian tubuh. Ia langsung menempati tubuh yang telah dibentuk lebih dahulu didalam rahim ibu. Setelah tubuh itu melalui proses kejadiannya dalam waktu tertentu.
Ruh adalah unsur  penting dalam diri manusia, sebab kalau tanpa ruh manusia tidak akan ada. Mayat yang sudah tidak punya ruhnya lagi tidak akan bisa menjalankan fungsinya seperti kita yang masih hidup. Hati adalah gejala dari ruh. Ia mempunyai dua kekuatan yaitu:
a.       Kekuatan nafsu amarah
Kekuatan nafsu amarah mendorong manusia untuk berbuat jahat. Dia menerima bisikan-bisikan halus dari syetan dan iblis. Kekuatan nafsu amarah ini yang harus dihadapi oleh manusia dalam setiap saat. Raulullah menerangkan bahwa perjuangan melawan nafsu (amarah) adalah jihat yang besar.
b.      Kekuatan nafsu muthmainnah
Suatu daya yang selalu ingin membawa manusia menuju kesempurnaan jiwa dan kebersihannya yang hakiki. Nafsu muthmainnah inilah yang menampung ilham dari Tuhan dan bisikan-bisikan halus dari malaikat.

Kalau manusia lebih takhluk kepada kehendak tubuh lahir yang bersifat hawaniyah dan suka tunduk kepada kehendak syetan, maka napsu muhmainnah lebih cenderung untuk menuruti bisikan Malaikat dan ilham Tuhan. Dua daya inilah yang menjadi  manifestasi adanya hati itu sendiri menjadi tanda gaib bahwa manusia mempunyai ruh (jiwa) yang amat ghaib bagi ilmu manusia.
2.      Jiwa
Jiwa adalah harta yang tiada ternilai mahalnya. Kesucian jiwa menyebabkan kejernihan diri, lahir dan batin. Itulah kekayaan sejati.
Beberapa banyaknya orang yang kaya harta, tetapi mukanya muram, dan beberapa banyaknya orang yang miskin uang, tetapi wajahnya berseri. Sekedar kekuatan dan usaha diri, begitu pulalah tingkatan kesucian yang akan ditempuh jiwanya.
 Hidup adalah pertempuran dan perjuangan belaka. Manusia tidak luput dari kesalahan dan kelemahan. Manusia pasti merasakan nikmat istirahat sesudah kerja, kelezatan menghadap Tuhan kelak di akhirat ialah sehabis bertempur  dengan ranjau-ranjau hidup yang ngeri pada hari ini. Orang yang takut menghadapi kehidupan dan tidak berani menggosok dan mensucikan batinnya, tidak akan kenal arti lezat. Seorang penganjur bangsa dan tanah air, alim ulama dsb, nampaknya mereka disebut di singgasana kemuliaan dengan senangnya, padahal mereka mencapai itu dengan susah payah. Demikianlah mencapai kemuliaan batin.
Menurut Sahl al-Tastari[4] bahwa menurut pandangan sufi, komposisi manusia yang paling sempurna memiliki tiga unsur yaitu ruh, jiwa, dan badan, masing-masing unsur ini mempunyai sifat yang langgeng di dalamnya. Sifat ruh adalah kecakapan aqliyah, sifat jiwa ialah hawa nafsu, dan sifat badan ialah pengindraan. Manusia adalah suatu tipe alam semesta. Alam semesta adalah nama dua alam, dan dalam diri manusia ada tanda dari keduanya, karena ia terdiri dari lendir, darah, empedu dan kemurungan hati, yang mana empat suasana jiwa berkaitan dengan empat unsure dunia ini, yakni air, tanah, udara, dan api.
            Dalam diri manusia terjadi tarik menarik antara unsure yang mengajak ke arah positif, yaitu roh yang mempunyai sikap rasional, dan unsur lain berupa nafs (jiwa rendah) yang cendrung ke hal-hal yang bersifat negatif. Posisi manusia akan ditentukan unsur mana yang menang dalam percaturan setiap harinya. Jika sifat ruhnya yang menang, maka dia lebih menyerupai malaikat, namun apabila yang dominan itu nafsunya, maka akan lebih menyerupai sifat kebinatangan. Seperti dalam QS. At-Tin: 4-6.
 لَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنسَانَ فيِ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ {4} ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ {5} إِلاَّالَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ {6} .
“4. sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. 5. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), 6. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” Asbabun nuzul
            Lebih jauh dari apa yang dikemukakan oleh al-Tastari tersebut, al-Ghazali menyatakan bahwa dimensi rohani manusia mempunyai empat kekuatan, yakni qalb, ruh, nafs dan akal. Keempat unsur ini ditinjau oleh al-Ghazali secara pisik dan psikis.[5]   
1.      Qalb berarti segumpal daging yang berbentuk bundar memanjang, terletak pada pinggir kiri dalam dada. Di dalamnya terdapat lobang-lobang. Lobang-lobang ini diisi dengan darah hitam yang merupakan sumber dan tambang dari nyawa. Secara psikis, qalb berarti sesuatu yang halus, ruhani yang berasal dari ketuhanan. Qalb dalam pengertian kedua ini yang disebut hakikat manusia, dialah yang merasa, mengetahui, dan mengenal serta yang diberi beban, disiksa, dicaci, dan sebagainya. Hakikatnya tidak bisa diketahui.
2.      Ruh secara biologis ialah tubuh halus (jisim lathifah) yang bersumber dari lobang qalb, yang tersebar ke seluruh tubuh dengan perantara urat-urat (daya hidup), bagaikan tersebarnya sinar lampu keseluruh ruangan. Sedang pengertiannya yang kedua ialah sesuatu yang halus yang mengetahui dan merasa. Roh yang mempunyai kekuatan inilah yang tidak dapat diketahui hakikatnya.
3.      Nafs ialah kekuatan yang menghimpun sifat-sifat tercela pada manusia, yang harus dilawan dan diperangi. Sabda Nabi saw: “Musuhmu yang paling besar ialah nafsumu yang berada di antara dua lambungmu” .[6] Sedang pengertian kedua ialah hakikat manusia yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Ia disifati dengan berbagai sifat sesuai dengan keadaannya. Apabila tenang dan jauh dari kegoncangan, yang menentang nafsu syahwatiyah, maka disebut nafsu muthma-innah. Sesuai dengan QS.al-Fajr: 27-30.
Hai jiwa yang tenang.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
27
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya.
ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
28
Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku,
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
29
dan masuklah ke dalam surga-Ku.
وَادْخُلِي جَنَّتِي
30

Apabila keadaannya kurang sempurna ketenangannya, akan tetapi dia mencela dan menegur kepada dirinya sendiri manakala teledor untuk berbuat tidak baik, maka disebut nafsu lawwamah. Seperti dalam QS.al-Qiyamah: 2. Kemudian apabila nafsu tunduk dan patuh terhadap nafsu syahwat dan panggilan setan, maka dinamakan nafsu amarah, yang mengajak pada kejahatan. Seperti dalam QS. Yusuf: 53.
4.      Akal ialah pengetahuan tentang hakikat segala keadaan, maka akal itu ibarat sifat-sifat ilmu yang tempatnya di hati. Pengertian kedua ialah yang memperoleh pengetahuan itu. Dan itu adalah hati.
B. Pembinaan Nafsu Rendah
            Nafs secara etimologis adalah essensi dan hakikat sesuatu. Namun dalam bahasa sehari-hari dipakai untuk menunjukkan kepada banyak pengertian yang saling berlawanan. Para sufi sepakat bahwa nafs adalah sumber dan prinsip kejahatan, tetapi sebagian mengatakan bahwa nafs adalah substansi yang berada di dalam badan. Yang lain mengatakan, ia sebagai atribut (sifat) badan. Namun mereka semua sepakat bahwa melalui nafs, kualitas-kualitas rendah dijelmakan dan bahwa ia adalah sebab langsung dari tindakan-tindakan tak terpuji. Ketundukan kepada nafs syahwiyyah (jiwa rendah) menyebabkan kebinasaan dirinya, dan penguasa atas jiwa rendah ini akan melahirkan keselamatan hidup.
            Lebih jauh al-Hujwiri menjelaskan keadaan jiwa rendah (nafs): “Tabir (hijab) yag paling dahsyat ialah jiwa rendah dan ajakan-ajakannya”, mengikutinya berarti ketidaktaatan kepada Tuhan, yang menjadi hijab antara dia dengan Dia”. Sebenarnya yang menjadi hijab itu bukan nafsnya, akan tetapi perilakunya yang berupa kemaksiatan. Bagi al-Ghazali, hati adalah kebaikan cermin. Bisa mengkilap dan bisa hitam pekat, karena prbuatan yang dilakukannya. Seperti dalam QS. al-Muthaffifin: 14.
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

            Lebih lanjut al-Hujwiri menjelskan keadaan jiwa rendah, bahwa ia adalah “Sifat yang tidak pernah tenang kcuali dalam kebathilan, yakni selamanya tidak pernh mencari jalan kebenaran”. “Seseorang tidak mungkin mengenal Tuhan, selama dia tetap kekal dengan jiwa rendahnya, karena ia tak mampu mengenal dirinya, apalagi terhadap yang lain”. untuk menekan sifat nafs yang demikian itu, maka upaya pembinaannya adalah dengan menjalankan ibadah dan mujahadah, yang diharapkan manusia dapat menemukan Tuhan atau jalan menuju kepada Tuhannya.
C. Penyucian Hati
Untuk mensucikan hati haruslah ia bebani dengan amal-amal ibadah, dzikir, tasbih, tahlil dan sebagainya. Sesuai dengan cara yang ditentukan oleh nash Al-Qur’an dan Hadis. Disamping ibadah yang merupakan inti hubungan manusia dengan Tuhan, hati juga dibebani dengan akhlak-akhlak yang terpuji dan dikosongkan dia dari perangai-perangai bejat. Aktivitas pensucian hati inilah yang disebut dengan “riyadhah” di dalam ilmu tasawuf.[7]
Bila hati mengamalkan segala bentuk ibadah, baik yang wajib maupun sunnat dan dikerjakan dengan penuh khusyuk dan ikhlas dan serta menetapi perangai-perangai yang terpuji dan menjadi perangai-perangai yang tercela niscaya berhaklah ia menerima ridha ilahi seperti dalam Q.S Al-Fajr 27-30
 يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ {27} ارْجِعِي إِلىَ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَةً {28} فَادْخُلِي فيِ عِبَادِي {29} وَادْخُلِي جَنَّتِي {30}
wahai nafsu muthmainnah kembalilah dikau kepada Tuhanmu dalam ridha dan diridhai. Masuklah dikau kedalam golongan hamba-hamba-Ku masuklah dikau kedalam Jannah-Ku”
Dan dalam hadis ; bahwasanya pernah ditanyakan : Ya Rasulullah ! Siapakah orang yang terbaik itu? Jwab Nabi : semua orang mukmin yang bersih hatinya. Maka ditanyakan lagi : Apa arti orang bersih hati itu? Nabi menjawab : ialah orang yang takwa, suci, tidak ada kepalsuan padanya, tak ada kedzaliman, dendam, khianat dan dengki.[8]
Dalam QS. Asy-Syams :9-10
sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
9
dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
10

Yang dimaksud membersihkan hati ialah berhasilnya cahaya iman dalam hati, yakni terpancarnya cahaya ma’rifat. Itula yang dimaksud oleh Allah dalam QS. Al-An’am : 125
Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ

Cara yang dapat dilakukan dalam membersihkan hati dan jiwa adalah sebagai berikut:
1. Membersihkan jiwa  dari pengaruh materi
Bahwasannya kebutuhan manusia itu bukan hanya pemenuhan tubuh materi saja, tetapi dia mempunyai batin yang disebut jiwa yang memerlukan kebutuhannya pula. Tubuh manusia akan merasa puas jika diberi makanan dengan protein nabati dan hewani, dengan demikian dia akan sehat.
Kebutuhan lahiriyah manusia erat hubungannya dengan jiwanya. Kebutuhan lahiriyah itu ada, karena adanya dorongan jiwa untuk mempertahankan dan melindungi tubuh dari berbagai macam bahaya yang dapat merusakkannya, seperti panas, dingin, dan bahaya lain yang berasal dari makhluk hidup lainnya.
2. Menerangi jiwa dari kegelapan
Untuk melindungi dari bahaya  inilah mulanya manusia berpakaian, memakai senjata dan lain-lainnya. Tapi sekarang semua itu terlebih pakaian hanya digunakan untuk menjaga gengsi. Karena itu dipilihlah model-model terbaru dan termodern yang selalu berubah setiap bulannya berkat penemuan daya fikir manusia. Orang pun sibuk mencari uang untuk mengejar mode terbaru. Akhirnya orang lupa diri. Orang tidak tahu dengan kebutuhan jiwanya lagi, karena memuaskan kebutuhan tubuh yang dipengaruhi oleh nafsu buruk sehingga manusia menjadi materialistik, penyembah benda.  Pada akhirnya manusia diperbudak oleh benda dan menghancurkan diri mereka sendiri. Dengan ini berkembanglah korupsi, perampokan, pungutan liar, pelacuran dan seribu satu macam maksiat lainnya.
Semua kejadian ini tidak lain terpengaruh nafsu amrah yang senantiasa menyeret manusia kedalam jurang kehancuran.satu-satunya jalan untuk menyelamatkan manusia dari godaan-godaan materi yang menyebabkan orang menjadi materialistic ialah dengan membersihkan jiwanya, dengan mempelajari agama.[9]
D. Membersihkan hati dalam berhubungan dengan Allah
Hubungan manusia dengan Allah dalam bentuk ibadah tidak akan mencapai sasarannya kalau tidak dengan kebersihan hati dan selalu ingat denganNya. Contohnya dalam shalat. Shalat diperintahkan Tuhan, karena efeknya ialah untuk mencegah perbuatan munkar. Efek ini tidak akan dicapai manusia kalau shalat itu tidak dikerjakan dengan penuh keikhlasan dan kekusyukan.
Nabi bersabda: “berapa banyak orang yang berdiri shalat, yang bagiannya dari shalatnya hanya penat dan letih semata.” (HR. Baihaqi)
Mengapa Nabi mengatakan banyak yang penat dan letih saja? Padahal kita mengerjakan shalat dengan syarat dan rukun yang lengkap menurut ilmu Fiqh. Ini tidak lain karena kurangnya syarat batin yaitu kebersihan jiwa yang menjadi sumber ikhlas, khusyuk, dan khudhu’. Dan untuk menumbuhkan yang demikian itu maka diperlukan mempelajari ilmu Tasawuf.


KESIMPULAN

Hati adalah hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengertian, pengetahuan dan arif, yaitu manusia yang menjadi sasaran dari segala perintah dan larangan Tuhan, yang akan disiksa, dicela dan dituntut segala amal perbuatannya.
Jiwa adalah harta yang tiada ternilai mahalnya. Kesucian jiwa menyebabkan kejernihan diri, lahir dan batin. Itulah kekayaan sejati. Al-Ghazali menyatakan bahwa dimensi rohani manusia mempunyai empat kekuatan, yakni qalb, ruh, nafs dan akal. Keempat unsur ini ditinjau oleh al-Ghazali secara pisik dan psikis.
Untuk mensucikan hati haruslah ia bebani dengan amal-amal ibadah, dzikir, tasbih, tahlil dan sebagainya. Sesuai dengan cara yang ditentukan oleh nash Al-Qur’an dan Hadis.


DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril. 1987. Pengantar Ilmu Tasawuf. Pedoman Ilmu Jaya: Jakarta.
Ghazali, Imam. 1982. Keajaiban Hati. Tintamas Indonesia: Jakarta.
Hamka. 1987. Tasawuf Modern. Pustaka Panjimas: Jakarta
Helminski, Kabir. 2005. Meditasi Hati Transformasi Sufistik. Pustaka Hidayah: Bandung.
Khan,Sahib Khaja Khan. 1996. Tasawuf Apa dan Bagaimana. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Zahri, Mustafa. 1976. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. PT Bina Ilmu: Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar