STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 12 Maret 2012

Pendidikan Yang Terjangkau Suatu Harapan

Pendahuluan
Reformasi bidang politik di Indonesia pada penghujung abad ke-20 M., telah membawa perubahan besar pada kebijakan pengembangan sektor pendidikan, yang secara umum bertumpu pada dua paradigma baru yaitu otonomisasi dan demokratisasi.
Jika kita sepakat pendidikan punya peran kunci memajukan bangsa, kita pasti sepakat pendidikan berperan strategis memperkuat demokrasi. Demokrasi adalah investasi nilai, bukan produk siap saji. Tidak ada yang bisa dipetik 10 tahun mendatang jika kita tak mulai menabur sekarang. Jika kita ingin mencapai suatu perikehidupan bangsa yang demokratis kelak, kita harus memulainya dari anak-anak kita.
Euforia reformasi membawa dampak dalam berbagai aspek kehidupan nasional, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan tak luput dari itu juga apresiasi masyarakat atas nilai-nilai filosofis dan ideologis.
Pendidikan merupakan suatu bentuk pembelajaran yang dilakukan oleh setiap insan di muka bumi untuk mendapatkan ilmu dalam rangka mengisi kehidupan ini sehingga manusia dapat mengatur dan menata kehidupan sebagaimana harapan kita semua. Tanpa ilmu maka tidak mungkin dapat dilakukan terutama di dunia modern.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatakan dalam pasal 2 “Pendidikan nasional berlandaskan Pancasila dan UUD 1945” sedangkan pasal 3 “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” .
Manusia memiliki potensi dasar yang bisa dikembangkan, sehingga manusia dinamakan makhluk pedagogik. Makhluk pedagogik adalah makhluk yang dapat didik sekaligus makhluk yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan aktivitas pendidikan .
Artikel ini kan mengulas tentang sekitar masalah pendidikan. Problem pendidikan beraneka ragam, seperti mutu pendidikan yang belum sesuai dengan cita-cita bangsa, ketersediaan saran dan prasarana yang mendukung proses belajar mengajar, moralitas pendidikan, kurikulum yang mampu memperbaiki mutu, kesejahteraan guru dan tenaga pendidikan, pendanaan pendidikan yang belum cukup untuk meng-cover segala kebutuhan operasional penyelenggaraan pendidikan, lalu bagaimana mengatasi biaya pendidikan yang terjangkau bagi rakyat? Mungkinkah pendidikan bisa diselenggarakan secara cuma-cuma bagi masyarakat miskin?

Salah satu konsensus dunia dalam bidang pendidikan adalah menjamin 100 persen anak bisa menyelesaikan pendidikan dasarnya selambat-lambatanya tahun 2015 (MDGs 2015). Terkait dengan pendidikan dasar, gerakan pendidikan untuk semua orang-Education For All (EFA) bertujuan meningkatkan keadilan mendapat pendidikan bagi anak perempuan, kelompok yang kurang beruntung, dan peningkatan kualitas hasil pendidikan .
Pendidikan selayaknya dibiayai oleh pemerintah karena sesuai dengan amanat UUD ’45. Pemerintah gencar menyosialisasikan pendidikan dasar gratis sembilan tahun mulai 2009. Sekolah tidak boleh lagi memungut biaya pendidikan untuk jenjang SD-SMP, kecuali sekolah berstandar internasional atau rintisan sekolah berstandar internasional. pemerintah daerah setempat untuk bisa mengalokasikan dana tambahan dari APBD untuk mendukung dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang sudah dikucurkan pemerintah pusat.
Gencarnya pemerintah menyosialisasikan jaminan pendidikan dasar sembilan tahun gratis mulai tahun ini sebagai salah satu implikasi kenaikan anggaran pendidikan 20 persen bukanlah suatu hadiah atau kejutan yang luar biasa bagi masyarakat. Sebab, dalam konstitusi, pemerintah memang harus menjamin terlaksananya wajib belajar untuk warga negara tanpa memungut biaya.
Pendidikan dasar gratis itu memang sudah menjadi hak warga Negara (hak konstitusional). Pembiayaannya harus ditanggung pemerintah sehingga anak-anak usia wajib belajar tidak ada yang tertinggal dari pendidikan di jenjang SD-SMP .
Meskipun dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sudah dinaikkan 50 persen, tetapi kebijakan sekolah gratis tergantung komitmen kabupaten/kota. Kalau pun ada sekolah/pendidikan dasar gratis, yang digratiskan itu biaya operasional, sedangkan biaya di luar itu (biaya non personal-yang melekat pada kebutuhan siswa secara personal) tetap menjadi beban orangtua. Sejauh ini, Departemen Pendidikan Nasional RI tidak punya data daerah-daerah yang sudah melaksanakan sekolah gratis. Dalam Buku Panduan BOS disebutkan, tahun 2009 dana BOS tunai untuk SD/SDLB di kota sebesar Rp 400.000/siswa/tahun, sedangkan di kabupaten Rp 397.000/siswa/tahun. Untuk SMP/SMPLB/SMPT di kota Rp 575.000/siswa/tahun dan kabupaten Rp 570.000/siswa/tahun .
Secara khusus program BOS bertujuan untuk menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). Kemudian meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta .
Praktek pendidikan gratis di beberapa daerah
Keuangan dan pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dalam penyelenggaraan pendidikan. Kedua hal tersebut merupakan kompenen produksi yang menentukan terlaksananya kegiatan proses belajar mengajar di sekolah bersama komponen lainnya.
Paling tidak ada dua penyebab perhatian kepada keuangan menurut Mujamil Qomar: Pertama, keuangan merupakan kunci penentu kelangsungan dan kemajuan lembaga pendidikan. Kenyataan ini mengandung konsekuensi bahwa program-program pembaharuan atau pengembangan pendidikan bisa gagal dan berantakan manakala tidak didukung oleh keuangan yang memadai. Kedua, lazimnya uang dalam jumlah besar sulit sekali didapatkan khususnya bagi lembaga pendidikan swasta yang baru berdiri.
Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 46 ayat 1 UU Sistem pendidikan Nasional “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat”. Ketentuan ini merupakan ketentuan normatif yang menjadi payung hukum tentang tanggung jawab pendanaan bagi semua jenis pendidikan. Hanya saja, realitasnya baru mulai proses paling awal bagi lembaga swasta. Lebih lagi, lembaga pendidikan Islam yang mayoritas swasta selama ini telah menjadi korban diskriminasi kebijakan pemerintah.
Sumber keuangan atau pembiayaan pada suatu sekolah secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga sumber yaitu: 1) Pemerintah, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun keduanya, bersifat umum dan khusus serta diperuntukan bagi kepentingan pendidikan. 2) Orangtua atau peserta didik. Dan 3) Masyarakat, baik mengikat maupun tidak mengikat .
Dasar hukum pembiayaan pendidikan adalah UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pada Pasal 34 ayat 3 disebutkan, Wajib belajar (Wajar) sembilan tahun (SD-SMP) merupakan tanggung jawab negara. Dilanjutkan Pasal 46 ayat 1, Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Dilihat dari segi penggunaan sumber dana dapat dibagi menjadi dua: anggaran untuk kegiatan rutin, yaitu gaji dan biaya operasional sehari-hari sekolah. Dan anggaran untuk pengembangan sekolah.
Bagimananpun, faktor peningkatan pembiayaan pendidikan baik untuk keperluan operasional maupun pembangunan sarana dan prasarana serta pelaksanaan program peningkatan mutu (quality improvement) merupakan hal yang krusial untuk guna mendukung program fokus terhadap kebutuhan pelajar. Derasnya tuntutan orangtua, industri, pemerintah, masyarakat atau pihak terkait (stakeholders) terhadap peningkatan mutu lulusan merupakan mainstream (arus utama) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam tata reformasi pendidikan dewasa ini.
Reformasi pendidikan diharapkan menghasilkan desentralisasi pendidikan kepada dinas pendidikan kabupaten/kota sampai kepada kepala sekolah untuk mengoptimalkan pencapai sumber daya manusia yang handal untuk menciptakan keunggulan daerah dan kompetisi global.
Di Sumatera Selatan, mulai tahun ini SD, SMP, SMA/SMA negeri dan swasta, serta sekolah keagamaan bebas dari biaya pendidikan. Tahun 2002 pendidikan gratis dimulai dari Kabupaten Musi Banyuasin. Alex Nurdin ketika jadi Bupati di Musi Banyuasin sukses dengan pendidikan gratis dari SD sampai SMA. “Ketika sekarang ia jadi Gubernur Sumsel, kebijakan pendidikan gratis berlaku untuk seluruh kabupaten/kota,”.
Sementara di Sukoharjo “Total anggaran pendidikan gratis 2011 dari APBD 2011 diperkirakan mencapai Rp 45,9 miliar. Anggaran itu mengalami peningkatan dibanding sebelumnya yang hanya sekitar Rp 31 miliar,” . Program pendidikan gratis tersebut akan diberlakukan bagi semua siswa dari sekolah negeri dan swasta, dari jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK. Namun, pendidikan gratis yang dimaksud hanya menyangkut pada biaya operasional sekolah. Sedangkan biaya di luar operasional sekolah, seperti biaya investasi atau uang gedung dan kegiatan ekstrakulikuler yang ditanggung APBD pada program pendidikan gratis khusus diberlakukan bagi masyarakat miskin.
Menurut Suryanto anggota DPRD Sukoharjo untuk 2011 Sukoharjo memperoleh anggaran BOS dari pusat senilai Rp 42.842.569.000. Selain BOS dari pusat, siswa dari tingkat SD dan SMP akan mendapatkan dana pendampingan dari provinsi yaitu Rp 30.000/siswa/tahun untuk jenjang SD dan Rp 50.000/siswa/tahun untuk tingkat SMP. “Total pendampingan BOS dari provinsi ke Sukoharjo yaitu Rp 3.858.460.000, terdiri atas Rp 2.244.210.000 untuk siswa SD/-MI/SDLB dan Rp 1.714.250.000 untuk siswa SMP/MTs/SMPLB.”
Hampir semua kabupaten/kota di Indonesia belum bisa melaksanakan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003, bahwa pendidikan dasar di Indonesia harus bebas biaya. Hal itu disebabkan alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20 % dari APBD belum semua terealisasi. Disisi lain kritik atau evaluasi terhadap pelaksanaan pendidikan dasar, yakni sekolah dasar (SD) sampai sekolah lanjutan pertama (SLTP) jarang dan bahkan tidak pernah dilakukan. Akibatnya pendidikan dasar 9 tahun itu hanya sekedar syarat dan rutinitas normatif belaka. Jadi tidak mustahil jika kualitas sumber daya manusia (SDM) di daerah masih rendah. Dengan demikian pembangunan daerah dengan semangat otonomi daerah itu menjadi kabur, karena otonomi daerah tidak diiringi dengan meningkatnya SDM masyarakat di daerah, sehingga penggalian potensi daerah menjadi tidak optimal .
Pendidikan bisa saja murah dengan kualitas memadai. Memadai dalam arti sesuai dengan kebutuhan lingkungan dimana para anak didik ini akan diarahkan nantinya. Dalam kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan sekolah memerankan peran penting sebagai agent of change untuk membawa perubahan-perubahan sosial. Akan tetapi dalam norma-norma sosial, seperti struktur keluarga, agama, filsafat bangsa, sekolah cenderung untuk mempertahankan yang lama dan dengan demikian mencegah terjadinya perubahan yang dapat mengancam keutuhan bangsa .
Pendidikan membuka kemungkinan adanya mobilitas sosial. Berkat pendidikan seorang dapat meningkat dalam status sosialnya. Pendidikan secara merata memberi kesamaan dasar pendidikan dan mengurangi perbedaan antara golongan tinggi dan rendah. Melalui pendidikan tiap warga negara dapat membaca surat kabar dan majalah yang sama, dapat memikirkan masalah-masalah politik, sosial, ekonomi yang sama .
Pendidikan harus mengubah paradigmanya. Norma-norma dan keyakinan-keyakinan lama harus dipertanyakan. Sekolah mesti belajar untuk bisa berjalan dengan sumber daya yang sedikit. Para profesional pendidikan harus membantu para siswa mengembangkan keterampilan yang akan mereka butuhkan untuk bersaing dalam perekonomian global. Sayangnya, kebanyakan sekolah masih memandang bahwa mutu akan meningkat hanya jika masyarakat bersedia memberi dana yang lebih besar. Padahal dana bukanlah hal utama dalam perbaikan mutu pendidikan. Mutu pendidikan akan meningkat bila administrator, guru, staf dan anggota dewan sekolah mengembangkan sikap baru yang terfokus pada kepemimpinan, kerja tim, kooperasi, akuntabilitas dan pengakuan .
Pendidikan dasar gratis adalah amanat UUD 1945 hasil Amandemen yang tercantum pada Pasal 31 Ayat (2) yang berbunyi : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Untuk menegaskan amanat tersebut maka dalam UU Sidiknas Pasal 31 UU No 20 Tahun 2003 Ayat (2) dinyatakan lagi bahwa :”Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” Jadi apalagi yang hendak diperdebatkan? Jelas bahwa sesuai dengan amanat UUD 1945 hasil amandemen dan UU Sisdiknas 2003, pemerintah memang sudah seharusnya menanggung biaya pendidikan dasar bagi semua warga negara tanpa membedakan antara si kaya dan si miskin. Karena itu, penyediaan sekolah gratis bagi semua warga negara jauh lebih mendasar ketimbang pemberian subsidi silang kepada siswa dari kalangan miskin .
Tapi fakta menunjukkan lain. Tidak banyak pemerintah kota dan kabupaten yang berusaha untuk memenuhi amanat Undang-undang tersebut dan bahkan memberikan tafsiran sendiri mengenai adil, perlu, dan menguntungkan atau tidaknya pendidikan dasar gratis tersebut. Dalam APBN 2007, jumlah anggaran pendidikan untuk semua program mencapai Rp 90,1 triliun (sekitar 11,8 persen), masih jauh dari amanat UUD 1945 Amandemen, yaitu 20 persen dari APBN .
Perihal pendanaan pendidikan masih menjadi akar dari tidak tuntasnya problem pendidikan di Indonesia. Kebijakan menggratiskan sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) memang cukup efisien bagi pemerintah dan kepala daerah untuk menarik perhatian publik, sekaligus mendongkrak citra dan popularitasnya. Akan, tetapi, SPP bukanlah komponen utama (dan terbesar) ketika berbicara tentang biaya pendidikan. Ada komponen biaya pendidikan lainnya yang menghantui warga masyarakat. Ironisnya biaya pendidikan yang menghantui ini muncul akibat kebijakan yang dibuat pemerintah sendiri .
Problem pemenuhan anggaran pendidikan
Nur Hidayat mengidentifikasi sulitnya pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD antara lain disebabkan oleh empat problem berikut :
Pertama, kesalahan konstitusi (contitutional failure)
Kedua, untuk pemerintah pusat pemenuhan anggaran pendidikan terhalang besarnya beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang serta berbagai subsidi. Beberapa tahun terakhir 30 persen APBN terserap untuk membayar utang.
Ketiga,bagi daerah kabupaten/kota besarnya anggaran yang harus dikeluarkan untuk gaji guru juga menjadi penghalang pemenuhan anggaran pendidikan dalam APBD. Sebagaimana diketahui, pasal 49 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa anggaran pendidikan sebagaimana dimaksud pasal 31 UUD 1945 tidak termasuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Beberapa fakta di sejumlah daerah seperti Jawa Timur rata-rata 33,33 persen APBD 2005 ternyata tersedot untuk membayar gaji pegawai dinas pendidikan yang mayoritas berstatus guru.
Keempat,beban daerah menjadi semakin berat karena setiap kabupaten/kota dituntut mengalokasikan 10 persen dari dana alokasi umum (DAU) yang diterima untuk dikelola pemerintah desa dalam bentuk alokasi dana desa (ADD). Jika tuntutan agar pemilihan kepala desa juga dibiayai APBN dan APBD dipenuhi, prospek pemenuhan anggaran pendidikan tampak akan semakin jauh dari kenyataan.
Kesimpulan
Sekolah mungkin saja bisa gratis, tapi pendidikan tidak mungkin gratis. Fakta membuktikan bahwa pendidikan memang membutuhkan biaya yang sangat besar jika ingin mendapatkan mutu pendidikan yang bagus.
Pendidikan tidak harus mahal, tetapi tidak mungkin juga gratis asal sesuai dengan tujuan dari pencapaian pendidikan baik di daerah maupun di pusat. Standar nilai dari kondisi pedesaan tidak bisa disamakan standarnya dengan kondisi perkotaan. Sebab kebutuhannya jauh berbeda .
Usaha pemerintah untuk mensejahterahkan rakyatnya dalam hal ekonomi dan pendidikan, tapi alangkah baiknya tidak memberlakukan sekolah gratis melainkan sekolah murah, dan program beasiswa. Mengapa sekolah harus murah. Diantaranya; sekolah murah adalah harapan semua orang, tidak hanya para murid dan orangtuanya, namun juga para guru selagi kesejahteraannya mendapatkan jaminan dari pemerintah. Sekolah murah dalam banyak hal bisa menyenangkan, tanpa dibebani tanggungan biaya sekolah sang anak yang mahal, orangtua dapat tenang menyekolahkan anaknya dan urusan pencarian dana untuk memenuhi kebutuhan keluarga lebih dikosentrasikan kepada kebutuhan sandang, pangan, papan dan kesehatan. Sang anak pun bisa tenang melakukan aktivitas pendidikan, sebab tidak lagi merasa menjadi beban bagi orangtua .

Daftar Pustaka
Burhanuddin, Moh Makin, Pendidikan Humanistik, Konsep, Teori dan Aplikasi Praksis dalam Dunia Pendidikan, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2007.
C.E. Beeby, Pendidikan Di Indonesia Penilaian dan Pedoman Perencanaan, Jakarta: LP3ES, 1982, cetakan II.
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2004.
http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/24/faktanya-pendidikan-memang-tidak-mungkin-gratis/. Diakses, 21/2/2011
http://nasional.kompas.com/read/2009/02/23/2107456/Sekolah.Gratis.Cuma.pada.Biaya.Operasional. diaskses, 21/2011
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=PENDIDIKAN%20GRATIS&&nomorurut_artikel=365. Diakses, 21/2/2011
http://www.disdik-kotasmg.org/v10/node/61. diakses, 21/2/2011
Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu Prinsip-Prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, Cetakan IV.
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam Strategi Baru Pengelolaan Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2007
Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003.
S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Syarifuddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar